Aku MilikmuMemikirkan pilihan yang diembankan Ivan padaku sungguh sangat sulit. Di satu sisi egoku sebagai seorang istri menolak sosok yang pernah terjerat dosa masa lalu dengan suamiku tiba-tiba saja muncul. Meskipun menurut Ivan, tak ada rasa yang terlibat di sana, namun kejadian masa lalu itu bukanlah hal yang gampang untuk dilupakan begitu saja. Bahkan mungkin akan lebih mudah melupakan mantan kekasih yang pernah terlibat rasa dari pada melupakan hubungan fisik meski tak melibatkan rasa.“Ada apa, Nak? Apa ada yang sedang mengganggu pikiranmu?” Kurasa ibuku melihat kegundahanku hari ini.“Nggak apa, Bu.” Aku tersenyum lembut. Tak mungkin kuceritakan ini pada ibuku, karena itu sama saja membuka aib suamiku.“Jika ada masalah kamu boleh bicara pada Ibu. Jangan seperti yang dulu, kamu menyimpan semua bebanmu hingga yang terlihat di depan kami adalah topeng kebahagiaanmu.”Aku mengangguk, mengingat bagaimana dulu kusembunyikan semua tekanan dan kesakitanku. Hanya agar ibu dan keluarg
PoV AdamSertifikat rumah dan butik yang waktu itu kuberikan pada Aya ternyata benar-benar dikembalikannya. Masih utuh dalam map yang sama saat kuberikan padanya. Hebatnya lagi, Aya memilih mengirimkannya ke kantorku, bukan ke rumah mama. Kurasa ia sengaja agar tak menyinggung mama, karena aku tau betapa dekat hubungannya dengan mama. Aku tak menyangka wanita yang dulu sering kukasari karena kuanggap bodoh itu ternyata bukanlah wanita bodoh. Yang sampai sekarang belum kupahami adalah mengapa saat bersamaku Aya sangat membosankan? Lalu ia menjadi wanita yang sangat menarik setelah berpisah denganku.Terus terang saja, meski di awal-awal perpisahan kami aku merasa terbebas dari belenggu ikatan pernikahan, dan bisa dengan leluasa menjalani hari-hariku bersama Nindya. Namun, justru akhir-akhir ini aku setiap malam selalu memikirkannya, kelebatan bayangan Aya dan malam-malam berkesan yang pernah kulalui bersamanya berputar kembali di kepala. Hingga akhirnya membuatku kembali mengalami hal
Hari ini aku menemani Nindya menengok ibunya yang sama sekali belum memperlihatkan kemajuan sejak dirawat. Dokter akhirnya menyarankan ibunya Nindya untuk dipindah perawatannya ke Rumah Sakit Jiwa karena bukan fisiknya, tapi mentalnya lah yang terganggu. Ibu Nindya tak mau berinteraksi dengan orang lain kecuali anak-anaknya, dan juga akan selalu menatap tak suka cenderung marah ketika melihatku. Seperti saat ini, ibu Nindya menatap penuh amarah ketika melihatku datang bersama putrinya hingga membuat Nindya memintaku untuk menunggunya di luar.“Maaf, ya,” ucap Nindya setelah keluar dari ruang perawatan ibunya. “Aku juga nggak tau kenapa ibu sebenci itu sama Mas Adam,” ucapnya lagi.Aku mengangguk mengerti karena aku sudah mendengar berkali-kali alasan ibunya tak menyukaiku. Kuraih tangan Nindya yang terlihat sangat kelelahan lalu menautkan jemariku padanya.“Kamu kelelahan, Nin. Kita pulang, ya.” Ia mengangguk.Nindya Afifa, gadis yang membuatku kagum karena keincahan dan kecerdasanny
Aku hendak menarik wajahku menjauh darinya saat Nindya justru mengalungkan lengannya di leherku. Gadis itu menarik wajahku lebih dekat lagi. Segera kusambut bibir merah di depan mataku itu, sehingga membuat kami berdua kehilangan udara selama beberapa saat. Suasana mobilku semakin terasa panas ketika tanganku mulai menjelajah nakal pada tubuh gadis itu, sementara Nindya tak menolak dan justru mengeluarkan suara yang membuatku semakin terbakar. Beruntung suara ponselku berdering beberapa kali sehingga membuatku melepaskannya.Telepon dari mama.“Dam ... Aya ngundang kita ke acara resepsinya malam minggu ini.”Aku terhenyak.“Gimana, Nak? Kamu sanggup menghadirinya?”“Mama rasanya nggak sanggup, Dam.”“Rasanya ini seperti mimipi.”Mama terus saja berbicara sedangkan aku masih mengatur napasku. Aku pria yang pernah menikah, dan bercumbu dengan lawan jenis seperti tadi membuatku sangat frustasi karena tak bisa meneruskannya. Rasa frustasi bercampur rasa marah atas undangan Aya membuat kep
Dia berusaha menepis tanganku. Tapi aku sudah tak bisa mengendalikan pikiranku. Dengan gerakan cepat aku menguasai tubuh Nindya, mendorongnya hingga mepet ke tembok.“Jangan,” ucapnya lirih.“Terusin yang tadi di mobil.” Suaraku menjadi berat.“T-tapi---“ Segera kubungkam mulutnya sebelum gadis itu meneruskan.“Aku tau kamu juga menginginkan ini, Nin,” ucapku disela-sela cumbuanku padanya.Gadis itu menggeliat, sesekali mendorong pelan dadaku, lalu kemudian membalas pelukan dan juga pagutanku. Aku tau Nindya belum berpengalaman, berbeda dengan Aya yang selalu mengimbangiku selama ini.“Rileks,” bisikku.Kulihat gadis itu memejamkan mata yang bagiku itu seolah pertanda mengizinkanku untuk melanjutkan, sesekali ia masih mendorongku, tapi bagiku tenaganya tak berarti apa-apa. Aku terus merangsek, menjelajah dan mencari sesuatu yang baru hingga akhirnya kami berdua berakhir di atas tempat tidurnya dengan napas yang terengah-engah.“Maaf,” ucapku sambil melepaskan diri. Gadis itu terus sa
Meski tak ingin hadir di resepsi Aya, namun mama dan papa memaksaku untuk ikut dengan alasan silaturahmi dan memperlihatkan pada semua bahwa kami pisah secara baik-baik. Padahal mungkin Aya memang sudah baik-baik saja, tapi tak begitu denganku.Mama dan papa langsung berbaur dan mengobrol santai dengan ibu Aya setelah kami tiba di ballroom hotel bintang lima di mana resepsi pernikahan Ivan dan Aya digelar. Ibu Aya sendiri masih memakai kursi rodanya dengan dikawal beberapa orang. Suasana mewah dan elegan sungguh terasa, undangan yang hadir pun terlihat dari golongan kelas atas. Aku yang hadir dengan menggandeng Nindya memilih duduk di pojok gedung. Suasana pesta benar-benar bisa menggambarkan sosok pengusaha muda yang berdiri dengan senyum sempurna di depan sana.Hatiku serasa ditikam ribuan jarum berkali-kali saat melihat sosok yang berdiri di sebelahnya. Aya, seharusnya dia milikku. Haruskah aku menyesali rasa yang terlambat hadir padanya? Haruskah aku menyesali telah menyerahkannya
PoV CahayaMenjadi istri seorang pengusaha seperti Ivan ternyata tidak lah semudah yang kubayangkan. Beberapa kali aku harus mendampinginya menghadiri undangan-undangan dari relasi bisnisnya. Padahal sejujurnya aku tak terlalu suka berada di circle pergaulan kelas atas, aku selalu merasa tak nyaman dan juga tak tenang. Namun Ivan yang sudah hapal dengan ketidaknyamananku akan selalu menggenggam tanganku, lalu menatapku dengan tatapan yang mampu menghipnotisku lalu mengalirkan rasa nyaman di dalam hati. Karena itu, berada di mana pun, di lingkungan apa pun, jika bersamanya aku akan selalu merasa sangat nyaman dan terlindungi.Kadang aku berpikir, bagaimana pria itu dulu sering sekali muncul di hadapanku padahal kegiatan dan pekerjaannya sangat padat seperti ini. Namun jawaban dari Kak Dian yang datang bersama suami dan anak-anaknya dari Surabaya untuk mempersiapkan pesta resepsi pernikahan kami menjawab semuanya.“Waktu lagi deketin kamu semua dia abaikan, Aya. Kontraknya banyak yang b
“Dian juga kangen ibu.” Wanita itu juga memeluk ibuku.Ah, sungguh pemandangan yang mengharukan bagiku. Kedua kakak beradik yang terlihat sering berantem namun saling menyayangi itu ternyata menyimpan perasaan rindu yang teramat dalam pada orang tuanya. Kak Dian dan Ivan selalu saling menjaga, saling peduli meskipun yang terlihat adalah mereka selalu saling mengejek. Ibuku memeluk keduanya, lalu mereka tenggelam sesaat dalam perasaan masing-masing.Mataku menangkap ibu meraih tangan Ivan setelah Kak Dian dan Ivan mulai merenggangkan pelukan setelah puas menumpahkan rasa rindu mereka pada orang tuanya. Ivan kembali menoleh saat ibu tak melepas tangannya.“Terima kasih sudah menerima dan menyayangi putri ibu dengan segala kekurangannya. Jika nanti Nak Ivan tak lagi menyayanginya, kembalikan dia baik-baik pada walinya. Mungkin ibu tak akan bisa lama menemani kalian, tapi ibu yakin Nak Ivan lah sebenar-benarnya jodoh Aya.”“Bu, jangan bilang begitu. Ibu akan punya waktu yang pajang untuk
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber