Sebulan berlalu. Meira sudah terbiasa dengan suasana dan pekerjaannya sebagai baby sitter. Dia menyayangi Dee seperti anaknya sendiri karena memang sejak dulu Meira berharap Aldo memiliki adik perempuan, tapi rupanya Allah belum mengizinkan. Bukannya bertambah keturunan justru pernikahannya bersama Baim hancur berantakan. "Mbak Lia minggu besok datang ke rumah kan? Aku akan bertunangan dengan seseorang." Suara Vonny sengaja diperkeras agar Meira mendengar obrolannya. Namun, Meira pura-pura tak mendengar. Dia sibuk menyiapkan makan siang untuk Dee. Saat ini dia masih bermain dengan papanya di kamar. Tumben akhir-akhir ini Mas Raka sering di rumah. Biasanya dia sibuk di kantor bahkan nyaris jarang pulang." Vonny manggut-manggut, entah apa yang dikatakan Dahlia dari seberang. Perempuan itu sengaja menelepon Vonny karena ingin bertanya banyak hal tentang Meira. Sejak pertemuan tak sengajanya dengan Raka tiga minggu lalu, Dahlia memang penasaran sebenarnya siapa sosok Meira. Kenapa dia b
"Aku foto ya, Mbak. Lihatlah, dia lagi bawa makanan buat Dee. Dia cuma pembantu, Mbak. Mana mungkin menjadi istri kakakku. Percaya deh, itu cuma kekonyolan kakakku saja supaya membuatmu cemburu. Dia nggak mungkin move on secepat itu. Hatinya masih utuh milikmu, Mbak. Percaya deh!" Lagi-lagi tawa terdengar. Kini, Dahlia pun tersenyum puas saat melihat foto Meira dari belakang. Meski hanya terlihat bagian belakang, tapi dia yakin betul jika itu memang sosok yang diperkenalkan Raka padanya sebagai calon istrinya beberapa waktu lalu. 'Dasar, Raka. Dia masih saja seperti dulu. Jual mahal, padahal rasa cintanya padaku terlalu besar.' Dahlia kembali membatin. Dia teramat puas setelah tahu siapa Meira sebenarnya. Tak ingin menanggapi celotehan Vonny, Meira kembali melangkah ke lantai atas. Dia mengetuk pintu perlahan, lalu masuk ke kamar Dee yang bersebelahan dengan kamar papanya. Dee masih bermain petak umpet di atas kasur bersama Raka saat Meira datang. Diliriknya jam dinding yang menun
"Aku akan bertunangan dengan Vonny, Mei. Setelah surat cerai kudapatkan, aku akan segera menikahinya. Kamu pasti akan menyesal sudah menghancurkan pernikahan kita. Sebagai menantu keluarga Wicaksono, tentu aku akan mendapatkan jabatan penting di kantor papa. Papa pasti akan memberikan modal usaha untukku atau akan memberikan satu cabang usahanya seperti yang dia lakukan untuk Mas Raka dan Mas Keanu." Baim mendekati Meira saat dia pura-pura mengambil segelas air putih di dapur. Meira hanya melirik sekilas, tanpa membalas apapun. Dia nggak mau kembali membuat masalah apalagi berhubungan dengan Vonny si biang kerok itu. Meira ingin hidup tenang tanpa bayang-bayang mantan. "Jangan cemburu kalau aku dan Vonny memutuskan tinggal di sini. Kamu akan melihat kemesraan dan keromantisan kami tiap hari," lirihnya lagi. Namun, Meira tetap bergeming. Dia yang masih membuatkan susu dan roti panggang untuk Dee dan Raka hanya melirik sekilas lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya. "Vonny sangat me
Pertunangan Baim dan Vonny akhirnya benar-benar digelar meski sempat ditentang oleh Sundari dan Wicaksono. Kedua orang tua Vonny berharap jika anak perempuan mereka memilih lelaki yang tepat, yang lebih pantas untuknya. Setidaknya bukan lelaki bermasalah seperti Baim yang plin-plan dan tak memiliki tanggungjawab sebagai suami dan ayah. Sayangnya, Vonny terlalu menggebu sampai tak peduli dengan nasehat kedua orang tuanya. Entah mengapa Vonny bisa secinta itu pada Baim, padahal jika dia mau, dia bisa memilih lelaki lain yang jauh lebih baik dan lebih mapan dibandingkan mantan suami Meira itu. Acara digelar di sebuah gedung tak jauh dari kantor Wicaksono. Tak terlalu banyak undangan yang disebar. Wicaksono hanya mengundang beberapa kerabat dan mitra bisnisnya saja. Rencananya, Wicaksono akan mengundang lebih banyak orang saat resepsi saja. Baim dan Vonny kali ini sepakat dengan permintaan Wicaksono. Baim pun hanya mengundang teman-teman dan kerabatnya, sementara Vonny hanya mengundang
Gamis dan hijab dusty pink yang dipakai Meira cocok sekali dengan dress pink Dee. Mereka justru terlihat seperti anak dan ibu. Begitulah pujian yang terucap dari Sundari saat berada di mobil Raka. "Gimana menurut Kamu, Ka? Cocok sekali kan?" Sundari sengaja menggoda anak sulungnya. Raka hanya berdehem pelan setelah melirik Meira dari spion tengahnya. "Saya jadi nggak enak, Bu. Takutnya ada yang salah paham karena saya pakai gamis senada dengan Non Dee. Saya nggak enak kalau ada yang mengira berlebihan, padahal status saya hanya pengasuh Non Dee saja," ujar Meira jujur. Sundari mengusap lengan Meira pelan lalu tersenyum tipis. "Nggak usah merasa sungkan begitu, Mei. Saya sengaja membelikan baju sewarna buat kalian berdua. Kalau ada yang salah paham biar saja urusan mereka. Sekarang kamu kan pengasuhnya Dee, wajar kalau pakai baju yang sewarna biar terlihat serasi dan kompak, apalagi ini pertunangan tantenya Dee." Sundari kembali menenangkan Meira yang masih terlihat gundah. Wajar
"Atau perceraian kalian karena hubungan terlarang Baim dan Vonny? Benar begitu, Mei?" tanya Sundari begitu penasaran. Meira tersenyum tipis. "Nggak kok, Bu. Perpisahan kami terjadi karena Mas Baim menuduh saya berselingkuh dengan sahabatnya seperti yang saya ceritakan tempo hari. Saya kurang tahu bagaimana hubungan Mas Baim dan Non Vonny, tapi saya yakin kalau Mas Baim bukan tipe tukang selingkuh. Dia hanya plin-plan, gegabah dan mudah terhasut oleh ucapan-ucapan orang lain. Itu saja." Senyum Meira terlukis di kedua sudut bibirnya. Begitu manis dan mempesona. Meira hanya menceritakan yang dia tahu. Hal-hal yang masih meragukan tak mungkin dia sebutkan. Meira nggak mau menyebar fitnah seperti yang keluarga Baim lakukan. Baginya, semua ini adalah takdir yang harus dia jalani. Jika memang Vonny dan Baim menjalin hubungan spesial sebelum dia diceraikan, Meira tak peduli. Lagi-lagi semua menjadi urusan dan dosa masing-masing. "Yakin kamu nggak apa-apa, Mei?" ulang Sundari sebelum memasu
"Mama cukup. Malu dilihat banyak orang," bisik Raka untuk kesekian kalinya karena Sundari belum puas mempermalukan Dahlia dan keluarga Baim yang semena-mena itu. "Bukan mama yang malu, tapi mereka semua, Ka. Mereka yang mempermalukan diri sendiri," ketus Sundari lagi. Raka melirik Meira dan berharap dia ikut membantunya menenangkan mamanya. Meira mendekat lalu menatap wajah majikannya beberapa saat. Senyum tipis itupun terlukis di kedua sudut bibirnya. Sundari balik menatap baby sitter cucunya itu dengan tatapan berbeda. Ada iba, bangga dan kagum yang kini dia rasa. Sundari belum pernah sekalipun menyaksikan perjuangan seorang perempuan yang begitu hebat seperti Meira. "Mei, maafkan saya. Tak bermaksud mempermalukanmu di depan umum begini. Kamu tahu maksud saya kan?" Sundari mulai sadar dan beristighfar saat menatap kedua mata Meira yang berkaca. Bukan karena bersedih, tapi karena bangga dan bahagia melihat majikannya begitu membela dan pasang badan untuknya. "Seharusnya saya yang
"Tutup mulut kamu, atau--"Atau apa, Ma? Sampai kapan mama akan membela anak haram itu?! Perempuan murahan sepertinya nggak layak dibela, apalagi sama mama. Mama bahkan rela mempermalukan diri sendiri hanya membela pembantu tak tahu diri itu? Wow! Jangan-jangan dia pakai pelet sampai membuat mama seperti ini. Maklum, janda miskin sepertinya pasti akan menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan ambisinya kan? Dia pasti ingin hidup mewah tanpa harus bersusah payah. Dia pasti sengaja cari muka di depan mama dan Mas Raka supaya terlihat baik dan begitu menyayangi Denada. Semua hanya untuk memuluskan rencananya menjadi menantu orang kaya!" ucap Dahlia begitu meradang. Dia benar-benar tak terima diperlakukan seperti itu oleh mantan mertuanya sendiri. Kepalang tanggung. Jika memang namanya buruk di depan banyak orang. Dia juga ingin melakukan hal yang sama pada mertua dan Meira. Dahlia jelas tak ingin malu sendirian. "Sudah. Sudah. Kalian nggak malu dilihat banyak orang begini? Acara yan
"Apa-apaan ini, Ken? Kamu pikir bisa lunasi hutang keluarga Hanum dengan uang palsu? Jangan kira saya nggak bisa membedakan uang asli sama uang palsu!" bentak Galih sembari berdiri dengan berkacak pinggang di depan Ken. Ken menatap Juragan Gino dan anak lelakinya bergantian. Dia masih berusaha tenang, meskipun sorot matanya mulai tajam. "Kalau kalian ragu, kita bisa cek keaslian uang ini sekarang juga. Saya siap. Atau kalau perlu panggil polisi jika memang kalian mengira saya sebagai pengedar uang palsu," balas Ken mantap. Tetangga semakin ramai bergosip. Mereka yang sebelumnya nongkrong di rumah Bu Nur, makin penasaran lalu mulai mendekat sampai teras rumah Rudy. Ada empat orang yang menguping obrolan mereka di sana. "Sebenarnya Ken kerja apa, sih? Kok tiba-tiba banyak uang?" bisik seorang ibu paruh baya."Mobil mewah itu juga punya siapa? Apa benar kalau dia cuma nyamar miskin dan kuli bangunan, padahal sebenarnya pengusaha muda yang sukses?" sahut yang lain. "Jangan-jangan Ken
Hanum masih terpaku di tempatnya, menatap tas hitam dari Ken yang terasa agak berat di tangan. Perlahan, Hanum membuka resleting tas hitam itu. Isinya membuat napasnya tercekat. Detik ini dia melihat tumpukan uang seratus ribuan yang terbungkus rapi. Ken berdiri di sebelahnya, wajahnya tenang meski tubuhnya jelas menunjukkan kelelahan. Ia baru saja pulang membawa tas itu, tanpa banyak bicara, langsung menyerahkannya pada Hanum. "Mas, uang sebanyak ini milikmu?" Suara Hanum lirih, penuh kebingungan. Dia masih shock karena baru pertama kali melihat uang sebanyak itu. "Iya, Sayang. InsyaAllah uang itu cukup untuk melunasi hutang keluarga," jawab Ken singkat, suaranya datar, tanpa ekspresi berlebihan. "Uang sebanyak ini, Mas?" Hanum masih tak percaya dan kaget suaminya memiliki uang sebanyak itu. Hanum melangkah mundur lalu duduk di sofa ruang tamu seperti sebelumnya. Dari ruang tengah, Mawar dan Rena masih ikut shock melihat kedatangan Ken. Keterkejutan mereka belum usai karena
"Mas Ken pulang kenapa nggak kasih kabar dulu." Suara lirih Hanum hampir tak terdengar, tubuhnya menegang melihat laki-laki itu turun dari mobil mewah lalu melangkah tergesa menghampirinya. Tetangga mulai berbisik. Kasak-kusuk terdengar cukup jelas di telinga Hanum saat dia menyambut uluran tangan suaminya. "Itu suaminya Hanum? Kok bisa pakai mobil mewah begitu? Katanya cuma kuli bangunan." "Katanya begitu, tapi kurasa dia bukan sekadar kuli. Mana ada kuli bangunan bawa mobil sebagus itu. Harganya pasti ratusan juta." Yang lain ikut menyahut. "Mungkin sebenarnya dia bos, bukan kulinya.""Kalau bos dan orang kaya, mana mungkin sembarangan cari istri. Pasti dipikir juga bibit, bebet dan bobotnya. Apalagi keluarga besarnya bisa jadi sudah menyiapkan calon yang sepadan.""Hanum juga bibit, bebet dan bobotnya bagus. Dia anak yang baik, tak neko-neko, penyayang dan berbakti. Wajar kalau Mas Ken jatuh cinta sama Hanum. Lagipula dia juga cantik." "Kalau orang kaya yang dipikir bukan seka
"Maaf, Juragan. Saya sudah menikah dan nggak mungkin bercerai begitu saja. Kalau memang Juragan minta dua puluh juta, nggak apa-apa. Tunggu suami saya pulang, biar dia yang melunasinya saja," balas Hanum memberanikan diri. Rudy menoleh, menatap Hanum yang kini menitikkan air mata. "Num ... maafkan bapak." Rudy berujar dengan suara parau menahan sesak yang menghimpit dadanya. "Nggak apa-apa, Pak. Hanum tahu bapak sudah berjuang sekuat tenaga. Bapak tenang saja, InsyaAllah Mas Ken bisa membereskan masalah ini," balas Hanum begitu meyakinkan. Namun, balasan itu justru membuat Galih terkekeh meremehkan. Dia tak yakin jika suami Hanum bisa melunasi hutang itu, bahkan dia juga tak percaya jika Ken kembali ke rumah itu. "Lunasi sekarang atau terima tawaran saya, Pak. Saya nggak punya banyak waktu untuk menunggu sesuatu yang tak pasti," ujar Juragan Gino semakin menyudutkan Rudy dan Hanum. "Tolong tunggu sampai besok, Juragan. Suami saya akan pulang besok sore," balas Hanum lagi. "Ngga
Hanya ada Hanum dan bapaknya di meja makan, sementara Mawar, Rena dan Azziz duduk di sofa ruang tengah. Entah apa yang dijanjikan Azziz sampai akhirnya membuat emosi Rena mereda. Keduanya akur kembali seolah tak terjadi apa-apa. "Kalau ada masalah, diselesaikan baik-baik, Ren. Jangan asal marah-marah saja." Mawar memberi nasehat, sementara Rena seolah tak peduli. Bibirnya manyun beberapa centi saking kesalnya. Dia memang selalu menolak nasehat siapapun, termasuk ibunya sendiri. Maunya selalu didukung apapun yang dia inginkan sekalipun itu salah. "Benar kata ibu, Sayang. Kita bukan mas pacaran lagi yang bisa putus nyambung seenak hati. Pernikahan ini hal yang sakral, nggak boleh dibuat mainan." Azziz menimpali, seolah punya kesempatan untuk mendidik istrinya yang manja itu. "Iya, iya, Mas. Lagian kamu sih-- Belum selesai bicara, terdengar ucapan salam dari luar. Hanum tercekat, menatap bapaknya yang baru saja selesai makan malam. Rudy pun menatap anak perempuannya itu lalu mengang
Sejak pulang dari pasar pagi tadi, Hanum benar-benar tak tenang. Bakda ashar sampai menjelang maghrib ini selalu gelisah. Hanum ingin mengabari suaminya tentang kejadian tadi, tapi takut menganggu kesibukannya di Jogja. Dia tahu, urusan Ken pasti belum kelar sebab dia sudah bilang akan pulang besok sore. "Gimana ini? Bapak juga belum pulang. Mungkin juga kebingungan cari pinjaman segitu banyak untuk menutup hutang pada Juragan Gino." Lagi-lagi Hanum menggumam. Baru saja membuka pintu kamar, terdengar keributan di teras. Hanum menajamkan pendengarannya lalu kembali menutup pintu setelah tahu siapa yang datang. "Kenapa Mbak Rena dan Mas Aziz pulang secepat ini? Padahal kemarin bilang mereka akan honeymoon di Bali selama lima hari," gumam Hanum lagi lalu kembali duduk di tepi ranjang. Mawar yang baru saja keluar kamar cukup shock melihat kedatangan anak dan menantunya itu. Tak ingin menduga-duga, dia pun menanyakan perihal kepulangan mereka. "Kalian sudah pulang? Cepet banget katany
[Mas, laki-laki itu tiba-tiba ingin datang melamar Mbak Hanum. Dia bahkan baku hantam dengan Ridho saat kami mengantar Mbak Hanum ke pasar. Sepertinya ada satu kunci yang digenggam keluarga laki-laki itu tentang keluarga Mbak Hanum, tapi kami tak tahu itu apa. Barangkali menyangkut utang piutang, masalahnya nanti malam mereka akan menemui mertua Mas Ken di rumah untuk membahas hal ini. Sekarang saya dan Ridho ada di klinik. Laki-laki itu melayangkan sebuah pukulan pada Ridho saat dia lengah. Mbak Hanum panik, makanya membawa Ridho ke klinik tak jauh dari pasar]Pesan panjang dari Bagas beserta beberapa foto dan video saat huru-hara di pasar itu pun terkirim di WhatsApp nya. Ken memperhatikan wajah laki-laki itu dan dia merasa cukup asing. Artinya belum pernah bertemu dengan sosok itu sebelumnya. "Hutang piutang. Apa ini yang dimaksud Hanum kemarin? Bapaknya memiliki hutang sekian puluh juta, makanya selama ini dia bekerja keras untuk membayar cicilannya?" lirih Ken sembari mengamati
"Kenapa kamu nikah mendadak, Ken? Selama ini kamu nggak pernah cerita soal perempuan pada mama dan papa. Tiba-tiba kamu kasih kabar akan menikah dan kami dilarang datang. Sebenarnya kejadiannya gimana sampai kamu senekat itu?" Wicaksono menatap lekat Ken yang duduk di depannya itu.Keluarga Ken sedang menikmati makan siang bersama, termasuk Raka dan Meira. Mereka sengaja mencari waktu agar bisa duduk bersama membahas pernikahan Ken ya g dadakan itu. "Papa tahu kamu sudah menjelaskannya waktu itu, tapi berhari-hari papa masih nggak habis pikir kenapa kamu senekat itu, Ken. Apalagi pada gadis yang baru kamu lihat pertama kali," sambung Wicaksono lagi. "Papamu benar, Ken. Bukan maksud mama menyalahkanmu atau menyudutkan istrimu, hanya saja papa dan mama masih belum mengerti kenapa tiba-tiba kamu ingin menjadi pengantin penggantinya. Suatu hal yang benar-benar di luar nalar. Kalau kalian sudah kenal lama, mungkin mama nggak akan sekaget ini, tapi kamu sendiri bilang kalau kalian baru be
"Ya Allah, Mas. Kita ke klinik sekarang ya? Saya takut Mas Ridho kenapa-kenapa," ujar Hanum begitu panik saat melihat wajah bodyguard suaminya sedikit pucat setelah menerima bogem mentah itu. "Nggak apa-apa, Mbak Hanum. Sudah biasa begini. Tenang saja," balas Ridho berusaha tersenyum meski pipinya benar-benar nyut-nyutan tak karuan. Nyeri dan terasa sakit saat digerakkan. "Nggak apa-apa gimana, Mas? Ini cukup parah," tunjuk Hanum pada sudut bibir Ridho yang pecah. "Tenang saja, Mbak. Ridho sudah kebal," timpal Bagas dengan senyum tipis, berusaha menenangkan Hanum, tapi tetap saja dia merasa sangat bersalah sampai membuat laki-laki di sampingnya itu babak belur. "Siapa mereka, Num?" Pertanyaan Juragan Gino membuat Hanum menoleh seketika. "Mereka teman baik suami saya, Juragan. Maaf kalau sudah membuat keributan di sini." Hanum sedikit membungkuk lalu kembali menatap belanjaannya yang berantakan. "Kemana suamimu? Kenapa dia menyuruh orang lain untuk mengawasimu?" tanya Juragan Gin