"Mau honeymoon ya, Ren? Wah, seru nih ke Bali," ujar salah seorang tetangga saat melihat Rena membawa kopernya ke teras. "Iya dong, Bi. Namanya juga habis menikah ya honeymoon. Menikmati masa berdua tanpa diganggu siapapun," balas Rena dengan senyum lebar. Kaca mata hitam sudah nangkring di atas kepalanya, celana jeans panjang dengan kemeja menghiasi tubuhnya yang semampai, tak lupa sepatu dengan hak tinggi pun melengkapi penampilannya detik ini. Rambut panjang Rena tergerai indah, sesekali tertiup angin yang memang kadang datang dan pergi. "Jangan lupa bawain ibu oleh-oleh ya, Ren," pesan Mawar saat Rena menyalaminya. "Kalau anak pergi-pergi jangan sibuk titip oleh-oleh, Bu. Biarkan mereka menikmati masa bahagianya. Nanti kalau senggang juga dibelikan, tapi kalau repot dan lupa, ibu jangan ngambek," ujar Rudy pada istrinya. "Benar yang dikatakan bapak, Bu. Baru mau berangkat sudah sibuk mikirin oleh-oleh. Kalau nggak repot nanti juga kubelikan. Ibu tenang saja deh," balas Rena.
[Mas, kamu beli furniture kenapa nggak bilang-bilang? Mana bagus banget, pasti harganya mahal. Iya kan?]Hanum mengirimkan pesan pada suaminya setelah kamarnya tertata rapi. Rudy meminta dua orang tetangganya untuk membantu menata lemari dan ranjang itu. Setelah menunggu beberapa menit, Hanum menerima balasan dari suaminya. [Iya, Sayang. Maaf tadi lupa mau bilang kalau aku sekalian mampir ke toko furniture untuk membeli perabotan itu. Mahal atau murah, selama kamu suka aku nggak masalah, Sayang. Yang penting istriku menyukainya]Hanum tersenyum saat membaca balasan dari Ken. Dia kembali mengucap syukur memiliki suami yang benar-benar di luar ekspektasinya saat pertama kali berjumpa. [Makasih ya, Mas. Hanum suka, suka banget malah. Semua cantik]Balasan Hanum membuat Ken tersenyum. Dia senang jika istrinya suka dan bahagia dengan semua pemberiannya. [Lebih cantik kamu. Kamu yang terbaik dan tercantik]Lagi-lagi wajah Hanum merona tiap kali melihat ataupun mendengar pujian suaminya.
"Kenapa gelisah begitu, Mas? Apa ada masalah?" tanya Hanum saat menyuguhkan secangkir kopi untuk suaminya. Ken mendongak lalu menarik kursi di sampingnya dan meminta Hanum untuk duduk di sana. "Sebenarnya bukan masalah sih, Sayang. Cuma papa memintaku pulang sebentar. Mungkin minta penjelasan atas pernikahan kita yang mendadak ini," balas Ken jujur. Hanum terdiam sejenak. Entah mengapa detik ini tiba-tiba muncul kekhawatiran di dalam hatinya. Hanum takut ditinggalkan begitu saja. Dia tak tahu asal usul Ken apalagi tempat tinggalnya di Jogja. Jikalaupun mau mencari keberadaannya, Hanum merasa benar-benar buta dan tak tahu apa-apa. Bahkan sudut kota Jogja saja belum pernah dijamahnya sama sekali. "Kenapa, Sayang? Kamu takut kalau aku pergi begitu saja?" tebak Ken seolah tahu beragam tanya dan kecemasan di benak Hanum detik ini. Hanum tak membalas, dia hanya menatap Ken beberapa saat lalu kembali menunduk. "Aku selesaikan urusan ini dulu sekalian urus berkas-berkas pernikahan kita.
[Siapa yang jemput, Mas? Aku sudah sampai bandara] Ken mengirimkan pesan pada kakaknya setelah sampai di kota kelahirannya, Jogja.[Sudah ada Pak Joko di sana, Ken. Keluar saja nanti juga ketemu] Ken memasukkan kembali handphonenya ke saku celana. Sembari mendorong koper, dia mencari salah satu supir pribadi keluarganya itu di deretan para penjemput. "Mas Ken, sini bapak bawakan kopernya," ujar Pak Joko saat melihat majikan mudanya datang. "Oh, biar saya saja, Pak. Nggak berat kok ini. Isinya cuma beberapa oleh-oleh buat Aldo sama Dee," balas Ken begitu ramah dan sopan. "Mas Ken pasti capek. Biar bapak bawakan saja." Pak Joko kembali meminta. Tak menolak, Ken pun mengiyakannya. Setelah masuk ke mobil, Ken kembali mengetik pesan. Kali ini bukan ditujukan untuk orang tua atau kakaknya, melainkan untuk Hanum yang pasti sudah menunggu pesannya sedari tadi. Benar saja, saat menerima pesan dari sang suami, Hanum merasa jauh lebih lega. [Sayang, aku sudah sampai bandara. Jangan begada
Adzan subuh berkumandang. Hanum membuka matanya perlahan lalu menengok ke samping. Tak ada siapa-siapa di sisinya sejak semalam. Ada rasa kehilangan dan rindu yang berkelebat dalam kalbu. Suara jarum jam terdengar cukup keras di kamarnya. Seolah menemani Hanum di setiap malam dan tiap terjaga dari lelapnya. Tak ingin membuang waktu, Hanum gegas beranjak dari ranjang lalu melipat selimut dan menata bantal gulingnya. Semua serba baru karena Ken yang menghadiahkan itu semua untuknya. Getar handphone di atas meja membuat Hanum buru-buru membereskan tempat tidur lalu mengambil benda pipih hitam itu. Senyum di pagi hari mulai terlihat, begitu manis di wajahnya yang cantik. [Selamat pagi, Sayang. Gimana semalam? Pasti nggak nyenyak karena nggak ada yang menemani kan?] Pesan dari Ken muncul di layar. Pesan yang selalu ditunggu Hanum, entah karena rindu atau karena takut kehilangan. Mungkin di antara keduanya. Tiap kali mendapatkan pesan dari Ken, Hanum merasa sangat lega dan bersyukur kar
[Sayang, kenapa nggak balas? Apa kamu nggak mau cerita? Kalau nggak mau, nggak apa-apa nanti biar aku yang tanya ke bapak saja]Pesan dari Ken membuyarkan lamunan Hanum. Dia buru-buru membaca pesan itu lalu membalasnya. [Maaf, Mas. Bukan maksud Hanum nggak mau cerita. Masalahnya tanggungan itu ada sebelum Mas hadir dalam kehidupan Hanum. Apa iya Mas Ken juga yang harus menanggungnya? Hanum nggak mau dianggap memanfaatkan keadaan] Lagi-lagi Hanum menghela napas. Dia tak enak hati jika meminta suaminya melunasi hutang itu. Hutang bapaknya untuk biaya operasi usus buntu ibu sambungnya beberapa bulan lalu. [Nggak ada cerita seorang istri memanfaatkan suaminya, Sayang. Sudah tugas suami menanggung semua kebutuhan dan tanggung jawab istrinya. Kalau memang dulu itu tanggung jawabmu, biarkan sekarang menjadi tanggung jawabku. Memangnya hutang bapak berapa, Sayang? Satu juta? Sepuluh juta atau lima puluh juta? Ambil saja dari ATM yang kukasih kemarin. InsyaAllah cukup. Kalau kamu mau beli s
"Aku tanya sama Mas Adam saja kali ya? Cuma dia yang lumayan kukenal di sana," gumam Hanum setelah sampai di lokasi proyek. Beberapa buruh bangunan masih sarapan, termasuk Adam di sana. Biasanya laki-laki itu begitu ramah bahkan sering menggoda Hanum, tapi kali ini agak segan. Dia hanya tersenyum lalu mengangguk pelan saat tak sengaja bersirobok dengan Hanum. Hanum mengernyit dan kembali curiga dengan perubahan sikap beberapa buruh bangunan itu. "Sttt ada Mbak Hanum," bisik salah seorang laki-laki di sana. "Tak menyangka bisa jadi istrinya Mas Ken," sahut yang lain. "Mungkin dia datang ke sini cari Mas Bagas atau Mas Ridho. Kan Mas Ken balik ke Jogja." Yang lain menimpali. "Atau jangan-jangan malah mau cari tahu siapa Mas Ken sebenarnya. Kalian tahu sendiri kan kalau Mas Ken pura-pura jadi kuli seperti kita? Jangan lupa pesan Mas Bagas sama Mas Ridho tempo hari, kita harus tutup mulut dan mengikuti perintah bos." Simon, mandor proyek itu ikut menyahut. Hanum masih duduk di motor
"Maksud Mbak Hanum apa?" Ridho sedikit gugup lalu melirik Bagas yang masih mendelik. "Iya maksud saya, apa sebenarnya Mas Ken itu bos yang menyamar? Kalau memang kuli biasa, lantas status Mas Bagas dan Mas Ridho ini apa? Kenapa sepertinya sangat patuh pada Mas Ken? Disuruh ini itu, ke sini ke sana pun mau. Saya yakin kalau kalian nggak sekadar teman Mas Ken kan?" ujar Hanum kembali menjelaskan. Bagas bergeming, sementara Ridho tersenyum tipis. "Kami memang nggak sebatas teman, Mbak," balas Ridho yang dibarengi lirikan tajam Bagas. Asisten Ken itu takut jika Ridho benar-benar keceplosan. Pasalnya, Ken selalu bilang jika sekarang bukan waktunya untuk jujur. Dia akan cerita semuanya nanti saat Hanum diajak ke Jogja untuk bertemu keluarganya. Lagipula, Ken masih ingin membuat mertua dan iparnya itu sadar kalau kesombongan mereka hanyalah hal sia-sia. Ken berharap mereka juga sadar agar tak selalu merendahkan orang lain hanya karena penampilan ataupun pekerjaan, karena bisa jadi yang
"Ya Allah, Mas. Kita ke klinik sekarang ya? Saya takut Mas Ridho kenapa-kenapa," ujar Hanum begitu panik saat melihat wajah bodyguard suaminya sedikit pucat setelah menerima bogem mentah itu. "Nggak apa-apa, Mbak Hanum. Sudah biasa begini. Tenang saja," balas Ridho berusaha tersenyum meski pipinya benar-benar nyut-nyutan tak karuan. Nyeri dan terasa sakit saat digerakkan. "Nggak apa-apa gimana, Mas? Ini cukup parah," tunjuk Hanum pada sudut bibir Ridho yang pecah. "Tenang saja, Mbak. Ridho sudah kebal," timpal Bagas dengan senyum tipis, berusaha menenangkan Hanum, tapi tetap saja dia merasa sangat bersalah sampai membuat laki-laki di sampingnya itu babak belur. "Siapa mereka, Num?" Pertanyaan Juragan Gino membuat Hanum menoleh seketika. "Mereka teman baik suami saya, Juragan. Maaf kalau sudah membuat keributan di sini." Hanum sedikit membungkuk lalu kembali menatap belanjaannya yang berantakan. "Kemana suamimu? Kenapa dia menyuruh orang lain untuk mengawasimu?" tanya Juragan Gin
"Me-- melamar gimana, Mas? Meski kemarin saya batal menikah dengan Mas Aziz, tapi saya sudah menikah dengan orang lain. Saya sudah sah menjadi istri orang, Mas. Mana bisa main lamar aja," balas Hanum di tengah kepanikannya. Laki-laki bernama Galih, anak Juragan Gino itu tersenyum miring. Dia mendadak menarik tangan Hanum ke belakang pasar yang agak sepi karena tak ingin dilihat banyak orang. Bagas dan Ridho pun buru-buru mengikuti mereka. "Kamu menikah dengan lelaki yang nggak jelas, Num. Kenapa nggak sama aku aja? Bibit, bobot dan bebetnya jelas. Anak orang terpandang di kampung kita. Apapun yang kamu minta bakal aku turuti asalkan kamu mau menjadi istriku," ujar Galih begitu bersemangat. Hanum menarik tangannya yang dicengkeram Galih, namun laki-laki itu justru menarik tubuh Hanum hingga mengikis jarak di antara mereka. "Heh! Kamu! Lepas!" sentak Ridho sembari menunjuk Galih yang menoleh seketika. Tawa meremehkan terdengar dari bibirnya. Bukannya melepas cengkeramannya pada Hanu
"Maksud Mbak Hanum apa?" Ridho sedikit gugup lalu melirik Bagas yang masih mendelik. "Iya maksud saya, apa sebenarnya Mas Ken itu bos yang menyamar? Kalau memang kuli biasa, lantas status Mas Bagas dan Mas Ridho ini apa? Kenapa sepertinya sangat patuh pada Mas Ken? Disuruh ini itu, ke sini ke sana pun mau. Saya yakin kalau kalian nggak sekadar teman Mas Ken kan?" ujar Hanum kembali menjelaskan. Bagas bergeming, sementara Ridho tersenyum tipis. "Kami memang nggak sebatas teman, Mbak," balas Ridho yang dibarengi lirikan tajam Bagas. Asisten Ken itu takut jika Ridho benar-benar keceplosan. Pasalnya, Ken selalu bilang jika sekarang bukan waktunya untuk jujur. Dia akan cerita semuanya nanti saat Hanum diajak ke Jogja untuk bertemu keluarganya. Lagipula, Ken masih ingin membuat mertua dan iparnya itu sadar kalau kesombongan mereka hanyalah hal sia-sia. Ken berharap mereka juga sadar agar tak selalu merendahkan orang lain hanya karena penampilan ataupun pekerjaan, karena bisa jadi yang
"Aku tanya sama Mas Adam saja kali ya? Cuma dia yang lumayan kukenal di sana," gumam Hanum setelah sampai di lokasi proyek. Beberapa buruh bangunan masih sarapan, termasuk Adam di sana. Biasanya laki-laki itu begitu ramah bahkan sering menggoda Hanum, tapi kali ini agak segan. Dia hanya tersenyum lalu mengangguk pelan saat tak sengaja bersirobok dengan Hanum. Hanum mengernyit dan kembali curiga dengan perubahan sikap beberapa buruh bangunan itu. "Sttt ada Mbak Hanum," bisik salah seorang laki-laki di sana. "Tak menyangka bisa jadi istrinya Mas Ken," sahut yang lain. "Mungkin dia datang ke sini cari Mas Bagas atau Mas Ridho. Kan Mas Ken balik ke Jogja." Yang lain menimpali. "Atau jangan-jangan malah mau cari tahu siapa Mas Ken sebenarnya. Kalian tahu sendiri kan kalau Mas Ken pura-pura jadi kuli seperti kita? Jangan lupa pesan Mas Bagas sama Mas Ridho tempo hari, kita harus tutup mulut dan mengikuti perintah bos." Simon, mandor proyek itu ikut menyahut. Hanum masih duduk di motor
[Sayang, kenapa nggak balas? Apa kamu nggak mau cerita? Kalau nggak mau, nggak apa-apa nanti biar aku yang tanya ke bapak saja]Pesan dari Ken membuyarkan lamunan Hanum. Dia buru-buru membaca pesan itu lalu membalasnya. [Maaf, Mas. Bukan maksud Hanum nggak mau cerita. Masalahnya tanggungan itu ada sebelum Mas hadir dalam kehidupan Hanum. Apa iya Mas Ken juga yang harus menanggungnya? Hanum nggak mau dianggap memanfaatkan keadaan] Lagi-lagi Hanum menghela napas. Dia tak enak hati jika meminta suaminya melunasi hutang itu. Hutang bapaknya untuk biaya operasi usus buntu ibu sambungnya beberapa bulan lalu. [Nggak ada cerita seorang istri memanfaatkan suaminya, Sayang. Sudah tugas suami menanggung semua kebutuhan dan tanggung jawab istrinya. Kalau memang dulu itu tanggung jawabmu, biarkan sekarang menjadi tanggung jawabku. Memangnya hutang bapak berapa, Sayang? Satu juta? Sepuluh juta atau lima puluh juta? Ambil saja dari ATM yang kukasih kemarin. InsyaAllah cukup. Kalau kamu mau beli s
Adzan subuh berkumandang. Hanum membuka matanya perlahan lalu menengok ke samping. Tak ada siapa-siapa di sisinya sejak semalam. Ada rasa kehilangan dan rindu yang berkelebat dalam kalbu. Suara jarum jam terdengar cukup keras di kamarnya. Seolah menemani Hanum di setiap malam dan tiap terjaga dari lelapnya. Tak ingin membuang waktu, Hanum gegas beranjak dari ranjang lalu melipat selimut dan menata bantal gulingnya. Semua serba baru karena Ken yang menghadiahkan itu semua untuknya. Getar handphone di atas meja membuat Hanum buru-buru membereskan tempat tidur lalu mengambil benda pipih hitam itu. Senyum di pagi hari mulai terlihat, begitu manis di wajahnya yang cantik. [Selamat pagi, Sayang. Gimana semalam? Pasti nggak nyenyak karena nggak ada yang menemani kan?] Pesan dari Ken muncul di layar. Pesan yang selalu ditunggu Hanum, entah karena rindu atau karena takut kehilangan. Mungkin di antara keduanya. Tiap kali mendapatkan pesan dari Ken, Hanum merasa sangat lega dan bersyukur kar
[Siapa yang jemput, Mas? Aku sudah sampai bandara] Ken mengirimkan pesan pada kakaknya setelah sampai di kota kelahirannya, Jogja.[Sudah ada Pak Joko di sana, Ken. Keluar saja nanti juga ketemu] Ken memasukkan kembali handphonenya ke saku celana. Sembari mendorong koper, dia mencari salah satu supir pribadi keluarganya itu di deretan para penjemput. "Mas Ken, sini bapak bawakan kopernya," ujar Pak Joko saat melihat majikan mudanya datang. "Oh, biar saya saja, Pak. Nggak berat kok ini. Isinya cuma beberapa oleh-oleh buat Aldo sama Dee," balas Ken begitu ramah dan sopan. "Mas Ken pasti capek. Biar bapak bawakan saja." Pak Joko kembali meminta. Tak menolak, Ken pun mengiyakannya. Setelah masuk ke mobil, Ken kembali mengetik pesan. Kali ini bukan ditujukan untuk orang tua atau kakaknya, melainkan untuk Hanum yang pasti sudah menunggu pesannya sedari tadi. Benar saja, saat menerima pesan dari sang suami, Hanum merasa jauh lebih lega. [Sayang, aku sudah sampai bandara. Jangan begada
"Kenapa gelisah begitu, Mas? Apa ada masalah?" tanya Hanum saat menyuguhkan secangkir kopi untuk suaminya. Ken mendongak lalu menarik kursi di sampingnya dan meminta Hanum untuk duduk di sana. "Sebenarnya bukan masalah sih, Sayang. Cuma papa memintaku pulang sebentar. Mungkin minta penjelasan atas pernikahan kita yang mendadak ini," balas Ken jujur. Hanum terdiam sejenak. Entah mengapa detik ini tiba-tiba muncul kekhawatiran di dalam hatinya. Hanum takut ditinggalkan begitu saja. Dia tak tahu asal usul Ken apalagi tempat tinggalnya di Jogja. Jikalaupun mau mencari keberadaannya, Hanum merasa benar-benar buta dan tak tahu apa-apa. Bahkan sudut kota Jogja saja belum pernah dijamahnya sama sekali. "Kenapa, Sayang? Kamu takut kalau aku pergi begitu saja?" tebak Ken seolah tahu beragam tanya dan kecemasan di benak Hanum detik ini. Hanum tak membalas, dia hanya menatap Ken beberapa saat lalu kembali menunduk. "Aku selesaikan urusan ini dulu sekalian urus berkas-berkas pernikahan kita.
[Mas, kamu beli furniture kenapa nggak bilang-bilang? Mana bagus banget, pasti harganya mahal. Iya kan?]Hanum mengirimkan pesan pada suaminya setelah kamarnya tertata rapi. Rudy meminta dua orang tetangganya untuk membantu menata lemari dan ranjang itu. Setelah menunggu beberapa menit, Hanum menerima balasan dari suaminya. [Iya, Sayang. Maaf tadi lupa mau bilang kalau aku sekalian mampir ke toko furniture untuk membeli perabotan itu. Mahal atau murah, selama kamu suka aku nggak masalah, Sayang. Yang penting istriku menyukainya]Hanum tersenyum saat membaca balasan dari Ken. Dia kembali mengucap syukur memiliki suami yang benar-benar di luar ekspektasinya saat pertama kali berjumpa. [Makasih ya, Mas. Hanum suka, suka banget malah. Semua cantik]Balasan Hanum membuat Ken tersenyum. Dia senang jika istrinya suka dan bahagia dengan semua pemberiannya. [Lebih cantik kamu. Kamu yang terbaik dan tercantik]Lagi-lagi wajah Hanum merona tiap kali melihat ataupun mendengar pujian suaminya.