"Jaga bicaramu, Rena! Makin hari kamu makin ngelunjak sebagai istri!" sentak Azziz tak terima dengan ucapan istrinya. "Memangnya selama ini aku mengabaikan tugasku sebagai suami? Sejak belum menikah, kamu sudah minta ini itu dan aku belikan semuanya. Kamu bilang nggak bisa jadi donatur?!" sambung Azziz lagi. "Kamu bilang aku harus cari kerja sampingan dan aku juga menuruti permintaanmu. Berangkat pagi pulang sampai malam semua demi dirimu. Uang hasil kerja sampingan juga kamu kuasai dan sekarang kamu menuduhku macam-macam hanya karena dapat pelanggan tetap? Bukannya kamu yang menikmati hasilnya, kenapa sekarang sok merasa paling terdzalimi?!" tukas Azziz lagi. Dia benar-benar kesal dengan sikap Rena yang mau menang sendiri dan nggak pernah mengerti posisinya saat ini. "Kalau aku nggak dapat duit sampingan, bukannya kamu juga yang mencak-mencak?!" "Stop, Mas! Nggak perlu menceritakan semuanya. Aku nggak butuh semua itu. Yang aku pengin sekarang, kamu berhenti antar jemput perempua
"Kamu kenapa, Num?" tanya Rudy saat melihat anak perempuannya duduk di depan bengkelnya yang masih tertutup. Hanum sengaja duduk di sana sembari menunggu bapaknya pulang dari pasar. Hari ini, bapak dan ibu tirinya memang ke pasar. Rudy ingin membelikan kalung untuk istrinya karena kebetulan dia dapat rezeki lebih. Mendengar keinginan suaminya itu membuat Mawar begitu kegirangan. Makanya, pagi-pagi mereka sudah pergi ke pasar. Selain beli perhiasan, Mawar juga sekalian belanja mingguan. Perbelanjaan yang biasanya dihandle Hanum, sekarang menjadi tugas Mawar karena Hanum sudah sibuk di cafenya. "Kamu kelihatan kusut dan ketakutan begitu. Ada apa?" tanya Rudy semakin panik. Dia turun dari motor lalu menghampiri anak perempuannya yang masih cukup gelisah dan takut. Sebenarnya dia ingin menceritakan semuanya sekarang, tapi melihat gerak-gerik ibu tirinya, Hanum mengurungkan niat. Dia tak ingin dituduh memfitnah karena memang nggak ada bukti yang bisa dia gunakan untuk menguatkan cerita
"Kusut banget itu muka," ucap Ike saat dia dan Rena istirahat di kantin kantor. "Kesel banget aku sama Azziz." "Kenapa lagi? Soal hutang-hutangnya lagi?" tebak Ike santai. Ike sudah mengira tiap kali sahabatnya itu murung pasti karena bertengkar dengan suaminya. Entah perihal hutang, cemburu pada Hanum atau tentang kesibukannya setelah punya pekerjaan sampingan. "Bukan soal itu. Okelah soal hutang aku sudah berusaha legowo. Setahun juga lunas. Lagipula dia juga inisiatif cari kerja sampingan meski cuma jadi tukang ojek. Terserahlah, yang penting aku tetap dikasih duit meski jauh dari ekspektasi. Cuma masalahnya, dia menuduhku macam-macam sampai banting ponsel segala. Ponselku hancur sejak kemarin. Beneran mati total dan nggak bisa dibenerin lagi." Rena mendengkus kesal."Sudah coba dibawa ke counter?" tanya Ike mulai fokus dengan cerita sahabatnya itu."Sudah. Azziz juga yang bawa karena aku terlanjur ngamuk. Cuma ya itu, nggak bisa. Itu artinya aku harus punya budget buat beli po
Rena datang ke Cafe Arjuna sebelum jam tujuh malam. Dia sengaja datang lebih cepat karena suntuk di rumah sendirian. Bapaknya ke cafe Hanum, sementara ibunya ke rumah Bu RT karena ada syukuran. Dia melihat sekeliling area parkir. Mobil Om Pram belum ada di sana. Itu artinya dia belum datang. Rena keluar dari mobil lalu melangkah santai ke dalam cafe. Dia mengamati sekitar, memilih tempat yang sekira nyaman. Setelahnya kembali melanjutkan langkah menuju meja di sudut kafe. Baru saja duduk, dari ambang pintu utama muncul sosok yang ditunggu. Om Pram dengan kemeja birunya datang dengan seulas senyum sembari melambaikan tangan ke arahnya. "Sudah lama?" tanya Om Pram setelah cipika-cipiki dengan Rena. Perempuan itu tersenyum lalu menggeleng pelan."Baru sampai juga kok, Om." Rena membalas santai lalu kembali duduk di kursi. "Oke. Pesan sekalian ya? Pilih saja mana yang kamu suka," balas Om Pram sembari menyodorkan buku menu. Rena kembali mengangguk lalu memilih beberapa menu yang dia i
[Aku mulai beraksi malam ini, Ren. Atur saja gimana caranya biar Hanum makin panas. Pastikan dia cemburu, marah dan kecewa. Aku nggak akan pernah membiarkannya merasa paling istimewa di hati Ken. Sampai kapanpun aku nggak akan rela perempuan sepertinya yang menjadi pendamping hidup Ken. Dia nggak pantas!]Pesan dari Clarissa membuat Rena tersenyum lebar. Dia merasa memiliki partner yang sepadan. Rena kembali membayangkan bagaimana runyamnya kehidupan Hanum setelah ini. Rena menghela napas panjang sembari mengirimkan balasan. [Siap, Rissa. Aku akan melakukan tugasku dengan baik. Tenang saja, semua beres!] Setelah mengirimkan pesan itu, Rena kembali menghapus chatnya. Rena menatap jam di dinding. Adzan maghrib sebentar lagi datang, tapi sejak seharian ini tak ada pesan apapun dari suaminya. Rena mulai sedikit gelisah. Sejak kemarin, dia merasakan sedikit keanehan pada Azziz yang tak biasanya dia lakukan. Namun, Rena masih berusaha positif thinking dan tak mau berpikir macam-macam. Ha
[Mas, lagi ngapain? Sudah makan apa belum?]Pesan dari Hanum muncul di layar handphone Ken saat dia berjalan tergesa ke area parkir hotel. Ken sengaja tak mengajak Bagas ke Cafe Bianglala karena dia terlihat sangat kecapekan, bahkan sepertinya sudah terlelap di kamarnya. Lagipula, Ken berpikir tak akan lama di sana. Hanya ketemu mamanya Rissa sebentar lalu kembali ke hotel. Jadi, tak perlu repot mengajak Bagas segala. Sembari berjalan, Ken membalas pesan dari istrinya. Rasa lelah yang sedari tadi menghantam tubuhnya serasa hilang seketika tiap kali membaca pesan atau mendengar suara Hanum. Hanum adalah salah satu sumber semangat dan kekuatannya. [Mau keluar sebentar, Sayang. Sudah makan sama Bagas tadi. Kamu jangan telat makan ya? InsyaAllah lusa aku pulang. Nanti kubawakan sesuatu yang spesial buatmu. Oke!] Ken tersenyum tipis saat membaca kembali pesan yang baru saja dikirimkannya. Setelah sampai area parkir, Ken segera masuk ke mobilnya lalu memakai seat belt. [Katanya seminggu
Clarissa tersenyum puas saat melihat Ken terlelap. Rencana awal berjalan lancar dan dia sudah menyusun rencana selanjutnya. Dua anak buah Clarissa muncul di ambang pintu. Mereka tergesa menghampiri bos perempuannya. "Bawa ke mobil!" perintah Clarissa tanpa basa-basi pada dua lelaki itu. Clarissa pun beranjak dari kursi lalu mengambil kunci mobil Ken di saku celananya. Dua laki-laki kekar itu pun buru-buru memapah Ken yang terlihat lemas dan tak berdaya di kursi cafe. Mereka bertiga keluar cafe menuju area parkir. "Itu mobilnya, warna merah." Dua anak buahnya pun mengangguk. "Pelan-pelan," ujar Clarissa lagi saat dia lelaki itu membawa Ken ke mobil dan menidurkannya di jok belakang mobil Ken. "Kalian di depan, biar aku yang jaga di belakang. Antar ke hotel ya? Kalian sudah tahu tugas selanjutnya kan?" tanya Clarissa kembali mengingatkan. "Masih, Bos. Siap!" balas keduanya nyaris bersamaan. Clarissa kembali mengangguk senang. Mobil pun melaju meninggalkan area cafe. Di perjalanan
Hanum begitu gelisah. Entah mengapa dia tak tenang dan tak bisa tidur, padahal waktu sudah menunjuk angka sebelas malam. Berulang kali berusaha memejamkan kedua matanya, namun bayang-bayang Ken selalu hadir di pelupuk mata. Hanum menghela napas panjang lalu duduk di tepi ranjang. Dia mengambil benda pipih hitam kesayangannya di meja rias lalu membaca pesan-pesan yang dikirimkan suaminya beberapa jam lalu. Ingin sekali menelepon atau mengirimkan pesan lagi, hanya saja dia takut menganggu Ken yang mungkin sudah terlelap. "Mas Ken pasti kecapekan apalagi dia sering lembur. Sebaiknya aku tak mengganggu istirahatnya," gumam Hanum lalu menutup layar handphonenya dan meletakkan kembali ke tempat semula. Dia beranjak dari ranjang menuju pintu kamar. Perlahan melangkah ke dapur untuk mengambil segelas air. Tenggorokannya terasa kering. Lagi-lagi Hanum menghela napas panjang lalu mengambil gelas dan menuangkan air dingin dari kulkas. "Apa Mas Ken sakit? Kenapa tiba-tiba aku segelisah ini? P
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka
"Ya Allah, Rena! Ternyata semua gosip yang beredar itu benar!" pekik seseorang diantara kerumunan pengunjung. Ren amendelik saat tahu siapa yang berteriak dan kini jatuh pingsan di depan matanya itu. "Ibu! Ngapain ibu ke sini?!" teriaknya sembari berhamburan ke arah ibunya yang limbung. Azziz yang kini berdiri di sampingnya menatap tajam. Rahangnya mengeras. Dia benar-benar emosi melihat sepak terjang istrinya. Seolah tak ada kesempatan lagi, Azziz sudah muak dan tak ingin berkompromi lagi. Dia menyerah, apalagi saat tekad kuatnya untuk melunasi hutang demi membahagiakan istri justru dibalas dengan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti ini. Harga dirinya sebagai suami dan kepala rumah tangga seakan mati. Azziz benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Dia menyerah di pernikahannya yang menginjak di bulan ke enam. "Mau dibawa kemana, Mas?!" tukas Rena saat melihat Azziz membopong ibu mertuanya. "Minggir kamu! Urus saja bahagiamu sendiri! Puas-puasin sebelum kamu menyesal di kem
"Papa! Gila, ini selingkuhan papa?!" sentak perempuan bernama Tamara itu sembari menunjuk wajah Rena yang kini mulai memerah. Beberapa pengunjung mall mulai merekam keributan itu dengan handphone masing-masing. Rena benar-benar benci hal ini. Nyaris tiga bulan berhubungan dengan Pramono, tak pernah terbesit sedikit pun di benaknya akan mengalami hal memalukan seperti ini. "Papa benar-benar kelewatan. Lihat usianya, Pa! Seumuran aku!" oceh Tamara lagi. Dia menggeleng-geleng tak percaya. "Tamara ... dengerin papa dulu," ujar Pramono sembari menenangkan putri bungsunya. Pramono memiliki dua orang putri bernama Salsa dan Tamara. Saat ini istrinya terbaring di rumah karena stroke yang dideritanya selama setahun belakangan. "Dengerin apalagi, Pa? Papa mau beralasan apa? Jelas-jelas papa begitu mesra dengan perempuan jalang itu!" sentak Tamara lagi. "Tutup mulutmu!" tukas Rena menepis telunjuk Tamara yang tepat di depan wajahnya. "Heh! Tutup mulutku apa?! Jelas-jelas Lo cuma manfaati
Rena melirik jam tangannya yang berkilau di bawah cahaya lampu cafe. Dia duduk manis di pojokan, memainkan sedotan dalam segelas mocktail warna pink sambil sesekali membetulkan rambutnya."Maaf lama, Ren. Tadi agak macet." Suara berat dan dewasa terdengar dari belakang. Pramono, pria paruh baya dengan jas abu-abu yang necis, menyapa dengan senyum genit. Seperti biasa, mereka pun cipika-cipiki tiap kali bertemu. "Kamu telat dua puluh menit, Om. Aku sampai jamuran nunggu di sini." Rena merajuk, bibirnya manyun manja."Maaf dong, jalanan macet. Tapi lihat deh ... masa Om telat masih disambut sama wajah secantik ini?" Pram mencubit dagu Rena lembut. Rena hanya tertawa kecil.Mereka menikmati hidangan sambil sesekali beradu pandang. Beberapa pasang mata mulai melirik ke arah mereka. Usia mereka terlalu jauh dan kemesraan itu terasa janggal. Meski tak ada yang menegur dan seolah tak peduli, tapi tetap saja pandangan aneh dan tak biasa terlihat. Namun, Rena cuek saja. Dia tak peduli dengan
"Sayang, bubur kacang hijaunya dihabisin ya? Biar kamu nggak mual-mual lagi." Ken menyiapkan bubur di mangkok untuk istrinya. "Iya, Mas. Temani makan ya?" balas Hanum dengan senyum tipis. Hanum berusaha tetap tenang, meski beberapa menit lalu hatinya bergemuruh kesal, emosi dan muak. Beragam pesan yang dikirimkan oleh Clarissa benar-benar membuat moodnya nggak karuan. Namun, di depan Ken dia berusaha untuk tetap tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. "Sini, duduk!" pinta Ken sembari menarik kursi di sampingnya. Hanum mendekat lalu duduk di samping suaminya. "Habiskan selagi masih hangat." Lagi-lagi Hanum mengangguk. "Kamu juga ikut makan, Mas. Ayo." Hanum membuka sebungkus bubur lalu menyiapkannya untuk Ken. "Tadinya mau barengan aja sekalian nyuapin kamu, Sayang." "Barengan juga boleh. Sini Hanum yang nyuapin." Sepasang suami istri itu saling melempar senyum. Hanum menyuapi Ken dengan semangkok buburnya, sementara Ken menyuapi Hanum dengan bubur miliknya. Setelah bubur habis,