"Aku pastikan akan menjadi menantu di rumah ini, Mei. Supaya kamu makin panas karena melihatku bahagia bersama Vonny. Kamu lihat sendiri bagaimana cintanya dia padaku kan? Kamu pasti akan menyesal sudah mengkhianati cintaku selama ini. Lihat saja nanti. Aku akan menjadi bagian dari keluarga terhormat dan terpandang ini, memiliki jabatan penting di perusahaan atau bahkan memiliki cabang perusahaan sendiri." Bisikan Baim sebelum dia pamit pulang kemarin kembali terngiang di benak. Meira melihat ambisi itu di mata mantan suaminya. Meira baru sadar, ternyata sikap Baim tak jauh dari ibu dan kakak-kakaknya yang materialistis. Bahkan, Baim sampai memastikan akan menjadi bagian dari keluarga Wicaksono dengan cara apapun. Mengerikan. Itu artinya, penolakan halus Wicaksono dan Sundari tak terlalu dikhawatirkannya. Baim merasa jumawa karena sudah memegang hati Vonny yang entah karena apa bisa sebucin itu padanya. Aneh memang, tapi Meira menduga jika mantan suaminya mendekati Vonny dengan cara
"Assalamualaikum, Bunda. Bunda apa kabar? Maaf kalau Mei nggak ngasih bunda kabar beberapa minggu belakangan." Meira sedikit gugup saat Una memberikan handphonenya pada bunda. "Wa'alaikumsalam, Nak. Alhamdulillah bunda baik. Adik-adikmu di panti juga sehat dan makin pintar. Kamu sama Aldo gimana kabarnya?" Mendengar suara lembut bunda membuat Meira semakin berkaca-kaca. Sejak dulu, wanita itu memang selalu membuatnya tenang. Senyum manisnya, cinta tulusnya, mata teduhnya, pelukan hangatnya, semua yang ada pada bunda selalu membuat Meira rindu. Hanya saja, waktu dan kondisi yang membuatnya tak bisa leluasa dan cerita banyak hal pada ibu pantinya itu. "Alhamdulillah sehat juga, Bun. Aldo naik kelas tiga sekarang. Kami tinggal di Jogja." Akhirnya Meira jujur, meski dia yakin jika Una sudah menceritakan secuil kisahnya pada bunda. "Iya, Una barusan cerita kalau kamu sama Aldo di Jogja. Bunda nggak menyangka jika Baim bisa setega itu menjatuhkan talaknya padamu, Mei. Jujur bunda kecewa
Meira tersedak saat mendengar kata ayah yang diucapkan bunda. Matanya yang tadi berkaca kini mulai meneteskan embun bening. Meira terisak. Melihat bundanya terus menangis, Aldo yang sedari tadi memperhatikannya dari ranjang pun melangkah perlahan mendekat lalu memeluk bundanya. "Bunda jangan menangis lagi," ujarnya lirih. Meira pun mencoba tersenyum meski sedikit dipaksakan. Bayang-bayang ayah yang selama ini dimimpikan Meira akan menjadi kenyataan. Namun, di sudut hati lain dia kembali merutuki laki-laki itu. Kenapa dia dan istrinya tega membuang Meira ke panti asuhan bahkan setelah sekian tahun lamanya tak pernah tahu dimana dan bagaimana kabarnya. 'Kenapa? Kenapa ibu dan bapak tega membuang Meira di sini, Bunda? Kenapa Mei nggak dirawat seperti anak-anak yang lain? Apa salah Mei sampai mereka tak mau mengakui Meira sebagai buah hatinya? Kenapa, Bunda? Kenapa adik-adik yang lain bernasib sama seperti Meira? Kami nggak akan nakal, Bun. Kami akan menjadi anak yang penurut dan patuh
"Ada Pak Joko atau Pak Ujang, Ma. Kenapa harus aku lagi yang mengantar Meira?" protes Raka saat Sundari terus meminta dan membujuknya untuk mengantar Aldo ke sekolah. "Mama nggak tega kalau Aldo dibully teman-temannya, Raka. Makanya, mama minta tolong sama kamu supaya urus pendaftaran Aldo ke sekolah. Mungkin jika kamu yang mendaftar akan membuat Aldo lebih percaya diri. Kalau mama nggak ada acara ke Semarang, mama juga nggak akan minta tolong sama kamu." Sundari menghela napas panjang saat melirik wajah Raka yang muram. "Kali ini saja ya, Ma? Lain kali aku nggak mau diikutsertakan dalam masalah seperti ini. Takutnya ada yang lihat dan jadi fitnah kalau-- "Kalau kamu dan Meira ada hubungan khusus? Kenapa memangnya kalau ada, Meira sudah janda dan kamu duda kan?" Sundari tersenyum tipis lalu mengusap perlahan lengan anak sulungnya. "Meski sudah memiliki anak sebesar Aldo, tapi tubuhnya begitu terawat. Dia cantik dan memiliki tubuh ideal. Selain itu, dia juga lembut, sabar dan keibu
"Kamu antar Aldo ke sekolah, biar nanti Dee main sama Yuni dulu," ujar Sundari lagi. "Tapi saya belum masak, Bu. Tadi baru kelar mencuci baju sekalian setrika baju yang dicuci kemarin.""Nggak apa-apa, Mei. Dee bisa sarapan pakai roti atau telur rebus atau ikan. Gampanglah nanti biar Yuni yang urus. Berangkat sana, biar Aldo nggak telat." Meira kembali mengangguk. Tak menunggu lama, Raka beranjak dari kursi setelah mendapat cubitan kecil mamanya. Aldo dan Meira pun pamit. Mereka sama-sama mengangguk pelan saat bersitatap dengan Sundari yang masih duduk di sofa."Belajar yang pintar ya, Al. Semoga betah di sana dan punya banyak teman. Semangat belajarnya ya." Sundari memberi secuil nasehat yang membuat Aldo semakin berbinar. Dia merasa begitu diharapkan dan disayang di rumah itu. Perhatian-perhatian dari orang-orang dewasa di rumah ini membuatnya semakin yakin jika masih ada orang baik yang menyayanginya. Aldo juga percaya jika bundanya akan baik-baik saja sekalipun Vonny terus meny
"Meira, dia mantan istriku." Raka pura-pura tak tahu keterkejutan Meira. Perempuan itu masih mematung sembari mengulurkan tangan kanannya. Namun, Dahlia tak membalas uluran tangan itu. Dia justru pergi begitu saja sembari bergelayut manja di lengan bosnya. Kepergian mobil merah itu, membuat Raka tercekat. Dia tak membahas apapun. Tak minta maaf atau sekadar memberi penjelasan agar Meira tak berharap. Melihat sikap majikannya yang begitu kaku dan cuek, Meira pun melakukan hal yang sama. Dia pura-pura tak mengingat perkenalan singkat tadi. Untuk mengurangi kekakuan, Raka buru-buru menelepon Broto untuk membawakan mobil yang lain. Mobilnya rusak cukup parah di bagian depan dan dia meminta Broto untuk membawanya ke bengkel. Cukup lama menunggu, akhirnya mobil yang dikendarai Broto datang juga. Mobil yang biasa dipakai Keanu itu berhenti di belakang mobil Raka. Broto keluar dari mobil lalu melangkah tergesa mendekati majikan mudanya. "Maaf agak lama, Mas. Tadi ada sedikit insiden di ru
Cukup lama ngobrol, akhirnya Aldo muncul dengan dua wanita di belakangnya. Mereka duduk berdampingan di sofa tak jauh dari tempat duduk Raka. "Gimana, Aldo? Sudah keliling sekolah?" tanya Suryo sembari beranjak dari tempat duduknya. "Alhamdulillah sudah, Pak. Sekolahnya bagus dan besar. Teman-temannya juga banyak." Aldo begitu antusias. Terlihat jelas binar bahagia di wajah tampannya. Meira pun tak kalah bahagianya. Dia lega karena Aldo menyukai sekolah barunya. Selain itu, Meira juga suka dengan lingkungan, sarana prasarana dan kegiatan keagamaan di sekolah itu. Meira berharap Aldo bisa lebih paham agama jika sekolah di sana yang berbasis islami. "Syukurlah. Besok bisa langsung belajar di kelas ya? Semoga Aldo betah sekolah di sini." Suryo dan Dina-- wali kelas Aldo pun tersenyum tipis menatap wajah anak didik mereka yang baru. "InsyaAllah betah, Pak, Bu. Sekolah ini sangat bagus dan keren. Nggak banyak orang bisa sekolah di sini kan? Masa saya nggak betah." Aldo menatap bundany
Sebulan berlalu. Meira sudah terbiasa dengan suasana dan pekerjaannya sebagai baby sitter. Dia menyayangi Dee seperti anaknya sendiri karena memang sejak dulu Meira berharap Aldo memiliki adik perempuan, tapi rupanya Allah belum mengizinkan. Bukannya bertambah keturunan justru pernikahannya bersama Baim hancur berantakan. "Mbak Lia minggu besok datang ke rumah kan? Aku akan bertunangan dengan seseorang." Suara Vonny sengaja diperkeras agar Meira mendengar obrolannya. Namun, Meira pura-pura tak mendengar. Dia sibuk menyiapkan makan siang untuk Dee. Saat ini dia masih bermain dengan papanya di kamar. Tumben akhir-akhir ini Mas Raka sering di rumah. Biasanya dia sibuk di kantor bahkan nyaris jarang pulang." Vonny manggut-manggut, entah apa yang dikatakan Dahlia dari seberang. Perempuan itu sengaja menelepon Vonny karena ingin bertanya banyak hal tentang Meira. Sejak pertemuan tak sengajanya dengan Raka tiga minggu lalu, Dahlia memang penasaran sebenarnya siapa sosok Meira. Kenapa dia b
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka
"Ya Allah, Rena! Ternyata semua gosip yang beredar itu benar!" pekik seseorang diantara kerumunan pengunjung. Ren amendelik saat tahu siapa yang berteriak dan kini jatuh pingsan di depan matanya itu. "Ibu! Ngapain ibu ke sini?!" teriaknya sembari berhamburan ke arah ibunya yang limbung. Azziz yang kini berdiri di sampingnya menatap tajam. Rahangnya mengeras. Dia benar-benar emosi melihat sepak terjang istrinya. Seolah tak ada kesempatan lagi, Azziz sudah muak dan tak ingin berkompromi lagi. Dia menyerah, apalagi saat tekad kuatnya untuk melunasi hutang demi membahagiakan istri justru dibalas dengan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti ini. Harga dirinya sebagai suami dan kepala rumah tangga seakan mati. Azziz benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Dia menyerah di pernikahannya yang menginjak di bulan ke enam. "Mau dibawa kemana, Mas?!" tukas Rena saat melihat Azziz membopong ibu mertuanya. "Minggir kamu! Urus saja bahagiamu sendiri! Puas-puasin sebelum kamu menyesal di kem
"Papa! Gila, ini selingkuhan papa?!" sentak perempuan bernama Tamara itu sembari menunjuk wajah Rena yang kini mulai memerah. Beberapa pengunjung mall mulai merekam keributan itu dengan handphone masing-masing. Rena benar-benar benci hal ini. Nyaris tiga bulan berhubungan dengan Pramono, tak pernah terbesit sedikit pun di benaknya akan mengalami hal memalukan seperti ini. "Papa benar-benar kelewatan. Lihat usianya, Pa! Seumuran aku!" oceh Tamara lagi. Dia menggeleng-geleng tak percaya. "Tamara ... dengerin papa dulu," ujar Pramono sembari menenangkan putri bungsunya. Pramono memiliki dua orang putri bernama Salsa dan Tamara. Saat ini istrinya terbaring di rumah karena stroke yang dideritanya selama setahun belakangan. "Dengerin apalagi, Pa? Papa mau beralasan apa? Jelas-jelas papa begitu mesra dengan perempuan jalang itu!" sentak Tamara lagi. "Tutup mulutmu!" tukas Rena menepis telunjuk Tamara yang tepat di depan wajahnya. "Heh! Tutup mulutku apa?! Jelas-jelas Lo cuma manfaati
Rena melirik jam tangannya yang berkilau di bawah cahaya lampu cafe. Dia duduk manis di pojokan, memainkan sedotan dalam segelas mocktail warna pink sambil sesekali membetulkan rambutnya."Maaf lama, Ren. Tadi agak macet." Suara berat dan dewasa terdengar dari belakang. Pramono, pria paruh baya dengan jas abu-abu yang necis, menyapa dengan senyum genit. Seperti biasa, mereka pun cipika-cipiki tiap kali bertemu. "Kamu telat dua puluh menit, Om. Aku sampai jamuran nunggu di sini." Rena merajuk, bibirnya manyun manja."Maaf dong, jalanan macet. Tapi lihat deh ... masa Om telat masih disambut sama wajah secantik ini?" Pram mencubit dagu Rena lembut. Rena hanya tertawa kecil.Mereka menikmati hidangan sambil sesekali beradu pandang. Beberapa pasang mata mulai melirik ke arah mereka. Usia mereka terlalu jauh dan kemesraan itu terasa janggal. Meski tak ada yang menegur dan seolah tak peduli, tapi tetap saja pandangan aneh dan tak biasa terlihat. Namun, Rena cuek saja. Dia tak peduli dengan
"Sayang, bubur kacang hijaunya dihabisin ya? Biar kamu nggak mual-mual lagi." Ken menyiapkan bubur di mangkok untuk istrinya. "Iya, Mas. Temani makan ya?" balas Hanum dengan senyum tipis. Hanum berusaha tetap tenang, meski beberapa menit lalu hatinya bergemuruh kesal, emosi dan muak. Beragam pesan yang dikirimkan oleh Clarissa benar-benar membuat moodnya nggak karuan. Namun, di depan Ken dia berusaha untuk tetap tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. "Sini, duduk!" pinta Ken sembari menarik kursi di sampingnya. Hanum mendekat lalu duduk di samping suaminya. "Habiskan selagi masih hangat." Lagi-lagi Hanum mengangguk. "Kamu juga ikut makan, Mas. Ayo." Hanum membuka sebungkus bubur lalu menyiapkannya untuk Ken. "Tadinya mau barengan aja sekalian nyuapin kamu, Sayang." "Barengan juga boleh. Sini Hanum yang nyuapin." Sepasang suami istri itu saling melempar senyum. Hanum menyuapi Ken dengan semangkok buburnya, sementara Ken menyuapi Hanum dengan bubur miliknya. Setelah bubur habis,