Raka memilih istirahat beberapa hari di rumah pasca tragedi itu, sementara Meira meminta Pak Broto untuk lebih mengawasi Aldo saat mengantar jemput sekolah. Sebagai ibu, ada firasat tak mengenakan yang menyusup di hatinya saat melihat ekspresi berbeda dari Dahlia. Hanya saja, dia tak ingin buruk sangka karena memang tak ada bukti di tangannya. "Mei ...." Panggilan Raka membuat langkah Meira terhenti. Dia membalikkan badan lalu menatap Raka yang melangkah pelan menuruni tangga. "Iya, Pak. Ada apa?" tanya Meira sopan. Sundari sering kali memintanya untuk bersikap biasa karena merasa tak enak hati dengan Adrian, hanya saja sikap Meira masih tetap sama seperti sebelumnya. Terlalu hormat pada keluarga Wicaksono seperti para asisten yang lainnya. Kesopanan dan ketulusan Meira itu pula yang membuat Sundari semakin jatuh hati. Wanita itu merasa jika Meira memang cocok menjadi ibu sambung Denada, cucunya. Berulang kali meminta Meira untuk membuka hati, tapi Meira hanya membalasnya dengan s
[Jangan bodoh! Sejak awal sudah kubilang kalau gagal aku nggak akan bayar sepeser pun kan? Aku nggak mau tahu, kali ini kamu harus berhasil. Jangan salah sasaran lagi kalau mau menerima upah seperti yang kujanjikan. Paham?!] Dahlia berdecak kesal saat membalas pesan-pesan yang masuk ke aplikasi hijaunya. Dia kembali mengumpat tiap kali mengingat kebodohan anak buahnya itu. Setelah membeli beberapa buah tangan untuk Raka dan Denada, Lia kembali menyetop taksi yang akan mengantarkannya ke rumah Wicaksono. Penampilannya kali ini benar-benar tertutup dengan hijab dan gamis panjang yang senada. Dahlia tersenyum tipis melihat penampilannya pada kaca jendela taksi yang kini berhenti di hadapannya. [Aku minta dua juta dulu untuk makan anak istriku. Mereka butuh makan dan tak tahu menahu soal kegagalanku mencelakakan kedua orang itu. Kirim segera, aku tunggu transferanmu saat ini juga!]Pesan dari anak buahnya itu benar-benar membuat mood Dahlia yang sebelumnya mulai membaik mendadak buruk
"Meira calon istri kamu?" tanya Erina gugup. Wanita itu menatap Sundari seolah ingin menginformasi apakah ucapan Raka benar adanya. "Iya, Tante. Saya berniat melamarnya setelah masa iddahnya selesai. Saya juga sudah tanya sama dia mau apa nggak menjadi istri saya dan Meira diam saja. Diamnya saya artikan mau," ujar Raka begitu yakin, tapi justru membuat Meira tersedak seketika. Sundari menatap Meira dengan senyum lebar. Wanita itu mengira jika ucapan Raka sepenuhnya benar, padahal nggak seperti itu cerita sebenarnya. "Kapan kamu tanya soal itu, Mas?" lirih Meira sembari meringis kecil saat Erina menatapnya heran. "Ken yang mewakiliku tempo hari di depan kamar atas. Kamu lupa?" tanya Raka sambil menatap lekat Meira yang masih kebingungan. Meira kembali mengingat kejadian waktu itu saat Ken mengatakan cinta dan menanyakan kesanggupan Meira menjadi istrinya. Kalimat yang Mei pikir meluncur dari lubuk hati laki-laki itu, tapi ternyata dia hanya mewakili kakaknya yang tak mampu mengun
"Kamu keterlaluan, Mas! Tega menuduhku seperti itu. Walau bagaimanapun Dee itu anak kandungku, makanya aku rindu dan ingin menemaninya setiap waktu." Dahlia mulai memainkan dramanya dengan terisak pelan. Meira melirik sekilas lalu kembali menunduk. "Menemaninya setiap waktu? Nggak salah dengar itu, Lia? Bahkan dulu kamu selalu bilang nggak ada waktu untuk Dee sekalipun hanya semenit. Sepertinya Raka benar. Kamu berubah sedrastis ini karena ada udang di balik batu. Ngaku!" sentak Sundari dengan tatapan tajam."Mama nggak bisa nuduh aku sembarangan gitu dong. Katanya suruh introspeksi dan berbenah diri, giliran aku agak perhatian sama Dee justru dicurigai. Sebenarnya mau mama dan Mas Raka gimana sih?!" Dahlia begitu kesal karena terus disudutkan. Rasanya dia juga ingin memberi mertuanya pelajaran juga supaya nggak semena-mena padanya. "Mama harap kamu beneran taubat, Lia. Bukan sekadar untuk mencari perhatian Raka kembali," ujar Sundari sembari melipat kedua tangannya ke dada. Erina
Dering handphone masih berdering nyaring. Raka mulai tak sabar ingin mendobrak pintu kamar Vonny saat adik seayahnya itu tak jua membuka pintu setelah diketuk berkali-kali. "Keluar kamu, Von!" perintah Raka yang mulai meninggikan volume suaranya. Dia berusaha membuka handle pintu, tapi terkunci dari dalam. Diketuknya lagi dan lagi sembari melihat layar handphonenya yang masih memanggil nomor itu. Jelas sudah, nomor yang selama ini meneror Erina memang milik Vonny. Dia tak bisa mengelak lagi karena dering handphone itu tepat berada di dalam kamarnya. "Von!" sentak Raka mulai meradang. Dia makin emosi karena tak ada jawaban apapun dari dalam kamar.Vonny begitu ketakutan saat keluar dari kamar mandi dan mendengar handphonenya berdering nyaring. Dia yang sedari tadi mendengarkan percekcokan dari kamarnya, tak menyangka jika Raka akan meneleponnya saat ini juga. Perempuan yang masih memakai piyama itu pun gugup. Dia buru-buru mengambil benda pipih di atas ranjang lalu berusaha mematik
"Soal Meira, kami yakin betul bagaimana sikapnya selama ini, Mbak. Dia perempuan yang baik dan tulus. Selama bekerja di sini, tak pernah sekalipun membuatku kecewa. Dia menyayangi Dee seperti anaknya sendiri. Dia juga menghormatiku dan Mas Wi. Sekalipun kini sudah tahu kalau dia anak Mas Adrian, tapi sikapnya masih tetap sama seperti sebelumnya. Kalem, anggun dan begitu sopan. Dia tak pernah jumawa atau merasa lebih," sambung Sundari panjang lebar membuat wajah Meira memerah karena malu. "Ibu terlalu berlebihan memuji. Jangan begitu, Bu. Saya nggak sebaik itu," balas Meira dengan senyum manisnya. Sundari tersenyum, begitu pula Erina yang kini bersirobok dengannya, sementara Meira cukup kaget saat melihat Raka fokus menatapnya tanpa kedip. Laki-laki yang duduk tak jauh darinya itu mendadak salah tingkah lalu buru-buru mengalihkan pandangannya. "Assalamualaikum." Salam terdengar saat Wicaksono masuk ke rumah. "Wa'alaikumsalam, Pa." Sundari menyambut Wicaksono lalu mencium punggung t
"Ya Allah, Vonny!" teriak Sundari yang shock melihat dan mendengar dentuman cukup keras itu. Meira yang sebelumnya ikut mengejar Vonny pun mematung di samping trotoar saat melihat tragedi itu terjadi, sementara dua satpam yang berjaga segera ke lokasi. Melihat Sundari luruh di tepi jalan, Meira buru-buru memapah wanita itu kembali ke rumah. Di ruang keluarga tampak Wicaksono yang masih berusaha menenangkan dirinya setelah melihat sikap keterlaluan anak kesayangannya itu. Erina pun berusaha menenangkan dan berkali-kali bilang jika dia sudah memaafkan Vonny dan tak akan memperpanjang masalah itu. Namun, Wicaksono masih tak enak hati, malu dan merasa gagal mendidik putrinya dengan baik sampai melakukan hal-hal di luar nalarnya seperti itu. "Mama kenapa, Mei?" tanya Raka yang beranjak dari sofa lalu membantunya memapah mamanya. "Maaf, Pak Wi. Non Vonny kecelakaan di tikungan." Kabar dari Agus, salah satu satpam keluarga itu membuat Wicaksono semakin shock. Tak hanya dia, tapi juga Ra
[Sebenarnya bukan itu yang ingin kutekankan, Mei. Cuma sekarang aku tahu, jika kita disakiti seseorang, sekalipun tak pernah membalas maka Allah membalas kedzaliman mereka agar mereka jera dan menyadari kesalahan-kesalahan yang pernah mereka lakukan sebelumnya. Jika mereka berpikir sih, cuma kalau nggak ya sama aja bodong. Aku dengar dari tetangga-tetangganya kalau mereka sekarang malu dan nggak pamer lagi seperti dulu. Biar kapok sudah nyakiti kamu bahkan tega usir kamu dan Aldo dari rumah tanpa bawa barang apapun. Kejam!] Meira menghela napas panjang membaca pesan dari Una lagi. Tak banyak balasan yang diketiknya. Meira hanya berharap jika keluarga mantan suaminya itu kini menyadari kesalahan-kesalahan mereka dan tak lagi semena-mena pada orang lain bahkan pakai fitnah segala. [Jujur aku lega, Na. Bukan karena Lina hamil di luar nikah tanpa tanggungjawab kekasihnya, hanya saja aku berharap mereka bisa introspeksi. Intinya sadar diri jika semua kedzaliman mereka akan dapat balasan
Ken masih mematung dengan perasaan campur aduk, sementara Hanum kembali masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya."Sayang, kamu cantik banget pakai itu. Ayo keluar," lirih Ken berusaha membuat Hanum lebih nyaman."Malu, Mas." Hanum membalas singkat. Dia membasuh wajahnya yang tadi merona dengan air kran. "Ngapain malu sama suami sendiri? Malu itu kalau dilihat orang lain, Sayang.""Tetap saja malu, Mas." "Kalau begitu, ganti piyama biasa saja, Sayang. Jangan memaksakan diri kalau memang kamu belum siap. Tenang saja, aku juga nggak akan memaksamu kok." Ken kembali berujar lirih. Mendengar ucapan Ken yang tulus itu, Hanum kembali menghela napas panjang. Sebenarnya dia ingin melayani suaminya dengan baik, tapi rasa malu itu ternyata lebih besar menyergap batinnya. Setelah memejamkan kedua matanya, Hanum menghela napas panjang. Dia mengerjap pelan lalu membuka pintu perlahan. Tak ada Ken di sana. Sepertinya jauh lebih aman dan membuat Hanum melangkah perlahan menuju ranjang. Kamar i
"Mas, Ken. Maaf ganggu malam-malam. Saya benar-benar terdesak dan nggak tahu minta bantuan siapa lagi selain Mas Ken." Ken sengaja menyalakan speaker handphonenya agar Hanum juga bisa mendengar obrolannya dengan penelepon itu. Ken tak ingin Hanum kembali curiga tentangnya atau berpikir macam-macam seperti sebelumnya. Melihat sikap Ken itu, Hanum kembali terharu dan bersyukur memiliki suami seperti Ken. Dia yang berusaha menepis pikiran-pikiran buruk istrinya. "Nggak apa-apa, Mir. Mau minta tolong apa memangnya?" tanya Ken kemudian. Dari seberang, terdengar isak seseorang. Sepertinya penelepon itu sedang dilanda masalah berat, makanya berani menelepon Ken di jam yang tak wajar seperti itu. Jarum jam nyaris menunjuk angka sepuluh malam. Biasanya Ken tak akan menerima panggilan semalam itu. Hanya saja, dia penasaran kenapa tetangga yang tak terlalu jauh dari rumahnya itu tiba-tiba menelepon. "Adik saya kecelakaan, Mas. Sekarang masih di IGD. Saya butuh pegangan uang lebih untuk biaya
Raka dan Meira sedang asyik menikmati malam indahnya. Di kamar lain, Ken pun ingin sekali menikmati malam pertamanya yang tertunda. Hanya saja, dia tak ingin memaksa Hanum untuk melayaninya. Dia ingin Hanum suka rela menyerahkan dirinya pada Ken. Meski sering menggoda, Ken tak pernah berniat untuk merampas apapun yang dimiliki Hanum. Sekalipun memberi nafkah batin untuk suami adalah kewajibannya, tapi Ken sangat memahami perasaan Hanum saat ini. Dia memilih menunggu, meski entah sampai kapan. "Mas, piyamanya sudah Hanum siapkan di sofa ya?" ujar Hanum saat Ken masih di kamar mandi. "Oke, Sayang. Makasih ya?" Hanum mengiyakan lalu kembali duduk di tepi ranjang. Dia mengambil handphone di tas lalu mengetikkan pesan untuk bapaknya. [Maaf Hanum baru kasih kabar, Pak. Hanum sama Mas Ken sudah sampai di Jogja. Alhamdulillah, keluarga Mas Ken menerima Hanum dengan baik, Pak. Mereka tak mempermasalahkan bagaimana pendidikan ataupun kehidupan Hanum di Jakarta. Mereka percaya pilihan Mas K
"Ada apa, Sayang? Kenapa ekspresimu seperti itu? Ada yang salah?" tanya Raka saat keluar dari kamar mandi. Dia menangkap keanehan di wajah istrinya yang tengah bersandar di dinding ranjang kamarnya. "Ini, Mas. Tiba-tiba dapat chat dari Lina," balas Meira lirih. Dia menoleh sekilas lalu kembali menatap layar handphonenya. Meira membaca ulang pesan yang dikirimkan mantan adik iparnya itu. Tiap kali mengingat Lina, tiap itu pula hanya kenangan buruk yang didapatkannya. Lina yang selalu meremehkan dan memfitnahnya berulang kali saat masih berstatus sebagai iparnya dulu. Bahkan dia merendahkan harga diri Meira di depan banyak orang, menuduhnya selingkuh dan banyak hal yang membuatnya malu dan tertekan. Detik ini, Meira tak menyangka akan mendapatkan pesan seperti itu. Pesan yang benar-benar mengejutkan baginya. "Lina ... Lina siapa, Sayang?" tanya Raka kemudian. Dia tak ingat jika Baim memiliki adik bernama Lina. Maklum, mereka bertemu cuma dua atau tiga kali, salah satunya saat hari
Hanum masih berdiri terpaku di depan lemari besar yang baru saja dibuka oleh Ken. Lemari itu terisi penuh dengan deretan pakaian yang semuanya terlihat mahal dan berkelas. Warna-warnanya lembut dan elegan, sesuai dengan seleranya. Hanum mengerutkan kening, merasa bingung dan kaget sekaligus."Mas ... ini semua apa?" tanyanya dengan suara nyaris berbisik.Ken tersenyum lebar, tampak puas melihat ekspresi istrinya. Ia bersandar di pintu lemari sambil melipat kedua tangannya di dada. "Ini untuk kamu, Sayang." Hanum menatap Ken tak percaya. "Pakaian sebanyak ini, Mas? Buat apa?" tanyanya lagi masih dengan keheranan yang sama. Ken berjalan mendekat, mengusap lembut bahu Hanum. "Hanum, kamu itu istriku. Aku ingin kamu merasa istimewa. Selama ini aku belum pernah memberikan pakaian yang benar-benar layak untukmu kan? Makanya, sekarang aku siapkan semuanya. Aku amati warna kesukaanmu dan inilah hasilnya." Ken tersenyum lebar. Hanum menggeleng pelan. "Tapi ini terlalu berlebihan, Mas. Lih
Hanum menatap pintu besar di hadapannya dengan ragu. Tangannya terasa gemetar dan pikirannya dipenuhi berbagai dugaan. Ken, suaminya, berdiri di sebelahnya, memegang gagang pintu. Tanpa berkata apa-apa, Ken memutar kunci, lalu membuka pintu itu perlahan."Masuk, Sayang," katanya singkat.Hanum melangkah masuk dengan hati-hati. Begitu matanya menangkap isi ruangan, ia tertegun. Kamar itu besar, mungkin empat kali lipat kamarnya di Jakarta. Lantainya berlapis marmer mengilap dan dinding-dindingnya dihiasi aksen kayu dengan pencahayaan LED yang modern. Di sudut ruangan, sebuah tempat tidur king-size dengan seprai putih bersih berdiri megah, dikelilingi oleh lampu gantung minimalis.Ada sofa abu-abu lembut dengan meja kaca di depannya, rak dinding penuh buku dan ornamen mahal. Di sisi lain, ada lemari pakaian besar dengan pintu kaca buram yang menampilkan deretan pakaian rapi. Sebuah meja kerja dengan aksen emas tampak berdiri megah di dekat jendela besar yang menghadap taman luas, lengka
Hanum duduk dengan kedua tangannya di pangkuan, menggenggam erat ujung kerudungnya. Di hadapannya, suami dan mama mertuanya berbincang santai, sementara kakak iparnya, Raka, sesekali menyisipkan komentar. Meira pun tak mau kalah. Terkadang dia ikut menimpali obrolan. Semua terasa begitu hangat dan menyenangkan. Namun, kedatangan lelaki dengan rambut nyaris penuh uban itu membuat Hanum kembali diterpa gelisah. Dia bertubuh tegap dengan kemeja putih yang masih rapi meski seharian dipakai bekerja. Wajahnya tegas, dengan alis tebal dan sorot mata yang tajam. Hanum langsung menunduk sedikit, mencoba menghindari tatapannya."Papa," sapa Ken sambil berdiri. "Sudah pulang?" sambungnya sembari mencium punggung tangan papanya. Wicaksono, papanya Ken pun mengangguk kecil. Sorot matanya masih tertuju pada Hanum. Wajahnya tetap datar, tak ada senyuman, membuat Hanum semakin merasa terintimidasi."Ini Hanum, Pa," lanjut Ken, memperkenalkan. "Istri aku."Wicaksono berjalan mendekat, berdiri tegak
"Mas, apa masih jauh?" tanya Hanum saat Ken baru saja menyelesaikan obrolannya dengan klien via handphone. Ken menoleh lalu menggeleng pelan. "Sebentar lagi, Sayang. Mungkin sepuluh menitan. Kenapa?" tanya Ken menatap lembut wajah istrinya yang kini terlihat gusar. "Hanum deg-deg an, Mas," ujarnya lirih. Hanum menghela napas panjang. Jemarinya sibuk bermain dengan ujung tas selempangnya yang kecil. Pandangannya sesekali melirik ke luar jendela mobil, memperhatikan pepohonan yang berjajar rapi di sepanjang jalan menuju rumah Ken. Dia membuka sedikit kaca jendela. Kebetulan suasana sedikit mendung, membuat udara di luar terasa berbeda--lebih sejuk dan tenang. Namun, di dalam dirinya, suasana begitu bergejolak. Ini adalah pertama kalinya Hanum akan bertemu keluarga suaminya. "Sayang, jangan dibuat cemas atau takut. Percayalah, kamu pasti bakal suka sama mereka," kata Ken sambil melingkarkan lengan kanannya ke pinggang Hanum. "Hanum juga sudah berusaha tenang, Mas. Tapi,
"Sudah pernah ke Jogja, Dek?" tanya Ken setelah sampai di kota kelahirannya itu. Hanum menggeleng pelan. "Belum pernah?" tanya Laki-laki itu lagi. "Belum, Mas. Dulu saat SMA ada study tour ke Jogja saja Hanum nggak ikut karena nggak ada biaya. Hanum ini beneran perempuan rumahan, nggak pernah kemana-mana. Tiap hari paling ke sekolah, ke pasar, ke warung gitu-gitu doang. Makanya, pantaslah kalau Mbak Rena selalu nyebut Hanum perempuan kampungan. Memang kenyataannya begitu," balas Hanum dengan senyum tipis. Senyum yang menyimpan beragam kepahitan hidupnya. "Kasihan istriku ini. Sudah nggak apa-apa. Itu bagian dari masa lalu. Mulai sekarang, kamu akan kuajak jalan-jalan, belanja, makan-makan, pokoknya apapun yang kamu mau bilang saja ya?" balas Ken sembari mengusap pelan puncak kepala istrinya. Kedua mata Hanum kembali berkaca. Hanum berpikir, entah kebaikan apa yang pernah dilakukannya sampai bisa memiliki suami seperti Ken. Dia benar-benar tak menyangka jika lelaki yang sebelumnya