"Aku mencintaimu, Meira. Apakah kamu mau menjadi pendamping hidupku." Suara itu akhirnya benar-benar terdengar. Raka membulatkan kedua matanya saat melihat lelaki itu tepat berada di belakang Meira. Ken. Dia hanya meringis kecil setelah mengatakan kalimat ajaib itu di depan Meira dan kakak kandungnya sendiri. Meira tercekat, dia tak berani membalikkan badan, bahkan sekadar bergerak saja terasa begitu kaku. Meski tahu itu suara siapa, tapi Meira benar-benar tak menyangka jika Ken mengucapkan kata-kata itu padanya. Meira benar-benar shock dan tak tahu harus berbuat apa. "Ken?" lirih Raka dengan mata membulat. "Hei, Mei. Kamu dengar kata-kataku tadi kan?" tanya Ken saat berdiri di depan Meira. Mei yang sedari tadi menunduk kini mulai mendongak meski terasa berat dan malu. Senyum tipis pun terlukis di bibir Meira saat dia dan Ken saling tatap beberapa saat."Ken ...." Lagi-lagi Raka memanggilnya lirih.Raka benar-benar tak menyangka jika adik lelakinya itu menikamnya dari belakang. Ma
Dahlia sudah siap dengan tunik dan celana panjangnya. Demi mendapatkan perhatian Dee dan cinta Raka kembali, perempuan itu berusaha tampil tertutup meski tanpa hijab seperti yang selalu dipakai Meira. Setidaknya dia menanggalkan dres selututnya lebih dulu. Berusaha tampil anggun tanpa memamerkan auratnya karena dia tahu jika Raka memang tak menyukai pakaiannya yang selalu terbuka. Saat menikah dulu, Raka sudah berusaha menasehati dan membelikan pakaian-pakaian panjang untuk Dahlia, hanya saja perempuan itu menolak keras karena menganggap pakaian seperti itu terlalu kampungan dan nggak modis. Dia malu dengan teman-teman seprofesinya yang sengaja memperlihatkan kemolekan tubuh dan kaki-kaki jenjang mereka. Namun, lagi-lagi kali ini Dahlia terpaksa mengesampingkan egonya demi Dee dan Raka, tak terkecuali mantan mertuanya. Dahlia tak ingin mereka selalu memuji kelembutan dan keanggunan Meira. Dahlia cemburu karena sejak dulu tak pernah mendapatkan pujian itu dari ibu mertuanya.[Mas, ak
"Kenapa nggak jadi belanja? Kartu kredit suamiku nggak bisa dipakai?" Pertanyaan itu membuat Dahlia menghentikan langkahnya. Dia pun membalikkan badan dan tercekat seketika saat melihat sepasang suami istri yang kini berdiri di hadapannya. Renita tampak menggamit lengan suaminya, sementara Gilang hanya pasrah dan menunduk lesu tanpa ga irah."Kenapa diam? Bukannya dulu kamu begitu membanggakan dirimu jika kamu jauh lebih baik dibandingkan aku? Kamu yang lebih memahami suamiku, bisa membuatnya bahagia dan memuaskannya? Buktinya apa sekarang, Lia? Suamiku lebih memilih keluarganya dibandingkan perempuan sepertimu," ucap Renita lagi dengan tatapan tajam. "Aku sudah menikah siri dengan Mas Gilang dan aku berhak mendapatkan nafkah darinya. Nggak salah dong aku pakai kartu kreditnya? Aku bukan perempuan panggilan atau wanita penghiburnya saja, tapi sudah sah secara agama sebagai istrinya, Mbak. Kalaupun kamu mengekang Mas Gilang untuk memberi nafkah padaku, itu dosamu. Kamu yang tak tahu
"Silakan, Mas. Kalau memang kamu lebih memilih dia yang bisa memuaskanmu, aku nggak akan melarang. Percuma aku larang, toh kamu bisa melakukan apapun sesuai keinginanmu. Silakan bersama perempuan itu, aku yang akan urus perceraian kita," ujar Renita dengan ekspresi serius. "Iya, Mas. Kita bisa memperbaiki hubungan kita yang sempat retak ini. Kita buka usaha bersama dan -- "Tinggalkan semua fasilitas yang selama ini diberikan papaku dan pergilah dengan baju yang melekat di badanmu saja. Aku akan transfer uang sebagai pesangonmu. Satu hal lagi, tak akan kubiarkan kamu membawa seperakpun uang papa karena kamu sudah terlalu banyak menghabiskannya untuk hura-hura. Mengerti?" ucap Renita pada suaminya yang kini masih diliputi kegelisahan. Dahlia yang sempat berpikir akan menikmati harta gono-gini suaminya, mendadak kehilangan selera bicara setelah mendengar ancaman Renita. Dahlia merasa jika Renita benar-benar licik karena tak memberi kesempatan suaminya untuk menikmati harta yang dia pu
"Om nggak apa-apa?" tanya Aldo ketakutan. Dia masih gemetaran dalam dekapan Raka yang berusaha menahan perih di kakinya. Motor itu berhasil menyerempet kakinya saat ingin melindungi Aldo. Detik ini dia tergeletak di trotoar bersama Aldo yang masih dalam pelukannya. "Nggak apa-apa, Al. Kamu gimana? Ada yang sakit atau terluka?" tanya Raka setelah dibantu beberapa orang untuk berdiri. Raka meneliti badan Aldo dari ujung kaki sampai kepala, khawatir jika ada yang cidera. "Nggak, Om. Saya nggak apa-apa," balas Aldo sembari meneliti lengannya. Raka kembali memeriksa lengan Aldo. Raka mengucap Hamdallah saat tak menemukan luka atau cidera di tubuh anak lelaki itu. "Kaki Om Raka berdarah!" pekik Aldo saat melihat kaki kanan Raka yang terluka. Celana bagian bawah koyak dan darah mulai menetes dengan luka menganga. Raka masih berusaha menahan perih yang mulai terasa. Beberapa orang membantunya duduk, sementara pengendara motor itu mengucapkan maaf berkali-kali karena nggak sengaja, katany
"Ya Allah, Raka!" pekik Sundari setelah sampai kamar anak sulungnya itu. Meira menatap Raka khawatir lalu memeluk Aldo yang berlari ke arahnya. "Kok bisa? Pelakunya gimana? Dia tanggungjawab atau lari?" cecar Sundari sembari memeriksa kaki dan lengan Raka. Meira pun memeriksa Aldo yang tak terluka sedikit pun karena tadi berada dalam dekapan Raka. Hanya seragam sekolahnya saja yang sedikit terkena darah dari kaki Raka. "Bunda, maaf ya sudah buat bunda khawatir," lirih Aldo dengan mata berkaca. Aldo terdiam sejenak lalu buru-buru menyeka kedua matanya yang terlanjur basah dan berusaha tegar. Anak laki-laki itu teringat kembali pesan Raka agar berhenti menangis jika tak ingin air matanya habis. "Nggak apa-apa, Sayang. Yang penting kamu nggak kenapa-kenapa," balas Meira dengan senyum tipis sembari membingkai wajah jagoan kecilnya. "Aldo nggak apa-apa karena Om Raka buru-buru memeluk Aldo, Bun. Kalau nggak, Aldo pasti yang tertabrak motor yang melaju kencang itu," ucap Aldo jujur mem
Raka memilih istirahat beberapa hari di rumah pasca tragedi itu, sementara Meira meminta Pak Broto untuk lebih mengawasi Aldo saat mengantar jemput sekolah. Sebagai ibu, ada firasat tak mengenakan yang menyusup di hatinya saat melihat ekspresi berbeda dari Dahlia. Hanya saja, dia tak ingin buruk sangka karena memang tak ada bukti di tangannya. "Mei ...." Panggilan Raka membuat langkah Meira terhenti. Dia membalikkan badan lalu menatap Raka yang melangkah pelan menuruni tangga. "Iya, Pak. Ada apa?" tanya Meira sopan. Sundari sering kali memintanya untuk bersikap biasa karena merasa tak enak hati dengan Adrian, hanya saja sikap Meira masih tetap sama seperti sebelumnya. Terlalu hormat pada keluarga Wicaksono seperti para asisten yang lainnya. Kesopanan dan ketulusan Meira itu pula yang membuat Sundari semakin jatuh hati. Wanita itu merasa jika Meira memang cocok menjadi ibu sambung Denada, cucunya. Berulang kali meminta Meira untuk membuka hati, tapi Meira hanya membalasnya dengan s
[Jangan bodoh! Sejak awal sudah kubilang kalau gagal aku nggak akan bayar sepeser pun kan? Aku nggak mau tahu, kali ini kamu harus berhasil. Jangan salah sasaran lagi kalau mau menerima upah seperti yang kujanjikan. Paham?!] Dahlia berdecak kesal saat membalas pesan-pesan yang masuk ke aplikasi hijaunya. Dia kembali mengumpat tiap kali mengingat kebodohan anak buahnya itu. Setelah membeli beberapa buah tangan untuk Raka dan Denada, Lia kembali menyetop taksi yang akan mengantarkannya ke rumah Wicaksono. Penampilannya kali ini benar-benar tertutup dengan hijab dan gamis panjang yang senada. Dahlia tersenyum tipis melihat penampilannya pada kaca jendela taksi yang kini berhenti di hadapannya. [Aku minta dua juta dulu untuk makan anak istriku. Mereka butuh makan dan tak tahu menahu soal kegagalanku mencelakakan kedua orang itu. Kirim segera, aku tunggu transferanmu saat ini juga!]Pesan dari anak buahnya itu benar-benar membuat mood Dahlia yang sebelumnya mulai membaik mendadak buruk
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka
"Ya Allah, Rena! Ternyata semua gosip yang beredar itu benar!" pekik seseorang diantara kerumunan pengunjung. Ren amendelik saat tahu siapa yang berteriak dan kini jatuh pingsan di depan matanya itu. "Ibu! Ngapain ibu ke sini?!" teriaknya sembari berhamburan ke arah ibunya yang limbung. Azziz yang kini berdiri di sampingnya menatap tajam. Rahangnya mengeras. Dia benar-benar emosi melihat sepak terjang istrinya. Seolah tak ada kesempatan lagi, Azziz sudah muak dan tak ingin berkompromi lagi. Dia menyerah, apalagi saat tekad kuatnya untuk melunasi hutang demi membahagiakan istri justru dibalas dengan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti ini. Harga dirinya sebagai suami dan kepala rumah tangga seakan mati. Azziz benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Dia menyerah di pernikahannya yang menginjak di bulan ke enam. "Mau dibawa kemana, Mas?!" tukas Rena saat melihat Azziz membopong ibu mertuanya. "Minggir kamu! Urus saja bahagiamu sendiri! Puas-puasin sebelum kamu menyesal di kem
"Papa! Gila, ini selingkuhan papa?!" sentak perempuan bernama Tamara itu sembari menunjuk wajah Rena yang kini mulai memerah. Beberapa pengunjung mall mulai merekam keributan itu dengan handphone masing-masing. Rena benar-benar benci hal ini. Nyaris tiga bulan berhubungan dengan Pramono, tak pernah terbesit sedikit pun di benaknya akan mengalami hal memalukan seperti ini. "Papa benar-benar kelewatan. Lihat usianya, Pa! Seumuran aku!" oceh Tamara lagi. Dia menggeleng-geleng tak percaya. "Tamara ... dengerin papa dulu," ujar Pramono sembari menenangkan putri bungsunya. Pramono memiliki dua orang putri bernama Salsa dan Tamara. Saat ini istrinya terbaring di rumah karena stroke yang dideritanya selama setahun belakangan. "Dengerin apalagi, Pa? Papa mau beralasan apa? Jelas-jelas papa begitu mesra dengan perempuan jalang itu!" sentak Tamara lagi. "Tutup mulutmu!" tukas Rena menepis telunjuk Tamara yang tepat di depan wajahnya. "Heh! Tutup mulutku apa?! Jelas-jelas Lo cuma manfaati
Rena melirik jam tangannya yang berkilau di bawah cahaya lampu cafe. Dia duduk manis di pojokan, memainkan sedotan dalam segelas mocktail warna pink sambil sesekali membetulkan rambutnya."Maaf lama, Ren. Tadi agak macet." Suara berat dan dewasa terdengar dari belakang. Pramono, pria paruh baya dengan jas abu-abu yang necis, menyapa dengan senyum genit. Seperti biasa, mereka pun cipika-cipiki tiap kali bertemu. "Kamu telat dua puluh menit, Om. Aku sampai jamuran nunggu di sini." Rena merajuk, bibirnya manyun manja."Maaf dong, jalanan macet. Tapi lihat deh ... masa Om telat masih disambut sama wajah secantik ini?" Pram mencubit dagu Rena lembut. Rena hanya tertawa kecil.Mereka menikmati hidangan sambil sesekali beradu pandang. Beberapa pasang mata mulai melirik ke arah mereka. Usia mereka terlalu jauh dan kemesraan itu terasa janggal. Meski tak ada yang menegur dan seolah tak peduli, tapi tetap saja pandangan aneh dan tak biasa terlihat. Namun, Rena cuek saja. Dia tak peduli dengan
"Sayang, bubur kacang hijaunya dihabisin ya? Biar kamu nggak mual-mual lagi." Ken menyiapkan bubur di mangkok untuk istrinya. "Iya, Mas. Temani makan ya?" balas Hanum dengan senyum tipis. Hanum berusaha tetap tenang, meski beberapa menit lalu hatinya bergemuruh kesal, emosi dan muak. Beragam pesan yang dikirimkan oleh Clarissa benar-benar membuat moodnya nggak karuan. Namun, di depan Ken dia berusaha untuk tetap tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. "Sini, duduk!" pinta Ken sembari menarik kursi di sampingnya. Hanum mendekat lalu duduk di samping suaminya. "Habiskan selagi masih hangat." Lagi-lagi Hanum mengangguk. "Kamu juga ikut makan, Mas. Ayo." Hanum membuka sebungkus bubur lalu menyiapkannya untuk Ken. "Tadinya mau barengan aja sekalian nyuapin kamu, Sayang." "Barengan juga boleh. Sini Hanum yang nyuapin." Sepasang suami istri itu saling melempar senyum. Hanum menyuapi Ken dengan semangkok buburnya, sementara Ken menyuapi Hanum dengan bubur miliknya. Setelah bubur habis,