“Bukan selembar kertas yang kuinginkan, tapi pengakuan darimu, ibunya. Tatap aku, Tari. Katakan sejujurnya. Kalau pun kamu berkata tidak, masih banyak cara untuk menggalinya. Aku hanya ingin kejujuranmu sebagai ibunya.”Dia memberanikan diri menatapku. Mata merahnya membuatku iba. Wanita ini baru saja kehilangan suaminya, lalu kini kubuat dia menangis seperti ini.“Aku nggak tau, Kak.” Bahunya terguncang.“Waktu itu ... aku langsung pergi dan bersembunyi. Aku takut, aku malu, aku marah. Lalu aku meminum berbagai obat-obatan agar ... agar tak sampai hamil.” Kulihat dia menggigit bibirnya.“Seminggu setelahnya pacarku ngajakin balikan, bahkan langsung melamarku. Hanya selang dua minggu dari kejadian di rumah Kakak waktu itu kami menikah.”Aku mengeryitkan kening. Waktu itu aku masih tinggal di rumah orang tuaku, tapi aku tak mendengar kabarnya menikah.“Aku nggak tau kamu nikah, Tar.”“Waktu itu Kak Ivan dan Kak Dian juga sudah jarang kelihatan, kan? Pulang ke rumah kadang tengah malam
“Tak apa, aku menerima semuanya sebagai takdirku. Hanya saja kumohon Kak Ivan jangan muncul di hadapannya, karena jika Kakak ada di sekitarnya semua orang akan mengetahui semua kebusukanku selama ini. Aku menyembunyikan identitas putraku demi menyembunyikan dosa-dosaku.”“Kamu nggak salah, Tar. Dari awal kamu nggak tau kalau kamu hamil. Mungkin ini cara Tuhan bicara pada kita, karena jika saja wajah anak itu tak benar-benar mirip denganku, aku yakin kamu pun tak akan menyadari jika dia adalah anakku.”Hening menguasai.“Aku akan mengusahakan pengobatan dan terapi yang baik untuknya.”Wanita itu spontan mendongakkan kepalanya menatapku.“Jangan, Kak. Kumohon jangan. Biarkan kami seperti ini.”Kuhela napasku kasar.“Kamu tak ingin mengatakan yang sejujurnya pada anak itu?”“Mungkin suatu saat, jika Wira sudah dewasa aku akan mengatakan padanya.”“Sampai suamimu wafat dia nggak tau kalau Wira bukan putranya?”Wanita itu kembali menyeka matanya, berbicara tentang suaminya selalu membuatny
PoV CahayaHari ini suamiku memenuhi janjinya mengajak kami semua ke villa. Ibu dan susternya Lisa berada di mobil Candra, sedangkan kedua adik perempuanku ikut denganku di mobil Ivan. Sedangkan Kak Dian sekeluarga akan menyusul nanti. Dengan kedua adik perempuanku, Ivan belum begitu akrab. Berbeda dengan keakraban mereka dengan mantan suamiku terdahulu. Aku pun tak memaksakan karena paham akan keengganan kedua adikku itu. Dulu, mereka memang tak setuju dengan kehadiran Ivan di tengah keluarga kami. Cindy, adik keduaku bahkan sampai sekarang enggan bergabung jika ada suamiku.“Kenapa, Sayang?” Ivan bertanya saat melihatku hanya diam dan memejamkan mata.“Agak pusing,” jawabku singkat.Sebenarnya aku memang ingin menolak bepergian kali ini. Karena seminggu belakangan badanku sering terasa pegal-pegal meskipun tak melakukan kegiatan apa pun. Setiap hari pula dalam seminggu ini aku akan kembali ke dalam kamar dan tidur setelah melepas suamiku bekerja. Seminggu ini aku selalu merasa menga
Malamnya, kami semua benar-benar menikmati kebersamaan keluarga. Kunikmati senyuman bahagia yang terpancar dari wajah ibuku ketika melihat aku dan adik-adikku bercanda. Cindy pun sudah mulai mencair dan bergabung bersama mengelilingi api unggun. Sesekali kulihat dia juga mulai tersenyum saat Ivan mengajaknya bercanda. Aku tahu, suamiku itu terlihat berusaha mendekatkan diri pada adik-adikku, terutama Cindy yang dari awal terlihat tidak terlalu menyukainya.Candra sendiri masih setia menempel pada Lisa, sedangkan Lisa tak pernah lepas dari sisi ibu untuk menjaganya. Kak Dian dan Bang Malik tampak sibuk dengan urusan barbeque dan tak mengizinkan kami mendekat. Sesekali kulihat mereka berdua saling mencolek sementara kedua anaknya sibuk bermain kembang api. Ah, sungguh pemandangan yang benar-benar indah dan sanggup menghapus memori tak nyaman di hatiku tentang villa ini.“Suka?” Napas hangat itu tiba-tiba saja sudah menerpa leher belakangku.“Suka sekali. Bahagia sekali melihat mereka s
“Pergilah, dia mungkin sedang membutuhkanmu.”Entah untuk siapa kata ‘dia’ yang kuucapkan. Entah untuk anaknya, atau untuk ibunya. Yang pasti hatiku sedang menahan rasa yang tak biasa. Ivan masih mendekapku beberapa saat sebelum berjalan ke arah mobilnya. Tak satu pun yang menyadari kepergiannya selain aku, karena aku sudah berjanji padanya untuk mencari alasan yang tepat pada keluarga kami.Kupandangi mobilnya hingga menghilang dalam pekatnya malam. Ada rasa sesak, ada rasa kehilangan, ada rasa cemburu di dada ini. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Ada seorang bocah, ada bagian dari dirinya yang sedang membutuhkannya.Hingga aku kembali bergabung dengan keseruan ibuku dan yang lainnya, tak ada satu pun dari mereka yang menyadari dan menanyakan keberadaan suamiku. Sampai Kak Dian memanggil kami semua untuk bergabung menikmati hasil barbeque dengan suaminya, barulah wanita itu mencari adiknya.“Bayi besarmu mana, Ay?” tanya Kak Dian.Kupasang wajah sesantai mungkin agar mereka semua t
Aku masih memeluk lutut, meratapi nasib yang tak tau harus kubagi pada siapa ketika pintu kamarku diketuk dari luar. Buru-buru kususut mata, kubersihkan sisa-sisa tangisku sebisanya sambil bertanya-tanya siapa yang ada di balik pintu itu. Lalu, tubuhku merosot saat membuka pintu, kakiku merasa tak sanggup lagi menopang tubuhku.Dia! Suamiku! Dia yang baru saja kutangisi kini berdiri tegak di hadapanku. Tak dapat kulihat dengan jelas bagaimana ekspresinya berdiri di sana karena mataku telah berkabut oleh air mata.“Maafkan aku, Sayang.”Aku hanya pasrah ketika ia menahan tubuhku lalu menggendongku, menutup pintu kamar dengan kakinya kemudian membaringkanku di atas tempat tidur yang terasa sangat dingin.“Maaf, Sayang.” Dia mendekap erat.“Kenapa kembali?” Kuberanikan bertanya.“Aku salah. Tak seharusnya aku meninggalkanmu seperti ini. Apalagi, kamu pasti merasa trauma karena pernah mengalami ini. Maafkan aku yang tak peka.”Suaranya begitu lembut, selembut belaiannya menyisir helai-hel
Besok paginya, Ivan menepati janjinya mengajakku keliling perkebunan seperti waktu itu. Sepanjang jalan pria dengan setelan casual itu terus saja menggenggam tanganku. Namun kami tak mengulangi kejaidan di pondok di tengah perkebunan waktu itu. Karena pagi ini, kami mengelilingi perkebunan bersama anak-anak Kak Dian dan juga ketiga adikku, tak ketinggalan suster ibu yang tampak malu-malu ketika Candra menggadeng tangannya.“Masak apa, Sayang?” Dua tangan kekar sudah melingkari pinggangku saat aku tengah menyiapkan makanan di dapur villa.Susah payah kutepis tangan yang mengganggu konsentrasiku itu karena tak tahan dengan aroma mi instan yang menggoda. Entah kenapa aku justru berinisiatif memasak mi instan porsi dobel dikala Bik Jum sudah menyiapkan berbagai menu makanan.“Kenapa malah bikin mi instan, Ay? Makanannya nggak enak?”“Nggak tau, lagi pengen aja.” Kembali kutepis tangannya lalu mengabaikannya dan duduk menikmati mi instan yang masih mengepulkan asap.Ivan menatapku aneh.“K
Aku menghela napas, menatapnya dengan pandangan tak suka. Tak lama kudengar ponselnya berdering. Aku tau dia sedang berbicara dengan Nindya di telepon, karena dulu aku sudah sering melihatnya seperti ini. Yang kutangkap dari pembicaraannya sepertinya Nindya sedang menunggunya untuk berangkat entah ke kota mana, seperti biasanya.“Aku sesekali menginap di sini, Ay.”“Oh, itu urusan kamu, Mas.”Dia tersenyum datar, kemudian tertawa.“Sekarang kebalik ya, Ay. Kamu yang judes gini ngomongnya.”Aku tak menanggapi. Kuraih tas tanganku di atas meja hendak menjauh, tapi pria itu menahanku dengan menarik tanganku.“Lepasin!”“Waktu dia pertama kali megang tanganmu seperti ini, apa kamu juga minta dia ngelepasin?”Aku menatapnya tak suka.“Ah, nggak usah dijawab, Aya. Sepertinya aku akan sakit hati mendengar jawabanmu.”“Mas Adam kenapa? Mas maunya apa? Kita udah nggak ada urusan lagi. Aku ke sini karena ada yang tertarik dengan rumah ini.”“Sebentar, Aya.” Dia kembali menjawab telepon, sementa
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber