"Zein, sup kamu enak banget loh. Belajar masak dimana sih? Kapan-kapan, aku diajarin juga, ya!" ucapku manjah padanya, saat kami sedang menikmati makan malam di meja makan. Sesekali gak apa-apa lah ya, agak nyanjung si Zein sedikit. Secara, dia kan gak pernah tuh, dapat sanjungan dari orang lain. Apalagi dari golongan ningrat, seperti aku. Kasihan juga, kan kalau hidupnya harus dihina dan direndahkan terus. Kalau bukan aku, siapa lagi coba, yang mau muji-muji dia. Seharusnya, dia tuh bersyukur banget dapat istri seperti aku. Bukan malah dianggurin seperti malam tadi. Ku lirik Zein tersenyum tipis, tipis banget malah. Tapi, tetep aja manis. Cool deh. "Woiya dong, jelas enak. Siapa juga coba, yang masak. Zein, geto loh." Ya, ampuun Zein, sombong amat jadi orang. Lebai lagi. Baru juga di puji sedikit aja, udah langsung ke ge er an, kek gitu. Nyesel deh tadi nyanjung dia. "Emang ada ya, yang muji masakan kamu enak, selain aku?""Wo jelas banyak dong," ucapnya bangga. Masih dengan ga
Dia diam sejenak. Lalu kemudian menyentuh daguku lagi. "Tapi, jika kamu merasa semua itu terdengar kasar, maka berhentilah berbicara angkuh seperti itu ya, sayang," ucapnya lirih. Kok plin plan sih, tadi katanya suka, kok disuruh berhenti. "Emang kenapa?""Karena setiap kata-kata yang kita ucapkan akan kembali pula pada diri kita sendiri. Sama halnya seperti kata kiasan tabur tuai. Kamu tahukan?" Aku mengangguk. Bener juga sih apa yang Zein katakan. Saat kita menanam sebuah kebaikan, maka kebaikan pulalah yang kita peroleh. Contohnya aja si Zein sendiri. Dia selalu berbuat kebaikan, maka dia bisa mendapatkan orang baik seperti aku. Untung banyak gak, ituh. "Dari itu, mulai sekarang, berhenti lah bersikap angkuh jika kamu merasakan itu sangat menyakitkan. Jika kamu merasa sakit, begitu juga yang orang lain rasakan. Kamu paham kan," ucapnya lembut. "Jadi, aku gak boleh ya, ngomong kasar lagi sama kamu?"Aku sedikit mengangkat wajahku, memberanikan diri menatap padanya. Ingin sekal
Aku melepaskan pelukanku, dan berbaring di tempat tidur. Sengaja pura-pura merajuk, berharap Zein datang menghampiriku. Membujuk, merayu, dan ujung-ujungnya maksa deh. Ish ish ish... aku kok ngarep banget, ya? Malu-maluin aja tau! Akibat bucin nih. Hilang deh harga diri. Lama aku menunggu, namun Zein tak kunjung datang. Aku mengintip dari celah bantal yang sengaja kututup di wajahku. Kulihat Zein masih asik dengan laptop butut di hadapannya. Tiba-tiba aja dadaku terasa panas. Apalagi saat teringat komentar-komentar Emak-emak grup kloningan tadi siang. Dianggurin gara-gara game online. Jadi begini rasanya dicuekin. Zein kenapa sih. Nggak biasa-biasanya bersikap tak acuh sama aku. Akupun bangkit, dan menghampiri Zein kembali. "Serius, amat sih, Sayang. Lagi ngapain tuh? Pasti lagi chatingan sama tukang buah, kan?" rajukku manja. "Ya ampun, Yas. Curiga amat.""Woiya dong. Secara, kamu itu cuek banget Zein, sama aku. Nggak biasanya juga, kan? Emang aku udah nggak menarik lagi, ya?"
"Yas, ada panggilan masuk, nih." teriak Zein saat aku lagi asik keramas pagi-pagi. "Diangkat aja, Zein!" balasku dari kamar mandi. Setelah selesai, aku melihat Zein duduk bersandar, dengan memegang ponsel mahalku. "Dari siapa tadi, Zein?" tanyaku manja. "Mami!" jawabnya singkat. "Ada apa? Kok tumben pagi-pagi nelpon?" "Nggak tau!"Dih, kok jadi ketus amat? "Kenapa lagi, Zein? Emang Mami ngomong apa?" Kenapa perasaanku mendadak nggak enak ya?Zein tiba-tiba berubah jadi ketus begitu. Padahal kan, baru selesai mesra-mesraan tadi malam. Pake acara nambah lagi. "Apa maksud semua ini?" Dia menyodorkan ponsel yang tadi dipegangnya ke arahku. "Apa sih?" Aku penasaran, sembari mengambil gadget mahal yang ada di genggamannya.Mataku melotot, dan jantungku berdetak lebih kencang. Ini kan....Ku lirik Zein menatap tajam padaku, seakan-akan bertanya tentang isi ponsel itu. Bahkan aku sendiri baru melihatnya pagi ini. "Kamu udah baca, Zein?" tanyaku dengan bibir gemetaran. "Menurut kamu
"Kamu kenapa, Yas?" Mami masuk menghampiriku di dalam kamar. Namun, aku tak bergeming sama sekali. Saat ini aku masih aja menangis. Walaupun sedikit kutahan. Sengaja kututup wajahku dengan bantal, agar Mami tidak melihat. Malu juga rasanya mau bicara jujur dengan Mami. Andaipun aku jujur, sudah pasti Mami akan marah-marah karena hal bodoh yang sudah aku lakukan. "Kalian pasti lagi berantem,kan? " tuduh Mami lagi. Loh, kok Mami tau, aku lagi berantem sama Zein. Jangan-jangan, Zein udah ngadu sama Mami. Terus bilangin soal masalah kami tadi. Sebenarnya Zein nggak salah, sih. Wajar kalau dia marah. Dari kemarin diakan memang sangat berharap hadirnya buah hati dari hasil perbuatan kami selama ini. Aku nggak bisa menyalahkan, juga. Dia langsung kecewa setelah membaca pesan whatsappku. Ya, aku ketahuan.Dia melihat semua isi percakapan antara aku dan Sekar tentang alat kontrasepsi itu. Membuat dia merasa dibohongi dan juga dipermainkan. Untung aja dalam percakapan kami tidak ada menyin
"Zein belum sempat ngomong deh, Mi." rengekku lemas. "Kok baru pagi ini baru ngasi tau? Dari kemarin-marin kek.""Kamu juga sih. Biasanya kan, kamu duluan yang ngingetin Mami. Mentang-mentang udah punya suami, jadi lupa sama Papi sendiri.""Ish... nggak gitu juga kali Mi. Akhir-akhir ini Tyas banyak kerjaan di kantor." Aku beralasan. Padahal karena sibuk ngebucin dan posesif juga sih, gara-gara punya suami brondong yang kelewat ganteng. "Iya, iya. Ya, udah. Yang penting kan, kamu udah datang.""Nita sama Tiwi dateng nggak, Mi?" Mami mengangguk. Ya ampun, mati deh aku. Bakalan diledekin terus nih sama mereka berdua. Gimana kalau misalnya Zein beralasan nggak bisa hadir. Bisa jatuh dong, reputasi Raden Roro Daningtyas yang hidupnya selalu bahagia dan mesra dengan suami yang ganteng, muda, dan mempesona itu di hadapan mereka. "Mami jangan ngomong, ya. Kalo Tyas lagi berantem sama, Zein," ucapku memelas. "Emangnya kalian berantem kenapa?" Mami masih aja kepo. Akhirnya, aku menceri
Lama aku berbaring di atas ranjang, namun mata tak kunjung terlelap juga. Balik sana, balik sini, layaknya mendadar telur di atas wajan. Gelisah menanti Zein yang tak kunjung masuk. Lama banget sih. Masih marah atau bagaimana?Akhirnya, setelah sekian lama, Zein masuk dan langsung menuju sofa. Aku bergeming, dan hanya mengintip gerak-geriknya dari balik selimut. Pura-pura tidur. Kulihat dia mulai berbaring, meluruskan kakinya yang panjang, dan mulai memejamkan mata dengan kedua tangan di tekuk di atas dada bidangnya. Lama aku memperhatikan, sampai dia mulai nyaman, dan tak bergerak sama sekali. Ish, si Zein. Ternyata masih merajuk juga. Pakai acara pisah ranjang lagi. Jadi ingat saat malam pengantin kami dulu,deh. Kan dia aku paksa tidur di sofa. Sedih juga kalau ingat dulu aku memperlakukannya sekejam itu. Kuputuskan untuk mendekat dan menghampiri. Duduk manis dengan gaya menggoda di atas kepalanya. "Zein, kok tidur disini, sih. Tempat tidurnya kan gede." Aku mencoba merayu, dan
"Zein, maafin aku ya karena udah ngecewain kamu!" ucapku lagi, sambil memeluk tubuhnya, yang kini telah berbaring di sampingku. "Iya, nggak usah dibahas lagi.""Kamu masih kecewa?"Dia diam sejenak, tak menjawab pertanyaanku sama sekali. "Jawab dong, Zein," desakku. "Buat apa, Yas. Kejadian itu kan sudah berlalu. Jadi, buat apalagi dibesar-besarin."Eh, kok ngomong gitu. Pasti abis dapet nasihat dari Papi nih. Ya udah deh, nggak usah dibahas lagi. Yang terpenting, aku sudah bisa tidur nyenyak malam ini. "I love you, Zein. Mmuaaachh." Aku mengecup pipinya, dan memeluk tubuhnya dengan hangat. Kangen juga soalnya, seharian nggak ketemu dan mengobrol kaya gini. Sedih,deh. Pokoknya. Apalagi pas ngebayangin Zein pergi dan takkan kembali. Huwaaaa.... Eh, yang minggat kan aku, bukan dia. . Alarm kukuruyukku berbunyi lagi. Aku bangun dan melihat Zein tak lagi di sampingku. Kemana tuh, anak. Pagi-pagi sudah ngilang-ngilang aja. Aku keluar dan mendapati Mami sedang masak sarapan di dapu
"Pasti karena aku cantik kan, Zein?" ucapku penuh percaya diri. "Iya, kamu cantik."Pipiku bersemu kemerahan kaya artis-artis korea. "Selain itu....""Selain itu, apa?" tanyaku penasaran, karena ia menghentikan kata-katanya. "Selain itu, kamu kalau jalan lucu. Mirip badut." Dia tertawa ringan. "Ish... Zein! Udah mulai nakal, ya. Goda-godain aku."Dia semakin tertawa. Dan aku merasa senang melihat wajah cerianya lagi. Tanpa sadar aku menerkam tubuhnya dan masuk dalam dekapannya. "Eh, eh, kenapa nih? Main peluk-peluk aja. Pasti kangen uwu-uwu nih," godanya lagi. "Enggak, kok. Cuman terharu aja. Aku pikir kita nggak akan bisa lagi kek gini. Aku takut banget," aku menangis sesenggukan. Zein ikut memelukku dengan erat. "Ini semua berkat doa kamu, Yas. Kamu istri yang baik buat aku. Makasih ya, Yas. Udah mau nerima aku apa adanya.""Aku juga ya, Zein. Makasih udah nyelamatin aku dari rasa malu dan menutupi semua aibku di masa lalu.""Jangan bicarakan itu lagi, Yas. Bagiku kamu tetap
Akhirnya operasi Zein selesai. Kami yang tadinya harap-harap cemas dengan hasilnya, mendadak menarik napas lega. Operasinya berjalan lancar. Kini Zein harus mendapat perawatan pasca operasi di ruangan ICU. Tanpa terasa air mataku mengalir begitu aja. Ternyata, jarak hidup dan kematian itu hanya sepersekian detik saja. Apa yang mau kita banggakan lagi di dunia ini? Adik-adikku mengusap bahuku dengan lembut. Mencoba menguatkan aku yang terlalu down karena masalah ini. Ditambah lagi usia kandunganku yang semakin tua. Apa yang kulakukan kalau Zein belum pulih dan tak bisa berjalan?Kuatkah aku mengahadapi kelahiran ini sendiri, tanpa Zein yang seharusnya mendampingi? Dokter bilang, Zein tidak mungkin langsung sembuh dan normal seperti sedia kala. Butuh waktu untuk masa pemulihan. Asal dia semangat, semua bisa berjalan lebih cepat. Setelah satu harian di ruang ICU, akhirnya Zein kembali ke ruangan. Ruangan VVIP yang super mewah pastinya. Tentunya setelah dia sadar, dan tekanan darahnya
Sebenarnya, Zein nggak mau kalau Ibuk tahu dia sedang dirawat di rumah sakit seperti ini. Katanya takut nyusahin Ibuk, dan membuat orang tua itu cemas. Akan tetapi, setelah kompromi sama Papi dan Mami, kami mutusin agar Ibuk tetap di beritahu secepatnya. Soalnya, jika diberitahu belakangan nanti, seperti yang Zein katakan. Takutnya Ibuk malah berkecil hati, dan merasa tidak dianggap sebagai keluarga. Kan jadi repot lagi urusannya. Taulah kalau golongan dari kalangan bawah inikan, perasaannya terlalu sensitif menilai sesuatu hal. Ini fakta ya, bukannya aku yang ngarang. Makanya aku minta tolong sama Bino untuk menjemput ke sana langsung. Setelah si Bino nanti sudah sampai, Baru Mami yang akan nelpon, bilangin kalo Zein sedang sakit dan mobil lagi menuju rumah mereka buat menjemput. Mudah-mudahan Ibuk nggak kenapa-napa. . "Sayang, kami pulang dulu, ya!" Aku pamit pada Zein setelah menjelang sore. Malam ini, Ada Nita dan Papi yang bersedia menemani Zein disini. Sebenarnya, Papi dis
"Bin!" Aku keluar dari ruangan,tempat Zein dirawat dan bergabung dengan yang lain. Tempat yang disediakan pihak rumah sakit untuk keluarga pasien, beristirahat. "Iya, Yas.""Aku minta tolong, ya. Mulai besok kamu yang ngurus perusahaan!""Siap...siap."Dih, langsung nyahut. Nolak dulu kek. Emang nggak ada segan-segannya ya ini orang. Malu dikit napa."Tapi ingat ya, Bin. Jangan ambil kesempatan!""Ya elah, Yas, Yas. Masih aja, ya! Suudzon terus.""Woiya dong, Bin. Sebagai teman yang baik, aku kan harus selalu ngingatin kamu, supaya jangan merusak persahabatan kita selama ini, hanya karena masalah uang.""Iya, iya. Makasih ya udah ngingetin aku. Entar kalo urusan kamu udah selesai sekalian aja bawa BPK sama KPK buat geledah rumah aku, Yas," jawabnya sewot. Dih, tersinggung. Sensi amat. " Untuk apa?" tanyaku pura-pura bego. "Untuk meriksa. Kalo kamu nggak percaya sama aku.""Aku percaya, loh Bin sama kamu. Makanya aku ngingetin, biar amanah yang aku kasi nggak kamu salah gunain," b
"Dia nanyakin, Mami. Kabarnya, gimana? Udah punya anak berapa? Udah punya cucu apa belum?""Terus, nanyakin apa lagi, Pi?""Ya elah, Mami kok kepo banget. Emang ada apa sih?" tanyaku penasaran. "Dokter Faisal Itu, Yas. Mantannya Mami," jelas Papi. "Belum sempat jadian loh, Pi. Pasti Papi cemburu, deh." Timpal Mami. "Nggak lah, Mi. Buat apa Papi cemburu."Kok aku nggak ngerti dan makin kepo aja, nih. "Emang ceritanya, gimana sih, Pi? Kok Mami juga kenal?""Gini, Yas ceritanya. Dulu itu, Dokter Faisal temen dekat Papi, terus Mami naksir tuh sama dia. Tapi Mami malu bilang langsung sama dia, taulah Mami kalian inikan dulu gengsian orangnya. Jadi, Mami minta Papi yang nyampaiin jadi posnya mereka. Setelah Papi sampein, Dokter Faisal menolak dengan alasan mau fokus kuliah dan ngejar karir dulu. Kecewa tuh, Mami," jelas Papi, sambil senyum-senyum. "Nggak gitu juga, ceritanya, Pi," sergah Mami malu-malu. "Pasti Papi nggak nyampein tuh ke orangnya karena Papi suka sama Mami, iyakan, Pi."
Sekilas dia menatapku dan tersenyum. Kemudian kembali menatap bola lampu di atas ruangan. Sudah dari tadi kuperhatikan, Zein selalu saja memandang ke arah bola lampu yang menyala itu. "Zein, kamu liatin apa?" tanyaku penasaran. "Aku melihat cahaya putih yang terpancar dari bola lampu itu, Yas," jawabnya, tanpa berpaling. "Buat apa?"Dia menarik napas dalam. "Aku berharap, Tuhan masih mau memberikanku kesempatan dan sedikit cahaya dari-Nya agar aku segera sembuh, dan bisa melihat anak kita tumbuh besar, bisa menggendongnya, merawat dan bisa bermain-main dengannya kelak. Dan aku juga berharap masih bisa bekerja dan menafkahi kalian berdua.""Amin." Segera kujawab harapan Zein tadi."Kamu tau, Yas. Apa keinginanku saat ini?" tanyanya. "Apa?""Aku hanya ingin sehat dan bisa bertahan hidup.""Makanya, kamu yang semangat dong, Zein. Banyak-banyak berdoa juga. Tuhan akan cepat mengabulkan doa orang-orang yang lagi sakit." Aku menguatkan genggaman tanganku sebagai bentuk support untuknya.
"Kamu kok tau aku ada disini?""Maaf, Zein. Aku tadi yang jemput, Tyas," ucap Bino merasa bersalah. "Emang kenapa kalo aku datang kesini? Kamu nggak suka karena udah ada Silvi yang nemenin?" ucapku meradang. Tentu aja setelah Silvi keluar dari ruangan ini saat melihat kedatangan kami tadi. Pasti tadi abis ngelus-ngelus si Zein, tuh. Waktu di jalan tadi, Bino juga sudah bilang kalau Zein berpesan jangan memberi tahu tentang keadaannya padaku. Dia sangat khawatir, takut terjadi sesuatu padaku dan juga kandunganku.Disaat sakit pun, Zein masih aja selalu perhatian yang membuat diriku makin jatuh cinta sama dia. Aku jadi terharu deh dibuatnya. Aku kan baperan orangnya. "Keadaannya, gimana, Zein?" tanya Mami. "Kata Dokter harus operasi, Mi. Tapi nunggu persetujuan dari pihak keluarga.""Kok pake operasi segala? Emang separah apa?""Katanya penyumbatan pembuluh darah, Mi." Lututku ikut bergetar mendengar kata operasi. "Bahaya, nggak tuh?" tanyaku panik. Air mataku mengalir begitu aja
"Jadi, keadaannya gimana?" tanyaku cemas. "Lagi diperiksa, Yas. Tadi setelah masuk IGD, petugas minta surat-surat buat administrasi. Aku kurang ngerti juga, surat apa. Terus mereka juga nanya keluarganya yang mana? Makanya aku nyusul kamu ke sini.""Kenapa nggak nelpon aku aja, Bin? Kan aku bisa langsung ke sana.""Nggak berani lah, Yas. Bukannya kamu tinggal sendirian di rumah? Kalau tiba-tiba pingsan gimana?"Iya juga sih. Tumben si Bino pikirannya lurus. "Jadi, yang jagain Zein di sana, siapa?" tanyaku cemas. "Ada Silvi. Tadi aku minta tolong sama dia, juga. Sekalian bareng ke rumah sakit."What? Dasar sontoloyo. Emang teman nggak punya akhlak ini si Bino ya. Badanku makin lemas setelah mendengar nama Silvi. Pasti nangis-nangis tuh, sambil meluk-meluk. Merasa menyesal karena belum sempat menyatakan rasa cintanya pada Zein. Iyyuhhh... Sok dramatis banget deh kisahnya. Aku duduk di sofa ruang tamu setelah di papah oleh Bino. Sekujur tubuhku terasa lemah dan berat. Pikiranku mel
"Eh, jangan. Entar kalo jatuh gimana?" tolaknya. "Makanya hati-hati dong, Zein.""Ya udah deh, tapi pelan-pelan aja, ya." Dia menundukkan tubuhnya dan segera mengangkat ku dalam gendongannya. Membuat aku senyum-senyum sendiri. Teringat kembali akan kenangan masa lalu, saat Zein memaksa menodaiku untuk yang pertama kali. Betapa gagah dan romantisnya Zein kala itu, sampai-sampai membuat bulu mataku merinding disko. So sweet banget, kan? "Zein, entar kalo sudah pulang kantor, langsung balik ke rumah ya! jangan singgah -singgah lagi di jalan," ucapku saat sedang menikmati sarapan di meja makan. "Iya, bawel.""Awas kalo ketauan singgah-singgah, apalagi nekat jajan di luar.""Iya, sayang.""Good.". "Hati-hati Zein, mengemudinya! Jangan kebut-kebutan ya!" Pesanku pada Zein, sebelum dia berangkat. "Iya, iya." Ih, nurut banget sama istri. Makin gumush deh liatnya. Setelah Zein pergi, aku rebahan di tempat tidur sambil chatingan bareng trio ember. Ya, walaupun sudah jarang ketemu lang