Katanya, pernikahan adalah ibadah seumur hidup untuk menggenapkan separuh agama. Menikah adalah ikrar suci yang bukan hanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, tetapi juga manusia dengan Tuhan. Namun, masihkah pernikahan itu dianggap sakral jika hanya didasari hawa nafsu dan tipu muslihat?Pertanyaan-pertanyaan itulah yang muncul di benak Kayla kala memantapkan hati untuk mengeksekusi usulan Sabrina. Awalnya dia takut jika perbuatannya itu akan berbuntut dosa. Bagaimanapun, status Pas Muklis adalah duda. Sah-sah saja seandainya dia menikah lagi, di luar fakta bahwa istrinya belum genap sebulan meninggal.Akan tetapi, tetap saja hati kecilnya tidak terima. Miskah adalah wanita licik yang sepertinya punya niat jahat terhadap keluarganya. Bahkan sebelum menikah pun, dia sudah meminta mahar di luar nalar.Masih terngiang jelas ucapan Miskah pada hari pemakaman Bu Muklis."Kamu yang sabar ya, Kayla. Saya akan belajar menjadi ibu pengganti yang baik buat kamu."Saat itu Kayla t
Tidak salah jika ada yang bilang jodoh itu misteri. Buktinya, Adam dan Kayla pernah dekat di masa lalu dan kini akan melangsungkan pernikahan di tanggal yang sama. Bedanya, mereka akan duduk di pelaminan yang berbeda. Adam dengan Sofia sedangkan Kayla dengan Arfan.Itulah yang dipikirkan Sabrina saat menimang dua buah undangan di tangannya. Dia tersenyum, terkadang hati kecilnya mencelus karena roda kehidupan sungguh tidak bisa ditebak naik turunnya. Kalau boleh jujur, Sabrina pun pernah menaruh hati kepada Adam. Namun, dia tidak mau egois. Keadaannya serba terjepit saat itu. Lagipula, statusnya yang merupakan serang janda hanya akan membuat wajah keluarga Adam tercoreng. Bukan ... Sabrina bukan minder, tetapi tahu diri. Emas akan lebih pantas bersanding dengan emas, bukan dengan perak atau perunggu.Kini, tidak ada lagi ruang untuk galau. Sabrina akan terus berjuang menghidupi mimpinya. Meski harus berdiri di satu kaki, atau bahkan kaki bertukar posisi dengan kepala, Sabrina tidak a
"Mas Hasan?!" Sabrina tidak bisa menutupi kekagetannya.Sosok yang muncul di ambang pintu adalah Hasan Maulana, kakak Sabrina yang selama ini tinggal berbeda kota dan hampir tidak pernah memberi kabar.Tiada angin tiada hujan, lelaki berusia 30 tahun itu pulang ke rumah orang tua bersama istri dan dua orang anaknya.Bu Retno mendekat perlahan. Ada rasa kesal sekaligus rindu yang merebak dalam dada. Selama ini, Hasan sering mengabaikan teleponnya. Nalurinya sebagai seorang ibu mengatakan bahwa kehidupan anaknya sedang tidak baik-baik saja.Deru mobil meninggalkan sedikit kepulan debu saat meninggalkan pekarangan rumah Sabrina. Tidak ada sorak sorai kegembiraan di sana. Yang ada hanyalah kebekuan ganjil."Assalamu'alaikum, Bu." Hasan meraih tangan Bu Retno dan menciumnya, diikuti istri dan kedua anaknya."Wa'alaikumsalam. Sehat, Mas?"Sabrina tahu, ibunya sedang mati-matian menahan tangis. Ibu mana yang tidak sedih ketika melihat anaknya kurus dan penampilannya sedikit berantakan? Padah
Teriakan Sinta dari dalam kamar membuat seluruh penghuni rumah bergegas menghampirinya. Wanita itu berdiri di atas kasur dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Rambutnya yang panjang hampir sepinggang tampak kusut."Kenapa, Sayang?" tanya Hasan dengan nada khawatir. Sebelumnya, dia dan Pak Jaya masih menonton siaran langsung sepak bola nasional. Kedua anak mereka tertidur di depan televisi."Itu, Mas, ada kecoa!" rengeknya. Dia menunjuk sudut ruangan yang terhimpit lemari pakaian.Empat orang yang berjejal di ambang pintu mengedarkan pandangan. Mereka tidak mendapati hewan berwarna cokelat yang biasanya identik dengan tempat yang kotor tersebut."Mana? Nggak ada," sanggah Hasan."Tadi beneran ada, kok!""Seumur-umur tidur di sini, Ibu juga belum pernah lihat kecoa," sahut Bu Retno.Kamar yang mereka pakai memang sebenarnya adalah kamar Bu Retno. Dia tidak sekamar dengan Pak Jaya karena lelaki itu sering butuh kipas angin untuk meredam gatal pada kulit. Bu Retno sendiri tidak terlalu ta
Sinta mematut diri di depan cermin besar di kamar Sabrina. Sebuah setelan celana kulot warna nude berpadu cantik dengan tunik motif bunga-bunga. Pashmina yang senada dengan kulot turut memperlengkap penampilan. Semua pakaian yang dikenakan Sinta itu adalah milik Sabrina. "Bikinin aku baju kayak gini juga dong, Sab. Kalau beli di mall mahal pasti," pinta Sinta. "Iya, Insyaa Allah kapan-kapan aku bikinin. Tunggu ada sisaan kain, ya. Lagian Mbak Sinta juga bakalan tinggal di sini, jadi nggak harus buru-buru." Wanita berwajah oval itu merengut. "Kok dibikinnya pakai kain sisa, sih? Yang baru, dong!" "Gini aja. Mbak Sinta beli kainnya, nanti aku yang jahitkan semuanya." "Ish, pelit banget sama saudara sendiri. Ya udah, deh, tunggu ada kain lebihan yang penting aku nggak bayar. Kamu kan tahu sendiri kalau Mas Hasan sekarang udah nggak kerja." Sabrina memasang senyum yang dipaksakan. Dia sudah banyak bersabar semenjak keluarga Hasan menginvasi kamarnya. Masalahnya, sebelum menjatuhkan
Beni berlarian menuju Sabrina dan adiknya. Tangannya menggeggam erat sebuah benang yang terhubung ke layang-layang besar berbentuk capung. Kertas warna-warni itu meliuk di awang-awang. Pemiliknya tersenyum lebar dan beberapa kali melambaikan tangan kepada Salim agar mengejarnya. "Kak Beni dibeliin layang-layang sama Om itu?" tanya Bela setelah kakaknya tiba di hadapannya. Tangannya menunjuk Salim yang hampir sampai. "Iya. Om Salim baik banget. Padahal ini mahal, lho. Tadi dia bayar pakai uang lima puluh ribuan." Sabrina yang mendengar percakapan itu hanya bisa geleng-geleng kepala. Baru beberapa saat lalu dia menyombong di hadapan Salim, sekarang dia sudah tidak punya muka. Tadinya dia berpikir, Beni hanya akan menonton saja. Akan tetapi, anak-anak mana yang akan melewatkan kesempatan kalau ada orang yang menawarinya membeli sesuatu yang diinginkan? Lelaki berpipi tirus itu agak ngos-ngosan ketika sampai. Sabrina menundukkan kepala seraya berterima kasih. "Seharusnya nggak perlu
Sabrina berencana memindahkan lokasi kursus jahit yang semula diadakan di teras rumah. Pasalnya, tingkah dua keponakannya makin menjadi-jadi. Sudah tahu banyak perkakas kain, gunting, benang, dan lain-lain berserakan, Beni malah lari-larian di sekitar teras. Akibatnya, jempol kakinya terluka karena terlilit benang.Lain Beni, lain pula tingkah Bela. Gadis kecil berambut kriwil itu diam-diam mengambil peralatan milih salah seorang peserta. Dia mencorat-coret bahan kain berwarna putih yang semula akan dipakai untuk belajar menggambar pola. Dia juga memakai gunting untuk memotong rambut bagian depan. Akibatnya, ada sedikit pitak di bagian depan kepala.Melihat kondisi anak-anaknya, Hasan pun memarahi Sabrina."Harusnya ngadain kursus jangan di rumah dong, Sab. Udah tahu banyak anak kecil!" protes Hasan setelah membalut jempol anaknya dengan plester luka.Sabrina bersedekap dan tersenyum mengejek. "Nggak salah, nih, Mas Hasan marah? Harusnya aku yang marah, Mas! Karena ulah mereka, aku ja
"Bechandyaa ... Bechandyaa...." Sabrina menirukan ucapan yang sedang viral di media sosial.Dia tidak mau mengambil hati ucapan ibunya. Jika memang Salim ingin melakukan pendekatan, sedari awal Sabrina akan menjaga jarak."Memangnya kenapa nggak mau sama dia? Lagipula Salim masih lajang," tanya Bu Retno penuh selidik."Ibu serius nanya ginian?""Yaa, serius. Maksud Ibu, mau sampai kapan kamu melajang? Beneran nggak mau nikah lagi sampai tua? Kali aja kamu mau punya suami lagi supaya bisa dibawa pergi dari sini.""Hmm ... Jadi ngusir, nih, ceritanya?"Bu Retno mencubit lengan Sabrina. Dia yakin, Sabrina mengerti maksud ucapannya. Sejak berkonflik dengan Hasan, Sabrina pernah bilang suasana rumah jadi kurang menyenangkan lagi."Gini ya, Bu. Aku nggak bilang nggak akan nikah lagi sampai tua. Tapi, untuk sekarang, aku belum menemukan alasan yang sangat kuat untuk melakukan itu.""Ibu itu ... Gimana ya jelasinnya? Sebenarnya Ibu kasihan sama kamu karena harus capek sendirian. Bapakmu sakit-
[2 tahun kemudian] "Saya terima nikah dan kawinnya Sabrina Hasanati binti Jaya Sentosa dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"Begitu tenang dan lantang Adam mengucap kalimat tersebut dalam satu tarikan napas."Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!" Para saksi menjawab serentak.Sabrina dan Adam mengembuskan napas lega. Doa-doa melangit, berbaur dengan tumpahan air mata haru dan suka cita.Kini, Adam dan Sabrina duduk bak raja dan ratu sehari di pelaminan. Mereka senantiasa menebar senyum kepada para tamu undangan yang turut berbahagia.Dahulu, hanya butuh waktu satu minggu bagi Adam untuk jatuh hati kepada Sabrina. Butuh tiga bulan untuk menyatakan niat baik dan berujung mendapat penolakan halus dari janda beranak satu tersebut. Namun, jalan hidup memang tidak dapat ditebak.Sempat hendak menikahi Sofia, takdir ternyata membawa acara akad mereka bubar sebelum mulai. Adam dan Bu Ami sampai harus pindah rumah karena malu dibicarakan tetangga terus-menerus.Namun, siapa sangka, ada hikma
Sabrina menajamkan pendengaran agar segera tahu ketika sewaktu-waktu ada mobil berhenti di depan rumah. Perasaannya senang bercampur harap-harap cemas. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Sabrina akhirnya akan memiliki sepeda motor lagi. Memang bukan sepeda motor keluaran terbaru. Bukan pula yang harganya puluhan juta. Yang dia beli hanyalah motor bekas seharga 6,5 juta saja. Yang membuatnya istimewa, motor itu dibeli dari hasil keringatnya sendiri. Bagi Sabrina yang sejak kecil akrab dengan kemiskinan, membeli motor tanpa mencicil adalah sebentuk pencapaian yang patut dirayakan. Adam yang membantunya mendapatkan motor tersebut. Setelah bertemu secara tidak sengaja di acara bazaar, mereka cukup intens berkomunikasi. Kebetulan dealer Adam memang melayani jual beli motor bekas sehingga dia bisa memilihkan yang kondisi mesinnya masih bagus dan harganya terjangkau. Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Sebuah mobil bak terbuka merapat di halaman rumah Pak Jaya. Sepeda motor berw
Jam masih menunjukkan pukul delapan pagi, tetapi matahari di langit Tangerang sudah bersinar amat terang. Sabrina mengelap keringat di dahi dengan ujung jilbab. Sesekali, dia melambaikan tangan ke arah Alifa yang berada dalam barisan gerak jalan. Acara jalan sehat itu merupakan kegiatan tahunan yang rutin digelar oleh Pemda setempat untuk memperingati hari jadi kota mereka. Sekolah Alifa tidak ketinggalan untuk berpartisipasi. Namun, karena masih usia TK, orang tua murid diminta turut serta hadir. Selagi menunggu Alifa selesai parade, Sabrina melihat-lihat stand yang berjajar di sepanjang tepi jalan. Ada satu stand yang sudah dia incar semenjak tiba di alun-alun kota tersebut. "Mas, yang ini harganya berapa, ya?" Sabrina menunjuk sebuah motor matic berwarna biru dan putih dengan bodi lebar.Itu adalah satu-satunya stand yang menjual motor second. Dilihat dari kondisi tampilan luar, motor yang dilirik Sabrina sepertinya masih sangat bagus. Sabrina merasa perlu membeli motor untuk ke
Adam turun dari motor dan mengambil bungkusan martabak yang tergantung di cantolan depan. Malam itu, Bu Ami bilang ingin menonton film sambil ngemil.Seporsi martabak manis dengan topping kacang, cokelat, keju, dan wijen itu ditaruh dalam piring buah. Permukaannya masih mengepulkan uap panas. Aromanya yang harum makin menggugah selera."Silakan menikmati martabaknya, Bunda Ratu," seloroh Adam ketika menyajikan makanan itu di meja.Bu Ami yang baru mulai memutar film hanya terkekeh mendengarnya."Kamu nggak ikutan nonton?" tanya Bu Ami begitu melihat Adam berdiri lagi. Bibirnya sedikit cemberut.Tadinya Adam ingin kembali ke kamar untuk mendesain pamflet, tetapi kemudian dia tidak tega membiarkan mamanya menonton sendirian. Karena itu, dia memutuskan untuk bekerja sambil tetap menemani Bu Ami."Saya ambil laptop sebentar ya, Ma."Bu Ami mengangguk senang. Sebenarnya dia merasa kesepian sejak pindah ke rumah baru. Selain lingkungannya lebih sepi, di rumah juga tidak ada pembantu yang bi
Nuansa haru yang sempat tercipta karena Sabrina hendak merantau menjadi TKW mendadak buyar. Sabrina menyusut air mata. Bu Retno sontak berdiri dan menghampiri dua lelaki yang berdiri di ambang pintu. "Pak Muklis?" Sapaannya lebih terdengar seperti pertanyaan. Bu Retno sampai melebarkan mata dan mencondongkan badan saking tidak percaya bahwa sosok yang berdiri di hadapannya adalah Pak Muklis. Ya, dia adalah juragan sembako yang pernah sangat ingin menikahi Sabrina. Sabrina menelan ludah. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ada perasaan takut dan cemas yang diam-diam menelusup di hatinya. Bagaimanapun, urusannya dengan Pak Muklis tidak pernah menyenangkan. "Maaf, Bu, boleh kami masuk?" Kali ini yang bertanya adalah sopir Pak Muklis. "Oh, iya ... bo--boleh. Silakan, Pak." Wanita itu menepi agar tamunya masuk. Sabrina menuntun Alifa, hendak menghindari pertemuan itu dengan alasan ingin menjaga warung. Namun, Pak Muklis menahannya. "Mbak Sabrina boleh di sini sebentar? Saya ada perlu.
"Izinkan aku merantau ke luar negeri." Sabrina mengucapkannya dengan mata berkaca-kaca.Di satu sisi, dia tidak tega meninggalkan anak dan orang tuanya di Indonesia. Selain rindu, dia juga pasti akan lebih sering mengkhawatirkan kondisi kesehatan mereka.Namun, utang nyaris seratus juta ke Adam bukanlah perkara sepele. Jika dia hanya mampu mencicil 500 ribu per bulan, dia butuh waktu selama 16 tahun untuk melunasi seluruh utang tersebut.Dalam kurun waktu 16 tahun itu, pasti akan banyak hal yang berubah. Orang tuanya akan makin berumur. Alifa pun harus bersekolah di SD, SMP, hingga SMA yang pastinya butuh biaya lebih besar. Sabrina juga bercita-cita ingin menguliahkan putri semata wayangnya.Lebih dari itu semua, siapa yang menjamin dirinya masih ada umur? Alangkah sedihnya jika membawa utang hingga liang lahat. Maka, merantau menjadi TKW menjadi pilihan yang paling mungkin Sabrina ambil."Kalau kamu pergi, Alifa gimana, Sab?" tanya Bu Retno hati-hati. Dia paham betul kegelisahan anak
"Alhamdulillah, semua pesanan sudah jadi. Bu, tolong bantu cocokkan jumlahnya, ya," pinta Sabrina kepada Bu Retno. Dia sendiri tengah sibuk menghitung sisa pembayaran yang harus dilunasi Salim. Jumlah itu setara dengan keuntungan bersih yang akan dia peroleh."Jahitannya rapi, Sab. Masing-masing juga udah disetrika, jadi meringankan pekerjaan kita. Bisa aja kamu cari konveksi yang bagus.""Iya, Bu. Yang bikin makin kagum, mereka mempekerjakan orang-orang yang cacat fisik. Aku jadi makin termotivasi buat mengikuti jejaknya."Sabrina menghentikan pekerjaannya sejenak. Matanya menerawang jauh sedangkan bibirnya tersenyum manis. Terbayang seperti apa bahagianya jika impian tersebut bisa terwujud."Ya ... Ya ... Tapi bikin konveksi juga modalnya nggak sedikit, Sab. Apalagi kamu masih ada utang sama Ustadz Adam."Bibir Sabrina langsung kembali seperti semula. Ucapan ibunya sangat realistis."Bapak sama Ibu nggak bisa bantu banyak. Tapi nanti, kalau kami sudah meninggal, kamu boleh jual ruma
"Sudah siap, Ma?" tanya Adam setelah memasukkan tiga koper dan beberapa kardus besar ke dalam bagasi mobil. "Sudah, Dam." Bu Ami menghela napas. Hatinya serasa sesak dan badannya penat. Hari itu, mereka memutuskan untuk pindah rumah. Rumah tersebut akan disewakan kepada teman Om Adib.Sebenarnya rumah itu baru mereka tempati selama setahun. Namun, semenjak Adam batal menikah dengan Sofia, Bu Ami tidak lagi merasakan kenyamanan di sana. Penyebabnya tak lain adalah mulut-mulut tetangga yang selalu merasa paling tahu urusan orang lain.Sekali dua kali, Bu Ami tidak terlalu memusingkan omongan tetangga yang menggunjing batalnya pernikahan Adam. Namun, cerita tersebut berulang terus dan ditambah bumbu-bumbu lain. Ada yang bilang, Adam itu pembawa tulah atau kutukan. Entah siapa yang pertama kali tahu, tetapi kabar bahwa dia sudah tiga kali gagal menikah sudah menyebar luas. Dampaknya tidak hanya pada psikologis Bu Ami, tetapi juga TPA yang dikelola Adam. Banyak walisantri yang memindah
"Ma, capek, ya? Mau aku pijitin?" tanya Alifa pada suatu malam menjelang tidur.Dia melihat Sabrina kepayahan bangun dari kasur sebab pinggangnya terlalu letih. Duduk terlalu lama di depan mesin jahit memang kurang baik untuk kesehatan. Apalagi Sabrina terkadang lupa minum air putih atau meregangkan otot barang sebentar."Mau, Sayang. Terima kasih ya, anak baik. Mama sangat bersyukur memiliki anak yang solehah seperti Alifa," jawabnya seraya tersenyum.Alifa dengan senang hati memijit tangan dan kaki Sabrina. Meskipun tenaganya tidak seberapa dan dia belum paham titik-titik yang mesti dpijit, Sabrina merasakan hatinya hangat. Tangan mungil itulah yang secara tidak langsung telah menguatkannya selama ini.Meski letih, Sabrina merasa Allah sangat memudahkan usahanya ketika memulai proses produksi pesanan Salim. Selain doa yang dia panjatkan seusai salat, Sabrina juga rutin melaksanakan salat Tahajjud dan salat Dhuha.Dia tidak bisa berkeluh kesah kepada sembarang orang. Jadi, salat adal