Tanpa terasa, sudah satu bulan aku dan Zein menjalani biduk rumah tangga. Sejauh ini terasa aman-aman saja. Yah, walaupun ada sedikit konflik yang membuat kami saling diam dan salah paham. Meskipun pada akhirnya ada manis-manisnya gitu. Kalau seandainya aku ajak dia buat merayakan anniversary, dia mau nggak, ya? Atau aku pancing-pancing aja biar dia ingat. Gengsi juga kan, kalau harus aku duluan yang mengingatkan. Kesannya aku terlalu bahagia gitu, menjadi istrinya dia. Walaupun ada sedikit. Cuman sedikit ya, sedikit. "Zein, kamu dimana?" tanyaku saat baru saja keluar dari kamar. Tak ada sahutan. Hari ini,tepat hari Minggu. Hari dimana aku selalu bangun siang dan bermalas-malasan. Aku kembali mencari di setiap sudut ruangan. Tak mungkin dia kembali tidur dan masuk ke kamarnya lagi. Bukankah akhir-akhir ini dia selalu menumpang tidur di kamarku. Yah, walaupun semua pakaiannya masih tersusun rapi di kamar sebelah. Jadi takut juga sih kalau tiba-tiba dia menghilang seperti ini. Tak
"Kamu sendiri yang mancing-mancing aku.""Mancing-mancing gimana?""Ya kek gini dong, Sayang. Pake pakaian olah raga seksi. Nunjukin otot sama perut sixpack kamu. Ngeluarin keringat yang bikin kamu tambah macho dan jantan banget. Jangankan aku sebagai istri sah, yang ono-ono aja tuh pada gelisah sampe ngintipin kamu dari balik pohon!" Suara yang sengaja kubuat melengking, ternyata membuat mereka yang berada di luar terkejut dan saling dorong-dorongan. Alhasil mereka semua terjatuh dan saling menimpa satu sama lain. Zein membalikkan badan karena terkejut. Aku melepaskan pelukan Zein dan menenggerkan tangan di pinggangku mendekati dinding pagar."Lagi pada ngapain nih?" sindirku. "Eh, enggak kok. Cuman lari-lari pagi aja.""Iya, cuman lari pagi.""Lari pagi kenapa pada berenti di sini?" tanyaku semakin sewot. "Panas, Mbak.""Iya, di sini adem.""Di bawah pohon bikin adem.""Ho oh, iya.""Oh, pohonnya bikin adem, ya? Gitu? Oke. Besok itu pohon bakalan aku tebang. Ngerti?""Jangan don
Lagi-lagi Zein bersikap mencurigakan. Membuat semangatku yang tadi menggebu-gebu jadi letoy kembali. Ada apa lagi kali ini? Tapi, ya sudahlah. Asal dia nggak selingkuh dan masih setia kepadaku, itu udah cukup."Ya udah, Zein. Kalau kamu nggak mau, juga nggak papa kok," ujarku pasrah. "Kamu marah?""Ya enggak dong. Ngapain juga marah. Nggak penting juga kok. Ya udah deh. Kita nggak usah kemana-mana. Aku mau tiduran aja di kamar.""Aku ikut ya, Yas."Dih, enak aja. Sori ye. Hari ini aku lagi nggak mood. Kesel sama sikap kamu. "Kamu di luar aja deh, Zein. Aku lagi pengen istirahat sendirian. Kamu lanjutin aja bercocok tanamnya. Nanam cabe kek. Siapa tau bulan depan udah bisa panen," sindirku. Aku pun ngeloyor pergi dan masuk ke kamar. Tak lupa juga mengunci pintu. Saat ini, meski dipaksa aku juga nggak akan rela. Bad mood, iyyuh... .Duh, kok Zein tiba-tiba berubah kek gitu sih. Kan cuma anniversary aja. Apa baginya merayakan hari jadi pernikahan itu nggak penting? Atau bisa jadi dia
"Mau ketemuan dimana?" tanyanya lagi. "Biasalah. Palingan juga di mall.""Mall mana?""Ditempat biasa lho, Zein."Duh, kok nanyanya sampai detil banget sih. Untung Zein tau mallnya ada di mana. Jadi aku tinggal bilang aja. Lagian, ngapain juga aku bohong. Zein juga nggak akan mungkin mau nyusulin aku ke sana. "Pulangnya jangan malam-malam ya, Yas."Dih, kalau bisa jangan pulang sekalian kali, Zein. Biar hari ini terlewat. Nggak perlu dilalui berdua sebagai peringatan satu bulan pernikahan kita. Moment tersedih tau nggak. "Aku naik taksi online aja ya, Zein. Kalau kamu mau nyuci mobil, aku juga nggak ngelarang kok." Aku tertawa geli. "Kenapa nggak bawa mobil?"Ya kali bawa mobil, Zein. Alasan aku pergi kan karena kamu lagi sibuk nyervis kendaraan. Apa kata dunia kalau mobilnya aku bawa. Ketauan dong lagi jablay di hari Minggu. "Ya udh deh. Aku pergi dulu, ya. Bye bye Zein?""Hati-hati ya, Yas. Kalau mau pulang telpon aku, ya. Biar aku jemput."Dih, sori ye. Nggak akan. Aku nggak
Aduh! Mati aku. Kenapa Zein tiba-tiba bisa muncul di sini? Bukannya tadi dia bilang tidak ingin kemana-mana? Kan jadi masalah lagi. Kenapa juga si Rama tiba-tiba muncul. Bikin sebel aja! Zein menatap sinis memandang Rama. Emang ini anak, kalau urusan sama laki-laki terlihat sangat garang. Macho banget lagi. Bikin bulu mataku kembali merinding disko. Rama tak menjawab, hanya mengangkat bahu saja. Mungkin maksudnya bilang 'Sori, gue nggak tau kalau suaminya ada di sini.'Ituh! Tanpa meminta, Zein langsung memegang tanganku dan menggenggamnya. Kelihatan marah sih. Mukanya tegangan tinggi. Disentuh dikit aja langsung kesetrum. Lututku aja udah merasa gemetar. "Ayuk pulang!" Dia langsung menarikku untuk berdiri. Seperti kerbau yang dicucuk hidung, aku langsung menurut dan mengikuti langkahnya dengan cepat. Aneh. Sedikitpun nggak ada niatan untuk melawan atau meronta-ronta minta dilepaskan. Apa perasaan takut Zein marah, lebih besar dari rasa marahku sendiri? Iyyuh...seorang Tyas kalah
Aku mulai bangkit, dengan bantuan Zein pastinya. Dengan jalan agak terpincang-pincang, dia dengan setia memapahku. "Kamu beneran nggak papa, Yas? Aku nggak tega lihat kamu kek gini. Aku gendong aja, deh."Zein mulai menunduk untuk meraih betisku, namun aku tetap saja menolak. "Aku nggak mau, Zein.""Kenapa?""Malu tau!""Oh, malu digendong sama suami kayak aku?""Apaan sih, ngambek melulu. Kek anak kecil deh. Siapa suruh kamu tadi jalannya cepat-cepat. Percuma dong nyusul ke sini, kalau nyatanya aku di tinggal juga. Udah, buruan sana pulang. Aku bisa pulang sendiri, kok," rajukku. "Oh, ya, ya. Alasan. Pasti pengen diantar pulang sama cowok yang tadi, kan?" Dia balas merajuk. "Ish, Zein." Aku memukul lengannya. "Ngalah dikit kenapa, sih. Kalau istri ngambek tuh, dibujuk. Bukan malah ikutan ngambek!"Dia kembali tersenyum. Hmmm... kan manis banget senyum kek gitu. "Ya, udah kita duduk dulu, ya. Biar sakitnya ilang." Aku mengangguk.Akhirnya dengan jalan agak terpincang-pincang, kam
"Kok kamu ngomong kek gitu sih, Zein?" tanyaku sambil menatap wajahnya. "Aku? Ngomong apa?" sahutnya gelagapan. Dih, dia bisa gengsi juga ternyata. Bukannya dia sendiri yang barusan bicara panjang lebar tentang betapa takutnya dia kehilangan aku. Pake nggak ngaku lagi. "Ya udah deh, nggak usah dibahas. Kita lupain aja kejadian hari ini. Aku juga udah mau pulang, kok," lanjutku kemudian. "Kaki kamu masih sakit?""Ya sakit dong, Zein.""Aku anter ke rumah sakit, ya?""Duh, lebay deh. Segini doang. Pulang yuk. Aku mau tiduran aja di rumah. Lagi bad mood," rajukku. "Nggak jadi jalan-jalan?""Ish... norak. Becandanya nggak lucu," gerutuku. Jelas-jelas semua kejadian ini berawal dari penolakan dia untuk jalan-jalan denganku. Bisa-bisanya sekarang, setelah semua yang terjadi dia menggoda buat ngajak jalan-jalan lagi. Iyyuh... Zein udah mulai nakal rupanya. Aku melepaskan sepatuku, dan bangkit dengan jalan sedikit terpincang. Sepertinya mata kakiku juga ikut keseleo. Tapi nggak papa j
"Lho, emang kenapa?""Kan udah ada kamu yang ngurutin." Aku membesarkan bola mata ke arahnya."Ish... Zein. Jorok. Jijik tau nggak." Aku memukul-mukul tangannya yang barusan tadi mengurut kakiku. Dia tertawa sambil memegangi perutnya. Sepertinya dia merasa sangat senang melihatku seperti itu. "Kenapa, sih?""Jorok tau nggak. Jangan sentuh-sentuh, ih.""Bercanda kali, Yas," ujarnya sambil terus tertawa. "Bohong. Pasti beneran tuh. Pikiran kamu kan selalu aja mesum.""Ya iyalah. Siapa juga yang bisa nahan diri lama-lama kalau dekat kamu. Ini aja otak aku udah travelling kemana-mana.""Ish, nggak mau. Enak aja." Aku mendorong tubuhnya. "Hayo mau kemana? Nggak bisa jalan, kan? Mau lari kemana lagi? Udah nyerah aja." Dia semakin mendekatkan dirinya."Ish, Zein nakal. Cari kesempatan." Aku kembali mendorong dadanya. Namun tenagaku tentu saja masih kalah jauh. Apalagi dengan keadaan kakiku yang sekarang ini. Aku kembali mencoba menjauhkan diri dari tubuhnya yang semakin merapat. "Zein
"Pasti karena aku cantik kan, Zein?" ucapku penuh percaya diri. "Iya, kamu cantik."Pipiku bersemu kemerahan kaya artis-artis korea. "Selain itu....""Selain itu, apa?" tanyaku penasaran, karena ia menghentikan kata-katanya. "Selain itu, kamu kalau jalan lucu. Mirip badut." Dia tertawa ringan. "Ish... Zein! Udah mulai nakal, ya. Goda-godain aku."Dia semakin tertawa. Dan aku merasa senang melihat wajah cerianya lagi. Tanpa sadar aku menerkam tubuhnya dan masuk dalam dekapannya. "Eh, eh, kenapa nih? Main peluk-peluk aja. Pasti kangen uwu-uwu nih," godanya lagi. "Enggak, kok. Cuman terharu aja. Aku pikir kita nggak akan bisa lagi kek gini. Aku takut banget," aku menangis sesenggukan. Zein ikut memelukku dengan erat. "Ini semua berkat doa kamu, Yas. Kamu istri yang baik buat aku. Makasih ya, Yas. Udah mau nerima aku apa adanya.""Aku juga ya, Zein. Makasih udah nyelamatin aku dari rasa malu dan menutupi semua aibku di masa lalu.""Jangan bicarakan itu lagi, Yas. Bagiku kamu tetap
Akhirnya operasi Zein selesai. Kami yang tadinya harap-harap cemas dengan hasilnya, mendadak menarik napas lega. Operasinya berjalan lancar. Kini Zein harus mendapat perawatan pasca operasi di ruangan ICU. Tanpa terasa air mataku mengalir begitu aja. Ternyata, jarak hidup dan kematian itu hanya sepersekian detik saja. Apa yang mau kita banggakan lagi di dunia ini? Adik-adikku mengusap bahuku dengan lembut. Mencoba menguatkan aku yang terlalu down karena masalah ini. Ditambah lagi usia kandunganku yang semakin tua. Apa yang kulakukan kalau Zein belum pulih dan tak bisa berjalan?Kuatkah aku mengahadapi kelahiran ini sendiri, tanpa Zein yang seharusnya mendampingi? Dokter bilang, Zein tidak mungkin langsung sembuh dan normal seperti sedia kala. Butuh waktu untuk masa pemulihan. Asal dia semangat, semua bisa berjalan lebih cepat. Setelah satu harian di ruang ICU, akhirnya Zein kembali ke ruangan. Ruangan VVIP yang super mewah pastinya. Tentunya setelah dia sadar, dan tekanan darahnya
Sebenarnya, Zein nggak mau kalau Ibuk tahu dia sedang dirawat di rumah sakit seperti ini. Katanya takut nyusahin Ibuk, dan membuat orang tua itu cemas. Akan tetapi, setelah kompromi sama Papi dan Mami, kami mutusin agar Ibuk tetap di beritahu secepatnya. Soalnya, jika diberitahu belakangan nanti, seperti yang Zein katakan. Takutnya Ibuk malah berkecil hati, dan merasa tidak dianggap sebagai keluarga. Kan jadi repot lagi urusannya. Taulah kalau golongan dari kalangan bawah inikan, perasaannya terlalu sensitif menilai sesuatu hal. Ini fakta ya, bukannya aku yang ngarang. Makanya aku minta tolong sama Bino untuk menjemput ke sana langsung. Setelah si Bino nanti sudah sampai, Baru Mami yang akan nelpon, bilangin kalo Zein sedang sakit dan mobil lagi menuju rumah mereka buat menjemput. Mudah-mudahan Ibuk nggak kenapa-napa. . "Sayang, kami pulang dulu, ya!" Aku pamit pada Zein setelah menjelang sore. Malam ini, Ada Nita dan Papi yang bersedia menemani Zein disini. Sebenarnya, Papi dis
"Bin!" Aku keluar dari ruangan,tempat Zein dirawat dan bergabung dengan yang lain. Tempat yang disediakan pihak rumah sakit untuk keluarga pasien, beristirahat. "Iya, Yas.""Aku minta tolong, ya. Mulai besok kamu yang ngurus perusahaan!""Siap...siap."Dih, langsung nyahut. Nolak dulu kek. Emang nggak ada segan-segannya ya ini orang. Malu dikit napa."Tapi ingat ya, Bin. Jangan ambil kesempatan!""Ya elah, Yas, Yas. Masih aja, ya! Suudzon terus.""Woiya dong, Bin. Sebagai teman yang baik, aku kan harus selalu ngingatin kamu, supaya jangan merusak persahabatan kita selama ini, hanya karena masalah uang.""Iya, iya. Makasih ya udah ngingetin aku. Entar kalo urusan kamu udah selesai sekalian aja bawa BPK sama KPK buat geledah rumah aku, Yas," jawabnya sewot. Dih, tersinggung. Sensi amat. " Untuk apa?" tanyaku pura-pura bego. "Untuk meriksa. Kalo kamu nggak percaya sama aku.""Aku percaya, loh Bin sama kamu. Makanya aku ngingetin, biar amanah yang aku kasi nggak kamu salah gunain," b
"Dia nanyakin, Mami. Kabarnya, gimana? Udah punya anak berapa? Udah punya cucu apa belum?""Terus, nanyakin apa lagi, Pi?""Ya elah, Mami kok kepo banget. Emang ada apa sih?" tanyaku penasaran. "Dokter Faisal Itu, Yas. Mantannya Mami," jelas Papi. "Belum sempat jadian loh, Pi. Pasti Papi cemburu, deh." Timpal Mami. "Nggak lah, Mi. Buat apa Papi cemburu."Kok aku nggak ngerti dan makin kepo aja, nih. "Emang ceritanya, gimana sih, Pi? Kok Mami juga kenal?""Gini, Yas ceritanya. Dulu itu, Dokter Faisal temen dekat Papi, terus Mami naksir tuh sama dia. Tapi Mami malu bilang langsung sama dia, taulah Mami kalian inikan dulu gengsian orangnya. Jadi, Mami minta Papi yang nyampaiin jadi posnya mereka. Setelah Papi sampein, Dokter Faisal menolak dengan alasan mau fokus kuliah dan ngejar karir dulu. Kecewa tuh, Mami," jelas Papi, sambil senyum-senyum. "Nggak gitu juga, ceritanya, Pi," sergah Mami malu-malu. "Pasti Papi nggak nyampein tuh ke orangnya karena Papi suka sama Mami, iyakan, Pi."
Sekilas dia menatapku dan tersenyum. Kemudian kembali menatap bola lampu di atas ruangan. Sudah dari tadi kuperhatikan, Zein selalu saja memandang ke arah bola lampu yang menyala itu. "Zein, kamu liatin apa?" tanyaku penasaran. "Aku melihat cahaya putih yang terpancar dari bola lampu itu, Yas," jawabnya, tanpa berpaling. "Buat apa?"Dia menarik napas dalam. "Aku berharap, Tuhan masih mau memberikanku kesempatan dan sedikit cahaya dari-Nya agar aku segera sembuh, dan bisa melihat anak kita tumbuh besar, bisa menggendongnya, merawat dan bisa bermain-main dengannya kelak. Dan aku juga berharap masih bisa bekerja dan menafkahi kalian berdua.""Amin." Segera kujawab harapan Zein tadi."Kamu tau, Yas. Apa keinginanku saat ini?" tanyanya. "Apa?""Aku hanya ingin sehat dan bisa bertahan hidup.""Makanya, kamu yang semangat dong, Zein. Banyak-banyak berdoa juga. Tuhan akan cepat mengabulkan doa orang-orang yang lagi sakit." Aku menguatkan genggaman tanganku sebagai bentuk support untuknya.
"Kamu kok tau aku ada disini?""Maaf, Zein. Aku tadi yang jemput, Tyas," ucap Bino merasa bersalah. "Emang kenapa kalo aku datang kesini? Kamu nggak suka karena udah ada Silvi yang nemenin?" ucapku meradang. Tentu aja setelah Silvi keluar dari ruangan ini saat melihat kedatangan kami tadi. Pasti tadi abis ngelus-ngelus si Zein, tuh. Waktu di jalan tadi, Bino juga sudah bilang kalau Zein berpesan jangan memberi tahu tentang keadaannya padaku. Dia sangat khawatir, takut terjadi sesuatu padaku dan juga kandunganku.Disaat sakit pun, Zein masih aja selalu perhatian yang membuat diriku makin jatuh cinta sama dia. Aku jadi terharu deh dibuatnya. Aku kan baperan orangnya. "Keadaannya, gimana, Zein?" tanya Mami. "Kata Dokter harus operasi, Mi. Tapi nunggu persetujuan dari pihak keluarga.""Kok pake operasi segala? Emang separah apa?""Katanya penyumbatan pembuluh darah, Mi." Lututku ikut bergetar mendengar kata operasi. "Bahaya, nggak tuh?" tanyaku panik. Air mataku mengalir begitu aja
"Jadi, keadaannya gimana?" tanyaku cemas. "Lagi diperiksa, Yas. Tadi setelah masuk IGD, petugas minta surat-surat buat administrasi. Aku kurang ngerti juga, surat apa. Terus mereka juga nanya keluarganya yang mana? Makanya aku nyusul kamu ke sini.""Kenapa nggak nelpon aku aja, Bin? Kan aku bisa langsung ke sana.""Nggak berani lah, Yas. Bukannya kamu tinggal sendirian di rumah? Kalau tiba-tiba pingsan gimana?"Iya juga sih. Tumben si Bino pikirannya lurus. "Jadi, yang jagain Zein di sana, siapa?" tanyaku cemas. "Ada Silvi. Tadi aku minta tolong sama dia, juga. Sekalian bareng ke rumah sakit."What? Dasar sontoloyo. Emang teman nggak punya akhlak ini si Bino ya. Badanku makin lemas setelah mendengar nama Silvi. Pasti nangis-nangis tuh, sambil meluk-meluk. Merasa menyesal karena belum sempat menyatakan rasa cintanya pada Zein. Iyyuhhh... Sok dramatis banget deh kisahnya. Aku duduk di sofa ruang tamu setelah di papah oleh Bino. Sekujur tubuhku terasa lemah dan berat. Pikiranku mel
"Eh, jangan. Entar kalo jatuh gimana?" tolaknya. "Makanya hati-hati dong, Zein.""Ya udah deh, tapi pelan-pelan aja, ya." Dia menundukkan tubuhnya dan segera mengangkat ku dalam gendongannya. Membuat aku senyum-senyum sendiri. Teringat kembali akan kenangan masa lalu, saat Zein memaksa menodaiku untuk yang pertama kali. Betapa gagah dan romantisnya Zein kala itu, sampai-sampai membuat bulu mataku merinding disko. So sweet banget, kan? "Zein, entar kalo sudah pulang kantor, langsung balik ke rumah ya! jangan singgah -singgah lagi di jalan," ucapku saat sedang menikmati sarapan di meja makan. "Iya, bawel.""Awas kalo ketauan singgah-singgah, apalagi nekat jajan di luar.""Iya, sayang.""Good.". "Hati-hati Zein, mengemudinya! Jangan kebut-kebutan ya!" Pesanku pada Zein, sebelum dia berangkat. "Iya, iya." Ih, nurut banget sama istri. Makin gumush deh liatnya. Setelah Zein pergi, aku rebahan di tempat tidur sambil chatingan bareng trio ember. Ya, walaupun sudah jarang ketemu lang