Deretan mobil memenuhi tempat parkir hingga sebagian terpaksa menepi di bahu jalan. Lalu lintas menjadi cukup tersendat karena pengendara motor pun turut berjubel ingin segera sampai ke lokasi resepsi. Bunyi klakson di sana sini beradu dengan kepulan asap, panas terpanggang sinar matahari.Papan karangan bunga berisi ucapan selamat juga berjajar di sisi luar gedung. Kuning, hijau, biru, merah, semuanya tampak meriah. Para petugas catering hilir mudik membawa wadah prasmanan yang menguarkan aroma nikmat.Panitia berseragam batik mega mendung tampak ramah menyapa para tamu undangan yang hadir. Motif mega mendung itu dipilih sesuai daerah asal keluarga besar Muklis, yaitu Cirebon.Empat orang penjaga buku tamu tampak cantik dalam riasan natural. Satu orang bertugas mengingatkan tamu untuk menulis nama mereka sebagai bukti kehadiran, satu orang bertindak sebagai penerima kado dan penjaga kotak amplop, sedangkan dua orang lainnya membagikan suvenir.Di sisi kiri gedung, dekat pintu masuk,
Satu buah koper besar, satu tas jinjing, dan satu ransel hitam sudah siap diangkut ke dalam mobil. Sofia memandangi barang-barang yang akan dibawanya itu dengan perasaan yang entah. Dia senang bisa kuliah lagi. Dia sedih karena harus meninggalkan keluarga di Indonesia. Dan dia merasa perlu segera pergi agar dapat move on dari Adam secepatnya.Sofia sadar, pembatalan pernikahan itu 100% adalah keputusannya sendiri tanpa intervensi dari pihak mana pun. Agak anomali jika dia yang ingin melupakan Adam lebih dahulu. Bukankah seharusnya sebaliknya?Lima hari setelah hari yang seharusnya menjadi tanggal pernikahannya itu, Sofia bertolak ke Negeri Sakura, Jepang. Bagi Sofia, keberangkatannya kali ini tidak lain hanyalah sebuah langkah untuk lari dari masalah dan akibat yang ditimbulkannya. Maka, tidak ada hal yang bisa dia harapkan selain agar Adam berbahagia tanpa dirinya."Sudah semua, kan? Nggak ada lagi yang ketinggalan?" tanya Pak Rudi memastikan. Barang-barang itu sudah berpindah ke bag
Ini sudah yang ketiga kalinya Sabrina menghitung uang pecahan lima ribuan dan sepuluh ribuan tersebut. Hasil akhirnya selalu sama: kurang empat ratus ribu rupiah. Sabrina yakin sekali uang yang semula ditaruh di amplop tersebut isinya satu juta, tetapi sekarang tinggal enam ratus ribu.Jantungnya berdebar kencang. Tangannya gemetaran karena empat ratus ribu jelas bukan nominal yang sedikit baginya. Uang itu sedianya akan setorkan ke bank untuk membayar cicilan bulanan kepada Adam.Sebenarnya, cicilan wajib bulanannya hanya lima ratus ribu. Namun, Sabrina berniat menambahkan setiap kali ada rezeki lebih. Dia akan lebih tenang jika utangnya segera lunas. Selain itu, Adam sudah beristri, pasti kebutuhan bulanannya juga bertambah. Dia sama sekali belum tahu bahwa Adam dan Sofia batal menikah.Wanita itu menghampiri ibunya yang sedang menjaga warung. Bu Retno mengaku tak tahu menahu soal uang tersebut. Dia bahkan tidak tahu jika Sabrina menyimpan amplopnya di dalam laci lemari dan terkunci
"Mas harus jujur sama Bapak dan Ibu," saran Sabrina. Dia menatap intens Hasan yang tengah bersandar di kursi dengan wajah frustrasi."Mau ditaruh mana muka gue, Sab? Sekarang aja gue udah cukup malu dengan cerita semuanya ke lo. Mana mungkin gue bisa ceritain ini semua ke mereka? Yang ada cuma nambah-nambahin beban pikiran doang!"Sabrina tersenyum mengejek. "Gengsi nggak akan bawa Mas Hasan ke mana-mana. Percaya deh sama aku. Lebih baik ngaku, minta maaf sama mereka, terus kita cari solusinya sama-sama.""Emang apa solusinya? Apa? Lo punya duit buat bayarin utang gue?" tantang Hasan."Idiiih, Mas yang ngutang kenapa aku yang harus bayar!" Sabrina mencebik kesal.Hasan menarik rambutnya yang sudah mulai jarang di bagian depan. Paras tampan yang dulu jadi idaman itu tertutup dengan gurat-gurat masalah dan termakan usia. Usianya baru 30 tahun, tapi penampakannya sudah seperti jelang 40 tahun."Gini, Mas. Sesuatu yang dimulai dengan cara yang tidak baik, hasilnya pun tidak akan baik. Per
"Bosen banget nggak, sih, di rumah terus?""Iya lah, bete banget nggak ada kegiatan. Pengin jalan-jalan, pengin beli makanan enak, pengin keliling dunia kalau bisa.""Yeee, emang uangnya ada?""Nggak ada, sih.""Nah, itu tahu!""Biasa aja dong, nggak usah ngegas!"Sabrina tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya. Salah jika mengira itu adalah obrolan orang dewasa. Dialog itu diucapkan oleh Beni dan Bela yang sedang bermain berdua di teras samping warung.Semenjak pindah ke rumah itu, mereka memang belum didaftarkan bersekolah karena ketiadaan biaya. Ketika Alifa belum pulang sekolah, praktis mereka cuma main berdua. Sehari-hari mereka hanya menghabiskan waktu dengan berdebat atau mengambili jajanan di warung Sabrina."Kalau punya mobil bagus kayak gitu, enak kali, ya? Bisa jalan-jalan kapan aja," tunjuk Beni ke sebuah mobil hitam mengkilap yang sedang mengurangi kecepatan."Eh, eh ... Kok, mobilnya belok sini? Kakak, sih, main tunjuk mobil orang sembarangan! Kalau dia marah gimana?"Ke
Jabat tangan Arfan dan Hasan menandai hubungan baru mereka sebagai majikan dan sopir. Terhitung mulai hari itu, Hasan diterima sebagai sopir pribadi Arfan selama bekerja di Kalimantan. Pengantin baru itu cukup terkesan dengan kepiawaian Hasan dalam mengemudikan mobil di medan terjal. Saat itu juga, Hasan langsung sujud syukur. Menurut Arfan, gaji bulanannya sebesar 3 juta rupiah bersih. Makan sehari tiga kali ditanggung oleh mereka. Hasan juga diperbolehkan tinggal bersama jika tidak keberatan tidur di kamar gudang. Tanpa pikir panjang, Hasan pun langsung menyetujui. "Tapi, Mas, saya ada satu syarat tambahan," pinta Arfan. "Apa itu, Tuan? Demi bisa mendapatkan pekerjaan ini, apa pun akan saya lakukan," tegas Hasan dengan sungguh-sungguh. "Saya mau Mas Hasan berhenti merokok." Melalui isyarat alisnya, Arfan menunjuk telunjuk dan jari tengah Hasan yang sedang menjepit puntung rokok kecil. Rokok itu sudah dihisap sebelum mereka memulai test drive. Hasan kembali mengambil dan menghis
"Ma, capek, ya? Mau aku pijitin?" tanya Alifa pada suatu malam menjelang tidur.Dia melihat Sabrina kepayahan bangun dari kasur sebab pinggangnya terlalu letih. Duduk terlalu lama di depan mesin jahit memang kurang baik untuk kesehatan. Apalagi Sabrina terkadang lupa minum air putih atau meregangkan otot barang sebentar."Mau, Sayang. Terima kasih ya, anak baik. Mama sangat bersyukur memiliki anak yang solehah seperti Alifa," jawabnya seraya tersenyum.Alifa dengan senang hati memijit tangan dan kaki Sabrina. Meskipun tenaganya tidak seberapa dan dia belum paham titik-titik yang mesti dpijit, Sabrina merasakan hatinya hangat. Tangan mungil itulah yang secara tidak langsung telah menguatkannya selama ini.Meski letih, Sabrina merasa Allah sangat memudahkan usahanya ketika memulai proses produksi pesanan Salim. Selain doa yang dia panjatkan seusai salat, Sabrina juga rutin melaksanakan salat Tahajjud dan salat Dhuha.Dia tidak bisa berkeluh kesah kepada sembarang orang. Jadi, salat adal
"Sudah siap, Ma?" tanya Adam setelah memasukkan tiga koper dan beberapa kardus besar ke dalam bagasi mobil. "Sudah, Dam." Bu Ami menghela napas. Hatinya serasa sesak dan badannya penat. Hari itu, mereka memutuskan untuk pindah rumah. Rumah tersebut akan disewakan kepada teman Om Adib.Sebenarnya rumah itu baru mereka tempati selama setahun. Namun, semenjak Adam batal menikah dengan Sofia, Bu Ami tidak lagi merasakan kenyamanan di sana. Penyebabnya tak lain adalah mulut-mulut tetangga yang selalu merasa paling tahu urusan orang lain.Sekali dua kali, Bu Ami tidak terlalu memusingkan omongan tetangga yang menggunjing batalnya pernikahan Adam. Namun, cerita tersebut berulang terus dan ditambah bumbu-bumbu lain. Ada yang bilang, Adam itu pembawa tulah atau kutukan. Entah siapa yang pertama kali tahu, tetapi kabar bahwa dia sudah tiga kali gagal menikah sudah menyebar luas. Dampaknya tidak hanya pada psikologis Bu Ami, tetapi juga TPA yang dikelola Adam. Banyak walisantri yang memindah