Dering handphone masih berdering nyaring. Raka mulai tak sabar ingin mendobrak pintu kamar Vonny saat adik seayahnya itu tak jua membuka pintu setelah diketuk berkali-kali. "Keluar kamu, Von!" perintah Raka yang mulai meninggikan volume suaranya. Dia berusaha membuka handle pintu, tapi terkunci dari dalam. Diketuknya lagi dan lagi sembari melihat layar handphonenya yang masih memanggil nomor itu. Jelas sudah, nomor yang selama ini meneror Erina memang milik Vonny. Dia tak bisa mengelak lagi karena dering handphone itu tepat berada di dalam kamarnya. "Von!" sentak Raka mulai meradang. Dia makin emosi karena tak ada jawaban apapun dari dalam kamar.Vonny begitu ketakutan saat keluar dari kamar mandi dan mendengar handphonenya berdering nyaring. Dia yang sedari tadi mendengarkan percekcokan dari kamarnya, tak menyangka jika Raka akan meneleponnya saat ini juga. Perempuan yang masih memakai piyama itu pun gugup. Dia buru-buru mengambil benda pipih di atas ranjang lalu berusaha mematik
"Soal Meira, kami yakin betul bagaimana sikapnya selama ini, Mbak. Dia perempuan yang baik dan tulus. Selama bekerja di sini, tak pernah sekalipun membuatku kecewa. Dia menyayangi Dee seperti anaknya sendiri. Dia juga menghormatiku dan Mas Wi. Sekalipun kini sudah tahu kalau dia anak Mas Adrian, tapi sikapnya masih tetap sama seperti sebelumnya. Kalem, anggun dan begitu sopan. Dia tak pernah jumawa atau merasa lebih," sambung Sundari panjang lebar membuat wajah Meira memerah karena malu. "Ibu terlalu berlebihan memuji. Jangan begitu, Bu. Saya nggak sebaik itu," balas Meira dengan senyum manisnya. Sundari tersenyum, begitu pula Erina yang kini bersirobok dengannya, sementara Meira cukup kaget saat melihat Raka fokus menatapnya tanpa kedip. Laki-laki yang duduk tak jauh darinya itu mendadak salah tingkah lalu buru-buru mengalihkan pandangannya. "Assalamualaikum." Salam terdengar saat Wicaksono masuk ke rumah. "Wa'alaikumsalam, Pa." Sundari menyambut Wicaksono lalu mencium punggung t
"Ya Allah, Vonny!" teriak Sundari yang shock melihat dan mendengar dentuman cukup keras itu. Meira yang sebelumnya ikut mengejar Vonny pun mematung di samping trotoar saat melihat tragedi itu terjadi, sementara dua satpam yang berjaga segera ke lokasi. Melihat Sundari luruh di tepi jalan, Meira buru-buru memapah wanita itu kembali ke rumah. Di ruang keluarga tampak Wicaksono yang masih berusaha menenangkan dirinya setelah melihat sikap keterlaluan anak kesayangannya itu. Erina pun berusaha menenangkan dan berkali-kali bilang jika dia sudah memaafkan Vonny dan tak akan memperpanjang masalah itu. Namun, Wicaksono masih tak enak hati, malu dan merasa gagal mendidik putrinya dengan baik sampai melakukan hal-hal di luar nalarnya seperti itu. "Mama kenapa, Mei?" tanya Raka yang beranjak dari sofa lalu membantunya memapah mamanya. "Maaf, Pak Wi. Non Vonny kecelakaan di tikungan." Kabar dari Agus, salah satu satpam keluarga itu membuat Wicaksono semakin shock. Tak hanya dia, tapi juga Ra
[Sebenarnya bukan itu yang ingin kutekankan, Mei. Cuma sekarang aku tahu, jika kita disakiti seseorang, sekalipun tak pernah membalas maka Allah membalas kedzaliman mereka agar mereka jera dan menyadari kesalahan-kesalahan yang pernah mereka lakukan sebelumnya. Jika mereka berpikir sih, cuma kalau nggak ya sama aja bodong. Aku dengar dari tetangga-tetangganya kalau mereka sekarang malu dan nggak pamer lagi seperti dulu. Biar kapok sudah nyakiti kamu bahkan tega usir kamu dan Aldo dari rumah tanpa bawa barang apapun. Kejam!] Meira menghela napas panjang membaca pesan dari Una lagi. Tak banyak balasan yang diketiknya. Meira hanya berharap jika keluarga mantan suaminya itu kini menyadari kesalahan-kesalahan mereka dan tak lagi semena-mena pada orang lain bahkan pakai fitnah segala. [Jujur aku lega, Na. Bukan karena Lina hamil di luar nikah tanpa tanggungjawab kekasihnya, hanya saja aku berharap mereka bisa introspeksi. Intinya sadar diri jika semua kedzaliman mereka akan dapat balasan
"Bagaimana keadaan suami saya, Dok?" tanya Sundari saat Dokter Ismail keluar dari ruang perawatan Wicaksono. Sundari tampak lesu dan cemas melihat suaminya terbaring lemah di atas ranjang pasien. Rasa khawatir bertambah saat Vonny kritis. Sundari yakin berita tentang Vonny akan membuat suaminya semakin down. Sundari berharap jika anak tirinya itu bisa melewati masa kritisnya. Meski Vonny tak pernah menerima Sundari sebagai ibu sambungnya, tapi Sundari tak pernah menyerah untuk mendekatinya. Sundari hanya ingin berusaha menjadi pribadi yang baik, tak hanya pada anak sambung, tapi untuk siapapun."Alhamdulillah Pak Wicaksono sudah membaik, Bu. Namun, kondisinya belum terlalu stabil. Kita harus berusaha menenangkannya supaya tak berpikir terlalu berat. Tolong jangan bicara hal-hal yang membuatnya berpikir maksimal atau membuat bapak banyak pikiran. Kabarkan saja hal-hal yang baik supaya bapak tenang dan sakitnya tak kambuh lagi," ujar dokter sedikit memberi penjelasan. Sundari manggut
Erina pun menghela napas panjang. Dia paham bagaimana perasaan dan keresahan Raka. Vonny adalah anak kesayangan papanya. Jika terjadi sesuatu yang buruk padanya pasti Wicaksono menjadi orang pertama yang shock. Kondisi itu akan memperparah sakit jantung yang dideritanya selama ini. Jika Wicaksono sakit, tentu Sundari juga akan ikut sakit. Keadaan makin memburuk jika mereka bertiga sakit bersamaan. "Innalilahi wa innailaihi rojiun. Kondisi Vonny separah itu, Ka?" tanya Sundari lirih. Raka mengangguk. "Ya Allah, semoga saja Vonny lekas sadar dan membaik. Dia pasti juga sangat shock jika tahu kakinya tak bisa digunakan dengan maksimal. Tante hanya bisa berdoa supaya dia lebih menerima dan berusaha ikhlas menerima takdirNya," ucap Erina lagi. Raka pun mengaminkan. Tak lupa mengucapkan terima kasih karena Erina dan Adrian selalu membantunya dalam keadaan apapun, tak hanya sekarang, tapi juga tahun-tahun sebelumnya. "Keadaan papa gimana, Tante?" tanya Raka saat menoleh pada Erina yang b
Sundari masih bergeming di kursi tunggu tak jauh dari kamar perawatan Wicaksono. Dia memang sengaja ke luar kamar saat menelepon Raka karena tak ingin mengganggu tidur suaminya. Detik ini, Sundari masih sangat shock mendengar cerita Raka tentang golongan darah Vonny. "Bagaimana mungkin Vonny memiliki golongan darah AB, sementara papanya A dan maminya O? Bukankah kata dokter, jika orang tua bergolongan darah O dan A akan melahirkan anak-anak yang memiliki golongan darah A dan O juga bukan AB?" Sundari berujar lirih sembari menghela napas panjang. Dia benar-benar tak habis pikir kenapa itu bisa terjadi dan suaminya tak menyadarinya sejak dulu. Sundari berencana setelah Wicaksono membaik, dia akan menjelaskan perlahan apa yang diketahuinya saat ini. Dia juga berharap semoga saja suaminya mau tes DNA agar lebih akurat untuk membuktikan status Vonny. Dia benar-benar anak kandung Wicaksono atau lelaki lain. Setelah cuci muka dan lebih tenang, Sundari kembali ke kamar suaminya. Baru saja
[Ka, kamu sudah balik ke rumah sakit belum? Gantian jagain papa ya, mama pengin lihat keadaan Vonny] "Mama sudah kirim pesan sama Raka. Nanti kalau sudah dibaca dia pasti ke sini, Pa. Papa yang tenang ya?" Wicaksono tersenyum lalu mengangguk pelan. "Mama nggak perlu khawatir misalkan nanti papa minta pengacara keluarga kita untuk datang ke sini. Bukan berarti papa berfirasat aneh atau ingin meninggalkan mama dan anak-anak, hanya saja papa ingin menghibahkan sebagian harta kita untuk anak-anak biar mereka mandiri. Semua akan papa atur sesuai porsi dan tak pilih kasih. Soal warisan, urusannya belakangan yang penting papa akan minta pengacara membagi sesuai aturan agama," ucap Wicaksono dengan penuh keyakinan. "Papa mau kasih anak-anak apa memangnya? Bukannya dulu papa bilang mau ngasih Vonny rumah sama salah satu kantor cabang kalau dia sudah menikah?" tanya Sundari memastikan. Dia mulai resah saat Wicaksono membahas soal hibah. Pasalnya, dia ragu status Vonny sebenarnya setelah tah
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka
"Ya Allah, Rena! Ternyata semua gosip yang beredar itu benar!" pekik seseorang diantara kerumunan pengunjung. Ren amendelik saat tahu siapa yang berteriak dan kini jatuh pingsan di depan matanya itu. "Ibu! Ngapain ibu ke sini?!" teriaknya sembari berhamburan ke arah ibunya yang limbung. Azziz yang kini berdiri di sampingnya menatap tajam. Rahangnya mengeras. Dia benar-benar emosi melihat sepak terjang istrinya. Seolah tak ada kesempatan lagi, Azziz sudah muak dan tak ingin berkompromi lagi. Dia menyerah, apalagi saat tekad kuatnya untuk melunasi hutang demi membahagiakan istri justru dibalas dengan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti ini. Harga dirinya sebagai suami dan kepala rumah tangga seakan mati. Azziz benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Dia menyerah di pernikahannya yang menginjak di bulan ke enam. "Mau dibawa kemana, Mas?!" tukas Rena saat melihat Azziz membopong ibu mertuanya. "Minggir kamu! Urus saja bahagiamu sendiri! Puas-puasin sebelum kamu menyesal di kem
"Papa! Gila, ini selingkuhan papa?!" sentak perempuan bernama Tamara itu sembari menunjuk wajah Rena yang kini mulai memerah. Beberapa pengunjung mall mulai merekam keributan itu dengan handphone masing-masing. Rena benar-benar benci hal ini. Nyaris tiga bulan berhubungan dengan Pramono, tak pernah terbesit sedikit pun di benaknya akan mengalami hal memalukan seperti ini. "Papa benar-benar kelewatan. Lihat usianya, Pa! Seumuran aku!" oceh Tamara lagi. Dia menggeleng-geleng tak percaya. "Tamara ... dengerin papa dulu," ujar Pramono sembari menenangkan putri bungsunya. Pramono memiliki dua orang putri bernama Salsa dan Tamara. Saat ini istrinya terbaring di rumah karena stroke yang dideritanya selama setahun belakangan. "Dengerin apalagi, Pa? Papa mau beralasan apa? Jelas-jelas papa begitu mesra dengan perempuan jalang itu!" sentak Tamara lagi. "Tutup mulutmu!" tukas Rena menepis telunjuk Tamara yang tepat di depan wajahnya. "Heh! Tutup mulutku apa?! Jelas-jelas Lo cuma manfaati
Rena melirik jam tangannya yang berkilau di bawah cahaya lampu cafe. Dia duduk manis di pojokan, memainkan sedotan dalam segelas mocktail warna pink sambil sesekali membetulkan rambutnya."Maaf lama, Ren. Tadi agak macet." Suara berat dan dewasa terdengar dari belakang. Pramono, pria paruh baya dengan jas abu-abu yang necis, menyapa dengan senyum genit. Seperti biasa, mereka pun cipika-cipiki tiap kali bertemu. "Kamu telat dua puluh menit, Om. Aku sampai jamuran nunggu di sini." Rena merajuk, bibirnya manyun manja."Maaf dong, jalanan macet. Tapi lihat deh ... masa Om telat masih disambut sama wajah secantik ini?" Pram mencubit dagu Rena lembut. Rena hanya tertawa kecil.Mereka menikmati hidangan sambil sesekali beradu pandang. Beberapa pasang mata mulai melirik ke arah mereka. Usia mereka terlalu jauh dan kemesraan itu terasa janggal. Meski tak ada yang menegur dan seolah tak peduli, tapi tetap saja pandangan aneh dan tak biasa terlihat. Namun, Rena cuek saja. Dia tak peduli dengan
"Sayang, bubur kacang hijaunya dihabisin ya? Biar kamu nggak mual-mual lagi." Ken menyiapkan bubur di mangkok untuk istrinya. "Iya, Mas. Temani makan ya?" balas Hanum dengan senyum tipis. Hanum berusaha tetap tenang, meski beberapa menit lalu hatinya bergemuruh kesal, emosi dan muak. Beragam pesan yang dikirimkan oleh Clarissa benar-benar membuat moodnya nggak karuan. Namun, di depan Ken dia berusaha untuk tetap tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. "Sini, duduk!" pinta Ken sembari menarik kursi di sampingnya. Hanum mendekat lalu duduk di samping suaminya. "Habiskan selagi masih hangat." Lagi-lagi Hanum mengangguk. "Kamu juga ikut makan, Mas. Ayo." Hanum membuka sebungkus bubur lalu menyiapkannya untuk Ken. "Tadinya mau barengan aja sekalian nyuapin kamu, Sayang." "Barengan juga boleh. Sini Hanum yang nyuapin." Sepasang suami istri itu saling melempar senyum. Hanum menyuapi Ken dengan semangkok buburnya, sementara Ken menyuapi Hanum dengan bubur miliknya. Setelah bubur habis,