Dahlia sudah siap dengan tunik dan celana panjangnya. Demi mendapatkan perhatian Dee dan cinta Raka kembali, perempuan itu berusaha tampil tertutup meski tanpa hijab seperti yang selalu dipakai Meira. Setidaknya dia menanggalkan dres selututnya lebih dulu. Berusaha tampil anggun tanpa memamerkan auratnya karena dia tahu jika Raka memang tak menyukai pakaiannya yang selalu terbuka. Saat menikah dulu, Raka sudah berusaha menasehati dan membelikan pakaian-pakaian panjang untuk Dahlia, hanya saja perempuan itu menolak keras karena menganggap pakaian seperti itu terlalu kampungan dan nggak modis. Dia malu dengan teman-teman seprofesinya yang sengaja memperlihatkan kemolekan tubuh dan kaki-kaki jenjang mereka. Namun, lagi-lagi kali ini Dahlia terpaksa mengesampingkan egonya demi Dee dan Raka, tak terkecuali mantan mertuanya. Dahlia tak ingin mereka selalu memuji kelembutan dan keanggunan Meira. Dahlia cemburu karena sejak dulu tak pernah mendapatkan pujian itu dari ibu mertuanya.[Mas, ak
"Kenapa nggak jadi belanja? Kartu kredit suamiku nggak bisa dipakai?" Pertanyaan itu membuat Dahlia menghentikan langkahnya. Dia pun membalikkan badan dan tercekat seketika saat melihat sepasang suami istri yang kini berdiri di hadapannya. Renita tampak menggamit lengan suaminya, sementara Gilang hanya pasrah dan menunduk lesu tanpa ga irah."Kenapa diam? Bukannya dulu kamu begitu membanggakan dirimu jika kamu jauh lebih baik dibandingkan aku? Kamu yang lebih memahami suamiku, bisa membuatnya bahagia dan memuaskannya? Buktinya apa sekarang, Lia? Suamiku lebih memilih keluarganya dibandingkan perempuan sepertimu," ucap Renita lagi dengan tatapan tajam. "Aku sudah menikah siri dengan Mas Gilang dan aku berhak mendapatkan nafkah darinya. Nggak salah dong aku pakai kartu kreditnya? Aku bukan perempuan panggilan atau wanita penghiburnya saja, tapi sudah sah secara agama sebagai istrinya, Mbak. Kalaupun kamu mengekang Mas Gilang untuk memberi nafkah padaku, itu dosamu. Kamu yang tak tahu
"Silakan, Mas. Kalau memang kamu lebih memilih dia yang bisa memuaskanmu, aku nggak akan melarang. Percuma aku larang, toh kamu bisa melakukan apapun sesuai keinginanmu. Silakan bersama perempuan itu, aku yang akan urus perceraian kita," ujar Renita dengan ekspresi serius. "Iya, Mas. Kita bisa memperbaiki hubungan kita yang sempat retak ini. Kita buka usaha bersama dan -- "Tinggalkan semua fasilitas yang selama ini diberikan papaku dan pergilah dengan baju yang melekat di badanmu saja. Aku akan transfer uang sebagai pesangonmu. Satu hal lagi, tak akan kubiarkan kamu membawa seperakpun uang papa karena kamu sudah terlalu banyak menghabiskannya untuk hura-hura. Mengerti?" ucap Renita pada suaminya yang kini masih diliputi kegelisahan. Dahlia yang sempat berpikir akan menikmati harta gono-gini suaminya, mendadak kehilangan selera bicara setelah mendengar ancaman Renita. Dahlia merasa jika Renita benar-benar licik karena tak memberi kesempatan suaminya untuk menikmati harta yang dia pu
"Om nggak apa-apa?" tanya Aldo ketakutan. Dia masih gemetaran dalam dekapan Raka yang berusaha menahan perih di kakinya. Motor itu berhasil menyerempet kakinya saat ingin melindungi Aldo. Detik ini dia tergeletak di trotoar bersama Aldo yang masih dalam pelukannya. "Nggak apa-apa, Al. Kamu gimana? Ada yang sakit atau terluka?" tanya Raka setelah dibantu beberapa orang untuk berdiri. Raka meneliti badan Aldo dari ujung kaki sampai kepala, khawatir jika ada yang cidera. "Nggak, Om. Saya nggak apa-apa," balas Aldo sembari meneliti lengannya. Raka kembali memeriksa lengan Aldo. Raka mengucap Hamdallah saat tak menemukan luka atau cidera di tubuh anak lelaki itu. "Kaki Om Raka berdarah!" pekik Aldo saat melihat kaki kanan Raka yang terluka. Celana bagian bawah koyak dan darah mulai menetes dengan luka menganga. Raka masih berusaha menahan perih yang mulai terasa. Beberapa orang membantunya duduk, sementara pengendara motor itu mengucapkan maaf berkali-kali karena nggak sengaja, katany
"Ya Allah, Raka!" pekik Sundari setelah sampai kamar anak sulungnya itu. Meira menatap Raka khawatir lalu memeluk Aldo yang berlari ke arahnya. "Kok bisa? Pelakunya gimana? Dia tanggungjawab atau lari?" cecar Sundari sembari memeriksa kaki dan lengan Raka. Meira pun memeriksa Aldo yang tak terluka sedikit pun karena tadi berada dalam dekapan Raka. Hanya seragam sekolahnya saja yang sedikit terkena darah dari kaki Raka. "Bunda, maaf ya sudah buat bunda khawatir," lirih Aldo dengan mata berkaca. Aldo terdiam sejenak lalu buru-buru menyeka kedua matanya yang terlanjur basah dan berusaha tegar. Anak laki-laki itu teringat kembali pesan Raka agar berhenti menangis jika tak ingin air matanya habis. "Nggak apa-apa, Sayang. Yang penting kamu nggak kenapa-kenapa," balas Meira dengan senyum tipis sembari membingkai wajah jagoan kecilnya. "Aldo nggak apa-apa karena Om Raka buru-buru memeluk Aldo, Bun. Kalau nggak, Aldo pasti yang tertabrak motor yang melaju kencang itu," ucap Aldo jujur mem
Raka memilih istirahat beberapa hari di rumah pasca tragedi itu, sementara Meira meminta Pak Broto untuk lebih mengawasi Aldo saat mengantar jemput sekolah. Sebagai ibu, ada firasat tak mengenakan yang menyusup di hatinya saat melihat ekspresi berbeda dari Dahlia. Hanya saja, dia tak ingin buruk sangka karena memang tak ada bukti di tangannya. "Mei ...." Panggilan Raka membuat langkah Meira terhenti. Dia membalikkan badan lalu menatap Raka yang melangkah pelan menuruni tangga. "Iya, Pak. Ada apa?" tanya Meira sopan. Sundari sering kali memintanya untuk bersikap biasa karena merasa tak enak hati dengan Adrian, hanya saja sikap Meira masih tetap sama seperti sebelumnya. Terlalu hormat pada keluarga Wicaksono seperti para asisten yang lainnya. Kesopanan dan ketulusan Meira itu pula yang membuat Sundari semakin jatuh hati. Wanita itu merasa jika Meira memang cocok menjadi ibu sambung Denada, cucunya. Berulang kali meminta Meira untuk membuka hati, tapi Meira hanya membalasnya dengan s
[Jangan bodoh! Sejak awal sudah kubilang kalau gagal aku nggak akan bayar sepeser pun kan? Aku nggak mau tahu, kali ini kamu harus berhasil. Jangan salah sasaran lagi kalau mau menerima upah seperti yang kujanjikan. Paham?!] Dahlia berdecak kesal saat membalas pesan-pesan yang masuk ke aplikasi hijaunya. Dia kembali mengumpat tiap kali mengingat kebodohan anak buahnya itu. Setelah membeli beberapa buah tangan untuk Raka dan Denada, Lia kembali menyetop taksi yang akan mengantarkannya ke rumah Wicaksono. Penampilannya kali ini benar-benar tertutup dengan hijab dan gamis panjang yang senada. Dahlia tersenyum tipis melihat penampilannya pada kaca jendela taksi yang kini berhenti di hadapannya. [Aku minta dua juta dulu untuk makan anak istriku. Mereka butuh makan dan tak tahu menahu soal kegagalanku mencelakakan kedua orang itu. Kirim segera, aku tunggu transferanmu saat ini juga!]Pesan dari anak buahnya itu benar-benar membuat mood Dahlia yang sebelumnya mulai membaik mendadak buruk
"Meira calon istri kamu?" tanya Erina gugup. Wanita itu menatap Sundari seolah ingin menginformasi apakah ucapan Raka benar adanya. "Iya, Tante. Saya berniat melamarnya setelah masa iddahnya selesai. Saya juga sudah tanya sama dia mau apa nggak menjadi istri saya dan Meira diam saja. Diamnya saya artikan mau," ujar Raka begitu yakin, tapi justru membuat Meira tersedak seketika. Sundari menatap Meira dengan senyum lebar. Wanita itu mengira jika ucapan Raka sepenuhnya benar, padahal nggak seperti itu cerita sebenarnya. "Kapan kamu tanya soal itu, Mas?" lirih Meira sembari meringis kecil saat Erina menatapnya heran. "Ken yang mewakiliku tempo hari di depan kamar atas. Kamu lupa?" tanya Raka sambil menatap lekat Meira yang masih kebingungan. Meira kembali mengingat kejadian waktu itu saat Ken mengatakan cinta dan menanyakan kesanggupan Meira menjadi istrinya. Kalimat yang Mei pikir meluncur dari lubuk hati laki-laki itu, tapi ternyata dia hanya mewakili kakaknya yang tak mampu mengun
"Apa-apaan ini, Ken? Kamu pikir bisa lunasi hutang keluarga Hanum dengan uang palsu? Jangan kira saya nggak bisa membedakan uang asli sama uang palsu!" bentak Galih sembari berdiri dengan berkacak pinggang di depan Ken. Ken menatap Juragan Gino dan anak lelakinya bergantian. Dia masih berusaha tenang, meskipun sorot matanya mulai tajam. "Kalau kalian ragu, kita bisa cek keaslian uang ini sekarang juga. Saya siap. Atau kalau perlu panggil polisi jika memang kalian mengira saya sebagai pengedar uang palsu," balas Ken mantap. Tetangga semakin ramai bergosip. Mereka yang sebelumnya nongkrong di rumah Bu Nur, makin penasaran lalu mulai mendekat sampai teras rumah Rudy. Ada empat orang yang menguping obrolan mereka di sana. "Sebenarnya Ken kerja apa, sih? Kok tiba-tiba banyak uang?" bisik seorang ibu paruh baya."Mobil mewah itu juga punya siapa? Apa benar kalau dia cuma nyamar miskin dan kuli bangunan, padahal sebenarnya pengusaha muda yang sukses?" sahut yang lain. "Jangan-jangan Ken
Hanum masih terpaku di tempatnya, menatap tas hitam dari Ken yang terasa agak berat di tangan. Perlahan, Hanum membuka resleting tas hitam itu. Isinya membuat napasnya tercekat. Detik ini dia melihat tumpukan uang seratus ribuan yang terbungkus rapi. Ken berdiri di sebelahnya, wajahnya tenang meski tubuhnya jelas menunjukkan kelelahan. Ia baru saja pulang membawa tas itu, tanpa banyak bicara, langsung menyerahkannya pada Hanum. "Mas, uang sebanyak ini milikmu?" Suara Hanum lirih, penuh kebingungan. Dia masih shock karena baru pertama kali melihat uang sebanyak itu. "Iya, Sayang. InsyaAllah uang itu cukup untuk melunasi hutang keluarga," jawab Ken singkat, suaranya datar, tanpa ekspresi berlebihan. "Uang sebanyak ini, Mas?" Hanum masih tak percaya dan kaget suaminya memiliki uang sebanyak itu. Hanum melangkah mundur lalu duduk di sofa ruang tamu seperti sebelumnya. Dari ruang tengah, Mawar dan Rena masih ikut shock melihat kedatangan Ken. Keterkejutan mereka belum usai karena
"Mas Ken pulang kenapa nggak kasih kabar dulu." Suara lirih Hanum hampir tak terdengar, tubuhnya menegang melihat laki-laki itu turun dari mobil mewah lalu melangkah tergesa menghampirinya. Tetangga mulai berbisik. Kasak-kusuk terdengar cukup jelas di telinga Hanum saat dia menyambut uluran tangan suaminya. "Itu suaminya Hanum? Kok bisa pakai mobil mewah begitu? Katanya cuma kuli bangunan." "Katanya begitu, tapi kurasa dia bukan sekadar kuli. Mana ada kuli bangunan bawa mobil sebagus itu. Harganya pasti ratusan juta." Yang lain ikut menyahut. "Mungkin sebenarnya dia bos, bukan kulinya.""Kalau bos dan orang kaya, mana mungkin sembarangan cari istri. Pasti dipikir juga bibit, bebet dan bobotnya. Apalagi keluarga besarnya bisa jadi sudah menyiapkan calon yang sepadan.""Hanum juga bibit, bebet dan bobotnya bagus. Dia anak yang baik, tak neko-neko, penyayang dan berbakti. Wajar kalau Mas Ken jatuh cinta sama Hanum. Lagipula dia juga cantik." "Kalau orang kaya yang dipikir bukan seka
"Maaf, Juragan. Saya sudah menikah dan nggak mungkin bercerai begitu saja. Kalau memang Juragan minta dua puluh juta, nggak apa-apa. Tunggu suami saya pulang, biar dia yang melunasinya saja," balas Hanum memberanikan diri. Rudy menoleh, menatap Hanum yang kini menitikkan air mata. "Num ... maafkan bapak." Rudy berujar dengan suara parau menahan sesak yang menghimpit dadanya. "Nggak apa-apa, Pak. Hanum tahu bapak sudah berjuang sekuat tenaga. Bapak tenang saja, InsyaAllah Mas Ken bisa membereskan masalah ini," balas Hanum begitu meyakinkan. Namun, balasan itu justru membuat Galih terkekeh meremehkan. Dia tak yakin jika suami Hanum bisa melunasi hutang itu, bahkan dia juga tak percaya jika Ken kembali ke rumah itu. "Lunasi sekarang atau terima tawaran saya, Pak. Saya nggak punya banyak waktu untuk menunggu sesuatu yang tak pasti," ujar Juragan Gino semakin menyudutkan Rudy dan Hanum. "Tolong tunggu sampai besok, Juragan. Suami saya akan pulang besok sore," balas Hanum lagi. "Ngga
Hanya ada Hanum dan bapaknya di meja makan, sementara Mawar, Rena dan Azziz duduk di sofa ruang tengah. Entah apa yang dijanjikan Azziz sampai akhirnya membuat emosi Rena mereda. Keduanya akur kembali seolah tak terjadi apa-apa. "Kalau ada masalah, diselesaikan baik-baik, Ren. Jangan asal marah-marah saja." Mawar memberi nasehat, sementara Rena seolah tak peduli. Bibirnya manyun beberapa centi saking kesalnya. Dia memang selalu menolak nasehat siapapun, termasuk ibunya sendiri. Maunya selalu didukung apapun yang dia inginkan sekalipun itu salah. "Benar kata ibu, Sayang. Kita bukan mas pacaran lagi yang bisa putus nyambung seenak hati. Pernikahan ini hal yang sakral, nggak boleh dibuat mainan." Azziz menimpali, seolah punya kesempatan untuk mendidik istrinya yang manja itu. "Iya, iya, Mas. Lagian kamu sih-- Belum selesai bicara, terdengar ucapan salam dari luar. Hanum tercekat, menatap bapaknya yang baru saja selesai makan malam. Rudy pun menatap anak perempuannya itu lalu mengang
Sejak pulang dari pasar pagi tadi, Hanum benar-benar tak tenang. Bakda ashar sampai menjelang maghrib ini selalu gelisah. Hanum ingin mengabari suaminya tentang kejadian tadi, tapi takut menganggu kesibukannya di Jogja. Dia tahu, urusan Ken pasti belum kelar sebab dia sudah bilang akan pulang besok sore. "Gimana ini? Bapak juga belum pulang. Mungkin juga kebingungan cari pinjaman segitu banyak untuk menutup hutang pada Juragan Gino." Lagi-lagi Hanum menggumam. Baru saja membuka pintu kamar, terdengar keributan di teras. Hanum menajamkan pendengarannya lalu kembali menutup pintu setelah tahu siapa yang datang. "Kenapa Mbak Rena dan Mas Aziz pulang secepat ini? Padahal kemarin bilang mereka akan honeymoon di Bali selama lima hari," gumam Hanum lagi lalu kembali duduk di tepi ranjang. Mawar yang baru saja keluar kamar cukup shock melihat kedatangan anak dan menantunya itu. Tak ingin menduga-duga, dia pun menanyakan perihal kepulangan mereka. "Kalian sudah pulang? Cepet banget katany
[Mas, laki-laki itu tiba-tiba ingin datang melamar Mbak Hanum. Dia bahkan baku hantam dengan Ridho saat kami mengantar Mbak Hanum ke pasar. Sepertinya ada satu kunci yang digenggam keluarga laki-laki itu tentang keluarga Mbak Hanum, tapi kami tak tahu itu apa. Barangkali menyangkut utang piutang, masalahnya nanti malam mereka akan menemui mertua Mas Ken di rumah untuk membahas hal ini. Sekarang saya dan Ridho ada di klinik. Laki-laki itu melayangkan sebuah pukulan pada Ridho saat dia lengah. Mbak Hanum panik, makanya membawa Ridho ke klinik tak jauh dari pasar]Pesan panjang dari Bagas beserta beberapa foto dan video saat huru-hara di pasar itu pun terkirim di WhatsApp nya. Ken memperhatikan wajah laki-laki itu dan dia merasa cukup asing. Artinya belum pernah bertemu dengan sosok itu sebelumnya. "Hutang piutang. Apa ini yang dimaksud Hanum kemarin? Bapaknya memiliki hutang sekian puluh juta, makanya selama ini dia bekerja keras untuk membayar cicilannya?" lirih Ken sembari mengamati
"Kenapa kamu nikah mendadak, Ken? Selama ini kamu nggak pernah cerita soal perempuan pada mama dan papa. Tiba-tiba kamu kasih kabar akan menikah dan kami dilarang datang. Sebenarnya kejadiannya gimana sampai kamu senekat itu?" Wicaksono menatap lekat Ken yang duduk di depannya itu.Keluarga Ken sedang menikmati makan siang bersama, termasuk Raka dan Meira. Mereka sengaja mencari waktu agar bisa duduk bersama membahas pernikahan Ken ya g dadakan itu. "Papa tahu kamu sudah menjelaskannya waktu itu, tapi berhari-hari papa masih nggak habis pikir kenapa kamu senekat itu, Ken. Apalagi pada gadis yang baru kamu lihat pertama kali," sambung Wicaksono lagi. "Papamu benar, Ken. Bukan maksud mama menyalahkanmu atau menyudutkan istrimu, hanya saja papa dan mama masih belum mengerti kenapa tiba-tiba kamu ingin menjadi pengantin penggantinya. Suatu hal yang benar-benar di luar nalar. Kalau kalian sudah kenal lama, mungkin mama nggak akan sekaget ini, tapi kamu sendiri bilang kalau kalian baru be
"Ya Allah, Mas. Kita ke klinik sekarang ya? Saya takut Mas Ridho kenapa-kenapa," ujar Hanum begitu panik saat melihat wajah bodyguard suaminya sedikit pucat setelah menerima bogem mentah itu. "Nggak apa-apa, Mbak Hanum. Sudah biasa begini. Tenang saja," balas Ridho berusaha tersenyum meski pipinya benar-benar nyut-nyutan tak karuan. Nyeri dan terasa sakit saat digerakkan. "Nggak apa-apa gimana, Mas? Ini cukup parah," tunjuk Hanum pada sudut bibir Ridho yang pecah. "Tenang saja, Mbak. Ridho sudah kebal," timpal Bagas dengan senyum tipis, berusaha menenangkan Hanum, tapi tetap saja dia merasa sangat bersalah sampai membuat laki-laki di sampingnya itu babak belur. "Siapa mereka, Num?" Pertanyaan Juragan Gino membuat Hanum menoleh seketika. "Mereka teman baik suami saya, Juragan. Maaf kalau sudah membuat keributan di sini." Hanum sedikit membungkuk lalu kembali menatap belanjaannya yang berantakan. "Kemana suamimu? Kenapa dia menyuruh orang lain untuk mengawasimu?" tanya Juragan Gin