Kami sampai di rumah tepat jam sepuluh malam, aku membaringkan tubuh di ranjang karena merasa lelah. Kok tiba-tiba aku mual, ya? Pasti masuk angin nih, karena pake baju super duper seksi tadi. Namanya juga ke pantai. Ya kali pake baju kantor atau baju ke mall.Aku langsung berlari ke kamar mandi, dan memuntahkan apa saja yang tadi masuk ke perutku. Hingga sedikit lemas keadaanku saat ini.Iyyuh....Pakek acara nggak enak badan segala, lagi. "Kenapa, Yas? " Zein nyelonong aja, menyusulku masuk ke kamar mandi. "Mual, Zein. Mungkin masuk angin. Aduh, pusing lagi. Gini nih, karena udah terlalu lama nggak refresing," rengekku. Dia terlihat senyum-senyum sendiri mendengar ucapanku. Duh, manis amat tuh senyum."Kamu kok jadi senyum-senyum sendiri sih, Zein. Bukannya prihatin, gitu. Seneng ya, kalau aku sakit," ucapku, sewot. Lalu berjalan keluar menuju ranjang. Dia mengekori dari belakang. "Ya udah, sini aku pijitin. Pasti juragan istri minta dibelaikan?" Dia mengambil minyak angin dari l
Setelah melihat-lihat, aku memilih baju yang ini aja deh, pasti Zein suka. Ga papa lah ya sesekali ngikutin kemauan Zein, biar dia senang. Secara diakan udah nurut banget sama aku. Kuambil lingerie pemberian Zahra tempo hari dan memakainya di depan meja rias. Aku senyum-senyum sendiri saat melihat betapa seksinya tubuh Raden Roro Diningtyas ini di dalam cermin. Pasti klepek-klepek deh Zein, kalo liat aku seperti ini. Abis gemesin banget sih. Hihihi... Tak lama kemudian, suara pintu berderit dan mesin mobil menyala. Loh Zein, kok pergi? Aku keluar menghampiri, sampai kulihat mobil sport milikku pergi menjauh. Kemana tuh dia? Kok aku ditinggalin. Ish... Zein! Aku kembali masuk ke kamar dan membanting pintu sekuat tenaga. Kubuka lingerie pemberian Zahra tadi, dan membuangnya asal. Bikin ilfil aja, pasti si bibit pelakor nih yang sudah ngirim santet di lingerie ini. Nyesel deh makainya tadi. Tapi Zein kemana, ya? Apa dia janjian sama bibit pelakor? Mana ujan deras lagi. Aku telepon
Dia masih saja mengelus-elus rambut ku dengan lembut, sehingga membuat bulu mataku kembali merinding disko. Ditambah lagi suasana malam ini begitu mendukung.Aroma minyak wangi yang ku semprot kan tadi belum juga hilang. Namanya juga parfum mahal, ya, kan. Harumnya aja sejuk dan menenangkan, membuat debaran di dadaku semakin bergejolak aja. "Zein.""Hmmm.""Kamu kok yakin banget sih, kalau aku hamil," tanyaku lagi. Merasa tidak enak untuk berterus terang. Dia menghentikan aktifitasnya. Menyentuh daguku dan mengangkatnya, menatap wajahku lekat sehingga pandangan kami saling beradu. Duh, romantis banget. "Kan udah jelas tanda-tandanya, sayang," ucapnya lembut. Membuat dadaku semakin sesak. Sesak pipis juga sih, dari tadi. "Tapi kan, bisa aja kalo aku tuh cuman masuk angin doang." Aku mencoba mensugesti pikirannya agar dia tak terlalu berharap, dan kecewa setelah tahu fakta yang sebenarnya. "Kamu kok pesimis gitu sih, Yas? Memangnya kamu masih belum mau ya, menjadi Ibu dari anakku
Ya ampun Zein, ngapain juga diitung-itung yang udah lewat. Buang waktu aja tau. Tinggal tambah aja susah. "Emang berapa kali, kamu ingat?""Udah banyak sih. Cuman ngapain dihitung-hitung. Tinggal lagi, lagi, dan lagi."Eit, mulai terpancing nih... Ahaiii... Aku tambah umpannya lagi, deh. Biar cepet nyangkutnya. "Kapan?" Aku menantang. Bentar lagi pasti kenak nih...Iyyuuuhhh, tinggal nunggu dia bergerak aja. Tapi, kok Zein diam aja sih. Jangan-jangan udah jajan di tempat lain. Biasanya kan di pancing dikit aja udah langsung nyambar kaya bensin. Mana sering maksa lagi. Kok kali ini. cuek bebek? Aku mulai gelisah, dan rasa tadi yang bergejolak dan menggebu-gebu mulai menghilang. Kelamaan nih nungguin si Zein berpikir. "Heh!"Aku menepuk lengannya sekali lagi. Lebay amat sih jadi orang. Pasti sudah lupa tuh, saking banyaknya. Trus semua pake acara pemaksaan lagi. Iyyuuhhh gak romantis banget. "Aku udah ingat, Yas. Aku sudah ingat," teriaknya girang. "Ya udah, keluar sana!" perin
Seperti biasa, kami saling mengobrol satu sama lain, baik itu masalah literasi, curhat pribadi, masalah keuangan dan bahkan masalah percintaan. Pokoknya kalau sudah bertemu sama Bino, pasti rame deh, walaupun yang paling sering kami bahas masalah novel sih. "Kamu lagi baca apa tuh, Yas. Kok dari tadi aku perhatiin serius amat?""Bisa diem gak sih, Bin. Aku lagi fokus nih," jawabku, saat sudah menemukan novel yang kucari. Dia diam sejenak, tapi nggak lama sih. "Lagi baca novel dewasa tuh, pasti," ujarnya lagi. "Dih, amit-amit. Emangnya kamu? Mau ngapain sih, pagi-pagi ke sini. Kalau cuman mau ngerusuh aja, mending balik deh. Aku lagi nggak mood bercanda.""Jangan galak-galak gitu dong, Yas. Kalau lagi ada masalah, ngomong aja. Gak usah ditutup-tutupin kek gitu, lah. Percuma. Aku juga udah tau, kok."Dahiku mengernyit, mataku melirik sinis kepadanya. Maksudnya apa nih? Emang kelihatan ya, kalau wanita yang lagi galau gara-gara nggak dapat nafkah batin malam tadi?Dih, mana mungkin.
"Udah cepetan!" "Bin, kalau misalnya istri kamu lagi pengen uwu-uwu, biasanya dia ngasi kode ke kamu itu gimana?" Aku memajukan mukaku mendekat padanya, sembari mengecilkan volume suaraku sehalus mungkin. Habis sudah harga diriku gara-gara terlanjur bucin sama Zein. "Kamu nggak lagi mancing-mancing aku kan, Yas? Ini masih pagi, lho. Kok ngomong yang begituan, sih? Kamu kan tau sendiri, kalau aku ini tipe setia. Segetol apapun kamu menggoda, aku nggak akan pernah berpaling ke kamu."Najis amat sih ini orang. Setia apaan? Takut sama istri sih, iya. Aduh... salah orang nih aku. Mending nggak usah nanya tadi. "Jadi, nggak tau, nih? Ya udah deh.""Gara-gara kamu nih, aku jadi pengen cepat-cepat pulang, kan?"Dih, malah curhat. Bikin hati tambah panas aja. "Ya udah sana pulang! Aku juga males ngomong lama-lama sama kamu. Bosan tau!""Gini aja deh. Mendingan kamu tanya ke emak-emak di grup KBM kawe aja, Yas. Coba curhat sama mereka. Aku aja kemaren kek gitu."Eh, malah di alihin ke oran
'Jangan mau terpancing dengan postingan yang beginian Bun, Ts cuman mau membuka aib bunda-bunda di atas ranjang aja, tuh.'Ya, elah. Suudzon amat jadi mahkluk. 'Kalo aku sih, tinggal dipeluk aja, Mak, suaminya. Pasti ngerti tuh.''Iya, aku juga. Tinggal peluk aja udah paham paksunya. Apalagi malam jumat, memang sudah jadwalnya, Bun''Kalo aku, sih. Tinggal disentuh aja, Bun. Pasti berdiri tuh.'Dih. Vulgar amat sih bahasanya. 'Peluk aja, bun. Terus sentuh itunya, berdiri apa nggak. Kalo berdiri sudah respon tuh.'Wih. Yang ini malah lebih parah lagi. 'Tinggal di omongin aja Mak, baik-baik. Ngapain gengsi. Orang suami sendiri aja kok.''Kalo aku sih, tunggu bocil bobok dulu Bun, abis itu tinggal ngomong manjah-manjah aja sama paksunya.'"Di raba-raba aja Bun, bagian yang sensitif. Pasti peka tuh. Gak usah malu, orang suami sendiri kok. Asal. jangan suami orang, ya?'Ya, ampun. Pake raba-rabaan lagi. Nggak malu amat sih ngomong kek gitu. 'Ditarik aja Mak, ke dalam kamar. Kalo gak pe
Yah, gak jadi hamil dong. Efeknya kan ada enam tuh. Yang aku rasakan cuman ada tiga, sedangkan yang tiga lagi nggak aku rasakan. Jadi masih ada kemungkinan dong, aku hamil. Soalnya kan masih lima puluh-lima puluh. 'Berarti aku gak hamil, dong' tanyaku tak bersemangat. 'Kemungkinan sih, nggak, Yas,' jawabnya. 'Ya udah, deh. Makasih ya,' balasku dan langsung keluar dari aplikasi tersebut. Sebel deh. Percuma aja punya teman tapi nggak mau mensupport orang yang lagi membutuhkan. Kasih semangat kenapa sih. Bilang aku hamil aja susah banget. Bikin kesal aja deh. .Aku sampai di rumah lebih awal dari biasanya. Tak lupa, ku belikan nasi goreng spesial buat Zein yang sedang duduk manis di beranda depan. Kulihat dia sedang menikmati secangkir kopi hitam di hadapannya. Kok kopi, biasanya kan teh melati. Apa Zein mulai belajar jadi Bapak-bapak ya. Ish gelai deh, nggak suka. Entar Zein gendut lagi. "Kok tumben, Ma. Pulangnya cepat," sapa nya lembut. Whatz? Zein bilang apa? Ma? Ma apa?"Em
"Pasti karena aku cantik kan, Zein?" ucapku penuh percaya diri. "Iya, kamu cantik."Pipiku bersemu kemerahan kaya artis-artis korea. "Selain itu....""Selain itu, apa?" tanyaku penasaran, karena ia menghentikan kata-katanya. "Selain itu, kamu kalau jalan lucu. Mirip badut." Dia tertawa ringan. "Ish... Zein! Udah mulai nakal, ya. Goda-godain aku."Dia semakin tertawa. Dan aku merasa senang melihat wajah cerianya lagi. Tanpa sadar aku menerkam tubuhnya dan masuk dalam dekapannya. "Eh, eh, kenapa nih? Main peluk-peluk aja. Pasti kangen uwu-uwu nih," godanya lagi. "Enggak, kok. Cuman terharu aja. Aku pikir kita nggak akan bisa lagi kek gini. Aku takut banget," aku menangis sesenggukan. Zein ikut memelukku dengan erat. "Ini semua berkat doa kamu, Yas. Kamu istri yang baik buat aku. Makasih ya, Yas. Udah mau nerima aku apa adanya.""Aku juga ya, Zein. Makasih udah nyelamatin aku dari rasa malu dan menutupi semua aibku di masa lalu.""Jangan bicarakan itu lagi, Yas. Bagiku kamu tetap
Akhirnya operasi Zein selesai. Kami yang tadinya harap-harap cemas dengan hasilnya, mendadak menarik napas lega. Operasinya berjalan lancar. Kini Zein harus mendapat perawatan pasca operasi di ruangan ICU. Tanpa terasa air mataku mengalir begitu aja. Ternyata, jarak hidup dan kematian itu hanya sepersekian detik saja. Apa yang mau kita banggakan lagi di dunia ini? Adik-adikku mengusap bahuku dengan lembut. Mencoba menguatkan aku yang terlalu down karena masalah ini. Ditambah lagi usia kandunganku yang semakin tua. Apa yang kulakukan kalau Zein belum pulih dan tak bisa berjalan?Kuatkah aku mengahadapi kelahiran ini sendiri, tanpa Zein yang seharusnya mendampingi? Dokter bilang, Zein tidak mungkin langsung sembuh dan normal seperti sedia kala. Butuh waktu untuk masa pemulihan. Asal dia semangat, semua bisa berjalan lebih cepat. Setelah satu harian di ruang ICU, akhirnya Zein kembali ke ruangan. Ruangan VVIP yang super mewah pastinya. Tentunya setelah dia sadar, dan tekanan darahnya
Sebenarnya, Zein nggak mau kalau Ibuk tahu dia sedang dirawat di rumah sakit seperti ini. Katanya takut nyusahin Ibuk, dan membuat orang tua itu cemas. Akan tetapi, setelah kompromi sama Papi dan Mami, kami mutusin agar Ibuk tetap di beritahu secepatnya. Soalnya, jika diberitahu belakangan nanti, seperti yang Zein katakan. Takutnya Ibuk malah berkecil hati, dan merasa tidak dianggap sebagai keluarga. Kan jadi repot lagi urusannya. Taulah kalau golongan dari kalangan bawah inikan, perasaannya terlalu sensitif menilai sesuatu hal. Ini fakta ya, bukannya aku yang ngarang. Makanya aku minta tolong sama Bino untuk menjemput ke sana langsung. Setelah si Bino nanti sudah sampai, Baru Mami yang akan nelpon, bilangin kalo Zein sedang sakit dan mobil lagi menuju rumah mereka buat menjemput. Mudah-mudahan Ibuk nggak kenapa-napa. . "Sayang, kami pulang dulu, ya!" Aku pamit pada Zein setelah menjelang sore. Malam ini, Ada Nita dan Papi yang bersedia menemani Zein disini. Sebenarnya, Papi dis
"Bin!" Aku keluar dari ruangan,tempat Zein dirawat dan bergabung dengan yang lain. Tempat yang disediakan pihak rumah sakit untuk keluarga pasien, beristirahat. "Iya, Yas.""Aku minta tolong, ya. Mulai besok kamu yang ngurus perusahaan!""Siap...siap."Dih, langsung nyahut. Nolak dulu kek. Emang nggak ada segan-segannya ya ini orang. Malu dikit napa."Tapi ingat ya, Bin. Jangan ambil kesempatan!""Ya elah, Yas, Yas. Masih aja, ya! Suudzon terus.""Woiya dong, Bin. Sebagai teman yang baik, aku kan harus selalu ngingatin kamu, supaya jangan merusak persahabatan kita selama ini, hanya karena masalah uang.""Iya, iya. Makasih ya udah ngingetin aku. Entar kalo urusan kamu udah selesai sekalian aja bawa BPK sama KPK buat geledah rumah aku, Yas," jawabnya sewot. Dih, tersinggung. Sensi amat. " Untuk apa?" tanyaku pura-pura bego. "Untuk meriksa. Kalo kamu nggak percaya sama aku.""Aku percaya, loh Bin sama kamu. Makanya aku ngingetin, biar amanah yang aku kasi nggak kamu salah gunain," b
"Dia nanyakin, Mami. Kabarnya, gimana? Udah punya anak berapa? Udah punya cucu apa belum?""Terus, nanyakin apa lagi, Pi?""Ya elah, Mami kok kepo banget. Emang ada apa sih?" tanyaku penasaran. "Dokter Faisal Itu, Yas. Mantannya Mami," jelas Papi. "Belum sempat jadian loh, Pi. Pasti Papi cemburu, deh." Timpal Mami. "Nggak lah, Mi. Buat apa Papi cemburu."Kok aku nggak ngerti dan makin kepo aja, nih. "Emang ceritanya, gimana sih, Pi? Kok Mami juga kenal?""Gini, Yas ceritanya. Dulu itu, Dokter Faisal temen dekat Papi, terus Mami naksir tuh sama dia. Tapi Mami malu bilang langsung sama dia, taulah Mami kalian inikan dulu gengsian orangnya. Jadi, Mami minta Papi yang nyampaiin jadi posnya mereka. Setelah Papi sampein, Dokter Faisal menolak dengan alasan mau fokus kuliah dan ngejar karir dulu. Kecewa tuh, Mami," jelas Papi, sambil senyum-senyum. "Nggak gitu juga, ceritanya, Pi," sergah Mami malu-malu. "Pasti Papi nggak nyampein tuh ke orangnya karena Papi suka sama Mami, iyakan, Pi."
Sekilas dia menatapku dan tersenyum. Kemudian kembali menatap bola lampu di atas ruangan. Sudah dari tadi kuperhatikan, Zein selalu saja memandang ke arah bola lampu yang menyala itu. "Zein, kamu liatin apa?" tanyaku penasaran. "Aku melihat cahaya putih yang terpancar dari bola lampu itu, Yas," jawabnya, tanpa berpaling. "Buat apa?"Dia menarik napas dalam. "Aku berharap, Tuhan masih mau memberikanku kesempatan dan sedikit cahaya dari-Nya agar aku segera sembuh, dan bisa melihat anak kita tumbuh besar, bisa menggendongnya, merawat dan bisa bermain-main dengannya kelak. Dan aku juga berharap masih bisa bekerja dan menafkahi kalian berdua.""Amin." Segera kujawab harapan Zein tadi."Kamu tau, Yas. Apa keinginanku saat ini?" tanyanya. "Apa?""Aku hanya ingin sehat dan bisa bertahan hidup.""Makanya, kamu yang semangat dong, Zein. Banyak-banyak berdoa juga. Tuhan akan cepat mengabulkan doa orang-orang yang lagi sakit." Aku menguatkan genggaman tanganku sebagai bentuk support untuknya.
"Kamu kok tau aku ada disini?""Maaf, Zein. Aku tadi yang jemput, Tyas," ucap Bino merasa bersalah. "Emang kenapa kalo aku datang kesini? Kamu nggak suka karena udah ada Silvi yang nemenin?" ucapku meradang. Tentu aja setelah Silvi keluar dari ruangan ini saat melihat kedatangan kami tadi. Pasti tadi abis ngelus-ngelus si Zein, tuh. Waktu di jalan tadi, Bino juga sudah bilang kalau Zein berpesan jangan memberi tahu tentang keadaannya padaku. Dia sangat khawatir, takut terjadi sesuatu padaku dan juga kandunganku.Disaat sakit pun, Zein masih aja selalu perhatian yang membuat diriku makin jatuh cinta sama dia. Aku jadi terharu deh dibuatnya. Aku kan baperan orangnya. "Keadaannya, gimana, Zein?" tanya Mami. "Kata Dokter harus operasi, Mi. Tapi nunggu persetujuan dari pihak keluarga.""Kok pake operasi segala? Emang separah apa?""Katanya penyumbatan pembuluh darah, Mi." Lututku ikut bergetar mendengar kata operasi. "Bahaya, nggak tuh?" tanyaku panik. Air mataku mengalir begitu aja
"Jadi, keadaannya gimana?" tanyaku cemas. "Lagi diperiksa, Yas. Tadi setelah masuk IGD, petugas minta surat-surat buat administrasi. Aku kurang ngerti juga, surat apa. Terus mereka juga nanya keluarganya yang mana? Makanya aku nyusul kamu ke sini.""Kenapa nggak nelpon aku aja, Bin? Kan aku bisa langsung ke sana.""Nggak berani lah, Yas. Bukannya kamu tinggal sendirian di rumah? Kalau tiba-tiba pingsan gimana?"Iya juga sih. Tumben si Bino pikirannya lurus. "Jadi, yang jagain Zein di sana, siapa?" tanyaku cemas. "Ada Silvi. Tadi aku minta tolong sama dia, juga. Sekalian bareng ke rumah sakit."What? Dasar sontoloyo. Emang teman nggak punya akhlak ini si Bino ya. Badanku makin lemas setelah mendengar nama Silvi. Pasti nangis-nangis tuh, sambil meluk-meluk. Merasa menyesal karena belum sempat menyatakan rasa cintanya pada Zein. Iyyuhhh... Sok dramatis banget deh kisahnya. Aku duduk di sofa ruang tamu setelah di papah oleh Bino. Sekujur tubuhku terasa lemah dan berat. Pikiranku mel
"Eh, jangan. Entar kalo jatuh gimana?" tolaknya. "Makanya hati-hati dong, Zein.""Ya udah deh, tapi pelan-pelan aja, ya." Dia menundukkan tubuhnya dan segera mengangkat ku dalam gendongannya. Membuat aku senyum-senyum sendiri. Teringat kembali akan kenangan masa lalu, saat Zein memaksa menodaiku untuk yang pertama kali. Betapa gagah dan romantisnya Zein kala itu, sampai-sampai membuat bulu mataku merinding disko. So sweet banget, kan? "Zein, entar kalo sudah pulang kantor, langsung balik ke rumah ya! jangan singgah -singgah lagi di jalan," ucapku saat sedang menikmati sarapan di meja makan. "Iya, bawel.""Awas kalo ketauan singgah-singgah, apalagi nekat jajan di luar.""Iya, sayang.""Good.". "Hati-hati Zein, mengemudinya! Jangan kebut-kebutan ya!" Pesanku pada Zein, sebelum dia berangkat. "Iya, iya." Ih, nurut banget sama istri. Makin gumush deh liatnya. Setelah Zein pergi, aku rebahan di tempat tidur sambil chatingan bareng trio ember. Ya, walaupun sudah jarang ketemu lang