PoV CahayaMenjadi istri seorang pengusaha seperti Ivan ternyata tidak lah semudah yang kubayangkan. Beberapa kali aku harus mendampinginya menghadiri undangan-undangan dari relasi bisnisnya. Padahal sejujurnya aku tak terlalu suka berada di circle pergaulan kelas atas, aku selalu merasa tak nyaman dan juga tak tenang. Namun Ivan yang sudah hapal dengan ketidaknyamananku akan selalu menggenggam tanganku, lalu menatapku dengan tatapan yang mampu menghipnotisku lalu mengalirkan rasa nyaman di dalam hati. Karena itu, berada di mana pun, di lingkungan apa pun, jika bersamanya aku akan selalu merasa sangat nyaman dan terlindungi.Kadang aku berpikir, bagaimana pria itu dulu sering sekali muncul di hadapanku padahal kegiatan dan pekerjaannya sangat padat seperti ini. Namun jawaban dari Kak Dian yang datang bersama suami dan anak-anaknya dari Surabaya untuk mempersiapkan pesta resepsi pernikahan kami menjawab semuanya.“Waktu lagi deketin kamu semua dia abaikan, Aya. Kontraknya banyak yang b
“Dian juga kangen ibu.” Wanita itu juga memeluk ibuku.Ah, sungguh pemandangan yang mengharukan bagiku. Kedua kakak beradik yang terlihat sering berantem namun saling menyayangi itu ternyata menyimpan perasaan rindu yang teramat dalam pada orang tuanya. Kak Dian dan Ivan selalu saling menjaga, saling peduli meskipun yang terlihat adalah mereka selalu saling mengejek. Ibuku memeluk keduanya, lalu mereka tenggelam sesaat dalam perasaan masing-masing.Mataku menangkap ibu meraih tangan Ivan setelah Kak Dian dan Ivan mulai merenggangkan pelukan setelah puas menumpahkan rasa rindu mereka pada orang tuanya. Ivan kembali menoleh saat ibu tak melepas tangannya.“Terima kasih sudah menerima dan menyayangi putri ibu dengan segala kekurangannya. Jika nanti Nak Ivan tak lagi menyayanginya, kembalikan dia baik-baik pada walinya. Mungkin ibu tak akan bisa lama menemani kalian, tapi ibu yakin Nak Ivan lah sebenar-benarnya jodoh Aya.”“Bu, jangan bilang begitu. Ibu akan punya waktu yang pajang untuk
“Duh, yang ketemu penggemar berat,” godaku setelah Bella dan Imelda menyalami.“Ah, apaan sih.”“Mereka masih pada ngarep kayaknya, tuh,” godaku lagi.“Ya udah nanti kutawari jadi yang kedua dan ketiga,” balasnya santai.Aku mencubit pinggangnya. “Enak aja!”“Kamu milikku. Hanya milikku.” Aku berbisik di telinganya, dan aku tau pasti bagaimana reaksi pria ini.Aku terkikik melihatnya menggigiti bibirnya. Sungguh pria berkelas yang tak kuat menerima godaanku.Beberapa kali aku melihat ibu berbincang dengan Mama Indah yang datang dengan Papa, aku pun sempat melihat Mas Adam dan Nindya sesaat sebelum mereka berdua hilang di tengah kerumunan tamu. Satu hal yang kusyukuri adalah, ibuku dan Mama Indah tetap terlihat akrab seperti dulu. Meski aku tak bisa menebak apa yang ada dalam pikiran masing-masing, tapi cukuplah seperti itu. Itu sudah membuatku bahagia.Namun hal yang paling mengejutkanku malam ini adalah di ujung pesta, kala tetamu sudah tak ada dan menyisakan WO dan keluarga besar ka
“Udah mandi, Sayang?” Pria itu mendekatiku, lalu menghirup rambutku.“Udah. Gimana ibu?”“Benar kata Kak Dian, ibu udah baik-baik saja.”Aku mengelus rahangnya. “Kamu sesayang itu sama ibuku?”Dia mengangguk dengan mata sayu. “Rasanya seperti kembali memiliki orang tua setelah bertahun-tahun,” ucapnya.“Terima kasih.” Aku masih mengelus pipinya, dia memejamkan mata.“Aku mandi dulu, siapkan dirimu. Kita bikin adik bayi.” Dia mengelus perutku.Ah, sentuhannya memabukkanku.Lalu pria dengan tampilan perut kotak-kotak itu kembali menempel padaku setelah mandi. Aku menertawakan pria yang dijuluki bayi besar oleh Kak Dian ini. Dia memang sangat manja pada Kak Dian, lalu kini padaku.“Jangan tidur dulu,” bisiknya lagi setelah selesai melakukan semua yang ingin dilakukannya.Aku mentapnya.“Itu baru ronde pertama,” katanya sambil tertawa.“Kamu nggak capek?” tanyaku. Aku sendiri kelelahan setelah rangkaian acara resepsi hari ini.“Nggak.”“Berenang yang gesit ya, Sayang. Papi mami udah nggak
Tanpa berniat mampir menemui Ivan setelah aku dan Bu Laila kembali dari rumah Tari mewakili perusahaan menyampaikan bela sungkawa, aku meminta supir langsung mengantarku pulang ke rumah. Aku hanya mengirim pesan pada Ivan menyampaikan jika aku sudah melaksanakan perintahnya tadi, mewakilinya ke rumah salah satu karyawan.Ivan mengirimkan beberapa pesan menanyakan kenapa tak mampir ke ruangannya dulu tadi, tapi aku beralasan sedang tak enak badan. Ada sesuatu yang ingin kupastikan sehingga membuatku terburu-buru. Ponselku segera berdering setelah pesan terakhirku tadi terbaca.“Kamu sakit, Sayang?" Akhirnya aku menyesali alasan yang kuberikan karena itu justru membuat suamiku panik.“Nggak, hanya sakit perut dikit kok. Biasa lah, penyakit bulanan.”“Ya udah. Baik-baik di rumah, ya, Sayang. Kalau perutnya sakit istirahat saja, nggak usah ngerjain kerjaan rumah.”Perhatiannya yang selalu membuatku melambung. Aku menelan saliva sambil memikirkan satu hal yang beberapa jam lalu mengusik ha
Kusimpan kembali album foto pada tempatnya, lalu memilih berbaring di sofa yang ada di dalam ruang kerja Ivan. Kepalaku terasa berat, selain karena ini memang hari pertama di mana aku mendapatkan siklus bulananku, tapi sebuah fakta akan kemiripan wajah masa kecil suamiku dengan bocah kecil yang baru kutemui hari ini tak ayal menambah berat kepalaku.“Aya ... Sayang ....” Suara sayup sayup serta usapan lembut di pipi membuatku terjaga, dan mahluk tampan yang masih berbalut kemeja kerjanya yang dililit hingga siku itu sudah berada di depan mataku.“Kenapa tidur di sini, Sayang? Masih sakit perutnya?” Dia mengusap perutku.Aku menggeleng, lalu bangkit dari tidurku. Posisi Ivan yang masih menunduk membuatku leluasa melingkarkan kedua tanganku di lehernya. Entah mengapa aku sangat ingin memeluknya saat ini.“Hei, ada apa?” Suaranya lembut berbisik.Aku menggeleng, lalu melepaskan rangkulanku di lehernya.“Emang nggak boleh merangkul suami sendiri?”“Bukan gitu, Ay. Kamu hanya ... nggak sep
“Tatap aku, Ay.”Mau tak mau aku membalikkan badan, tidur berhadapan dengannya, menatap matanya.“Aku sudah bilang kan, jangan ada rahasia di antara kita, agar rumah tangga kita bisa berjalan dengan saling percaya.Aku mengangguk.“Kalau begitu cerita. Aku nggak mau menduga-duga apa yang sedang menggangu pikiranmu.”Aku menatapnya dalam-dalam.“Waktu itu ... waktu kamu pertama kali ... ehm ... itu ... Akhh!” Aku kehilangan kata-kata.Dia menatapku dalam-dalam.“Waktu pertama kali apanya, Aya? Apa ... ada sesuatu yang terjadi tadi?”Dia seolah mencari jawaban dari mataku.“Ada yang terjadi di rumah Tari?”Degg! Jantungku berdegup kencang. Tatapannya makin tajam, seolah menghipnotisku hingga tanpa sadar aku mengangguk.“Mau cerita? Atau aku tanya Bu Laila? Atau tanya langsung ke Tari?” Dia meraih ponselnya di atas nakas.“Jangan,” leraiku.“Jadi?”Kali ini aku yang meraih ponselku. Kubuka galeri ponsel lalu memperlihatkan foto yang kuambil diam-diam di rumah Tari tadi. Ivan mengeryitkan
“Lagi mikirin apa, Istriku?” Pria yang sedang kupikirkan itu tiba tiba saja sudah berada di belakangku.“Kamu basah, Sayang,” protesku saat dia memelukku masih dengan tubuhnya yang setengah basah sehabis mandi, bulir-bulir air juga masih menetes dari ujung rambutnya.“Bantu keringkan.”Tanpa sungkan, pria dewasa dengan postur tubuh menggoda itu melepas handuk putih yang membelit pinggangnya lalu menyodorkannya padaku. Meski bukan yang pertama kalinya dia seperti ini, namun jantungku tetap saja beronta mendapat perlakuan seperti ini. Pipiku pun sama, masih memanas ketika pria yang berstatus suamiku ini tanpa rasa malu mempertontonkan seluruh tubuhnya di hadapanku.Ini memang sudah menjadi kebiasan si bayi besar jika melihatku sedang bebas seperti ini, dan yang membuatku selalu mencari kesibukan di dapur jika sudah selesai menyiapkan baju gantinya. Karena Ivan tidak akan mencariku ke dapur hanya untuk menyuruhku mengeringkan tubuhnya. Lamunanku tentang Tari tadi lah yang membuatku terta
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber