[Sayang, kenapa nggak balas? Apa kamu nggak mau cerita? Kalau nggak mau, nggak apa-apa nanti biar aku yang tanya ke bapak saja]Pesan dari Ken membuyarkan lamunan Hanum. Dia buru-buru membaca pesan itu lalu membalasnya. [Maaf, Mas. Bukan maksud Hanum nggak mau cerita. Masalahnya tanggungan itu ada sebelum Mas hadir dalam kehidupan Hanum. Apa iya Mas Ken juga yang harus menanggungnya? Hanum nggak mau dianggap memanfaatkan keadaan] Lagi-lagi Hanum menghela napas. Dia tak enak hati jika meminta suaminya melunasi hutang itu. Hutang bapaknya untuk biaya operasi usus buntu ibu sambungnya beberapa bulan lalu. [Nggak ada cerita seorang istri memanfaatkan suaminya, Sayang. Sudah tugas suami menanggung semua kebutuhan dan tanggung jawab istrinya. Kalau memang dulu itu tanggung jawabmu, biarkan sekarang menjadi tanggung jawabku. Memangnya hutang bapak berapa, Sayang? Satu juta? Sepuluh juta atau lima puluh juta? Ambil saja dari ATM yang kukasih kemarin. InsyaAllah cukup. Kalau kamu mau beli s
"Aku tanya sama Mas Adam saja kali ya? Cuma dia yang lumayan kukenal di sana," gumam Hanum setelah sampai di lokasi proyek. Beberapa buruh bangunan masih sarapan, termasuk Adam di sana. Biasanya laki-laki itu begitu ramah bahkan sering menggoda Hanum, tapi kali ini agak segan. Dia hanya tersenyum lalu mengangguk pelan saat tak sengaja bersirobok dengan Hanum. Hanum mengernyit dan kembali curiga dengan perubahan sikap beberapa buruh bangunan itu. "Sttt ada Mbak Hanum," bisik salah seorang laki-laki di sana. "Tak menyangka bisa jadi istrinya Mas Ken," sahut yang lain. "Mungkin dia datang ke sini cari Mas Bagas atau Mas Ridho. Kan Mas Ken balik ke Jogja." Yang lain menimpali. "Atau jangan-jangan malah mau cari tahu siapa Mas Ken sebenarnya. Kalian tahu sendiri kan kalau Mas Ken pura-pura jadi kuli seperti kita? Jangan lupa pesan Mas Bagas sama Mas Ridho tempo hari, kita harus tutup mulut dan mengikuti perintah bos." Simon, mandor proyek itu ikut menyahut. Hanum masih duduk di motor
"Maksud Mbak Hanum apa?" Ridho sedikit gugup lalu melirik Bagas yang masih mendelik. "Iya maksud saya, apa sebenarnya Mas Ken itu bos yang menyamar? Kalau memang kuli biasa, lantas status Mas Bagas dan Mas Ridho ini apa? Kenapa sepertinya sangat patuh pada Mas Ken? Disuruh ini itu, ke sini ke sana pun mau. Saya yakin kalau kalian nggak sekadar teman Mas Ken kan?" ujar Hanum kembali menjelaskan. Bagas bergeming, sementara Ridho tersenyum tipis. "Kami memang nggak sebatas teman, Mbak," balas Ridho yang dibarengi lirikan tajam Bagas. Asisten Ken itu takut jika Ridho benar-benar keceplosan. Pasalnya, Ken selalu bilang jika sekarang bukan waktunya untuk jujur. Dia akan cerita semuanya nanti saat Hanum diajak ke Jogja untuk bertemu keluarganya. Lagipula, Ken masih ingin membuat mertua dan iparnya itu sadar kalau kesombongan mereka hanyalah hal sia-sia. Ken berharap mereka juga sadar agar tak selalu merendahkan orang lain hanya karena penampilan ataupun pekerjaan, karena bisa jadi yang
"Me-- melamar gimana, Mas? Meski kemarin saya batal menikah dengan Mas Aziz, tapi saya sudah menikah dengan orang lain. Saya sudah sah menjadi istri orang, Mas. Mana bisa main lamar aja," balas Hanum di tengah kepanikannya. Laki-laki bernama Galih, anak Juragan Gino itu tersenyum miring. Dia mendadak menarik tangan Hanum ke belakang pasar yang agak sepi karena tak ingin dilihat banyak orang. Bagas dan Ridho pun buru-buru mengikuti mereka. "Kamu menikah dengan lelaki yang nggak jelas, Num. Kenapa nggak sama aku aja? Bibit, bobot dan bebetnya jelas. Anak orang terpandang di kampung kita. Apapun yang kamu minta bakal aku turuti asalkan kamu mau menjadi istriku," ujar Galih begitu bersemangat. Hanum menarik tangannya yang dicengkeram Galih, namun laki-laki itu justru menarik tubuh Hanum hingga mengikis jarak di antara mereka. "Heh! Kamu! Lepas!" sentak Ridho sembari menunjuk Galih yang menoleh seketika. Tawa meremehkan terdengar dari bibirnya. Bukannya melepas cengkeramannya pada Hanu
"Ya Allah, Mas. Kita ke klinik sekarang ya? Saya takut Mas Ridho kenapa-kenapa," ujar Hanum begitu panik saat melihat wajah bodyguard suaminya sedikit pucat setelah menerima bogem mentah itu. "Nggak apa-apa, Mbak Hanum. Sudah biasa begini. Tenang saja," balas Ridho berusaha tersenyum meski pipinya benar-benar nyut-nyutan tak karuan. Nyeri dan terasa sakit saat digerakkan. "Nggak apa-apa gimana, Mas? Ini cukup parah," tunjuk Hanum pada sudut bibir Ridho yang pecah. "Tenang saja, Mbak. Ridho sudah kebal," timpal Bagas dengan senyum tipis, berusaha menenangkan Hanum, tapi tetap saja dia merasa sangat bersalah sampai membuat laki-laki di sampingnya itu babak belur. "Siapa mereka, Num?" Pertanyaan Juragan Gino membuat Hanum menoleh seketika. "Mereka teman baik suami saya, Juragan. Maaf kalau sudah membuat keributan di sini." Hanum sedikit membungkuk lalu kembali menatap belanjaannya yang berantakan. "Kemana suamimu? Kenapa dia menyuruh orang lain untuk mengawasimu?" tanya Juragan Gin
"Kenapa kamu nikah mendadak, Ken? Selama ini kamu nggak pernah cerita soal perempuan pada mama dan papa. Tiba-tiba kamu kasih kabar akan menikah dan kami dilarang datang. Sebenarnya kejadiannya gimana sampai kamu senekat itu?" Wicaksono menatap lekat Ken yang duduk di depannya itu.Keluarga Ken sedang menikmati makan siang bersama, termasuk Raka dan Meira. Mereka sengaja mencari waktu agar bisa duduk bersama membahas pernikahan Ken ya g dadakan itu. "Papa tahu kamu sudah menjelaskannya waktu itu, tapi berhari-hari papa masih nggak habis pikir kenapa kamu senekat itu, Ken. Apalagi pada gadis yang baru kamu lihat pertama kali," sambung Wicaksono lagi. "Papamu benar, Ken. Bukan maksud mama menyalahkanmu atau menyudutkan istrimu, hanya saja papa dan mama masih belum mengerti kenapa tiba-tiba kamu ingin menjadi pengantin penggantinya. Suatu hal yang benar-benar di luar nalar. Kalau kalian sudah kenal lama, mungkin mama nggak akan sekaget ini, tapi kamu sendiri bilang kalau kalian baru be
[Mas, laki-laki itu tiba-tiba ingin datang melamar Mbak Hanum. Dia bahkan baku hantam dengan Ridho saat kami mengantar Mbak Hanum ke pasar. Sepertinya ada satu kunci yang digenggam keluarga laki-laki itu tentang keluarga Mbak Hanum, tapi kami tak tahu itu apa. Barangkali menyangkut utang piutang, masalahnya nanti malam mereka akan menemui mertua Mas Ken di rumah untuk membahas hal ini. Sekarang saya dan Ridho ada di klinik. Laki-laki itu melayangkan sebuah pukulan pada Ridho saat dia lengah. Mbak Hanum panik, makanya membawa Ridho ke klinik tak jauh dari pasar]Pesan panjang dari Bagas beserta beberapa foto dan video saat huru-hara di pasar itu pun terkirim di WhatsApp nya. Ken memperhatikan wajah laki-laki itu dan dia merasa cukup asing. Artinya belum pernah bertemu dengan sosok itu sebelumnya. "Hutang piutang. Apa ini yang dimaksud Hanum kemarin? Bapaknya memiliki hutang sekian puluh juta, makanya selama ini dia bekerja keras untuk membayar cicilannya?" lirih Ken sembari mengamati
Sejak pulang dari pasar pagi tadi, Hanum benar-benar tak tenang. Bakda ashar sampai menjelang maghrib ini selalu gelisah. Hanum ingin mengabari suaminya tentang kejadian tadi, tapi takut menganggu kesibukannya di Jogja. Dia tahu, urusan Ken pasti belum kelar sebab dia sudah bilang akan pulang besok sore. "Gimana ini? Bapak juga belum pulang. Mungkin juga kebingungan cari pinjaman segitu banyak untuk menutup hutang pada Juragan Gino." Lagi-lagi Hanum menggumam. Baru saja membuka pintu kamar, terdengar keributan di teras. Hanum menajamkan pendengarannya lalu kembali menutup pintu setelah tahu siapa yang datang. "Kenapa Mbak Rena dan Mas Aziz pulang secepat ini? Padahal kemarin bilang mereka akan honeymoon di Bali selama lima hari," gumam Hanum lagi lalu kembali duduk di tepi ranjang. Mawar yang baru saja keluar kamar cukup shock melihat kedatangan anak dan menantunya itu. Tak ingin menduga-duga, dia pun menanyakan perihal kepulangan mereka. "Kalian sudah pulang? Cepet banget katany
"Ibu diam-diam berhutang tanpa bilang bapak dulu? Memangnya selama ini ibu punya penghasilan, kok bisa-bisanya pinjam uang sebanyak itu." Rudy mulai mencecar membuat Mawar semakin panik. "Bapak kok ngomongnya begitu sih?! Ibu emang nggak kerja, Pak. Tapi bapak sama Rena kan kerja. Lagipula hutang ini juga bukan buat foya-foya, tapi buat kita semua. Kesannya ibu doang yang salah. Kalau bapak bisa mencukupi kebutuhan keluarga, ibu juga nggak bakal minjam sana-sini seperti ini. Bukannya introspeksi malah playing victim. Seolah bapak yang paling tersakiti," tukas Mawar balik menyudutkan. "Yakin buat kita semua?" sindir Rudy lagi membuat wajah Mawar semakin tertekuk. Rena yang baru bangun tidur akhirnya keluar karena tak tahan mendengar keributan kedua orang tuanya. Dia berdiri di ambang pintu sembari melihat ke ruang tengah. "Ribut terus dari pagi sih, Bu. Belum kelar juga perkara duit yang hilang itu?!" omel Rena kemudian. Mawar dan Melati menoleh ke belakang. Begitu pula dengan Rud
"Kakakmu di kamar, Mel. Masuk dulu biar kupanggilkan." Rudy mempersilakan Melati untuk masuk ke ruang tengah, sementara Hanum melangkah ke dapur untuk menyiapkan es jeruk dan camilan. Perlahan Rudy mulai mengetik pintu kamar. Mawar yang masih berbaring di kasur sembari berselancar ke media sosialnya pun kembali berdecak kesal mendengar ketukan itu. "Ada apalagi sih! Heran, baru mau istirahat sebentar sudah ribet lagi!" umpatnya. Sebenarnya Mawar ingin pura-pura tidur, tapi saat Rudy bilang adiknya datang, rencana itu pun dia urungkan. Meski malas, Mawar gegas turun dari ranjang lalu mendekati pintu kamarnya. "Dicari Melati." Rudy menunjuk adik semata wayang Mawar yang tengah duduk di sofa ruang tengah. Tanpa membalas ucapan Rudy, Mawar melenggang begitu saja menyusul Melati setelah menutup pintu kamarnya. "Mbak ...." Melati tampak tersenyum saat melihat kakaknya datang. Keduanya pun saling peluk dan cipika cipiki seperti biasanya tiap kali bertemu. "Sendirian, Mel? Nggak sama Fa
[Kamu jadi pulang ke Jogja besok, Ken? Jangan lupa pesan mama. Bawa istrimu pulang!] Pesan dari Raka muncul di layar handphone Ken saat dia masih meninjau proyek terbarunya. Bagas dan Ridho terlihat ngobrol di kejauhan bersama mandor proyek. Tak ingin terus diteror kakaknya, Ken pun lekas membalas pesan itu. [InsyaAllah besok, Mas. Tiket juga sudah ready. Bilang sama mama, aku akan bawa menantu barunya ke Jogja. Aku selesaikan masalah di sini dulu hari ini]Pesan terkirim dan Ken kembali melanjutkan aktivitasnya. Beberapa kali memeriksa catatan dan desain bangunan yang sudah digarap lalu kembali menghitung seberapa lama lagi ruko itu akan selesai dan siap huni. Meski sudah ada karyawan yang mengurus hal ini, tapi Ken cukup detail saat mengurus proyeknya. Oleh karena itulah, dia memeriksa semuanya sampai menemukan yang terbaik. [Sayang, pulang jam berapa? Sekarang di mana?]Getar handphone Ken kembali terasa. Dia pikir, kakaknya yang mengirimkan balasan. Namun, saat dilihat layar h
"Uang sisa beli perhiasan ada berapa, Bu? Bapak mau beli peralatan bengkel." Rudy berujar pelan saat Mawar dan Rena sudah sampai rumah. Ibu dan anak itu saling tatap. Mawar terlihat gelisah dengan wajah memucat karena takut. Dia kebingungan mencari cara untuk menjelaskan kemana uang itu. "Kenapa diam? Coba bapak hitung sendiri masih berapa. Bapak benar-benar nggak enak sama Ken karena menyelewengkan amanahnya." Rudy menghela napas panjang sembari mengulurkan tangannya, minta sisa uang itu pada istrinya. "An-- anu, Pak. Uangnya hilang." Mawar terbata. Dia menunduk takut sambil memainkan jemari-jemarinya. Rudy mendongak dengan mata membulat lebar. "Apa ibu bilang? Bapak kurang dengar," ujar Rudy lagi. Tatapannya tak berubah. Makin tajam menghujam, membuat Mawar semakin diliputi ketakutan. "U--uangnya dijambret, Pak. Tas ibu dibawa maling, makanya perhiasan dan semua sisa uang itu lenyap. Maafkan ibu, Pak." Mawar duduk di depan suaminya sembari terus meminta maaf. "Uangnya ludes ta
"Ibu yakin mau beli kalung ini? Nanti sisa uang dari Ken cuma lima juta, Bu. Memangnya bapak nggak marah kalau sisa buat modal bengkelnya cuma segitu?" tanya Rena saat mereka masih sibuk di etalase toko mas. "Biarin sajalah, Ren. Mumpung ada duit. Kalau nunggu bapak punya duit buat beli perhiasan, bisa-bisa sampai lumutan belum dapat juga. Ibu capek nunggunya." Mawar menyahut sembari kembali membolak-balik kalung yang dipilihnya. "Terserah ibu saja. Yang penting aku nggak mau ikut campur kalau nanti bapak ngamuk soal duit itu." Rena menghela napas lalu ikut memilih anting sebagai pengganti antingnya yang lama. "Tenang saja. Ibu nggak akan bawa-bawa kamu soal ini. Semua ibu yang tanggung sendiri." Mawar membalas santai lalu meminta karyawan toko mas itu untuk menyiapkan pesanannya. Setelah semua beres, Mawar mengajak Rena makan bakso di samping toko mas itu. Mereka menikmati daging bulat berkuah itu sembari ngobrol banyak hal, seolah tak ada beban di antara mereka. "Rencana reseps
"Pak, besok Mas Ken mau ajak Hanum ke Jogja untuk bertemu dengan keluarganya," ujar Hanum saat menyiapkan sarapan di meja makan. Rudy agak kaget, tapi dia mengangguk senang. Kabar itu memang yang dinantinya selama ini. Setidaknya, dia bisa membuktikan kalau menantunya bukan lelaki tak berasal-usul seperti yang digaungkan orang-orang. "Hari ini mau urus berkas-berkas dulu buat nikah resminya," ujar Hanum lagi. "Alhamdulillah, akhirnya bapak lebih lega sekarang, Num. Bapak semakin yakin kalau suamimu itu orang yang bertanggung jawab. InsyaAllah dia tak ingkar akan janji-janjinya sendiri." Rudy mengangguk pelan lalu kembali mengambil satu sendok nasi goreng di piringnya. "Iya, Pak. Hanum juga merasakan keseriusan dan tanggungjawab Mas Ken. Dia benar-benar tak seperti sangkaan semua orang." Hanum kembali tersenyum lalu mengikuti bapaknya menyantap sarapan. Ken tak ikut sarapan pagi ini sebab dia pamit keluar karena ada keperluan dengan Bagas dan Ridho. Hanum pun mengizinkan karena it
Ken menatap Hanum yang sedang sibuk melipat baju di atas tempat tidur mereka. Cahaya lampu kamar yang temaram menyorot wajah Hanum yang serius. Dia terlihat cantik meski hanya memakai piyama dengan lengan pendek dan celana panjang. Ken menghela napas pelan, merasa beruntung memiliki Hanum di sisinya."Sayang," panggil Ken sambil duduk di tepi ranjang, kedua tangannya bersandar ke belakang. Hanum menoleh. "Ya, Mas. Ada apa?" tanya Hanum dengan senyum tipis. Ken pun tersenyum kecil. "Lusa, kita ke Jogja, ya?" ujarnya. Hanum menghentikan lipatannya, menatap Ken dengan alis terangkat. "Ke Jogja, Mas? Beneran kamu mau ajak Hanum ke Jogja secepat ini?" tanya Hanum lagi. Meski Ken sudah memberitahu soal wacana itu sebelumnya, tapi Hanum masih tak percaya jika secepat itu rencana akan terlaksana. "Iya, Sayang. Lebih cepat lebih baik, supaya bapak juga semakin yakin kalau aku punya keluarga. Kedua orang tuaku juga pengin ketemu menantunya yang cantik ini," jawab Ken santai.Hanum mengerut
"Maafkan bapak, Ken," ujar Rudy setelah mereka kumpul di ruang tengah. Suasana di rumah itu sudah cukup tenang dan lengang. Tak seperti tadi yang berisik, penuh emosi dan ketegangan. Para tetangga pun sudah kembali ke rumah masing-masing karena malam semakin beranjak naik. Jarum jam nyaris menunjuk angka sepuluh. "Maaf dalam hal apa, Pak? Bapak nggak salah apapun. Jadi, nggak ada yang perlu dimaafkan," balas Ken tenang. Laki-laki itu duduk di sofa, bersebelahan dengan istrinya. Di meja terdapat beberapa cangkir teh dan camilan untuk teman ngobrol mereka. "Bapak banyak salah sama kamu. Selama ini kurang percaya sama menantu sendiri, banyak curiga bahkan harus melibatkanmu soal hutang keluarga. Padahal kamu baru saja menjadi menantu. Sekali lagi maaf atas ketidakberdayaan bapak ini." Rudy kembali menghela napas panjang lalu mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Saya sudah menjadi suami anak bapak secara sah. Jadi, bapak juga orang tua saya sekarang. Bagian dari k
"Apa-apaan ini, Ken? Kamu pikir bisa lunasi hutang keluarga Hanum dengan uang palsu? Jangan kira saya nggak bisa membedakan uang asli sama uang palsu!" bentak Galih sembari berdiri dengan berkacak pinggang di depan Ken. Ken menatap Juragan Gino dan anak lelakinya bergantian. Dia masih berusaha tenang, meskipun sorot matanya mulai tajam. "Kalau kalian ragu, kita bisa cek keaslian uang ini sekarang juga. Saya siap. Atau kalau perlu panggil polisi jika memang kalian mengira saya sebagai pengedar uang palsu," balas Ken mantap. Tetangga semakin ramai bergosip. Mereka yang sebelumnya nongkrong di rumah Bu Nur, makin penasaran lalu mulai mendekat sampai teras rumah Rudy. Ada empat orang yang menguping obrolan mereka di sana. "Sebenarnya Ken kerja apa, sih? Kok tiba-tiba banyak uang?" bisik seorang ibu paruh baya."Mobil mewah itu juga punya siapa? Apa benar kalau dia cuma nyamar miskin dan kuli bangunan, padahal sebenarnya pengusaha muda yang sukses?" sahut yang lain. "Jangan-jangan Ken