"Kamu mau pilih yang mana, Sayang?" tanya Ken setelah sampai di toko emas, tak jauh dari pasar. "Beli kalung, gelang atau cincin juga boleh. Terserah yang mana kamu suka," sambung Ken lagi saat istrinya masih bergeming di sebelahnya. "Cincin saja, Mas. Tadi kan Hanum sudah bilang nggak mau beli yang lain. Mas Ken sudah beliin motor baru secara cash loh, masa mau borong perhiasan juga," balas Hanum dengan senyum tipis. "Kenapa nggak? Kalau kamu suka, ambil saja terserah yang mana. Membahagiakan istri itu salah satu tujuanku menikah dan bekerja. Jadi, nggak ada salahnya menghabiskan banyak uang asal istri bahagia yang penting masih dalam batas normal dan nggak melenceng dari aturanNya." Ken mengangguk pelan saat Hanum menoleh ke arahnya. "Hmm ... jadi curiga kan, sebenarnya pekerjaan Mas Ken apa? Kenapa bisa punya tabungan sebanyak itu." "Kan nabung sejak muda, Sayang. Sekarang sudah hampir kepala tiga, pasti punya tabungan dong meski mungkin nggak sebanyak orang-orang. Apalagi aku
Bakda maghrib, suasana di rumah Rudy cukup ramai karena kedatangan keluarga adik iparnya. Melati, adik kandung Mawar datang bersama suami dan bungsu mereka dengan dua motor. Melati berboncengan dengan suaminya-- Fadli, sedangkan Dara anak bungsu mereka pakai motor lain. "Mas Rudy belum pulang, Mbak? Lembur ya?" tanya Melati saat Mawar menyuguhkan teh hangat dan camilan ke meja ruang tengah. "Iya, Mel. Katanya ada motor yang harus diperbaiki dan besok pagi bakal diambil yang punya. Makanya, sampai sekarang belum pulang," balas Mawar sembari mempersilakan hidangan itu pada Fadli dan Dara. "Nggah usah repot-repot, Mbak. Kaya sama siapa saja. Kami datang ke sini juga nggak bawa apa-apa kok." Fadli membalas santai sembari menyandarkan punggungnya ke sofa. "Nggak repot, cuma teh hangat kok, Fad. Dara belum balik ke Jogja?" tanya Mawar pada keponakannya itu. Dara memang kuliah di Jogja, tapi dia pulang ke Jakarta untuk menghadiri hajatan Mawar kemarin. "InsyaAllah besok, Bude. Makanya,
"Sayang, aku mau bantuin bapak ke bengkel ya? Kasihan lembur sendirian. Tadi sepertinya bapak masih sibuk," ujar Ken yang tak peduli dengan godaan perempuan di sampingnya. Ken menghampiri Hanum yang kini melangkah ke arahnya. Sengaja mencium kening Hanum di depan Dara lalu mengusap puncak kepalanya pelan. Hanum kembali merona tiap kali mendapatkan perlakuan semanis itu dari sang suami. "Iya, Mas. Bapak pasti kecapekan dan mungkin belum makan. Apa kubawakan bekal buat bapak sekalian, Mas?" tanya Hanum sembari mengurai pelukan suaminya. "Nggak usah, Sayang. Nanti biar bapak yang pulang duluan kalau sudah lapar, aku bisa gantiin bapak buat benerin motornya," balas Ken lagi. Sejak SMA Ken memang sudah terbiasa dengan perbengkelan karena sering memodif motor-motornya. Bahkan setelah kuliah pun dia mulai suka dengan mobil yang dimodif dan benerin kendaraannya sendiri. Banyak hal yang dia pelajari dari teman-teman SMA dan kuliahnya yang memiliki usaha automotif. "Heh, yakin kamu bisa be
"Mas, kenapa belum siap-siap sih? Aku sudah dandan rapi begini, kamu masih belum mandi," tukas Rena pada suaminya yang masih duduk di tepi ranjang. Sesuai rencana, hari ini sampai lima hari ke depan mereka akan honeymoon ke Bali. Renata sudah cerita ke mana-mana soal ini, bahkan begitu membanggakan suaminya yang ternyata punya banyak tabungan untuk membahagiakannya. Rena tak mau kalah dengan Hanum yang hanya dihadiahi motor dan sebuah cincin. Baginya, dia harus menjadi yang terbaik dan tak mau dikalahkan siapapun, apalagi cuma seorang Hanum. "Pesawat jam satu siang, Sayang. Ini masih jam sembilan, ngapain sudah sibuk begini?" balas Aziz santai, tapi Rena tetap saja mengomel. Dia merasa jika Aziz tak ikhlas dan tak suka dengan rencana honeymoon nya kali ini. Semua memang permintaan dan pilihan Renata. Aziz hanya mengiyakan dan menyiapkan dananya saja. Oleh karena itu pula, Renata berpikir macam-macam saat Aziz seolah tak bersemangat honeymoon. Jauh berbeda dengan sikapnya detik ini
"Mau honeymoon ya, Ren? Wah, seru nih ke Bali," ujar salah seorang tetangga saat melihat Rena membawa kopernya ke teras. "Iya dong, Bi. Namanya juga habis menikah ya honeymoon. Menikmati masa berdua tanpa diganggu siapapun," balas Rena dengan senyum lebar. Kaca mata hitam sudah nangkring di atas kepalanya, celana jeans panjang dengan kemeja menghiasi tubuhnya yang semampai, tak lupa sepatu dengan hak tinggi pun melengkapi penampilannya detik ini. Rambut panjang Rena tergerai indah, sesekali tertiup angin yang memang kadang datang dan pergi. "Jangan lupa bawain ibu oleh-oleh ya, Ren," pesan Mawar saat Rena menyalaminya. "Kalau anak pergi-pergi jangan sibuk titip oleh-oleh, Bu. Biarkan mereka menikmati masa bahagianya. Nanti kalau senggang juga dibelikan, tapi kalau repot dan lupa, ibu jangan ngambek," ujar Rudy pada istrinya. "Benar yang dikatakan bapak, Bu. Baru mau berangkat sudah sibuk mikirin oleh-oleh. Kalau nggak repot nanti juga kubelikan. Ibu tenang saja deh," balas Rena.
[Mas, kamu beli furniture kenapa nggak bilang-bilang? Mana bagus banget, pasti harganya mahal. Iya kan?]Hanum mengirimkan pesan pada suaminya setelah kamarnya tertata rapi. Rudy meminta dua orang tetangganya untuk membantu menata lemari dan ranjang itu. Setelah menunggu beberapa menit, Hanum menerima balasan dari suaminya. [Iya, Sayang. Maaf tadi lupa mau bilang kalau aku sekalian mampir ke toko furniture untuk membeli perabotan itu. Mahal atau murah, selama kamu suka aku nggak masalah, Sayang. Yang penting istriku menyukainya]Hanum tersenyum saat membaca balasan dari Ken. Dia kembali mengucap syukur memiliki suami yang benar-benar di luar ekspektasinya saat pertama kali berjumpa. [Makasih ya, Mas. Hanum suka, suka banget malah. Semua cantik]Balasan Hanum membuat Ken tersenyum. Dia senang jika istrinya suka dan bahagia dengan semua pemberiannya. [Lebih cantik kamu. Kamu yang terbaik dan tercantik]Lagi-lagi wajah Hanum merona tiap kali melihat ataupun mendengar pujian suaminya.
"Kenapa gelisah begitu, Mas? Apa ada masalah?" tanya Hanum saat menyuguhkan secangkir kopi untuk suaminya. Ken mendongak lalu menarik kursi di sampingnya dan meminta Hanum untuk duduk di sana. "Sebenarnya bukan masalah sih, Sayang. Cuma papa memintaku pulang sebentar. Mungkin minta penjelasan atas pernikahan kita yang mendadak ini," balas Ken jujur. Hanum terdiam sejenak. Entah mengapa detik ini tiba-tiba muncul kekhawatiran di dalam hatinya. Hanum takut ditinggalkan begitu saja. Dia tak tahu asal usul Ken apalagi tempat tinggalnya di Jogja. Jikalaupun mau mencari keberadaannya, Hanum merasa benar-benar buta dan tak tahu apa-apa. Bahkan sudut kota Jogja saja belum pernah dijamahnya sama sekali. "Kenapa, Sayang? Kamu takut kalau aku pergi begitu saja?" tebak Ken seolah tahu beragam tanya dan kecemasan di benak Hanum detik ini. Hanum tak membalas, dia hanya menatap Ken beberapa saat lalu kembali menunduk. "Aku selesaikan urusan ini dulu sekalian urus berkas-berkas pernikahan kita.
[Siapa yang jemput, Mas? Aku sudah sampai bandara] Ken mengirimkan pesan pada kakaknya setelah sampai di kota kelahirannya, Jogja.[Sudah ada Pak Joko di sana, Ken. Keluar saja nanti juga ketemu] Ken memasukkan kembali handphonenya ke saku celana. Sembari mendorong koper, dia mencari salah satu supir pribadi keluarganya itu di deretan para penjemput. "Mas Ken, sini bapak bawakan kopernya," ujar Pak Joko saat melihat majikan mudanya datang. "Oh, biar saya saja, Pak. Nggak berat kok ini. Isinya cuma beberapa oleh-oleh buat Aldo sama Dee," balas Ken begitu ramah dan sopan. "Mas Ken pasti capek. Biar bapak bawakan saja." Pak Joko kembali meminta. Tak menolak, Ken pun mengiyakannya. Setelah masuk ke mobil, Ken kembali mengetik pesan. Kali ini bukan ditujukan untuk orang tua atau kakaknya, melainkan untuk Hanum yang pasti sudah menunggu pesannya sedari tadi. Benar saja, saat menerima pesan dari sang suami, Hanum merasa jauh lebih lega. [Sayang, aku sudah sampai bandara. Jangan begada
Suasana di luar rumah cukup heboh. Beberapa tetangga datang untuk melihat apa yang terjadi di rumah sederhana itu. Hanum yang sebelumnya terlelap pun mulai terjaga dari tidur siangnya. Dia mengerjap pelan lalu mendengarkan suara gaduh di halaman rumahnya. Jarum jam nyaris menunjuk angka dua saat Hanum terjaga. Dia menggeliat pelan lalu turun dari ranjang. Rasa penasaran pun muncul karena suara di luar semakin berisik. Sesekali terdengar tawa mereka. "Hebat sekali, Ren. Baru nikah seminggu sudah bisa beli mobil baru," ujar salah seorang ibu entah siapa namanya. "Resepsi di hotelnya jadi kan, Ren? Apa batal karena dananya sudah buat beli mobil?" "Nggak batal dong! Resepsi itu tetap digelar. Bukannya kamu sudah dapat undangannya? Kok nanya begitu?" tukas Rena sedikit kesal."Kupikir dibatalkan. Soalnya kaya nggak ada kabar lagi." "Makanya, lihat tanggalnya dong. Sudah jelas di situ tanggal berapa. Kalaupun aku kelihatannya nggak ngurusin ya memang semua sudah dihandle suamiku. Lagip
"Mau ke mana, Ren?" tanya Mawar saat melihat anak perempuan dan menantunya keluar dari kamar dengan dandanan rapi. "Mau ke dealer, Bu. Kami sudah sepakat ambil mobilnya hari ini," balas Rena begitu semringah. Dia yang sebelumnya ngomel-ngomel tak karuan hanya karena perkara secangkir kopi, akhirnya luluh setelah Azziz mengajaknya ke dealer untuk membeli mobil. Sesuai rencana, mahar uang dan emas itu akan digunakan untuk membeli mobil pilihan Rena. Kekurangannya akan diangsur tiap bulan. "Beneran mau beli mobil, Ren?" Mawar ikut semringahendengar kabar bahagia itu. Rena melipat tangan ke dada lalu tersenyum lebar. "Beneran dong, Bu. Nanti kita bisa jalan-jalan dan shopping kalau sudah ada mobil." Mawar mengangguk lalu menepuk pelan lengan anak kesayangannya. "Ibu bangga sama kalian berdua. Pokoknya ibu dukung. Jangan sampai kalah sama Hanum." Kali ini volume suara Mawar sedikit diturunkan karena tahu Hanum dan Ken masih di kamarnya. "Tenang saja, Bu. Mas Azziz nggak mungkin kalah
Adzan subuh berkumandang. Ken sudah siap ke masjid dengan baju rapi dan sajadah yang tersampir di pundaknya. Hanum pun gegas beranjak dari ranjang lalu membereskan selimut, bantal dan tempat tidur yang sedikit berantakan. "Sayang, ke masjid dulu ya?" Ken tersenyum saat Hanum menoleh ke arahnya. "Iya, Mas. Hati-hati di jalan." "Assalamualaikum." "Wa'alaikumsalam, Mas," balas Hanum lagi sembari mengangguk pelan. Setelah pamit pada istrinya, Ken gegas keluar kamar. Seperti biasa, bapak mertuanya sudah menunggu di rumah keluarga. Kedua laki-laki itu berjalan beriringanenuju masjid yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka. Azziz sesekali juga ikut jamaah ke masjid, tapi kadang dia memilih sholat di rumah entah karena apa. "Mas, ngapain sih kamu bangunin aku sepagi ini?" Suara Rena terdengar dari kamarnya. Sepertinya dia baru bangun. "Sholat subuh, Dek. Ayo sama aku. Tadi aku kesiangan makanya nggak jamaah ke masjid," balas Azziz dengan volume suara lebih rendah dibandingkan
"Jadi, uang buat modal bengkel bapak itu dijambret, Sayang?" tanya Ken setelah mendengar cerita bapak mertuanya di ruang makan tadi. "Iya, Mas. Semua karena ibu. Dia bawa semua uang itu ke pasar buat beli perhiasan. Naas malah dijambret orang." Hanum kembali berdecak kesal. "Belum rezeki bapak, Sayang. Lain waktu aku belikan saja peralatan bengkel, jadi nggak kukasih dalam bentuk uang. Gimana?" tanya Ken lagi seolah tak ada penyesalan di hati karena mertuanya menyelewengkan amanahnya. Hanum menoleh lalu kembali menatap lekat suaminya. "Mas Ken nggak marah atau kecewa karena uang itu hilang begitu saja?" tanya Hanum geleng-geleng kepala. "Kecewa mungkin ada, Sayang. Tapi kalau marah, nggak lah. Mau gimana lagi? Konsepnya belum rezeki. Sekuat apapun digenggam juga bakal terlepas jua. Semoga saja uangnya digunakan sebaik-baiknya oleh penjambret itu." Ken mengusap puncak kepala istrinya lalu kembali tersenyum. "Kalau ibu nggak serakah, mungkin uang itu juga nggak akan hilang, Mas. Ba
"Ibu diam-diam berhutang tanpa bilang bapak dulu? Memangnya selama ini ibu punya penghasilan, kok bisa-bisanya pinjam uang sebanyak itu." Rudy mulai mencecar membuat Mawar semakin panik. "Bapak kok ngomongnya begitu sih?! Ibu emang nggak kerja, Pak. Tapi bapak sama Rena kan kerja. Lagipula hutang ini juga bukan buat foya-foya, tapi buat kita semua. Kesannya ibu doang yang salah. Kalau bapak bisa mencukupi kebutuhan keluarga, ibu juga nggak bakal minjam sana-sini seperti ini. Bukannya introspeksi malah playing victim. Seolah bapak yang paling tersakiti," tukas Mawar balik menyudutkan. "Yakin buat kita semua?" sindir Rudy lagi membuat wajah Mawar semakin tertekuk. Rena yang baru bangun tidur akhirnya keluar karena tak tahan mendengar keributan kedua orang tuanya. Dia berdiri di ambang pintu sembari melihat ke ruang tengah. "Ribut terus dari pagi sih, Bu. Belum kelar juga perkara duit yang hilang itu?!" omel Rena kemudian. Mawar dan Melati menoleh ke belakang. Begitu pula dengan Rud
"Kakakmu di kamar, Mel. Masuk dulu biar kupanggilkan." Rudy mempersilakan Melati untuk masuk ke ruang tengah, sementara Hanum melangkah ke dapur untuk menyiapkan es jeruk dan camilan. Perlahan Rudy mulai mengetik pintu kamar. Mawar yang masih berbaring di kasur sembari berselancar ke media sosialnya pun kembali berdecak kesal mendengar ketukan itu. "Ada apalagi sih! Heran, baru mau istirahat sebentar sudah ribet lagi!" umpatnya. Sebenarnya Mawar ingin pura-pura tidur, tapi saat Rudy bilang adiknya datang, rencana itu pun dia urungkan. Meski malas, Mawar gegas turun dari ranjang lalu mendekati pintu kamarnya. "Dicari Melati." Rudy menunjuk adik semata wayang Mawar yang tengah duduk di sofa ruang tengah. Tanpa membalas ucapan Rudy, Mawar melenggang begitu saja menyusul Melati setelah menutup pintu kamarnya. "Mbak ...." Melati tampak tersenyum saat melihat kakaknya datang. Keduanya pun saling peluk dan cipika cipiki seperti biasanya tiap kali bertemu. "Sendirian, Mel? Nggak sama Fa
[Kamu jadi pulang ke Jogja besok, Ken? Jangan lupa pesan mama. Bawa istrimu pulang!] Pesan dari Raka muncul di layar handphone Ken saat dia masih meninjau proyek terbarunya. Bagas dan Ridho terlihat ngobrol di kejauhan bersama mandor proyek. Tak ingin terus diteror kakaknya, Ken pun lekas membalas pesan itu. [InsyaAllah besok, Mas. Tiket juga sudah ready. Bilang sama mama, aku akan bawa menantu barunya ke Jogja. Aku selesaikan masalah di sini dulu hari ini]Pesan terkirim dan Ken kembali melanjutkan aktivitasnya. Beberapa kali memeriksa catatan dan desain bangunan yang sudah digarap lalu kembali menghitung seberapa lama lagi ruko itu akan selesai dan siap huni. Meski sudah ada karyawan yang mengurus hal ini, tapi Ken cukup detail saat mengurus proyeknya. Oleh karena itulah, dia memeriksa semuanya sampai menemukan yang terbaik. [Sayang, pulang jam berapa? Sekarang di mana?]Getar handphone Ken kembali terasa. Dia pikir, kakaknya yang mengirimkan balasan. Namun, saat dilihat layar h
"Uang sisa beli perhiasan ada berapa, Bu? Bapak mau beli peralatan bengkel." Rudy berujar pelan saat Mawar dan Rena sudah sampai rumah. Ibu dan anak itu saling tatap. Mawar terlihat gelisah dengan wajah memucat karena takut. Dia kebingungan mencari cara untuk menjelaskan kemana uang itu. "Kenapa diam? Coba bapak hitung sendiri masih berapa. Bapak benar-benar nggak enak sama Ken karena menyelewengkan amanahnya." Rudy menghela napas panjang sembari mengulurkan tangannya, minta sisa uang itu pada istrinya. "An-- anu, Pak. Uangnya hilang." Mawar terbata. Dia menunduk takut sambil memainkan jemari-jemarinya. Rudy mendongak dengan mata membulat lebar. "Apa ibu bilang? Bapak kurang dengar," ujar Rudy lagi. Tatapannya tak berubah. Makin tajam menghujam, membuat Mawar semakin diliputi ketakutan. "U--uangnya dijambret, Pak. Tas ibu dibawa maling, makanya perhiasan dan semua sisa uang itu lenyap. Maafkan ibu, Pak." Mawar duduk di depan suaminya sembari terus meminta maaf. "Uangnya ludes ta
"Ibu yakin mau beli kalung ini? Nanti sisa uang dari Ken cuma lima juta, Bu. Memangnya bapak nggak marah kalau sisa buat modal bengkelnya cuma segitu?" tanya Rena saat mereka masih sibuk di etalase toko mas. "Biarin sajalah, Ren. Mumpung ada duit. Kalau nunggu bapak punya duit buat beli perhiasan, bisa-bisa sampai lumutan belum dapat juga. Ibu capek nunggunya." Mawar menyahut sembari kembali membolak-balik kalung yang dipilihnya. "Terserah ibu saja. Yang penting aku nggak mau ikut campur kalau nanti bapak ngamuk soal duit itu." Rena menghela napas lalu ikut memilih anting sebagai pengganti antingnya yang lama. "Tenang saja. Ibu nggak akan bawa-bawa kamu soal ini. Semua ibu yang tanggung sendiri." Mawar membalas santai lalu meminta karyawan toko mas itu untuk menyiapkan pesanannya. Setelah semua beres, Mawar mengajak Rena makan bakso di samping toko mas itu. Mereka menikmati daging bulat berkuah itu sembari ngobrol banyak hal, seolah tak ada beban di antara mereka. "Rencana reseps