Sepuluh menit sembunyi, suasana kembali hening. Bowo mengintip ke luar dari celah jendela. Ada beberapa kucing liar di halaman. "Sial! Kucing, Bos!" umpatnya setelah melihat beberapa benda yang berantakan di teras basecamp mereka. Ferdy dan Galih pun ikut keluar dari persembunyian sembari mengumpat macam-macam. "Kirain polisi!" ucap Galih sembari menjatuhkan bobotnya kembali ke kursi. "Berulang kali masuk penjara, masih aja takut sama polisi, Bos!" Bowo menimpali. "Lagi malas berurusan sama si coklat itu. Masih banyak hal yang harus gue urus di sini, terutama manusia satu bernama Ken itu!" tegas Galih lagi. "Bukannya juragan Gino sudah bilang kalau bos nggak berubah, beliau nggak akan bantu lagi? Tiga kali keluar masuk penjara, Juragan Gino selalu membereskan semuanya. Misal kali ini ketangkap lagi, jangan-jangan beliau beneran nggak mau bantu, Bos!" Ferdy mulai khawatir. Dia ingat dengan ancaman bos tuanya kala itu. Ancaman saat bos mudanya baru saja dikeluarkan dari penjara de
Angin malam berembus dingin melewati celah-celah jendela kamar. Hanum duduk di tepi ranjang, memandangi layar handphonenya dengan cemas. Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam dan Ken belum juga pulang. Biasanya, kalau harus pulang larut, Ken selalu memberi kabar. Tapi malam ini, handphonenya mati karena kehabisan daya. Hanum menggigit bibir, menekan nomor Ken sekali lagi."Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubung ...."Nada monoton itu kembali terdengar, membuat hatinya semakin gelisah."Ya Allah, Mas … kamu di mana? Tadi bilangnya ada urusan sebentar, tapi kenapa sampai sekarang belum jua pulang? Nggak kasih kabar apapun pula," bisiknya. Kedua matanya berkaca. Hanum beranjak dari ranjang lalu mondar-mandir di kamarnya. Gelisah dan takut terjadi apa-apa dengan suaminya itu. Berulang kali telepon Ridho dan Bagas, nomor mereka pun tak aktif bahkan nomor kakak iparnya-- Raka juga sama saja. Hal itu semakin membuat Hanum cemas tak karuan. "Kucoba telepon Mas Raka sekali
Keramaian Ancol siang itu dipenuhi tawa dan teriakan bahagia anak-anak, remaja bahkan dewasa. Raka menggandeng tangan Meira erat, sementara Aldo dan Dee berlari kecil di depan mereka, sesekali melompat kegirangan. Opa dan Omanya mengikuti dari belakang. Sepasang suami istri itu tersenyum melihat cucu-cucu mereka begitu antusias."Papa! naik itu!" teriak Dee sambil menunjuk bianglala yang menjulang tinggi."Aduh, Dek … tinggi banget itu. Nggak boleh. Bahaya. Yang lain aja ya?" Aldo mengeluh, wajahnya sedikit cemas."Mau itu, Mas. Mauuuuu ...." rengek Dee sambil menarik-narik lengan kakak sambungnya itu. "Nggak, Dek. Anak kecil nggak boleh naik itu. Ba-ha-ya." Aldo mengeja laluencubit pelan pipi chubby adik perempuannya. "Benar kata Mas Aldo, Sayang. Dee naik kuda-kudaan aja ya?" tawar Meira lembut. Dee sedikit merengek. ."Dee sama Opa yuk. Kita main di sana. Itu banyak anak-anak. Pasti seru!" Adrian menggendong gadis kecil itu menjauh dari bianglala. Erina pun mengikuti suaminya."
Udara pagi ini terasa sejuk. Wangi bunga semerbak memenuhi kamar Hanum. Entah mengapa hari ini dia malas sekali beranjak dari tempat tidur. Biasanya, bakda shalat subuh, dia sudah mulai sibuk beberes rumah. Mulai menyapu, mengepel bahkan masak untuk sarapan dan makan siang. Akan tetapi, kali ini rasanya benar-benar berbeda. Setelah menjalankan kewajiban dua rakaat, Hanum memilih kembali ke kasur. Tak tidur, tapi sekadar rebahan untuk mengistirahatkan badan. Suara Ken dari terdengar. Dia sedang ngobrol santai dengan bapak mertuanya sembari menyeruput kopi ditemani beberapa gorengan yang dibelinya di warung tetangga. "Hanum sakit, Ken? Tumben jam segini belum keluar kamar," tanya Rudy sembari mencomot pisang goreng di piring. "Sepertinya kecapekan, Pak. Nggak demam kok, cuma katanya masih malas beraktivitas." Ken membalas pelan. "Mungkin memang beneran kecapekan, Ken. Meski cafe sudah jalan hampir tiga bulan, tapi dia masih saja sibuk urus ini itu sendiri. Bapak sudah sering naseha
Meira masih mual-mual saat Raka membawanya ke klinik terdekat. Dia penasaran dengan kondisi istrinya saat ini. Mama mertuanya juga curiga jika Meira hamil. Oleh karena itulah, pulang dari Dufan dia langsung mengajak Meira ke dokter. Sementara Aldo dan Dee diajak Opa dan Omanya pulang ke rumah. Detik ini, Meira terbaring di ranjang periksa dengan hati berdebar tak karuan. Dokter masih memeriksanya dengan seksama. Seorang perawat memintanya tetap tenang saat dokter melakukan USG. Raka yang berdiri di sampingnya menggenggam erat tangannya. Wajahnya dipenuhi antusiasme dan sedikit tegang saat dokter mulai menjelaskan gambar di layar monitor. Sepasang suami istri itu saling tatap tak percaya saat dokter menjelaskan tentang kehamilan Meira yang sudah jalan lima minggu. Meira benar-benar tak sadar jika dia telat haid. Pasalnya, dia memang biasa telat dan selama ini tak ada tanda-tanda kehamilan. Namun, sepertinya kali ini sebuah keajaiban datang. Hal yang dia dan suaminya impian akan seger
Pintu kamar mandi terbuka. Hanum muncul dengan wajah sedikit pucat. Kali ini dia semakin kaget saat melihat suami dan kedua orang tuanya sudah berdiri di ambang pintu menunggunya. "Eh! Bikin kaget aja. Kenapa pada berdiri di sini?" tanya Hanum sembari menatap tiga orang di depannya itu bergantian. "Kamu khawatir sama kamu, Num. Kenapa kamu di kamar terus dari pagi. Apa kamu sakit?" Rudy memeriksa kening putrinya. "Kamu muntah-muntah, Sayang? Agak demam gini. Kita ke klinik sekarang ya?" Ken begitu cemas saat menyentuh kening istrinya yang menghangat. "Cuma kecapekan, Mas. Emang muntah tadi, mungkin karena belum sarapan, tapi tadi malah minum kopi." Hanum mengusap keningnya yang basah setelah cuci muka. "Ke klinik aja, Num. Kamu mual-mual begini bisa jadi hamil muda." Rudy kembali menimpali. Hanum menoleh seketika. "Nggak kok, Pak. Hanum lagi datang bulan. Ini hari pertama." Ken dan Rudy saling tatap lalu menghela napas panjang. Ada sedikit kecewa, tapi mereka sama-sama berusaha
"Kamu kenapa lagi, Rena?! Jangan bikin ibu malu!" sentak Mawar saat melihat anak perempuannya pulang dengan tubuh sempoyongan. "Sudahlah, Bu! Aku mau istirahat. Dari semalam nggak bisa tidur, makanya jadi lemas begini," balas Rena cepat. Wajahnya memucat. Dia benar-benar seperti tak bertenaga. "Heh! Kamu ...." Mawar menghentikan kalimatnya saat melihat beberapa tetangga mulai datang menguping. Seperti biasa, mereka akan bergosip begini begitu. "Kamu minum alkohol?" Mawar menarik lengan Rena ke ruang tamu. Bau alkohol begitu menyengat,.membuat Mawar menutup hidung. Aroma tubuh anak perempuannya itu benar-benar bikin mual. Entah tidur di mana Rena semalaman, sampai membuatnya seperti itu. "Apaan sih, Bu?! Sudahlah. Nggak usah ikut campur urusanku. Sekarang aku pulang kan? Jangan ribet. Aku malas berdebat." Rena menepis tangan ibunya lalu melangkah sempoyongan menuju kamar. Ken yang masih berdiri di depan pintu kamarnya pun hanya melihat sekilas. Tak berniat bertanya karena sudah
Dengan napas berat, Hanum membuka dan membaca pesan dari perempuan itu. Perempuan yang akhir-akhir ini selalu membuatnya tak tenang bahkan berusaha memisahkannya dengan Ken.[Apa kabar, Hanum? Aku harap kamu baik-baik saja setelah melihat foto-foto yang kukirimkan kala itu]Dengan tenang, Hanum melangkah ke ruang makan lalu menarik salah satu kursi dan mendudukinya. Sebenarnya hatinya bergemuruh kesal, marah dan muak, hanya saja dia tahu siapa perempuan itu. Hanum tak ingin tersulut emosi yang hanya akan membuat perempuan bernama Clarissa itu merasa senang dan menang. Hanum akan menghadapinya dengan cara lebih elegan. [Oh, foto murahan itu? Foto yang sengaja direkayasa hanya demi menjatuhkan suamiku? Sayangnya, aku nggak terlalu peduli dengan itu semua karena toh suamiku tak sadar dengan apa yang dialaminya. Bahkan dia teramat yakin jika kamu sengaja menjebaknya. Kasihan sekali kamu, Rissa. Demi mendapatkan cinta dan perhatian suamiku sampai menghalalkan segala cara. Terlihat picik d
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka
"Ya Allah, Rena! Ternyata semua gosip yang beredar itu benar!" pekik seseorang diantara kerumunan pengunjung. Ren amendelik saat tahu siapa yang berteriak dan kini jatuh pingsan di depan matanya itu. "Ibu! Ngapain ibu ke sini?!" teriaknya sembari berhamburan ke arah ibunya yang limbung. Azziz yang kini berdiri di sampingnya menatap tajam. Rahangnya mengeras. Dia benar-benar emosi melihat sepak terjang istrinya. Seolah tak ada kesempatan lagi, Azziz sudah muak dan tak ingin berkompromi lagi. Dia menyerah, apalagi saat tekad kuatnya untuk melunasi hutang demi membahagiakan istri justru dibalas dengan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti ini. Harga dirinya sebagai suami dan kepala rumah tangga seakan mati. Azziz benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Dia menyerah di pernikahannya yang menginjak di bulan ke enam. "Mau dibawa kemana, Mas?!" tukas Rena saat melihat Azziz membopong ibu mertuanya. "Minggir kamu! Urus saja bahagiamu sendiri! Puas-puasin sebelum kamu menyesal di kem
"Papa! Gila, ini selingkuhan papa?!" sentak perempuan bernama Tamara itu sembari menunjuk wajah Rena yang kini mulai memerah. Beberapa pengunjung mall mulai merekam keributan itu dengan handphone masing-masing. Rena benar-benar benci hal ini. Nyaris tiga bulan berhubungan dengan Pramono, tak pernah terbesit sedikit pun di benaknya akan mengalami hal memalukan seperti ini. "Papa benar-benar kelewatan. Lihat usianya, Pa! Seumuran aku!" oceh Tamara lagi. Dia menggeleng-geleng tak percaya. "Tamara ... dengerin papa dulu," ujar Pramono sembari menenangkan putri bungsunya. Pramono memiliki dua orang putri bernama Salsa dan Tamara. Saat ini istrinya terbaring di rumah karena stroke yang dideritanya selama setahun belakangan. "Dengerin apalagi, Pa? Papa mau beralasan apa? Jelas-jelas papa begitu mesra dengan perempuan jalang itu!" sentak Tamara lagi. "Tutup mulutmu!" tukas Rena menepis telunjuk Tamara yang tepat di depan wajahnya. "Heh! Tutup mulutku apa?! Jelas-jelas Lo cuma manfaati
Rena melirik jam tangannya yang berkilau di bawah cahaya lampu cafe. Dia duduk manis di pojokan, memainkan sedotan dalam segelas mocktail warna pink sambil sesekali membetulkan rambutnya."Maaf lama, Ren. Tadi agak macet." Suara berat dan dewasa terdengar dari belakang. Pramono, pria paruh baya dengan jas abu-abu yang necis, menyapa dengan senyum genit. Seperti biasa, mereka pun cipika-cipiki tiap kali bertemu. "Kamu telat dua puluh menit, Om. Aku sampai jamuran nunggu di sini." Rena merajuk, bibirnya manyun manja."Maaf dong, jalanan macet. Tapi lihat deh ... masa Om telat masih disambut sama wajah secantik ini?" Pram mencubit dagu Rena lembut. Rena hanya tertawa kecil.Mereka menikmati hidangan sambil sesekali beradu pandang. Beberapa pasang mata mulai melirik ke arah mereka. Usia mereka terlalu jauh dan kemesraan itu terasa janggal. Meski tak ada yang menegur dan seolah tak peduli, tapi tetap saja pandangan aneh dan tak biasa terlihat. Namun, Rena cuek saja. Dia tak peduli dengan
"Sayang, bubur kacang hijaunya dihabisin ya? Biar kamu nggak mual-mual lagi." Ken menyiapkan bubur di mangkok untuk istrinya. "Iya, Mas. Temani makan ya?" balas Hanum dengan senyum tipis. Hanum berusaha tetap tenang, meski beberapa menit lalu hatinya bergemuruh kesal, emosi dan muak. Beragam pesan yang dikirimkan oleh Clarissa benar-benar membuat moodnya nggak karuan. Namun, di depan Ken dia berusaha untuk tetap tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. "Sini, duduk!" pinta Ken sembari menarik kursi di sampingnya. Hanum mendekat lalu duduk di samping suaminya. "Habiskan selagi masih hangat." Lagi-lagi Hanum mengangguk. "Kamu juga ikut makan, Mas. Ayo." Hanum membuka sebungkus bubur lalu menyiapkannya untuk Ken. "Tadinya mau barengan aja sekalian nyuapin kamu, Sayang." "Barengan juga boleh. Sini Hanum yang nyuapin." Sepasang suami istri itu saling melempar senyum. Hanum menyuapi Ken dengan semangkok buburnya, sementara Ken menyuapi Hanum dengan bubur miliknya. Setelah bubur habis,