[Bos, apa harus beli baju dan celana murah begini? Kenapa nggak yang di lemari saja? Banyak banget di sana mana mahal-mahal, sayang kalau nggak dipakai. Masa malah pakai yang seratus ribuan]Pesan dari Bagas muncul di aplikasi hijau itu. Asisten Ken sempat kebingungan mencari baju dan celana murah untuk bosnya. Ken yang biasanya selalu pakai barang branded, kini mendadak minta dibelikan pakaian biasa yang tak lebih dari tiga ratus ribu per potong. "Yang mana, Dho? Kalau kita yang pakai seperti ini sih sudah biasa. Tapi ini bos Ken, masa iya pakai pakaian sama kaya kita sih? Malah ada yang lebih murah." Bagas kembali menghela napas panjang sembari membolak-balik barang yang dipilihnya. "Mas Ken lagi nyamar jadi orang biasa, makanya minta dibelikan pakaian seperti ini, Gas. Kalau pakaiannya branded semua, ketahuan kalau dia orang berada dong. Gimana sih kamu," balas Ridho sembari membawa sebagian pakaian itu ke kasir. "Iya maksudku kenapa harus nyamar segala? Seharusnya dia senang do
"Baju-bajunya, Mas. Sesuai pesanan." Bagas meringis kecil sembari menyerahkan dua kantong plastik berisi kaos dan celana untuk bosnya. "Berapa stel?" tanya Ken singkat. "Sepuluh stel, Mas. Lengkap sama celana dalamnya." Bagas kembali berbisik. Ken manggut-manggut lalu meletakkan kantong plastik itu di atas meja teras. "Sudah ambil uangnya?" Bagas mengangguk lalu menyerahkan tas kecil berwarna hitam berisi uang itu pada Ken. "Dua puluh juta," ucap Bagas lagi. Ken pun manggut-manggut. "Mau mampir dulu? Ngopi atau--"Kami langsung ke lokasi proyek saja, Mas. Nggak enak lihat mereka. Bikin badmood." Bagas melirik Rena dan Aziz yang baru saja muncul dari pintu utama."Yasudah kalau begitu. Nanti kalau butuh apa-apa, kukabari lagi." "Baik, Mas. Ridho di sini atau ikut saya, Mas? Katanya nanti mau ke dealer beli motor?" tanya Bagas lagi. "Kalau begitu kalian saja yang beli motornya. Bayar via transfer saja, Gas. Uang ini buat peganganku di sini. Rencananya mau beli beberapa furniture
"Mau kemana, Mas? Rapi banget," tanya Hanum saat melihat suaminya pakai kaos polo dan celana jins di bawah lutut. "Mau ajak kamu kencan, Sayang," balas Ken dengan senyum menggoda. Hanum tersenyum tipis dibuatnya. "Kencan gimana maksudnya?" "Jalan-jalan yuk. Makan atau beli sesuatu yang kamu pengin." Hanum berpikir sejenak."Hanum nggak pengin apa-apa kok, Mas. Serius," jawabnya lembut. Hanum memang tak ingin apapun sekarang. Lagipula, Hanum juga tak ingin membebani suaminya yang dia pikir hanya kuli biasa. Hanum berpikir bisa jadi suaminya tak punya tabungan lebih, oleh karena itu dia tak mau minta ini dan itu, sekalipun Ken sudah menawarinya bermacam-macam. "Kamu takut kalau aku nggak punya duit atau nggak bisa bayar barang yang kamu pengin?" tebak Ken masih dengan senyum tipisnya. "Eh, bukan begitu, Mas. Cuma ... emang nggak pengin apapun. Untuk saat ini ya, nggak tahu kalau besok atau lusa," elak Hanum berusaha menjaga hati suaminya. "Oh, saat ini maunya sama aku terus ya di
"Kami dari dealer Roda Sakti, Pak. Ingin mengantar motor itu sesuai alamat yang tertulis di kertas ini," ujar laki-laki itu lagi. Rudy tercekat. Dia teramat kaget mendengar ucapan karyawan dealer itu. Pasalnya, jelas-jelas Rudy merasa tak membeli motor. Jangankan buat beli motor, saat ini saja dia belum punya uang untuk melunasi hutangnya pada Juragan Gino padahal hampir jatuh tempo. "Saya nggak pernah beli motor, Mas. Mungkin salah alamat," ujar Rudy lagi. "Tapi alamat ini benar di sini kan, Pak?" Karyawan dealer motor itu kembali menunjuk kertas yang dibawanya. "Alamatnya benar, tapi bukan saya yang pesan motornya." Rudy kembali meyakinkan."Oh, mungkin anak atau istri bapak. Soalnya tugas kami hanyaengantar motor ini ke sini dan pembayarannya juga sudah lunas," sambung laki-laki itu lagi. Beberapa tetangga yang masih penasaran dan bergerombol di halaman pun kaget dengan kata lunas yang diucapkan laki-laki itu. Biasanya, mereka membeli dengan sistem kredit dan jarang sekali bel
"Mohon maaf, Pak, Bu. Tanda tangan dulu, biar saya bisa pulang sekarang," ujar karyawan dealer itu. Sedari tadi dia agak kebingungan sebab tak tahu siapa yang sebenarnya membeli motor cash itu. Pasalnya hanya tertera nama dan alamat yang harus dikirimkannya. Bagas dan Ridho juga tak bilang kalau itu pesanan bosnya. Mereka hanya bilang nanti diurus kalau sudah sampai rumah. Mungkin mereka tak menyangka jika akan ada kesalahpahaman begini setelah motor itu datang. "Biar saya yang tandatangan, Mas. Sekalian ini KTP nya. Nanti atas nama saya saja motornya ya," ujar Rena begitu percaya diri. Ken kembali geleng-geleng kepala melihat sikap iparnya yang di luar nalar itu. "Saya yang beli motor ini untuk Hanum, Pak. Makanya, saya alamatkan ke sini dan atas nama bapak. Soalnya, nggak mungkin pakai nama saya, kan saya orang baru, nanti nggak pada kenal misal Masnya tanya-tanya ke tetangga." Ken kembali berusaha menjelaskan, tapi Mawar buru-buru menyanggah. "Jangan sembarangan ngomong. Apa bu
"Mas, kamu beliin aku motor baru sebagai hadiah pernikahan kita?" tanya Rena begitu semringah sembari menggamit lengan suaminya. Aziz mengernyit saat turun dari motornya. "Kenapa diam, Mas? Motor ini kamu yang beli buat aku kan? Kamu minta aku dandan rapi karena mau ngajak jalan-jalan pakai motor baru ini kan?" sambung Rena sembari menunjuk motor baru yang masih terparkir di atas mobil pickup itu. Lagi-lagi Aziz tak menyahut sebab dia masih tak paham dengan pembicaraan istrinya. "Sayang, aku nggak paham maksudmu. Memangnya siapa yang beli motor ini?"Aziz tanya balik membuat Rena melotot lebar sembari melepaskan genggaman tangannya. Wajahnya yang tadi semringah mendadak pucat seketika. "Kok malah tanya sih, Mas. Bukannya kamu yang beli, makanya minta aku dandan rapi begini?" tanya Rena lagi sembari menunjuk penampilannya yang sudah teramat rapi. "Jangan bengong, Ziz." Mawar menimpali. "Bukan, Sayang. Aku nggak pernah beli motor. Buat apa coba? Kan sudah ada motor itu. Lagipula kam
"Baru beli motor saja belagu. Berasa miliki dunia," gumam Rena dengan wajah tertekuk saat transaksi motor itu usai. Hanum tak peduli dengan segala ocehan kakak tirinya itu. Dia lebih fokus dengan kejutan dari suaminya. Motor berwarna hitam itu benar-benar atas namanya. "Kado pertama untukmu karena sudah mau menjadi istriku," ucap Ken saat menyerahkan kunci motor itu. Hanum tersenyum dengan wajah memerah karena malu bercampur bahagia."Seharusnya Hanum yang berterima kasih, Mas. Mas Ken sudah menyelamatkan Hanum dari beberapa keburukan. Yang awalnya sempat ragu dengan pernikahan itu, kini mulai percaya jika Mas Ken tak seburuk yang dipikirkan orang-orang." Hanum kembali menatap suaminya yang kini tersenyum tipis ke arahnya. "Sudah bisa naik motor? Atau mau diajarin dulu?" tanya Ken lagi."Alhamdulillah sudah bisa kok, Mas. Dulu sering diajari bapak." Ken manggut-manggut. "Sekarang mau jalan-jalan? Sekalian beli perhiasan sama makan di luar," ajak Ken lagi yang dibalas dengan sebuah
[Daripada nikah sama orang nggak jelas, kenapa nggak dinikahkan sama anakku saja, Dy? Dia masih lajang. Asal usulnya juga nggak diragukan. Aku sanggup kasih mahar spesial buat Hanum jika mau menikah dengan Galih. Sekalian kuanggap lunas hutangmu yang jatuh tempo tiga hari ke depan. Gimana?] Rudy kembali membaca pesan dari Juragan Gino yang benar-benar di luar dugaannya. Bagaimana mungkin Hanum akan dijodohkan dengan lelaki tukang judi dan main perempuan itu? Meski asal usulnya jelas, tetap saja bukan calon suami yang baik. Berbeda dengan Ken yang selalu berusaha membuat Hanum bahagia, dia juga rajin sholat bahkan berjamaah di masjid. Jangankan main judi, sekadar merokok saja tak dilakukannya. Rudy percaya jika Ken adalah sosok suami yang tepat untuk Hanum sekalipun sampai detik ini dia juga belum tahu siapa sebenarnya menantunya itu. [Aku dan istri pasti bisa menyayangi Hanum seperti anak sendiri, Dy. Tenang saja. Kamu tentu tahu kalau sejak dulu istriku selalu berharap Hanum menja
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka
"Ya Allah, Rena! Ternyata semua gosip yang beredar itu benar!" pekik seseorang diantara kerumunan pengunjung. Ren amendelik saat tahu siapa yang berteriak dan kini jatuh pingsan di depan matanya itu. "Ibu! Ngapain ibu ke sini?!" teriaknya sembari berhamburan ke arah ibunya yang limbung. Azziz yang kini berdiri di sampingnya menatap tajam. Rahangnya mengeras. Dia benar-benar emosi melihat sepak terjang istrinya. Seolah tak ada kesempatan lagi, Azziz sudah muak dan tak ingin berkompromi lagi. Dia menyerah, apalagi saat tekad kuatnya untuk melunasi hutang demi membahagiakan istri justru dibalas dengan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti ini. Harga dirinya sebagai suami dan kepala rumah tangga seakan mati. Azziz benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Dia menyerah di pernikahannya yang menginjak di bulan ke enam. "Mau dibawa kemana, Mas?!" tukas Rena saat melihat Azziz membopong ibu mertuanya. "Minggir kamu! Urus saja bahagiamu sendiri! Puas-puasin sebelum kamu menyesal di kem
"Papa! Gila, ini selingkuhan papa?!" sentak perempuan bernama Tamara itu sembari menunjuk wajah Rena yang kini mulai memerah. Beberapa pengunjung mall mulai merekam keributan itu dengan handphone masing-masing. Rena benar-benar benci hal ini. Nyaris tiga bulan berhubungan dengan Pramono, tak pernah terbesit sedikit pun di benaknya akan mengalami hal memalukan seperti ini. "Papa benar-benar kelewatan. Lihat usianya, Pa! Seumuran aku!" oceh Tamara lagi. Dia menggeleng-geleng tak percaya. "Tamara ... dengerin papa dulu," ujar Pramono sembari menenangkan putri bungsunya. Pramono memiliki dua orang putri bernama Salsa dan Tamara. Saat ini istrinya terbaring di rumah karena stroke yang dideritanya selama setahun belakangan. "Dengerin apalagi, Pa? Papa mau beralasan apa? Jelas-jelas papa begitu mesra dengan perempuan jalang itu!" sentak Tamara lagi. "Tutup mulutmu!" tukas Rena menepis telunjuk Tamara yang tepat di depan wajahnya. "Heh! Tutup mulutku apa?! Jelas-jelas Lo cuma manfaati
Rena melirik jam tangannya yang berkilau di bawah cahaya lampu cafe. Dia duduk manis di pojokan, memainkan sedotan dalam segelas mocktail warna pink sambil sesekali membetulkan rambutnya."Maaf lama, Ren. Tadi agak macet." Suara berat dan dewasa terdengar dari belakang. Pramono, pria paruh baya dengan jas abu-abu yang necis, menyapa dengan senyum genit. Seperti biasa, mereka pun cipika-cipiki tiap kali bertemu. "Kamu telat dua puluh menit, Om. Aku sampai jamuran nunggu di sini." Rena merajuk, bibirnya manyun manja."Maaf dong, jalanan macet. Tapi lihat deh ... masa Om telat masih disambut sama wajah secantik ini?" Pram mencubit dagu Rena lembut. Rena hanya tertawa kecil.Mereka menikmati hidangan sambil sesekali beradu pandang. Beberapa pasang mata mulai melirik ke arah mereka. Usia mereka terlalu jauh dan kemesraan itu terasa janggal. Meski tak ada yang menegur dan seolah tak peduli, tapi tetap saja pandangan aneh dan tak biasa terlihat. Namun, Rena cuek saja. Dia tak peduli dengan
"Sayang, bubur kacang hijaunya dihabisin ya? Biar kamu nggak mual-mual lagi." Ken menyiapkan bubur di mangkok untuk istrinya. "Iya, Mas. Temani makan ya?" balas Hanum dengan senyum tipis. Hanum berusaha tetap tenang, meski beberapa menit lalu hatinya bergemuruh kesal, emosi dan muak. Beragam pesan yang dikirimkan oleh Clarissa benar-benar membuat moodnya nggak karuan. Namun, di depan Ken dia berusaha untuk tetap tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. "Sini, duduk!" pinta Ken sembari menarik kursi di sampingnya. Hanum mendekat lalu duduk di samping suaminya. "Habiskan selagi masih hangat." Lagi-lagi Hanum mengangguk. "Kamu juga ikut makan, Mas. Ayo." Hanum membuka sebungkus bubur lalu menyiapkannya untuk Ken. "Tadinya mau barengan aja sekalian nyuapin kamu, Sayang." "Barengan juga boleh. Sini Hanum yang nyuapin." Sepasang suami istri itu saling melempar senyum. Hanum menyuapi Ken dengan semangkok buburnya, sementara Ken menyuapi Hanum dengan bubur miliknya. Setelah bubur habis,