“Baik-baik di rumah, ya, Sayang. Jangan mikir yang macam-macam,” ucapku saat berpamitan dan mencium keningnya.Aku sudah berjanji dalam hati, apa pun sisa-sisa masa lalu yang tertinggal tak akan mempengaruhi hubunganku dengan Cahaya, wanita tercintaku saat ini.Sayangnya, rasa berbeda itu langsung menyergap saat tiba di kantor dan tanpa sengaja berpapasan dengan wanita yang merupakan ibu dari bocah yang selama seminggu ini mengganggu pikiranku. Mendung masih nampak jelas di wajah wanita yang baru saja kehilangan suaminya itu. Maka, atas nama kemanusiaan dan sebagai atasan yang baik mau tak mau aku harus menyampaikan rasa bela sungakawaku atas kepergian suaminya. Tentu saja dengan menyembunyikan kegugupanku. Ya, tiba-tiba saja ada rasa gugup berhadapan dengan Tari.“Pak Ivan kenal Bu Tari?” Tiara yang sejak tadi mengekori langkahku bertanya.“Tidak,” jawabku singkat.“Oh. Tiara pikir Pak Ivan kenal. Soalnya Pak Ivan tau suaminya meninggal, padahal kan dia karyawan baru.”Tiara masih te
Konsentrasiku buyar memikirkan bagaimana mengurai benang kusut ini. Aku ingin bertanya, ingin tau banyak hal tentang bocah itu, tapi tak tau harus mulai dari mana. Aku bahkan sudah mengingkari janjiku pada Aya untuk mengajaknya ke dealer mobil memilih kendaraan yang diinginkannya. Seminggu ini benar-benar kuhabiskan hanya dengan memikirkan dan mengawasi bocah itu dari jauh, meski setelah tiba di rumah, aku tak pernah menceritakan apa pun pada Aya.Ketukan di depan pintu ruanganku membuatku menoleh.“Ada apa, Tiara?”“Bapak ada rapat tiga puluh menit lagi.”Kuhela napasku yang terasa berat. Tak menemukan sosok bocah itu membuat hariku terasa kurang menyenangkan hari ini. Maka, aku memutuskan untuk kembali lagi ke sana sore nanti, dan aku harus mengabarkan Aya lebih dulu.“Ya, Sayang.” Suara Aya dari dari speaker ponselku berhasil membuat mood ku membaik.“Lagi ngapain?”“Nggak ngapa-ngapain. Aku bosan!” keluhnya.Aku terkekeh membayangkan bibir Aya pasti mengerucut mengucapkan itu.“Ka
Namanya Wira Atmaja. Ibunya bernama Farida Lestari dan ayahnya bernama Deni Atmaja. Lahir tanggal 25 Maret 6 tahun silam. Itu informasi awal yang kuperolah dari gadis yang mengaku adalah guru dari bocah itu. Namun informasi berikutnya dari gadis yang bernama Intan itu membuatku terkejut.“Wira anak yatim. Ayahnya baru saja meninggal dunia seminggu yang lalu.”“Ini hari pertama Wira kembali masuk sekolah setelah seminggu berkabung.”“Hari ini dia sangat berbeda, tak bersemangat seperti biasanya. Sampai-sampai tadi siang ibunya harus datang menemaninya sebentar.”Oh, kurasa Tari ke sini di jam istirahat tadi.“Anak itu memang dekat sekali dengan ayahnya.”“Bahkan sejak selama setahun terapi di sini, baru belakangan ini dia diantar jemput ibunya. Biasanya, ayahnya lah yang mengantar jemput. Sepertinya dia sangat terpukul karena kepergian ayahnya, sayangnya dia tak bisa mengatakannya dengan baik.”Aku terdiam mengumpulkan potongan-potongan kalimat yang menurutku janggal. Kenapa gadis ini
“Maafin aku, Ay. Iya, tadi aku nggak lembur, tapi mencari tau tentang bocah itu. Bukan bemaksud tak jujur, tapi aku hanya nggak mau kamu kepikiran. Tadi aku hanya berniat mampir sebentar melihatnya dari jauh seperti kemarin-kemarin. Tapi ternyata aku malah mendapatkan beberapa informasi penting.”“Apa itu?” Tatapan Aya menuntut penjelasan.Lalu kuceritakan semua informasi yang kudapatkan hari ini. Semuanya. Tak ada yang kusembunyikan darinya. Ini sudah menjadi komitmenku pada Aya, akan selalu jujur padanya. Kuharap dengan kejujuran, apa pun rintangan yang ada di hadapan bisa kami lalui bersama.“Apa yang harus kulakukan, Aya?” gumamku lirih. Kudekap erat wanita itu, berharap mendapat kekuatan darinya.“Temui ibunya, tanyakan langsung padanya.”“Kamu ... nggak apa-apa?”“Aku bisa apa? Apa aku bisa menentang hubungan darah yang tampak jelas ini?” Suaranya lirih.“Aya.”Dia tak menjawab.“Harusnya waktu itu kamu biasa saja, dia hanya anak dari karyawanku. Harusnya waktu itu kamu nggak us
“Bu Tari nya sudah datang, Pak.” Suara Tiara.“Suruh masuk.”“Baik, Pak.”Kuhela napas berkali-kali untuk mengurangi rasa gugup yang menyeruak. Tak mudah menggali masa lalu yang sudah dikubur dalam-dalam bertahun-tahun yang lalu. Tapi ada fakta yang harus dicari kebenarannya demi sebuah hak dan kewajiban, juga pengakuan.“Hai, gimana kabarmu?” tanyaku kaku ketika wanita itu duduk.“Baik, Pak.” Dia terlihat lebih santai dibanding aku.“Ng- kamu ... boleh memanggilku seperti dulu.”“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Dia bergeming, tak memedulikan tawaranku tadi.Aku kembali menghela napas.“Baiklah, Tari. Aku akan langsung pada intinya.”Aku terdiam sesaat, entah kenapa rasanya sangat berat menanyakan ini. Kucengkram pangkal dasiku lalu menariknya, rasanya udara di ruangan ini tiba-tiba saja terasa menyesakkan.“Siapa dia?” Kusodorkan ponselku yang layarnya menampakkan foto putra sulungnya.“Wira Atmaja, putra sulungku.”“Siapa nama ayahnya?”“Deni Atmaja.” Ada bulir bening mengalir di su
“Bukan selembar kertas yang kuinginkan, tapi pengakuan darimu, ibunya. Tatap aku, Tari. Katakan sejujurnya. Kalau pun kamu berkata tidak, masih banyak cara untuk menggalinya. Aku hanya ingin kejujuranmu sebagai ibunya.”Dia memberanikan diri menatapku. Mata merahnya membuatku iba. Wanita ini baru saja kehilangan suaminya, lalu kini kubuat dia menangis seperti ini.“Aku nggak tau, Kak.” Bahunya terguncang.“Waktu itu ... aku langsung pergi dan bersembunyi. Aku takut, aku malu, aku marah. Lalu aku meminum berbagai obat-obatan agar ... agar tak sampai hamil.” Kulihat dia menggigit bibirnya.“Seminggu setelahnya pacarku ngajakin balikan, bahkan langsung melamarku. Hanya selang dua minggu dari kejadian di rumah Kakak waktu itu kami menikah.”Aku mengeryitkan kening. Waktu itu aku masih tinggal di rumah orang tuaku, tapi aku tak mendengar kabarnya menikah.“Aku nggak tau kamu nikah, Tar.”“Waktu itu Kak Ivan dan Kak Dian juga sudah jarang kelihatan, kan? Pulang ke rumah kadang tengah malam
“Tak apa, aku menerima semuanya sebagai takdirku. Hanya saja kumohon Kak Ivan jangan muncul di hadapannya, karena jika Kakak ada di sekitarnya semua orang akan mengetahui semua kebusukanku selama ini. Aku menyembunyikan identitas putraku demi menyembunyikan dosa-dosaku.”“Kamu nggak salah, Tar. Dari awal kamu nggak tau kalau kamu hamil. Mungkin ini cara Tuhan bicara pada kita, karena jika saja wajah anak itu tak benar-benar mirip denganku, aku yakin kamu pun tak akan menyadari jika dia adalah anakku.”Hening menguasai.“Aku akan mengusahakan pengobatan dan terapi yang baik untuknya.”Wanita itu spontan mendongakkan kepalanya menatapku.“Jangan, Kak. Kumohon jangan. Biarkan kami seperti ini.”Kuhela napasku kasar.“Kamu tak ingin mengatakan yang sejujurnya pada anak itu?”“Mungkin suatu saat, jika Wira sudah dewasa aku akan mengatakan padanya.”“Sampai suamimu wafat dia nggak tau kalau Wira bukan putranya?”Wanita itu kembali menyeka matanya, berbicara tentang suaminya selalu membuatny
PoV CahayaHari ini suamiku memenuhi janjinya mengajak kami semua ke villa. Ibu dan susternya Lisa berada di mobil Candra, sedangkan kedua adik perempuanku ikut denganku di mobil Ivan. Sedangkan Kak Dian sekeluarga akan menyusul nanti. Dengan kedua adik perempuanku, Ivan belum begitu akrab. Berbeda dengan keakraban mereka dengan mantan suamiku terdahulu. Aku pun tak memaksakan karena paham akan keengganan kedua adikku itu. Dulu, mereka memang tak setuju dengan kehadiran Ivan di tengah keluarga kami. Cindy, adik keduaku bahkan sampai sekarang enggan bergabung jika ada suamiku.“Kenapa, Sayang?” Ivan bertanya saat melihatku hanya diam dan memejamkan mata.“Agak pusing,” jawabku singkat.Sebenarnya aku memang ingin menolak bepergian kali ini. Karena seminggu belakangan badanku sering terasa pegal-pegal meskipun tak melakukan kegiatan apa pun. Setiap hari pula dalam seminggu ini aku akan kembali ke dalam kamar dan tidur setelah melepas suamiku bekerja. Seminggu ini aku selalu merasa menga
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber