"Atau perceraian kalian karena hubungan terlarang Baim dan Vonny? Benar begitu, Mei?" tanya Sundari begitu penasaran. Meira tersenyum tipis. "Nggak kok, Bu. Perpisahan kami terjadi karena Mas Baim menuduh saya berselingkuh dengan sahabatnya seperti yang saya ceritakan tempo hari. Saya kurang tahu bagaimana hubungan Mas Baim dan Non Vonny, tapi saya yakin kalau Mas Baim bukan tipe tukang selingkuh. Dia hanya plin-plan, gegabah dan mudah terhasut oleh ucapan-ucapan orang lain. Itu saja." Senyum Meira terlukis di kedua sudut bibirnya. Begitu manis dan mempesona. Meira hanya menceritakan yang dia tahu. Hal-hal yang masih meragukan tak mungkin dia sebutkan. Meira nggak mau menyebar fitnah seperti yang keluarga Baim lakukan. Baginya, semua ini adalah takdir yang harus dia jalani. Jika memang Vonny dan Baim menjalin hubungan spesial sebelum dia diceraikan, Meira tak peduli. Lagi-lagi semua menjadi urusan dan dosa masing-masing. "Yakin kamu nggak apa-apa, Mei?" ulang Sundari sebelum memasu
"Mama cukup. Malu dilihat banyak orang," bisik Raka untuk kesekian kalinya karena Sundari belum puas mempermalukan Dahlia dan keluarga Baim yang semena-mena itu. "Bukan mama yang malu, tapi mereka semua, Ka. Mereka yang mempermalukan diri sendiri," ketus Sundari lagi. Raka melirik Meira dan berharap dia ikut membantunya menenangkan mamanya. Meira mendekat lalu menatap wajah majikannya beberapa saat. Senyum tipis itupun terlukis di kedua sudut bibirnya. Sundari balik menatap baby sitter cucunya itu dengan tatapan berbeda. Ada iba, bangga dan kagum yang kini dia rasa. Sundari belum pernah sekalipun menyaksikan perjuangan seorang perempuan yang begitu hebat seperti Meira. "Mei, maafkan saya. Tak bermaksud mempermalukanmu di depan umum begini. Kamu tahu maksud saya kan?" Sundari mulai sadar dan beristighfar saat menatap kedua mata Meira yang berkaca. Bukan karena bersedih, tapi karena bangga dan bahagia melihat majikannya begitu membela dan pasang badan untuknya. "Seharusnya saya yang
"Tutup mulut kamu, atau--"Atau apa, Ma? Sampai kapan mama akan membela anak haram itu?! Perempuan murahan sepertinya nggak layak dibela, apalagi sama mama. Mama bahkan rela mempermalukan diri sendiri hanya membela pembantu tak tahu diri itu? Wow! Jangan-jangan dia pakai pelet sampai membuat mama seperti ini. Maklum, janda miskin sepertinya pasti akan menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan ambisinya kan? Dia pasti ingin hidup mewah tanpa harus bersusah payah. Dia pasti sengaja cari muka di depan mama dan Mas Raka supaya terlihat baik dan begitu menyayangi Denada. Semua hanya untuk memuluskan rencananya menjadi menantu orang kaya!" ucap Dahlia begitu meradang. Dia benar-benar tak terima diperlakukan seperti itu oleh mantan mertuanya sendiri. Kepalang tanggung. Jika memang namanya buruk di depan banyak orang. Dia juga ingin melakukan hal yang sama pada mertua dan Meira. Dahlia jelas tak ingin malu sendirian. "Sudah. Sudah. Kalian nggak malu dilihat banyak orang begini? Acara yan
"Bu! Ibu kenapa?" Suara seorang perempuan terdengar begitu panik. Baim yang berdiri di samping Vonny pun menoleh ke belakang. Dia ikut shock saat melihat Sulastri pingsan di belakangnya.Suasana makin gaduh. Baim membawa ibunya ke sudut ruangan. Ruri sibuk mengoles bawah hidung ibunya dengan minyak angin agar lekas siuman, sementara Meira masih bergeming di tempatnya sedari tadi. Kegaduhan yang ada tak membuatnya beranjak dari tempatnya berdiri. Begitu pula dengan Adrian yang masih berdiri di tempat semula. Hanya dua langkah saja dari Meira. "An, kita bicara di luar," pinta Wicaksono setelah menyaksikan sesuatu hal yang tak terduga ini di acara spesial anak perempuannya. Sebelum pergi, Adrian nyaris menepuk pelan pundak Meira, tapi perempuan dengan balutan gamis pink itu buru-buru menghindar. Adrian cukup kaget melihat penolakan Meira, tapi dia memakluminya. Justru terselip rasa kagum dalam dirinya karena Meira begitu menjaga marwahnya sebagai seorang muslimah. "Mei ...." Sundari
"Jadi, Meira benar-benar anak Om Adrian? Anak semata wayangnya dong, kan sekarang Om dan tante Erina nggak punya anak." Vonny menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Betul. Meira ini adalah anak semata wayang Om Adrian yang terpaksa dititipkan ke panti asuhan dua puluh delapan tahun lalu setelah Tante Siti meninggal dunia. Om Adrian panik dan nggak tahu bagaimana mengurus seorang anak, makanya cara yang paling aman menurutnya adalah membawanya ke panti asuhan." Wicaksono menjelaskan kisah itu pada Vonny dan keluarga kecilnya seperti yang diceritakan Adrian padanya beberapa menit lalu. "Nggak menyangka ya, Pa. Pantas saja Meira begitu kuat dan pantang menyerah. Ternyata, semua vibes positifnya itu tertular dari papanya yang memang selalu optimis di setiap hal. Semangatnya luar biasa dalam berbisnis sampai memiliki beberapa perusahaan besar di beberapa kota di Indonesia." Sundari begitu mengagumi Meira dan lelaki di sampingnya itu. Dia yang pernah menolong keluarga Wicaksono dari j
"Silakan pergi dan jangan pernah mendekati anakku lagi! Laki-laki tak tahu diri sepertimu harusnya lekas punah. Tak tahu malu!" sentak Wicaksono sembari menunjuk arah pintu keluar. "Papa ...." Vonny kembali merajuk. Perempuan itu masih tetap berharap Baim meralat kembali kata-katanya dan mengucapkan maaf. Dia masih menginginkan laki-laki itu kembali. Cintanya pada Baim memang tergolong unik dan aneh. Entah apa yang dia lihat dari sosok laki-laki seperti Baim yang jelas semena-mena pada anak dan istrinya. "Vonny, sejak awal papa sudah ragu dengan laki-laki sepertinya, tapi kamu kekeuh mau bertunangan sama dia. Papa sudah izinkan karena tak ingin melihatmu kecewa, tapi apa nyatanya? Detik ini dia justru mempermalukan kamu di depan umum. Tak hanya kamu, tapi papa dan mama juga malu. Apa kamu masih tetap ingin bersama laki-laki tak tahu diri sepertinya? Sadar, Vonny. Laki-laki yang jauh lebih baik dibandingkan dia masih banyak. Jangan cinta buta!" sentak Wicaksono pada Vonny yang masi
Vonny masih meraung-raung tak karuan di kamarnya. Semua cara sudah dilakukan, tapi Vonny masih saja kesal dan kecewa karena pertunangannya batal. Dia semakin membenci Meira karena merasa dialah yang membuat Baim membatalkan acara spesialnya tadi. Padahal Meira sengaja mempertanyakan ini dan itu pada Baim agar Vonny mendengar kejujurannya. Dengan begitu dia bisa melihat siapa Baim sebenarnya. Sayangnya, tanggapan Vonny justru berbeda. Dia merasa dipermalukan dan dibandingkan sampai akhirnya acara dibatalkan. "Ini pemberian bunda setelah saya menikah." Meira meletakkan kotak usang itu di atas meja sesuai permintaan Adrian. Semua duduk di sofa sembari mendengarkan cerita Meira tentang masa lalunya dan alasan Adrian mengirimkan anak kandungnya itu ke panti asuhan. Sedikit gemetar Adrian mengambil kotak berwarna coklat itu lalu membuka isinya. Ternyata cincin dan selembad surat yang ditulis dengan air mata bercucuran itu masih tersimpan rapi di sana. Adrian masih mengingat semuanya begi
"Kamu memaafkan papa kan, Mei?" Pertanyaan itu kembali terdengar. Meira tersenyum lalu mengangguk pelan."Mei sudah maafkan kok, Pa. Mei bersyukur bertemu dengan papa. Setelah sekian lama memendam semua tanya itu sendiri, akhirnya terjawab sudah. Mei tak lagi menduga-duga dan tak akan menyalahkan keputusan papa saat itu. Mei paham posisi papa. Terima kasih papa sudah mau datang dan memperkenalkan Meira pada banyak orang sebagai anak kandung papa. Itu adalah kado terindah yang selama ini Mei impikan. Papa tak perlu terus merasa bersalah. Mei ikhlas dengan semuanya dan tak pernah menyesali takdir yang sudah ditetapkanNya." Meski agak canggung memanggil papa, tapi Meira berusaha menghargai dan menghormati papanya. Kedua Meira kembali berkaca. Rasa sesak dalam dadanya memang masih begitu terasa, tapi Mei yakin semua akan memudar dan menghilang dengan sendirinya setelah teka-teki dalam hidupnya terbuka. Mei bahagia bertemu dengan lelaki yang bisa disebut papa untuk pertama kalinya. Setid
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka
"Ya Allah, Rena! Ternyata semua gosip yang beredar itu benar!" pekik seseorang diantara kerumunan pengunjung. Ren amendelik saat tahu siapa yang berteriak dan kini jatuh pingsan di depan matanya itu. "Ibu! Ngapain ibu ke sini?!" teriaknya sembari berhamburan ke arah ibunya yang limbung. Azziz yang kini berdiri di sampingnya menatap tajam. Rahangnya mengeras. Dia benar-benar emosi melihat sepak terjang istrinya. Seolah tak ada kesempatan lagi, Azziz sudah muak dan tak ingin berkompromi lagi. Dia menyerah, apalagi saat tekad kuatnya untuk melunasi hutang demi membahagiakan istri justru dibalas dengan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti ini. Harga dirinya sebagai suami dan kepala rumah tangga seakan mati. Azziz benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Dia menyerah di pernikahannya yang menginjak di bulan ke enam. "Mau dibawa kemana, Mas?!" tukas Rena saat melihat Azziz membopong ibu mertuanya. "Minggir kamu! Urus saja bahagiamu sendiri! Puas-puasin sebelum kamu menyesal di kem
"Papa! Gila, ini selingkuhan papa?!" sentak perempuan bernama Tamara itu sembari menunjuk wajah Rena yang kini mulai memerah. Beberapa pengunjung mall mulai merekam keributan itu dengan handphone masing-masing. Rena benar-benar benci hal ini. Nyaris tiga bulan berhubungan dengan Pramono, tak pernah terbesit sedikit pun di benaknya akan mengalami hal memalukan seperti ini. "Papa benar-benar kelewatan. Lihat usianya, Pa! Seumuran aku!" oceh Tamara lagi. Dia menggeleng-geleng tak percaya. "Tamara ... dengerin papa dulu," ujar Pramono sembari menenangkan putri bungsunya. Pramono memiliki dua orang putri bernama Salsa dan Tamara. Saat ini istrinya terbaring di rumah karena stroke yang dideritanya selama setahun belakangan. "Dengerin apalagi, Pa? Papa mau beralasan apa? Jelas-jelas papa begitu mesra dengan perempuan jalang itu!" sentak Tamara lagi. "Tutup mulutmu!" tukas Rena menepis telunjuk Tamara yang tepat di depan wajahnya. "Heh! Tutup mulutku apa?! Jelas-jelas Lo cuma manfaati
Rena melirik jam tangannya yang berkilau di bawah cahaya lampu cafe. Dia duduk manis di pojokan, memainkan sedotan dalam segelas mocktail warna pink sambil sesekali membetulkan rambutnya."Maaf lama, Ren. Tadi agak macet." Suara berat dan dewasa terdengar dari belakang. Pramono, pria paruh baya dengan jas abu-abu yang necis, menyapa dengan senyum genit. Seperti biasa, mereka pun cipika-cipiki tiap kali bertemu. "Kamu telat dua puluh menit, Om. Aku sampai jamuran nunggu di sini." Rena merajuk, bibirnya manyun manja."Maaf dong, jalanan macet. Tapi lihat deh ... masa Om telat masih disambut sama wajah secantik ini?" Pram mencubit dagu Rena lembut. Rena hanya tertawa kecil.Mereka menikmati hidangan sambil sesekali beradu pandang. Beberapa pasang mata mulai melirik ke arah mereka. Usia mereka terlalu jauh dan kemesraan itu terasa janggal. Meski tak ada yang menegur dan seolah tak peduli, tapi tetap saja pandangan aneh dan tak biasa terlihat. Namun, Rena cuek saja. Dia tak peduli dengan
"Sayang, bubur kacang hijaunya dihabisin ya? Biar kamu nggak mual-mual lagi." Ken menyiapkan bubur di mangkok untuk istrinya. "Iya, Mas. Temani makan ya?" balas Hanum dengan senyum tipis. Hanum berusaha tetap tenang, meski beberapa menit lalu hatinya bergemuruh kesal, emosi dan muak. Beragam pesan yang dikirimkan oleh Clarissa benar-benar membuat moodnya nggak karuan. Namun, di depan Ken dia berusaha untuk tetap tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. "Sini, duduk!" pinta Ken sembari menarik kursi di sampingnya. Hanum mendekat lalu duduk di samping suaminya. "Habiskan selagi masih hangat." Lagi-lagi Hanum mengangguk. "Kamu juga ikut makan, Mas. Ayo." Hanum membuka sebungkus bubur lalu menyiapkannya untuk Ken. "Tadinya mau barengan aja sekalian nyuapin kamu, Sayang." "Barengan juga boleh. Sini Hanum yang nyuapin." Sepasang suami istri itu saling melempar senyum. Hanum menyuapi Ken dengan semangkok buburnya, sementara Ken menyuapi Hanum dengan bubur miliknya. Setelah bubur habis,