"Bechandyaa ... Bechandyaa...." Sabrina menirukan ucapan yang sedang viral di media sosial.Dia tidak mau mengambil hati ucapan ibunya. Jika memang Salim ingin melakukan pendekatan, sedari awal Sabrina akan menjaga jarak."Memangnya kenapa nggak mau sama dia? Lagipula Salim masih lajang," tanya Bu Retno penuh selidik."Ibu serius nanya ginian?""Yaa, serius. Maksud Ibu, mau sampai kapan kamu melajang? Beneran nggak mau nikah lagi sampai tua? Kali aja kamu mau punya suami lagi supaya bisa dibawa pergi dari sini.""Hmm ... Jadi ngusir, nih, ceritanya?"Bu Retno mencubit lengan Sabrina. Dia yakin, Sabrina mengerti maksud ucapannya. Sejak berkonflik dengan Hasan, Sabrina pernah bilang suasana rumah jadi kurang menyenangkan lagi."Gini ya, Bu. Aku nggak bilang nggak akan nikah lagi sampai tua. Tapi, untuk sekarang, aku belum menemukan alasan yang sangat kuat untuk melakukan itu.""Ibu itu ... Gimana ya jelasinnya? Sebenarnya Ibu kasihan sama kamu karena harus capek sendirian. Bapakmu sakit-
Hadiah-hadiah untuk Kayla sudah selesai dijahit. Sabrina juga sudah masukkannya ke dalam plastik klip bening agar terlihat sedikit eksklusif. Kalau dipikir-pikir, ya, memang eksklusif. Yang seperti itu tidak akan ditemukan di mana-mana karena Sabrina khusus menjahitnya untuk Kayla.Sebelum membungkusnya dengan kertas kado, wanita itu menimbang-nimbang sebentar. Dia ingin menyelipkan kartu ucapan, tetapi tidak punya kertas ucapan yang bagus. Tulisan tangannya pun jelek. Setelah cari-cari inspirasi dari internet, Sabrina memutuskan untuk mencetak kartu ucapan saja.Dia bisa membuat desain sederhana menggunakan aplikasi edit gambar. Kata-katanya singkat saja, intinya mengucapkan selamat menempuh hidup baru dan meminta maaf karena tidak bisa datang. Kalau sebelumnya dia harus cari-cari alasan, kali ini Sabrina punya alasan yang lebih kuat untuk tidak hadir.Sabrina harus segera mencari ruko kosong untuk disewa sebelum keduluan sama gerai es krim yang sedang viral. Makin cepat, makin baik
[trigger warning: adegan menjijikkan]Kayla mondar-mandir di kamarnya sambil memegang ponsel. Dia sedang menunggu kabar dari Bondan, orang suruhan yang dia beri tugas untuk memata-matai Miskah. Beberapa saat lalu, Bondan mengaku melihat Miskah baru keluar dari rumah seorang dukun.Kayla sebenarnya antara kaget dan tidak kaget mendengar kabar tersebut. Sikap Pak Muklis memang tidak wajar saat mengaku menyukai Miskah pasca ditolak oleh Sabrina. Selain itu, mereka juga ngebet sekali ingin menikah padahal Bu Muklis belum lama meninggal. Yang membuat Kayla cukup terkejut, ternyata wanita itu memang punya nyali demi mencapai mimpinya menjadi Nyonya Muklis.Hari H pernikahan mereka tinggal tiga hari lagi. Selama ini, Kayla dan Arfan masih terus mencoba membujuk Pak Muklis untuk membatalkan pernikahan. Namun, nihil. Juragan sembako itu seperti hilang akal dan tidak mau mendengar nasehat siapa pun. Bahkan, ancaman pecah kongsi usaha dengan orang tua Arfan pun hanya dianggap angin lalu.Target
Deretan mobil memenuhi tempat parkir hingga sebagian terpaksa menepi di bahu jalan. Lalu lintas menjadi cukup tersendat karena pengendara motor pun turut berjubel ingin segera sampai ke lokasi resepsi. Bunyi klakson di sana sini beradu dengan kepulan asap, panas terpanggang sinar matahari.Papan karangan bunga berisi ucapan selamat juga berjajar di sisi luar gedung. Kuning, hijau, biru, merah, semuanya tampak meriah. Para petugas catering hilir mudik membawa wadah prasmanan yang menguarkan aroma nikmat.Panitia berseragam batik mega mendung tampak ramah menyapa para tamu undangan yang hadir. Motif mega mendung itu dipilih sesuai daerah asal keluarga besar Muklis, yaitu Cirebon.Empat orang penjaga buku tamu tampak cantik dalam riasan natural. Satu orang bertugas mengingatkan tamu untuk menulis nama mereka sebagai bukti kehadiran, satu orang bertindak sebagai penerima kado dan penjaga kotak amplop, sedangkan dua orang lainnya membagikan suvenir.Di sisi kiri gedung, dekat pintu masuk,
Satu buah koper besar, satu tas jinjing, dan satu ransel hitam sudah siap diangkut ke dalam mobil. Sofia memandangi barang-barang yang akan dibawanya itu dengan perasaan yang entah. Dia senang bisa kuliah lagi. Dia sedih karena harus meninggalkan keluarga di Indonesia. Dan dia merasa perlu segera pergi agar dapat move on dari Adam secepatnya.Sofia sadar, pembatalan pernikahan itu 100% adalah keputusannya sendiri tanpa intervensi dari pihak mana pun. Agak anomali jika dia yang ingin melupakan Adam lebih dahulu. Bukankah seharusnya sebaliknya?Lima hari setelah hari yang seharusnya menjadi tanggal pernikahannya itu, Sofia bertolak ke Negeri Sakura, Jepang. Bagi Sofia, keberangkatannya kali ini tidak lain hanyalah sebuah langkah untuk lari dari masalah dan akibat yang ditimbulkannya. Maka, tidak ada hal yang bisa dia harapkan selain agar Adam berbahagia tanpa dirinya."Sudah semua, kan? Nggak ada lagi yang ketinggalan?" tanya Pak Rudi memastikan. Barang-barang itu sudah berpindah ke bag
Ini sudah yang ketiga kalinya Sabrina menghitung uang pecahan lima ribuan dan sepuluh ribuan tersebut. Hasil akhirnya selalu sama: kurang empat ratus ribu rupiah. Sabrina yakin sekali uang yang semula ditaruh di amplop tersebut isinya satu juta, tetapi sekarang tinggal enam ratus ribu.Jantungnya berdebar kencang. Tangannya gemetaran karena empat ratus ribu jelas bukan nominal yang sedikit baginya. Uang itu sedianya akan setorkan ke bank untuk membayar cicilan bulanan kepada Adam.Sebenarnya, cicilan wajib bulanannya hanya lima ratus ribu. Namun, Sabrina berniat menambahkan setiap kali ada rezeki lebih. Dia akan lebih tenang jika utangnya segera lunas. Selain itu, Adam sudah beristri, pasti kebutuhan bulanannya juga bertambah. Dia sama sekali belum tahu bahwa Adam dan Sofia batal menikah.Wanita itu menghampiri ibunya yang sedang menjaga warung. Bu Retno mengaku tak tahu menahu soal uang tersebut. Dia bahkan tidak tahu jika Sabrina menyimpan amplopnya di dalam laci lemari dan terkunci
"Mas harus jujur sama Bapak dan Ibu," saran Sabrina. Dia menatap intens Hasan yang tengah bersandar di kursi dengan wajah frustrasi."Mau ditaruh mana muka gue, Sab? Sekarang aja gue udah cukup malu dengan cerita semuanya ke lo. Mana mungkin gue bisa ceritain ini semua ke mereka? Yang ada cuma nambah-nambahin beban pikiran doang!"Sabrina tersenyum mengejek. "Gengsi nggak akan bawa Mas Hasan ke mana-mana. Percaya deh sama aku. Lebih baik ngaku, minta maaf sama mereka, terus kita cari solusinya sama-sama.""Emang apa solusinya? Apa? Lo punya duit buat bayarin utang gue?" tantang Hasan."Idiiih, Mas yang ngutang kenapa aku yang harus bayar!" Sabrina mencebik kesal.Hasan menarik rambutnya yang sudah mulai jarang di bagian depan. Paras tampan yang dulu jadi idaman itu tertutup dengan gurat-gurat masalah dan termakan usia. Usianya baru 30 tahun, tapi penampakannya sudah seperti jelang 40 tahun."Gini, Mas. Sesuatu yang dimulai dengan cara yang tidak baik, hasilnya pun tidak akan baik. Per
"Bosen banget nggak, sih, di rumah terus?""Iya lah, bete banget nggak ada kegiatan. Pengin jalan-jalan, pengin beli makanan enak, pengin keliling dunia kalau bisa.""Yeee, emang uangnya ada?""Nggak ada, sih.""Nah, itu tahu!""Biasa aja dong, nggak usah ngegas!"Sabrina tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya. Salah jika mengira itu adalah obrolan orang dewasa. Dialog itu diucapkan oleh Beni dan Bela yang sedang bermain berdua di teras samping warung.Semenjak pindah ke rumah itu, mereka memang belum didaftarkan bersekolah karena ketiadaan biaya. Ketika Alifa belum pulang sekolah, praktis mereka cuma main berdua. Sehari-hari mereka hanya menghabiskan waktu dengan berdebat atau mengambili jajanan di warung Sabrina."Kalau punya mobil bagus kayak gitu, enak kali, ya? Bisa jalan-jalan kapan aja," tunjuk Beni ke sebuah mobil hitam mengkilap yang sedang mengurangi kecepatan."Eh, eh ... Kok, mobilnya belok sini? Kakak, sih, main tunjuk mobil orang sembarangan! Kalau dia marah gimana?"Ke
[2 tahun kemudian] "Saya terima nikah dan kawinnya Sabrina Hasanati binti Jaya Sentosa dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"Begitu tenang dan lantang Adam mengucap kalimat tersebut dalam satu tarikan napas."Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!" Para saksi menjawab serentak.Sabrina dan Adam mengembuskan napas lega. Doa-doa melangit, berbaur dengan tumpahan air mata haru dan suka cita.Kini, Adam dan Sabrina duduk bak raja dan ratu sehari di pelaminan. Mereka senantiasa menebar senyum kepada para tamu undangan yang turut berbahagia.Dahulu, hanya butuh waktu satu minggu bagi Adam untuk jatuh hati kepada Sabrina. Butuh tiga bulan untuk menyatakan niat baik dan berujung mendapat penolakan halus dari janda beranak satu tersebut. Namun, jalan hidup memang tidak dapat ditebak.Sempat hendak menikahi Sofia, takdir ternyata membawa acara akad mereka bubar sebelum mulai. Adam dan Bu Ami sampai harus pindah rumah karena malu dibicarakan tetangga terus-menerus.Namun, siapa sangka, ada hikma
Sabrina menajamkan pendengaran agar segera tahu ketika sewaktu-waktu ada mobil berhenti di depan rumah. Perasaannya senang bercampur harap-harap cemas. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Sabrina akhirnya akan memiliki sepeda motor lagi. Memang bukan sepeda motor keluaran terbaru. Bukan pula yang harganya puluhan juta. Yang dia beli hanyalah motor bekas seharga 6,5 juta saja. Yang membuatnya istimewa, motor itu dibeli dari hasil keringatnya sendiri. Bagi Sabrina yang sejak kecil akrab dengan kemiskinan, membeli motor tanpa mencicil adalah sebentuk pencapaian yang patut dirayakan. Adam yang membantunya mendapatkan motor tersebut. Setelah bertemu secara tidak sengaja di acara bazaar, mereka cukup intens berkomunikasi. Kebetulan dealer Adam memang melayani jual beli motor bekas sehingga dia bisa memilihkan yang kondisi mesinnya masih bagus dan harganya terjangkau. Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Sebuah mobil bak terbuka merapat di halaman rumah Pak Jaya. Sepeda motor berw
Jam masih menunjukkan pukul delapan pagi, tetapi matahari di langit Tangerang sudah bersinar amat terang. Sabrina mengelap keringat di dahi dengan ujung jilbab. Sesekali, dia melambaikan tangan ke arah Alifa yang berada dalam barisan gerak jalan. Acara jalan sehat itu merupakan kegiatan tahunan yang rutin digelar oleh Pemda setempat untuk memperingati hari jadi kota mereka. Sekolah Alifa tidak ketinggalan untuk berpartisipasi. Namun, karena masih usia TK, orang tua murid diminta turut serta hadir. Selagi menunggu Alifa selesai parade, Sabrina melihat-lihat stand yang berjajar di sepanjang tepi jalan. Ada satu stand yang sudah dia incar semenjak tiba di alun-alun kota tersebut. "Mas, yang ini harganya berapa, ya?" Sabrina menunjuk sebuah motor matic berwarna biru dan putih dengan bodi lebar.Itu adalah satu-satunya stand yang menjual motor second. Dilihat dari kondisi tampilan luar, motor yang dilirik Sabrina sepertinya masih sangat bagus. Sabrina merasa perlu membeli motor untuk ke
Adam turun dari motor dan mengambil bungkusan martabak yang tergantung di cantolan depan. Malam itu, Bu Ami bilang ingin menonton film sambil ngemil.Seporsi martabak manis dengan topping kacang, cokelat, keju, dan wijen itu ditaruh dalam piring buah. Permukaannya masih mengepulkan uap panas. Aromanya yang harum makin menggugah selera."Silakan menikmati martabaknya, Bunda Ratu," seloroh Adam ketika menyajikan makanan itu di meja.Bu Ami yang baru mulai memutar film hanya terkekeh mendengarnya."Kamu nggak ikutan nonton?" tanya Bu Ami begitu melihat Adam berdiri lagi. Bibirnya sedikit cemberut.Tadinya Adam ingin kembali ke kamar untuk mendesain pamflet, tetapi kemudian dia tidak tega membiarkan mamanya menonton sendirian. Karena itu, dia memutuskan untuk bekerja sambil tetap menemani Bu Ami."Saya ambil laptop sebentar ya, Ma."Bu Ami mengangguk senang. Sebenarnya dia merasa kesepian sejak pindah ke rumah baru. Selain lingkungannya lebih sepi, di rumah juga tidak ada pembantu yang bi
Nuansa haru yang sempat tercipta karena Sabrina hendak merantau menjadi TKW mendadak buyar. Sabrina menyusut air mata. Bu Retno sontak berdiri dan menghampiri dua lelaki yang berdiri di ambang pintu. "Pak Muklis?" Sapaannya lebih terdengar seperti pertanyaan. Bu Retno sampai melebarkan mata dan mencondongkan badan saking tidak percaya bahwa sosok yang berdiri di hadapannya adalah Pak Muklis. Ya, dia adalah juragan sembako yang pernah sangat ingin menikahi Sabrina. Sabrina menelan ludah. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ada perasaan takut dan cemas yang diam-diam menelusup di hatinya. Bagaimanapun, urusannya dengan Pak Muklis tidak pernah menyenangkan. "Maaf, Bu, boleh kami masuk?" Kali ini yang bertanya adalah sopir Pak Muklis. "Oh, iya ... bo--boleh. Silakan, Pak." Wanita itu menepi agar tamunya masuk. Sabrina menuntun Alifa, hendak menghindari pertemuan itu dengan alasan ingin menjaga warung. Namun, Pak Muklis menahannya. "Mbak Sabrina boleh di sini sebentar? Saya ada perlu.
"Izinkan aku merantau ke luar negeri." Sabrina mengucapkannya dengan mata berkaca-kaca.Di satu sisi, dia tidak tega meninggalkan anak dan orang tuanya di Indonesia. Selain rindu, dia juga pasti akan lebih sering mengkhawatirkan kondisi kesehatan mereka.Namun, utang nyaris seratus juta ke Adam bukanlah perkara sepele. Jika dia hanya mampu mencicil 500 ribu per bulan, dia butuh waktu selama 16 tahun untuk melunasi seluruh utang tersebut.Dalam kurun waktu 16 tahun itu, pasti akan banyak hal yang berubah. Orang tuanya akan makin berumur. Alifa pun harus bersekolah di SD, SMP, hingga SMA yang pastinya butuh biaya lebih besar. Sabrina juga bercita-cita ingin menguliahkan putri semata wayangnya.Lebih dari itu semua, siapa yang menjamin dirinya masih ada umur? Alangkah sedihnya jika membawa utang hingga liang lahat. Maka, merantau menjadi TKW menjadi pilihan yang paling mungkin Sabrina ambil."Kalau kamu pergi, Alifa gimana, Sab?" tanya Bu Retno hati-hati. Dia paham betul kegelisahan anak
"Alhamdulillah, semua pesanan sudah jadi. Bu, tolong bantu cocokkan jumlahnya, ya," pinta Sabrina kepada Bu Retno. Dia sendiri tengah sibuk menghitung sisa pembayaran yang harus dilunasi Salim. Jumlah itu setara dengan keuntungan bersih yang akan dia peroleh."Jahitannya rapi, Sab. Masing-masing juga udah disetrika, jadi meringankan pekerjaan kita. Bisa aja kamu cari konveksi yang bagus.""Iya, Bu. Yang bikin makin kagum, mereka mempekerjakan orang-orang yang cacat fisik. Aku jadi makin termotivasi buat mengikuti jejaknya."Sabrina menghentikan pekerjaannya sejenak. Matanya menerawang jauh sedangkan bibirnya tersenyum manis. Terbayang seperti apa bahagianya jika impian tersebut bisa terwujud."Ya ... Ya ... Tapi bikin konveksi juga modalnya nggak sedikit, Sab. Apalagi kamu masih ada utang sama Ustadz Adam."Bibir Sabrina langsung kembali seperti semula. Ucapan ibunya sangat realistis."Bapak sama Ibu nggak bisa bantu banyak. Tapi nanti, kalau kami sudah meninggal, kamu boleh jual ruma
"Sudah siap, Ma?" tanya Adam setelah memasukkan tiga koper dan beberapa kardus besar ke dalam bagasi mobil. "Sudah, Dam." Bu Ami menghela napas. Hatinya serasa sesak dan badannya penat. Hari itu, mereka memutuskan untuk pindah rumah. Rumah tersebut akan disewakan kepada teman Om Adib.Sebenarnya rumah itu baru mereka tempati selama setahun. Namun, semenjak Adam batal menikah dengan Sofia, Bu Ami tidak lagi merasakan kenyamanan di sana. Penyebabnya tak lain adalah mulut-mulut tetangga yang selalu merasa paling tahu urusan orang lain.Sekali dua kali, Bu Ami tidak terlalu memusingkan omongan tetangga yang menggunjing batalnya pernikahan Adam. Namun, cerita tersebut berulang terus dan ditambah bumbu-bumbu lain. Ada yang bilang, Adam itu pembawa tulah atau kutukan. Entah siapa yang pertama kali tahu, tetapi kabar bahwa dia sudah tiga kali gagal menikah sudah menyebar luas. Dampaknya tidak hanya pada psikologis Bu Ami, tetapi juga TPA yang dikelola Adam. Banyak walisantri yang memindah
"Ma, capek, ya? Mau aku pijitin?" tanya Alifa pada suatu malam menjelang tidur.Dia melihat Sabrina kepayahan bangun dari kasur sebab pinggangnya terlalu letih. Duduk terlalu lama di depan mesin jahit memang kurang baik untuk kesehatan. Apalagi Sabrina terkadang lupa minum air putih atau meregangkan otot barang sebentar."Mau, Sayang. Terima kasih ya, anak baik. Mama sangat bersyukur memiliki anak yang solehah seperti Alifa," jawabnya seraya tersenyum.Alifa dengan senang hati memijit tangan dan kaki Sabrina. Meskipun tenaganya tidak seberapa dan dia belum paham titik-titik yang mesti dpijit, Sabrina merasakan hatinya hangat. Tangan mungil itulah yang secara tidak langsung telah menguatkannya selama ini.Meski letih, Sabrina merasa Allah sangat memudahkan usahanya ketika memulai proses produksi pesanan Salim. Selain doa yang dia panjatkan seusai salat, Sabrina juga rutin melaksanakan salat Tahajjud dan salat Dhuha.Dia tidak bisa berkeluh kesah kepada sembarang orang. Jadi, salat adal