"Uang sisa beli perhiasan ada berapa, Bu? Bapak mau beli peralatan bengkel." Rudy berujar pelan saat Mawar dan Rena sudah sampai rumah. Ibu dan anak itu saling tatap. Mawar terlihat gelisah dengan wajah memucat karena takut. Dia kebingungan mencari cara untuk menjelaskan kemana uang itu. "Kenapa diam? Coba bapak hitung sendiri masih berapa. Bapak benar-benar nggak enak sama Ken karena menyelewengkan amanahnya." Rudy menghela napas panjang sembari mengulurkan tangannya, minta sisa uang itu pada istrinya. "An-- anu, Pak. Uangnya hilang." Mawar terbata. Dia menunduk takut sambil memainkan jemari-jemarinya. Rudy mendongak dengan mata membulat lebar. "Apa ibu bilang? Bapak kurang dengar," ujar Rudy lagi. Tatapannya tak berubah. Makin tajam menghujam, membuat Mawar semakin diliputi ketakutan. "U--uangnya dijambret, Pak. Tas ibu dibawa maling, makanya perhiasan dan semua sisa uang itu lenyap. Maafkan ibu, Pak." Mawar duduk di depan suaminya sembari terus meminta maaf. "Uangnya ludes ta
[Kamu jadi pulang ke Jogja besok, Ken? Jangan lupa pesan mama. Bawa istrimu pulang!] Pesan dari Raka muncul di layar handphone Ken saat dia masih meninjau proyek terbarunya. Bagas dan Ridho terlihat ngobrol di kejauhan bersama mandor proyek. Tak ingin terus diteror kakaknya, Ken pun lekas membalas pesan itu. [InsyaAllah besok, Mas. Tiket juga sudah ready. Bilang sama mama, aku akan bawa menantu barunya ke Jogja. Aku selesaikan masalah di sini dulu hari ini]Pesan terkirim dan Ken kembali melanjutkan aktivitasnya. Beberapa kali memeriksa catatan dan desain bangunan yang sudah digarap lalu kembali menghitung seberapa lama lagi ruko itu akan selesai dan siap huni. Meski sudah ada karyawan yang mengurus hal ini, tapi Ken cukup detail saat mengurus proyeknya. Oleh karena itulah, dia memeriksa semuanya sampai menemukan yang terbaik. [Sayang, pulang jam berapa? Sekarang di mana?]Getar handphone Ken kembali terasa. Dia pikir, kakaknya yang mengirimkan balasan. Namun, saat dilihat layar h
"Kakakmu di kamar, Mel. Masuk dulu biar kupanggilkan." Rudy mempersilakan Melati untuk masuk ke ruang tengah, sementara Hanum melangkah ke dapur untuk menyiapkan es jeruk dan camilan. Perlahan Rudy mulai mengetik pintu kamar. Mawar yang masih berbaring di kasur sembari berselancar ke media sosialnya pun kembali berdecak kesal mendengar ketukan itu. "Ada apalagi sih! Heran, baru mau istirahat sebentar sudah ribet lagi!" umpatnya. Sebenarnya Mawar ingin pura-pura tidur, tapi saat Rudy bilang adiknya datang, rencana itu pun dia urungkan. Meski malas, Mawar gegas turun dari ranjang lalu mendekati pintu kamarnya. "Dicari Melati." Rudy menunjuk adik semata wayang Mawar yang tengah duduk di sofa ruang tengah. Tanpa membalas ucapan Rudy, Mawar melenggang begitu saja menyusul Melati setelah menutup pintu kamarnya. "Mbak ...." Melati tampak tersenyum saat melihat kakaknya datang. Keduanya pun saling peluk dan cipika cipiki seperti biasanya tiap kali bertemu. "Sendirian, Mel? Nggak sama Fa
"Ibu diam-diam berhutang tanpa bilang bapak dulu? Memangnya selama ini ibu punya penghasilan, kok bisa-bisanya pinjam uang sebanyak itu." Rudy mulai mencecar membuat Mawar semakin panik. "Bapak kok ngomongnya begitu sih?! Ibu emang nggak kerja, Pak. Tapi bapak sama Rena kan kerja. Lagipula hutang ini juga bukan buat foya-foya, tapi buat kita semua. Kesannya ibu doang yang salah. Kalau bapak bisa mencukupi kebutuhan keluarga, ibu juga nggak bakal minjam sana-sini seperti ini. Bukannya introspeksi malah playing victim. Seolah bapak yang paling tersakiti," tukas Mawar balik menyudutkan. "Yakin buat kita semua?" sindir Rudy lagi membuat wajah Mawar semakin tertekuk. Rena yang baru bangun tidur akhirnya keluar karena tak tahan mendengar keributan kedua orang tuanya. Dia berdiri di ambang pintu sembari melihat ke ruang tengah. "Ribut terus dari pagi sih, Bu. Belum kelar juga perkara duit yang hilang itu?!" omel Rena kemudian. Mawar dan Melati menoleh ke belakang. Begitu pula dengan Rud
"Jadi, uang buat modal bengkel bapak itu dijambret, Sayang?" tanya Ken setelah mendengar cerita bapak mertuanya di ruang makan tadi. "Iya, Mas. Semua karena ibu. Dia bawa semua uang itu ke pasar buat beli perhiasan. Naas malah dijambret orang." Hanum kembali berdecak kesal. "Belum rezeki bapak, Sayang. Lain waktu aku belikan saja peralatan bengkel, jadi nggak kukasih dalam bentuk uang. Gimana?" tanya Ken lagi seolah tak ada penyesalan di hati karena mertuanya menyelewengkan amanahnya. Hanum menoleh lalu kembali menatap lekat suaminya. "Mas Ken nggak marah atau kecewa karena uang itu hilang begitu saja?" tanya Hanum geleng-geleng kepala. "Kecewa mungkin ada, Sayang. Tapi kalau marah, nggak lah. Mau gimana lagi? Konsepnya belum rezeki. Sekuat apapun digenggam juga bakal terlepas jua. Semoga saja uangnya digunakan sebaik-baiknya oleh penjambret itu." Ken mengusap puncak kepala istrinya lalu kembali tersenyum. "Kalau ibu nggak serakah, mungkin uang itu juga nggak akan hilang, Mas. Ba
Adzan subuh berkumandang. Ken sudah siap ke masjid dengan baju rapi dan sajadah yang tersampir di pundaknya. Hanum pun gegas beranjak dari ranjang lalu membereskan selimut, bantal dan tempat tidur yang sedikit berantakan. "Sayang, ke masjid dulu ya?" Ken tersenyum saat Hanum menoleh ke arahnya. "Iya, Mas. Hati-hati di jalan." "Assalamualaikum." "Wa'alaikumsalam, Mas," balas Hanum lagi sembari mengangguk pelan. Setelah pamit pada istrinya, Ken gegas keluar kamar. Seperti biasa, bapak mertuanya sudah menunggu di rumah keluarga. Kedua laki-laki itu berjalan beriringanenuju masjid yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka. Azziz sesekali juga ikut jamaah ke masjid, tapi kadang dia memilih sholat di rumah entah karena apa. "Mas, ngapain sih kamu bangunin aku sepagi ini?" Suara Rena terdengar dari kamarnya. Sepertinya dia baru bangun. "Sholat subuh, Dek. Ayo sama aku. Tadi aku kesiangan makanya nggak jamaah ke masjid," balas Azziz dengan volume suara lebih rendah dibandingkan
"Mau ke mana, Ren?" tanya Mawar saat melihat anak perempuan dan menantunya keluar dari kamar dengan dandanan rapi. "Mau ke dealer, Bu. Kami sudah sepakat ambil mobilnya hari ini," balas Rena begitu semringah. Dia yang sebelumnya ngomel-ngomel tak karuan hanya karena perkara secangkir kopi, akhirnya luluh setelah Azziz mengajaknya ke dealer untuk membeli mobil. Sesuai rencana, mahar uang dan emas itu akan digunakan untuk membeli mobil pilihan Rena. Kekurangannya akan diangsur tiap bulan. "Beneran mau beli mobil, Ren?" Mawar ikut semringahendengar kabar bahagia itu. Rena melipat tangan ke dada lalu tersenyum lebar. "Beneran dong, Bu. Nanti kita bisa jalan-jalan dan shopping kalau sudah ada mobil." Mawar mengangguk lalu menepuk pelan lengan anak kesayangannya. "Ibu bangga sama kalian berdua. Pokoknya ibu dukung. Jangan sampai kalah sama Hanum." Kali ini volume suara Mawar sedikit diturunkan karena tahu Hanum dan Ken masih di kamarnya. "Tenang saja, Bu. Mas Azziz nggak mungkin kalah
Suasana di luar rumah cukup heboh. Beberapa tetangga datang untuk melihat apa yang terjadi di rumah sederhana itu. Hanum yang sebelumnya terlelap pun mulai terjaga dari tidur siangnya. Dia mengerjap pelan lalu mendengarkan suara gaduh di halaman rumahnya. Jarum jam nyaris menunjuk angka dua saat Hanum terjaga. Dia menggeliat pelan lalu turun dari ranjang. Rasa penasaran pun muncul karena suara di luar semakin berisik. Sesekali terdengar tawa mereka. "Hebat sekali, Ren. Baru nikah seminggu sudah bisa beli mobil baru," ujar salah seorang ibu entah siapa namanya. "Resepsi di hotelnya jadi kan, Ren? Apa batal karena dananya sudah buat beli mobil?" "Nggak batal dong! Resepsi itu tetap digelar. Bukannya kamu sudah dapat undangannya? Kok nanya begitu?" tukas Rena sedikit kesal."Kupikir dibatalkan. Soalnya kaya nggak ada kabar lagi." "Makanya, lihat tanggalnya dong. Sudah jelas di situ tanggal berapa. Kalaupun aku kelihatannya nggak ngurusin ya memang semua sudah dihandle suamiku. Lagip
Langit pagi yang cerah menyelimuti suasana ruko furnitur lokal yang sederhana, namun penuh barang-barang unik. Hanum tak bisa menahan senyum lebar di wajahnya saat menggenggam tangan Ken. Mereka baru saja memarkir mobil dan berjalan memasuki ruko yang sudah lama diincar Hanum untuk mencari furnitur impian."Mas, Hanum nggak percaya kita benar-benar sampai di tahap ini. Semua seperti mimpi. Ternyata mimpi yang tinggi itu nggak apa-apa ya?" ucap Hanum dengan senyum dan penuh semangat. Matanya berkeliling, mengagumi tumpukan kursi, meja, dan lampu-lampu gantung yang tertata rapi. Ken menoleh ke arahnya, tersenyum lembut."Nggak apa-apa dong, Sayang. Mimpi itu kan nggak bayar. Nggak ada salahnya setinggi mungkin. Lagipula, saat ini bukan sekadar mimpi, Sayang. Sebentar lagi impianmu akan menjadi nyata." Ken setengah berbisik. Kedua matanya menatap Hanum yang tampak begitu semringah. Hanum berhenti di depan satu set meja kayu kecil dengan desain yang minimalis namun elegan. Ia menyentuh p
Siang ini, Pak RT mengumpulkan beberapa warga di balai kecil dekat rumahnya. Dia tahu diskusi ini tak akan mudah, tapi sebagai pemimpin di kampung ini ia merasa perlu menjernihkan suasana. Warga yang datang terlihat beragam, ada yang memasang wajah skeptis, ada yang penasaran, ada pula yang tampak tak peduli, menganggap kehadirannya sekadar formalitas belaka.Setelah cukup banyak warga yang datang, Pak RT memulai diskusinya. Dia tak ingin membuat suasana semakin gaduh dengan wajah penuh tanya di antara mereka. "Selamat siang, bapak-bapak dan ibu-ibu. Mohon maaf kalau saya mengganggu waktu ataupun kegiatan bapak dan ibu sekalian." Pak RT membuka pertemuan dengan suara tegas namun bersahabat. "Saya ingin kita semua mendengar dengan hati terbuka dan mengesampingkan ego masing-masing." Baru satu kalimat terucap, beberapa warga mulai saling bisik. Mereka menebak-nebak ke arah mana topik pembicaraan Pak RT kali ini"Sepertinya soal rumor itu," bisik seorang warga yang diiyakan lelaki di
Langit malam sudah gelap ketika Ken mengetuk pintu rumah Pak RT. Deru motor yang melintas di jalan kecil kampung nyaris mengaburkan ketukan halusnya. Pak RT, seorang pria paruh baya dengan tubuh tegap, membuka pintu sambil memegang cangkir kopi. Ekspresinya berubah terkejut melihat Ken berdiri di depan pintu."Mas Ken? Ada apa malam-malam begini ke sini?" tanyanya heran."Maaf, Pak RT, saya mengganggu. Tapi saya perlu bicara soal sesuatu yang penting. Boleh saya masuk?" tanya Ken setelah memastikan tak ada yang melihatnya datang berkunjung ke rumah itu. Pak RT mengangguk, meskipun ragu. "Tentu, masuk saja. Mari duduk."Ken melangkah masuk ke ruang tamu kecil itu lalu duduk di kursi kayu yang terasa keras tapi kokoh. Pak RT mengambil tempat di seberangnya, masih menatap Ken dengan bingung."Apa ada masalah serius, Mas?" tanya Pak RT lagi. Dia yakin ada kabar serius yang dibawa Ken detik ini. Pak RT mulai menebak-nebak sebab dia juga dengar rumor yang beredar soal Ken dan pekerjaanny
Matahari belum terlalu tinggi, tapi suasana di kampung Hanum sudah dipenuhi bisik-bisik yang membuat udara terasa lebih gerah dari biasanya. Di warung kopi milik Bu Yati, sekelompok ibu-ibu sudah berkumpul, menyeruput kopi sambil mengupas gosip yang lebih panas dari gorengan pisang di meja."Eh, Mbak Tini, sudah dengar belum soal Hanum?" bisik Bu Mirna sambil melirik kanan-kiri, memastikan tak ada yang mendengar selain mereka."Aduh, siapa sih yang belum dengar? Kampung ini kan kecil," jawab Tini sambil menyeka keringat di lehernya. "Aku cuma heran, dari mana Ken itu punya uang buat kasih Hanum mobil sama ruko?""Aku dengar, mobilnya itu kredit! Mana mungkin mereka bayar cash, harga mobil sama ruko itu lebih dari satu miliar. Kalaupun cash, masa iya sih Ken kasih semua itu cuma-cuma? Mereka kan baru nikah bahkan dulu nggak pernah saling kenal. Lagipula, penampilan Ken saja begitu. Nggak pernah pakai baju branded. Beda banget sama Aziz. Masa punya tabungan sebanyak itu. Duit darimana
Hanum masih gemetar dengan kado yang disiapkan Ken untuknya. Dia benar-benar tak percaya jika ahri ini mendapatkan kado sespesial ini. Dia kembali teringat obrolannya dengan Ken beberapa hari lalu. Ternyata semua itu cara Ken untuk menyiapkan kado ulang tahunnya. Saat itu Ken sedang duduk di teras rumah bersama Hanum, istrinya, yang tampak sibuk menggunting tanaman hias di pot kecil. Mata Ken tak lepas mengamati wajah istrinya, yang meski tampak ceria, sering terlihat menyimpan luka batin. Ken tahu betul bahwa Hanum jarang membicarakan perasaannya. Tetapi, ia selalu bisa menangkap raut kecewa setiap kali Rena, kakak sambungnya, melontarkan kata-kata tajam."Sayang." Ken memanggil lembut. Hanum menoleh sambil tersenyum. "Ya, Mas? Ada apa?" tanyanya lembut. Ken menyesap kopinya sejenak, lalu berkata, "Aku sering lihat kamu diam kalau Rena bicara kasar. Apa kamu nggak apa-apa? Aku nggak tega lihat kamu diperlakukan seperti itu terus."Hanum menggeleng pelan. "Hanum nggak apa-apa, Mas.
Hanum duduk di ruang keluarga rumahnya yang sederhana, sambil melipat pakaian yang baru saja dijemur. Ia tahu ini hari ulang tahunnya, tapi seperti tahun-tahun sebelumnya, ia tak merencanakan perayaan apa pun. Baginya, ulang tahun hanyalah hari biasa. Ia tak pernah memikirkan pesta, kado mewah atau perhatian besar dari orang-orang di sekitarnya.Namun, suasana berubah ketika suara langkah tinggi Rena, kakak sambungnya, menggema dari depan rumah. Rena masuk tanpa permisi, diikuti oleh ibunya, Mawar. Sepertinya mereka baru pulang dari mall. Ada beberapa paper bag di tangan."Hanum, kamu ini ulang tahun kok santai banget, sih? Apa nggak malu? Orang lain pasti bakal bikin acara," kata Rena sambil melirik ke ruang keluarga yang tampak biasa saja. Hanum hanya tersenyum tipis. "Aku nggak biasa merayakan ulang tahun. Dari dulu juga nggak pernah dirayakan. Apa kamu lupa?" balasnya santai. Rena mendengkus. "Ih, aneh banget. Aku sih nggak bisa bayangin kalau ulang tahun nggak dirayakan. Kalau
Rena melangkah keluar dari mobil hitamnya yang mengilap. Koper mewahnya ditarik perlahan oleh suaminya, Aziz. Dia berusaha tampak tenang, meski dalam hati ada banyak beban yang dia pikirkan. Saat ini, dia hanya tak ingin membuat istrinya kembali merajuk. Terpaksa harus mengikuti kemauan Rena untuk menikmati perannya sebagai suami dari wanita yang begitu gemar menjadi pusat perhatian. Rena melangkah anggun, memakai gaun santai berbahan satin yang membuatnya terlihat seperti model iklan majalah kelas atas.Beberapa tetangga yang sedang duduk-duduk di depan rumah segera melirik ke arahnya. Tidak butuh waktu lama bagi Rena untuk langsung menyapa mereka dengan senyuman lebar."Eh, Bu Santi, Bu Nur, sudah lama di sini? Aduh, maaf nih, baru sempat nongol lagi. Baru aja pulang dari honeymoon kedua," katanya dengan suara riang."Honeymoon kedua, Ren? Wah, keren banget, kayak di sinetron aja!" puji Bu Santi sambil terkekeh."Ya iyalah, Bu. Honeymoon pertama kan biasa, ini yang kedua harus lebi
Aziz berdiri di balkon kamar hotel, memandangi kota yang gemerlapan di malam hari. Angin dingin mengusap wajahnya, namun pikirannya terasa lebih berat dari sebelumnya. Ponsel di tangannya terus bergetar dan akhirnya ia memutuskan untuk mengangkatnya."Halo?" sapanya dengan nada rendah, berharap suaranya tak terdengar ke dalam kamar di mana Rena sedang beristirahat.Suara seorang pria langsung terdengar di seberang, tegas dan tanpa basa-basi. "Aziz, akhirnya kamu angkat juga teleponku."Aziz terdiam sejenak, lalu berusaha tetap tenang. "Ya, ada apa lagi, Doni? Aku sudah bilang, aku akan cari jalan keluarnya.""Cari jalan keluar? Kamu sudah bilang itu berbulan-bulan yang lalu," balas Doni dengan nada tajam. "Tapi sampai sekarang, nggak ada uang yang masuk. Kamu pikir aku main-main?"Aziz menghela napas panjang, punggungnya bersandar ke dinding balkon."Aku lagi susah, Don. Aku baru saja menikah dan istriku minta resepsi mewah. Tolong kasih aku waktu."Doni tertawa kecil, tapi nadanya
Rena membuka pintu kamar hotel dengan senyum lebar. Gaun pengantinnya yang megah kini sudah ditukar dengan dress malam berbahan satin, tetap anggun tapi lebih sederhana. Aziz berjalan di belakangnya, membawa buket bunga yang tadi diberikan salah satu tamu di resepsi."Mas, taruh bunganya di meja sana, ya," ujar Rena sambil melepaskan high heels-nya dan menjatuhkan diri di sofa empuk di tengah ruangan.Aziz mengangguk dan menaruh bunga itu di meja dekat jendela besar yang menghadap ke pemandangan kota. Lampu-lampu dari gedung-gedung tinggi terlihat gemerlapan, menambah suasana romantis malam itu."Kamu capek nggak?" tanya Aziz sambil duduk di samping Rena."Capek sih, iya," jawab Rena sambil meregangkan bahunya. "Tapi aku juga bahagia banget, Mas. Ini hari yang luar biasa. Aku nggak nyangka acaranya selancar dan semeriah ini."Aziz tersenyum kecil. "Ya iyalah, Sayang. Aku kan sudah nyiapin semuanya buat kamu, supaya kamu puas. Kamu bilang resepsi ini salah satu mimpimu sejak dulu kan?