Malam semakin larut dan sekarang nyaris pukul dua dini hari. Namun, Hanum belum bisa memejamkan kedua matanya. Bayangan Ken masih lalu lalang di benak. Berulang kali memeriksa aplikasi hijaunya barang kali ada pesan dari Bagas, tapi nyatanya nihil. Tak ada pesan pun panggilan darinya yang mengabarkan tentang Ken. "Bagaimana ini?" lirihnya lagi dan lagi. Hanum kembali memejamkan matanya, tapi tetap saja suara di luar rumah bahkan detak jarum jam terdengar begitu jelas di telinga. Hanum benar-benar tak bisa tidur. Pikirannya kacau dan tak tenang sebelum tahu kabar Ken sekarang. Dengan gemetar, dia kembali membuka pesan dari nomor tak dikenal itu. Membaca beberapa pesannya bahkan foto-foto yang dikirimkannya. Kali ini Hanum berusaha menahan emosi, mengamati foto itu satu persatu lalu menganalisa apa yang sebenarnya terjadi. "Ada belasan foto yang dikirimkannya, tapi hanya perempuan itu yang bergerak bebas ke sana-sini, sementara Mas Ken tetap terlelap dengan posisi yang sama. Tak ber
Hening. Suasana di ruang makan itu mendadak sunyi beberapa saat. Hanum masih melipat tangan ke dada sembari mengamati gerak-gerik kakak tirinya yang terlihat cukup mencurigakan menurutnya. "Kamu nggak menyembunyikan sesuatu kan, Mbak?" ulang Hanum setelah mereka sama-sama terdiam beberapa menit lamanya. "Maksudmu apa sih, Num? Nggak usah sok penuh teka-teki deh." Rena membalas kesal, meski dalam hati sedikit berdebar. Dia tak ingin Hanum tahu hubungannya dengan Rissa, perempuan yang kini sedang bersama Ken di kamar hotel itu. "Entah, Mbak. Agak aneh saja tiba-tiba kamu ramah dan tanya soal rumah tanggaku dengan Mas Ken. Biasanya kamu nggak peduli," balas Hanum lagi. "Tanya gitu doang emang nggak boleh?" Rena menyahut. "Boleh, nggak ada yang melarang juga. Cuma agak aneh soalnya selama menikah dengan Mas Ken baru kali ini Mbak Rena cukup memperhatikan kami. Padahal selama ini Mas Ken juga sudah berulangkali ke luar kota bahkan ke Jogja tanpaku, tapi Mbak Rena nggak peduli. Kok sek
Jarum jam menunjuk angka dua dini hari saat Ken mulai sadar. Entah obat apa yang dimasukkan ke minumannya sampai Ken tak sadarkan diri selama itu. Dia membuka mata perlahan, mengamati langit-langit kamar dan sekeliling tempat tidurnya. Kedua matanya membulat lebar saat melihat Rissa terlelap di sampingnya. Ken sampai terlonjak seketika lalu melihat tubuhnya tanpa busana sehelai pun. Wajahnya menegang, pandangannya masih lurus ke depan. Ken berusaha mengingat apa yang terjadi sebelumnya, lalu kembali melihat Rissa yang dadanya sedikit terbuka tanpa busana. Ken benar-benar shock menyadari ketidakberesan ini. Tak membuang waktu, Ken buru-buru mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai lalu memakainya satu persatu. Meski sedikit gugup dan gemetar, tapi Ken tetap yakin jika dia tak melakukan apapun. Dia tak mengingat apa-apa selain pertemuannya di cafe bersama Rissa beberapa jam sebelumnya. "Apa yang kamu lakukan, Ris?!" sentak Ken setelah memakai pakaian. Rissa menggeliat lalu ter
[Num, kamu sama Ken nggak kenapa-kenapa kan?]Sebuah pesan dari Meira muncul di layar handphone Hanum saat dia masih termangu di tepi ranjang. Rencananya, hari ini dia ingin menyusul Ken ke Bandung. Hanya saja dia masih bimbang dan bingung rencana apa yang akan dilakukannya setelah sampai sana. [Mbak mimpi buruk semalam. Makanya, pagi-pagi gini sudah chat kamu, Num. Kalian baik-baik saja kan? Apa ada yang sakit?]Pesan kedua dari Meira kembali muncul. Hanum menghela napas panjang lalu mengetikkan pesan balasan. [Mas Ken di Bandung, Mbak. Ada proyek di sana. InsyaAllah semua baik dan sehat. Semoga Mbak Meira sekeluarga juga sehat selalu ya]Hanum sengaja menyembunyikan semuanya karena tak ingin membuat keluarga besar suaminya panik. Dia yakin bisa menyelesaikan masalah ini berdua saja dengan Ken. Hanum pun tak berniat menceritakan soal itu pada bapaknya. Hanum benar-benar khawatir jika mereka justru panik dan cemas. [Syukurlah kalau kalian baik-baik saja, Num. Alhamdulillah keluarga
"Sayang, aku bisa jelaskan semuanya. Foto-foto ini gak seperti yang kamu pikirkan," ujar Ken gugup. Dia benar-benar takut jika Hanum percaya begitu saja dengan apa yang dilihatnya saat ini. Ken nggak mau Hanum terjebak oleh akal bulus Rissa dengan segala rencananya yang menjijikkan itu. "Memangnya seperti apa yang Hanum pikirkan saat ini, Mas?" tanya Hanum lirih membuat Ken semakin bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya dirasakan Hanum detik ini. Mungkinkah kecewanya terlalu tinggi? Apakah dia curiga jika Ken berselingkuh dengan perempuan itu atau--"Aku tahu kamu kecewa dan sedih melihat foto-foto itu, Sayang. Tapi percayalah, foto-foto itu tak sepenuhnya benar. Kamu nggak boleh terjebak oleh permainan Rissa, Sayang. Dia perempuan licik yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Kalau aku bilang semua ini hanya jebakannya, kamu percaya kan? Aku nggak mungkin mengkhianati pernikahan dan janji cinta kita, Sayang." Ken begitu gugup dan cemas. Keringat dingin
[Kau pikir bahagia dengan Hanum itu mudah? Jangan mimpi! Kau akan tahu akibatnya sebentar lagi][Hanum bukan untukmu, Ken. Kamu nggak pantas bersanding dengannya. Kamu pasti akan menyesal jika tetap bersamanya.][Aku yang lebih dulu menemukan Hanum dan mencintainya. Kamu nggak pantas bersama dia. Sampai kapanpun aku nggak akan membiarkanmu bahagia. Ingat itu!] Ken kembali membaca beberapa pesan dari peneror itu di handphonenya. Selain Rissa, ternyata ada pula pihak ketiga yang ingin menghancurkan rumah tangga Ken dan Hanum. Dia yang sering meneror Ken akhir-akhir ini bahkan sering kali mengawasi Hanum diam-diam. Hanum tahu jika dia diintai seseorang entah siapa, makanya dia selalu diantar bapak dan Ridho saat pulang dari cafe. Bahkan saat ke pasar atau kemanapun Ridho selalu mengikutinya. Hanum patuh pada permintaan suaminya karena dia tahu semua itu demi kebaikannya juga. Ken hanya tak ingin tragedi tempo hari terulang kembali. Suara ketukan di pintu kamar membuat Ken terjaga. Saa
"Cepat katakan! Siapa bosmu!" sentak Bara pada peneror itu. "Kalian salah orang. Aku nggak tahu apa yang kalian katakan!" balas laki-laki itu sengit. Bara tersenyum sinis lalu menendang kaki laki-laki itu untuk kedua kalinya. "Kau pikir kami orang bodoh yang asal nangkap orang, heh! Tempo hari kau bisa lolos, tapi sekarang nggak akan! Katakan sekarang siapa bosmu. Dengan begitu kami bisa membantumu meringankan beban. Kalau nggak, siap-siap saja mendekam di jeruji besi. Kami nggak akan membiarkanmu mendapatkan keringanan sedikitpun!" sambung Bara lagi. Bukannya takut, laki-laki itu justru terkekeh pelan seolah makin menantang. Seolah sudah siap dengan segala resikonya. "Silakan bawa aku ke kantor polisi. Kamu nggak akan mendapatkan informasi apapun karena aku nggak pernah tahu apa maksudmu! Sudah kubilang kalian salah tangkap!" balas laki-laki itu dengan senyum miring. Bara yang emosi nyaris memukul wajah laki-laki itu, tapi Ken buru-buru menarik lengannya. "Jangan gegabah, Bar.
Bagas menatap layar ponsel peneror Ken itu dengan napas tercekat. Jemarinya sedikit gemetar saat membaca isi pesan yang baru masuk di handphone milik laki-laki itu. Matanya menyusuri setiap kata dengan cepat, memastikan dia tidak salah baca.[Gue udah transfer sesuai permintaan lo. Kenapa lo masih di Bandung?! Gue udah bilang, pergi dari sana! Jangan bikin ribet! Kalau sampai lo ketangkep, JANGAN SEKALI-KALI bawa nama gue. Kalau lo bocor, taruhannya nyawa!]Bagas mengangkat wajahnya, menatap Ken yang duduk di belakang kemudi dengan rahang mengeras. "Bos ... ini serius. Kayaknya kita dapet ikan besar." Bagas tersenyum senang. Wajah yang sebelumnya begitu tegang, kini terlihat lebih semringah.Ken menatap Bagas dari balik spion. Dia mengernyit, tak paham dengan maksud Bagas. "Apa maksudmu, Gas?!" tanya Ken cepat sembari menatap benda pipih hitam itu di tangan Bagas dan membaca pesan itu sendiri. Pesan yang baru saja muncul di layar sampai Bagas bilang dapat ikan segar. Sekelebat amar
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka
"Ya Allah, Rena! Ternyata semua gosip yang beredar itu benar!" pekik seseorang diantara kerumunan pengunjung. Ren amendelik saat tahu siapa yang berteriak dan kini jatuh pingsan di depan matanya itu. "Ibu! Ngapain ibu ke sini?!" teriaknya sembari berhamburan ke arah ibunya yang limbung. Azziz yang kini berdiri di sampingnya menatap tajam. Rahangnya mengeras. Dia benar-benar emosi melihat sepak terjang istrinya. Seolah tak ada kesempatan lagi, Azziz sudah muak dan tak ingin berkompromi lagi. Dia menyerah, apalagi saat tekad kuatnya untuk melunasi hutang demi membahagiakan istri justru dibalas dengan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti ini. Harga dirinya sebagai suami dan kepala rumah tangga seakan mati. Azziz benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Dia menyerah di pernikahannya yang menginjak di bulan ke enam. "Mau dibawa kemana, Mas?!" tukas Rena saat melihat Azziz membopong ibu mertuanya. "Minggir kamu! Urus saja bahagiamu sendiri! Puas-puasin sebelum kamu menyesal di kem
"Papa! Gila, ini selingkuhan papa?!" sentak perempuan bernama Tamara itu sembari menunjuk wajah Rena yang kini mulai memerah. Beberapa pengunjung mall mulai merekam keributan itu dengan handphone masing-masing. Rena benar-benar benci hal ini. Nyaris tiga bulan berhubungan dengan Pramono, tak pernah terbesit sedikit pun di benaknya akan mengalami hal memalukan seperti ini. "Papa benar-benar kelewatan. Lihat usianya, Pa! Seumuran aku!" oceh Tamara lagi. Dia menggeleng-geleng tak percaya. "Tamara ... dengerin papa dulu," ujar Pramono sembari menenangkan putri bungsunya. Pramono memiliki dua orang putri bernama Salsa dan Tamara. Saat ini istrinya terbaring di rumah karena stroke yang dideritanya selama setahun belakangan. "Dengerin apalagi, Pa? Papa mau beralasan apa? Jelas-jelas papa begitu mesra dengan perempuan jalang itu!" sentak Tamara lagi. "Tutup mulutmu!" tukas Rena menepis telunjuk Tamara yang tepat di depan wajahnya. "Heh! Tutup mulutku apa?! Jelas-jelas Lo cuma manfaati
Rena melirik jam tangannya yang berkilau di bawah cahaya lampu cafe. Dia duduk manis di pojokan, memainkan sedotan dalam segelas mocktail warna pink sambil sesekali membetulkan rambutnya."Maaf lama, Ren. Tadi agak macet." Suara berat dan dewasa terdengar dari belakang. Pramono, pria paruh baya dengan jas abu-abu yang necis, menyapa dengan senyum genit. Seperti biasa, mereka pun cipika-cipiki tiap kali bertemu. "Kamu telat dua puluh menit, Om. Aku sampai jamuran nunggu di sini." Rena merajuk, bibirnya manyun manja."Maaf dong, jalanan macet. Tapi lihat deh ... masa Om telat masih disambut sama wajah secantik ini?" Pram mencubit dagu Rena lembut. Rena hanya tertawa kecil.Mereka menikmati hidangan sambil sesekali beradu pandang. Beberapa pasang mata mulai melirik ke arah mereka. Usia mereka terlalu jauh dan kemesraan itu terasa janggal. Meski tak ada yang menegur dan seolah tak peduli, tapi tetap saja pandangan aneh dan tak biasa terlihat. Namun, Rena cuek saja. Dia tak peduli dengan
"Sayang, bubur kacang hijaunya dihabisin ya? Biar kamu nggak mual-mual lagi." Ken menyiapkan bubur di mangkok untuk istrinya. "Iya, Mas. Temani makan ya?" balas Hanum dengan senyum tipis. Hanum berusaha tetap tenang, meski beberapa menit lalu hatinya bergemuruh kesal, emosi dan muak. Beragam pesan yang dikirimkan oleh Clarissa benar-benar membuat moodnya nggak karuan. Namun, di depan Ken dia berusaha untuk tetap tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. "Sini, duduk!" pinta Ken sembari menarik kursi di sampingnya. Hanum mendekat lalu duduk di samping suaminya. "Habiskan selagi masih hangat." Lagi-lagi Hanum mengangguk. "Kamu juga ikut makan, Mas. Ayo." Hanum membuka sebungkus bubur lalu menyiapkannya untuk Ken. "Tadinya mau barengan aja sekalian nyuapin kamu, Sayang." "Barengan juga boleh. Sini Hanum yang nyuapin." Sepasang suami istri itu saling melempar senyum. Hanum menyuapi Ken dengan semangkok buburnya, sementara Ken menyuapi Hanum dengan bubur miliknya. Setelah bubur habis,