Sebenarnya aku malas, tapi tentu aja aku nggak mau mantan pacar suamiku mengambil posisiku di rumah kumuh itu. Ibu dan adiknya harus tau, bahwa akulah menantu di rumah mereka. Duh, pasti begitu aku melangkahkan kaki di depan pintu, mereka langsung histeris dan menyambutku. Bisa-bisa, semua warga kampung di undang untuk merayakan kedatanganku. Mereka pasti bangga, dan sudah pamer sana sini, bahwa anaknya yang tampan, tapi kere ini menikahi seorang wanita cantik, terpelajar, dan keturunan ningrat pula. Pasti aku selalu dielu-elukan. Lain lagi adiknya yang bernama Zahra itu. Matanya pasti akan berbinar-binar melihat pakaianku yang sangat modis ini. Apalagi sepatu, tas dan asesoris yang kupakai saat ini begitu berkelas. Kujamin seribu persen, air liurnya akan menetes, dan merengek minta dibelikan. Hish, dasar benalu. Bisa-bisanya mau morotin kakak ipar aja. Sori-sori ye. Ibu atau adiknya Zein nggak akan dapat a-pa-a-pa.Tak lama, kami pun sampai di sebuah rumah sederhana. Ya, sederhan
Eh, kok kebalik?"Apa ini?" sahutku, menerima pemberiannya. "Hadiah buat Mbak Tyas. Kemarin mau Zahra kasi pas nikahan. Kata temen Zahra, ini kado terbaik buat pengantin baru. Eh, nggak taunya belum nyampek-nyampek pas hari H nya.""Kamu pesan online?""Iya, Mbak. Kirain habis nikah, Mbak Tyas sama Mas Zein mau main ke sini. Tapi kata Mas Zein, dianya agak sibuk. Makanya baru sempet ngasi sekarang. Diterima ya, Mbak?"Aduuuh...ini adek sama abang kok baik banget sih. Bukannya mau minta, malah ngasi. Eh, tapi ini bukan umpan supaya aku terpancing, kan? Tak lama Zein masuk."Ya udah deh, Mbak. Zahra keluar dulu, ya.""Makasih...." sahutku manja. Dia pun keluar meninggalkan aku dan Zein berduaan di kamar. Mana pintunya di tutup lagi. Bikin deg-degan aja."Apa itu, Yas?""Tauk! Dikasi Zahra nih.""Buka dong. Atau mau aku yang bukain?" ucapnya dengan nada menggoda. Iyyuh... cari kesempatan banget pas lagi berdua. "Jangan macem-macem deh Zein. Nanti aku teriak nih!" Aku pura-pura mengan
Aku pun tersipu malu. "Kok tau, kalau Mas Zein setia?" selidikku. "Ya tau lah, Mbak. Yang suka sama Mas Zein kan banyak. Gadis-gadis di sekitar sini banyak banget yang naksir sama Mas Zein. Sering nitip salam sama Zahra. Teman sekolah Zahra pun sering datang, biar bisa ketemu sama Mas Zein.""Terus, Mas Zein Nya gimana? Tergoda nggak?""Ya, enggak lah Mbak. Kan Mas Zein setia banget sama Mbak Bela."What the f*ck! Bela? Jadi maksudnya Zein setia sama Bela gitu? Bukan sama aku? "Kalau sama Mbak gimana? Mas Zein ngomong apa aja?""Nggak ada!"Eh? Dasar si Zein. "Mas Zein nggak pernah cerita. Mas Zein cuman bilang, kalau sekarang jodohnya cuman Mbak Tyas. Udah, gitu aja."Ih.. dasar si Zein. Maksudnya apa tuh. Malu, mengakuiku sebagai istri di depan keluarganya. Apa karena aku terlalu tua buat dia? Ih, sebel! .Dalam perjalanan pulang, aku hanya berdiam diri. Masih kesal dengan penjelasan Zahra, bahwa ternyata Zein cinta banget sama Bela. Apa nanti setelah kami berpisah, Zein akan
Wajahnya tiba-tiba berubah pias. Mungkin nggak nyangka kalau aku akan kembali bertanya. Aku tetap nggak akan bisa tenang, kalau belum tau perasaan Zein yang sesungguhnya terhadap gadis itu. "Bela? Ya, enggak lah, Yas. Masa kamu nggak percaya sama suami kamu sendiri.""Tapi kata Zahra, kamu setia banget sama dia," gerutuku. "Setia karena saling memiliki. Kalau nyatanya dia berpaling, dan memilih laki-laki pilihan orang tuanya, masa aku harus tetap setia? Itu laki-laki bodoh namanya."Aku tertegun. Tak menyangka kalau Zein bisa berbicara setegas ini. Seperti menegaskan, bahwa gadis seperti Bela, sama sekali nggak pantas untuk ditunggu."Kamu nggak bakalan balik sama dia?""Tyas? Sekarang ini, kamu yang udah menjadi istriku. Cuman sama kamu aku bakal setia. Karena sekarang, kamu satu-satunya milikku."Mmm... so cute. "Kamu suka atau nggak suka, aku udah jatuh cinta saat pertama kali kamu melamar, dan memintaku untuk jadi suami kamu. Walaupun hanya sebagai suami bohongan."Jatuh cinta?
"Kenapa?""Karena aku ingin kamu membacanya dan tertarik meminangnya.""Tapi aku nggak tau yang mana.""Aku sengaja. Aku tahu kamu selalu membaca dan menyeleksi semua tulisan yang mau kamu pinang untuk di terbitkan. Aku hanya berharap kamu merasakan dan menandai bagaimana caraku merangkai kata dari setiap cerita yang kutulis. Tapi kamu nggak pernah peka. Kamu bahkan nggak pernah tau kalau part demi part promosi ceritaku lewat di beranda fesbuk kamu."Fesbuk? Dia punya fesbuk? Berteman denganku? Dan foto pernikahan dan komentar-komentar pedas itu? Haish.... Dia melihat semuanya? "Zein, maaf. Aku nggak pernah kepikiran kalau kamu bakalan sampe kek gitu.""Setelah uang yang kuhasilkan cukup dengan uang yang kamu berikan untuk operasi Ibuk, aku akan kembalikan semuanya sama kamu.""Jangan Zein. Itu bayaran kamu, karena udah mau menikah sama aku.""Nggak ada yang perlu dibayar, Yas. Aku bahagia jadi suami kamu, meski tanpa imbalan. Kamu wanita yang baik, Yas. Jangan rendahkan harga dirimu
Iyyuuh...! Keramas lagi, keramas lagi. Dasar si Zein ini, selalu aja ngambil kesempatan saat aku lagi bad mood. Tau aja, kalau aku lagi butuh di bujuk, dibelai, disayang, eh, ujug-ujug kebablasan. Dia juga tuh yang keenakan. "Ngapain senyum-senyum?" desisku saat dia sedang fokus menyetir mobil. "Emangnya dari tadi kamu nggak senyum-senyum sendiri?" balasnya, masih dengan senyum yang sama. Eh? Iya juga sih. Kenapa bibirku dari tadi refleks gerak-gerak sendiri, ya. Bawaannya melebar terus. Mana susah ditekuk lagi. Bikin si Zein makin geer aja. "Dih, sori ye. Aku tuh nggak pernah senyum-senyum sendiri. Kamu nya aja yang salah liat," kilahku. "Oh, enggak, ya. Maaf deh, kalau aku salah. Aku pikir tadi senyum. Abisnya, manis banget.""Woiya dong, Tyas gitu loh. Lagi ngeden aja tetap manis.""Iya, aku tau.""Tau apa? Emang kamu pernah liat aku lagi ngeden? Jangan-jangan kamu suka ngintip lagi. Iyyuh... jorok!""Ngapain ngintip. Kan udah liat semuanya.""Ish...Zein...jijik tau!"Aku mem
Tiba-tiba saja pintu ruanganku terbuka. Kulihat seorang pria dengan wajah angkuhnya datang dan langsung duduk di depanku, tanpa kupersilahkan. "Mau apa lagi, sih kamu?" ujarku dengan nada ketus. "Kenapa kamu blokir nomorku, beb?" Dia terlihat marah. Bab beb bab beb. Norak! "Kamu keberatan? Aku aja nggak pernah protes, waktu dulu kamu blokir nomorku."Semenjak kejadian itu, Refan memang berulang kali mengirimkan pesan dan menelponku. Karena bosan dan merasa terganggu, aku langsung aja memblokirnya. Nggak penting juga ya kan. Apalagi saat ini hubunganku dengan Zein udah mulai panas-panas gituh. Otomatis, aku juga nggak mau ada pengganggu. "Aku serius! Aku mau balikan sama kamu," ucapnya dengan nada tegas. Iyyuh... gilak aja. Nggak punya malu banget ini cowok. "Dih, sori ye. Kalau bisa dapet perjaka, ngapain juga aku milih duda!" celaku, dengan nada mengejek. "Perjaka miskin itu, maksud kamu? Yas, Yas. Kamu itu apa nggak bisa nyari suami yang lebih baik dari aku apa?""Ya jelas b
Refan memutar tubuhnya, kemudian berdiri. Akupun ikut berdiri dan berjalan cepat ke arah Zein. Biar dia nggak salah paham tentang posisi kami tadi. "Sayang!" Aku menggandeng lengan Zein dengan mesra. Duh, pasti ada yang lagi panas, nih. "Aku mau ngajakin kamu makan siang, Sayang," ucap Zein, yang seolah-olah kembali mengikuti sandiwara dan pencitraan yang biasa aku mainkan. "Ya udah, yuk!" Aku dan Zein berbalik, sampai suara Refan lagi-lagi menghentikan langkah kami. "Serius, nggak takut masuk penjara, bro?" ancamnya, dengan nada mengejek. Zein berbalik. Plis, Zein. Jangan terpancing. Kamu nggak boleh hilang kendali seperti kemarin. Di sini aja sama aku. "Kenapa nggak langsung dilaporin aja? Pakek ngancem segala!" decih Zein, dengan tegas. Wow!"Cuman mau ngasi kesempatan aja. Siapa tau, kamu bisa mikir dengan akal sehat buat ninggalin Tyas. Nggak pernah ngaca atau gimana?"Dih, enak aja. Zein itu cinta mati sama aku. Ya, nggak mungkinlah dia mau nurutin kata-kata kamu. "Teru
"Pasti karena aku cantik kan, Zein?" ucapku penuh percaya diri. "Iya, kamu cantik."Pipiku bersemu kemerahan kaya artis-artis korea. "Selain itu....""Selain itu, apa?" tanyaku penasaran, karena ia menghentikan kata-katanya. "Selain itu, kamu kalau jalan lucu. Mirip badut." Dia tertawa ringan. "Ish... Zein! Udah mulai nakal, ya. Goda-godain aku."Dia semakin tertawa. Dan aku merasa senang melihat wajah cerianya lagi. Tanpa sadar aku menerkam tubuhnya dan masuk dalam dekapannya. "Eh, eh, kenapa nih? Main peluk-peluk aja. Pasti kangen uwu-uwu nih," godanya lagi. "Enggak, kok. Cuman terharu aja. Aku pikir kita nggak akan bisa lagi kek gini. Aku takut banget," aku menangis sesenggukan. Zein ikut memelukku dengan erat. "Ini semua berkat doa kamu, Yas. Kamu istri yang baik buat aku. Makasih ya, Yas. Udah mau nerima aku apa adanya.""Aku juga ya, Zein. Makasih udah nyelamatin aku dari rasa malu dan menutupi semua aibku di masa lalu.""Jangan bicarakan itu lagi, Yas. Bagiku kamu tetap
Akhirnya operasi Zein selesai. Kami yang tadinya harap-harap cemas dengan hasilnya, mendadak menarik napas lega. Operasinya berjalan lancar. Kini Zein harus mendapat perawatan pasca operasi di ruangan ICU. Tanpa terasa air mataku mengalir begitu aja. Ternyata, jarak hidup dan kematian itu hanya sepersekian detik saja. Apa yang mau kita banggakan lagi di dunia ini? Adik-adikku mengusap bahuku dengan lembut. Mencoba menguatkan aku yang terlalu down karena masalah ini. Ditambah lagi usia kandunganku yang semakin tua. Apa yang kulakukan kalau Zein belum pulih dan tak bisa berjalan?Kuatkah aku mengahadapi kelahiran ini sendiri, tanpa Zein yang seharusnya mendampingi? Dokter bilang, Zein tidak mungkin langsung sembuh dan normal seperti sedia kala. Butuh waktu untuk masa pemulihan. Asal dia semangat, semua bisa berjalan lebih cepat. Setelah satu harian di ruang ICU, akhirnya Zein kembali ke ruangan. Ruangan VVIP yang super mewah pastinya. Tentunya setelah dia sadar, dan tekanan darahnya
Sebenarnya, Zein nggak mau kalau Ibuk tahu dia sedang dirawat di rumah sakit seperti ini. Katanya takut nyusahin Ibuk, dan membuat orang tua itu cemas. Akan tetapi, setelah kompromi sama Papi dan Mami, kami mutusin agar Ibuk tetap di beritahu secepatnya. Soalnya, jika diberitahu belakangan nanti, seperti yang Zein katakan. Takutnya Ibuk malah berkecil hati, dan merasa tidak dianggap sebagai keluarga. Kan jadi repot lagi urusannya. Taulah kalau golongan dari kalangan bawah inikan, perasaannya terlalu sensitif menilai sesuatu hal. Ini fakta ya, bukannya aku yang ngarang. Makanya aku minta tolong sama Bino untuk menjemput ke sana langsung. Setelah si Bino nanti sudah sampai, Baru Mami yang akan nelpon, bilangin kalo Zein sedang sakit dan mobil lagi menuju rumah mereka buat menjemput. Mudah-mudahan Ibuk nggak kenapa-napa. . "Sayang, kami pulang dulu, ya!" Aku pamit pada Zein setelah menjelang sore. Malam ini, Ada Nita dan Papi yang bersedia menemani Zein disini. Sebenarnya, Papi dis
"Bin!" Aku keluar dari ruangan,tempat Zein dirawat dan bergabung dengan yang lain. Tempat yang disediakan pihak rumah sakit untuk keluarga pasien, beristirahat. "Iya, Yas.""Aku minta tolong, ya. Mulai besok kamu yang ngurus perusahaan!""Siap...siap."Dih, langsung nyahut. Nolak dulu kek. Emang nggak ada segan-segannya ya ini orang. Malu dikit napa."Tapi ingat ya, Bin. Jangan ambil kesempatan!""Ya elah, Yas, Yas. Masih aja, ya! Suudzon terus.""Woiya dong, Bin. Sebagai teman yang baik, aku kan harus selalu ngingatin kamu, supaya jangan merusak persahabatan kita selama ini, hanya karena masalah uang.""Iya, iya. Makasih ya udah ngingetin aku. Entar kalo urusan kamu udah selesai sekalian aja bawa BPK sama KPK buat geledah rumah aku, Yas," jawabnya sewot. Dih, tersinggung. Sensi amat. " Untuk apa?" tanyaku pura-pura bego. "Untuk meriksa. Kalo kamu nggak percaya sama aku.""Aku percaya, loh Bin sama kamu. Makanya aku ngingetin, biar amanah yang aku kasi nggak kamu salah gunain," b
"Dia nanyakin, Mami. Kabarnya, gimana? Udah punya anak berapa? Udah punya cucu apa belum?""Terus, nanyakin apa lagi, Pi?""Ya elah, Mami kok kepo banget. Emang ada apa sih?" tanyaku penasaran. "Dokter Faisal Itu, Yas. Mantannya Mami," jelas Papi. "Belum sempat jadian loh, Pi. Pasti Papi cemburu, deh." Timpal Mami. "Nggak lah, Mi. Buat apa Papi cemburu."Kok aku nggak ngerti dan makin kepo aja, nih. "Emang ceritanya, gimana sih, Pi? Kok Mami juga kenal?""Gini, Yas ceritanya. Dulu itu, Dokter Faisal temen dekat Papi, terus Mami naksir tuh sama dia. Tapi Mami malu bilang langsung sama dia, taulah Mami kalian inikan dulu gengsian orangnya. Jadi, Mami minta Papi yang nyampaiin jadi posnya mereka. Setelah Papi sampein, Dokter Faisal menolak dengan alasan mau fokus kuliah dan ngejar karir dulu. Kecewa tuh, Mami," jelas Papi, sambil senyum-senyum. "Nggak gitu juga, ceritanya, Pi," sergah Mami malu-malu. "Pasti Papi nggak nyampein tuh ke orangnya karena Papi suka sama Mami, iyakan, Pi."
Sekilas dia menatapku dan tersenyum. Kemudian kembali menatap bola lampu di atas ruangan. Sudah dari tadi kuperhatikan, Zein selalu saja memandang ke arah bola lampu yang menyala itu. "Zein, kamu liatin apa?" tanyaku penasaran. "Aku melihat cahaya putih yang terpancar dari bola lampu itu, Yas," jawabnya, tanpa berpaling. "Buat apa?"Dia menarik napas dalam. "Aku berharap, Tuhan masih mau memberikanku kesempatan dan sedikit cahaya dari-Nya agar aku segera sembuh, dan bisa melihat anak kita tumbuh besar, bisa menggendongnya, merawat dan bisa bermain-main dengannya kelak. Dan aku juga berharap masih bisa bekerja dan menafkahi kalian berdua.""Amin." Segera kujawab harapan Zein tadi."Kamu tau, Yas. Apa keinginanku saat ini?" tanyanya. "Apa?""Aku hanya ingin sehat dan bisa bertahan hidup.""Makanya, kamu yang semangat dong, Zein. Banyak-banyak berdoa juga. Tuhan akan cepat mengabulkan doa orang-orang yang lagi sakit." Aku menguatkan genggaman tanganku sebagai bentuk support untuknya.
"Kamu kok tau aku ada disini?""Maaf, Zein. Aku tadi yang jemput, Tyas," ucap Bino merasa bersalah. "Emang kenapa kalo aku datang kesini? Kamu nggak suka karena udah ada Silvi yang nemenin?" ucapku meradang. Tentu aja setelah Silvi keluar dari ruangan ini saat melihat kedatangan kami tadi. Pasti tadi abis ngelus-ngelus si Zein, tuh. Waktu di jalan tadi, Bino juga sudah bilang kalau Zein berpesan jangan memberi tahu tentang keadaannya padaku. Dia sangat khawatir, takut terjadi sesuatu padaku dan juga kandunganku.Disaat sakit pun, Zein masih aja selalu perhatian yang membuat diriku makin jatuh cinta sama dia. Aku jadi terharu deh dibuatnya. Aku kan baperan orangnya. "Keadaannya, gimana, Zein?" tanya Mami. "Kata Dokter harus operasi, Mi. Tapi nunggu persetujuan dari pihak keluarga.""Kok pake operasi segala? Emang separah apa?""Katanya penyumbatan pembuluh darah, Mi." Lututku ikut bergetar mendengar kata operasi. "Bahaya, nggak tuh?" tanyaku panik. Air mataku mengalir begitu aja
"Jadi, keadaannya gimana?" tanyaku cemas. "Lagi diperiksa, Yas. Tadi setelah masuk IGD, petugas minta surat-surat buat administrasi. Aku kurang ngerti juga, surat apa. Terus mereka juga nanya keluarganya yang mana? Makanya aku nyusul kamu ke sini.""Kenapa nggak nelpon aku aja, Bin? Kan aku bisa langsung ke sana.""Nggak berani lah, Yas. Bukannya kamu tinggal sendirian di rumah? Kalau tiba-tiba pingsan gimana?"Iya juga sih. Tumben si Bino pikirannya lurus. "Jadi, yang jagain Zein di sana, siapa?" tanyaku cemas. "Ada Silvi. Tadi aku minta tolong sama dia, juga. Sekalian bareng ke rumah sakit."What? Dasar sontoloyo. Emang teman nggak punya akhlak ini si Bino ya. Badanku makin lemas setelah mendengar nama Silvi. Pasti nangis-nangis tuh, sambil meluk-meluk. Merasa menyesal karena belum sempat menyatakan rasa cintanya pada Zein. Iyyuhhh... Sok dramatis banget deh kisahnya. Aku duduk di sofa ruang tamu setelah di papah oleh Bino. Sekujur tubuhku terasa lemah dan berat. Pikiranku mel
"Eh, jangan. Entar kalo jatuh gimana?" tolaknya. "Makanya hati-hati dong, Zein.""Ya udah deh, tapi pelan-pelan aja, ya." Dia menundukkan tubuhnya dan segera mengangkat ku dalam gendongannya. Membuat aku senyum-senyum sendiri. Teringat kembali akan kenangan masa lalu, saat Zein memaksa menodaiku untuk yang pertama kali. Betapa gagah dan romantisnya Zein kala itu, sampai-sampai membuat bulu mataku merinding disko. So sweet banget, kan? "Zein, entar kalo sudah pulang kantor, langsung balik ke rumah ya! jangan singgah -singgah lagi di jalan," ucapku saat sedang menikmati sarapan di meja makan. "Iya, bawel.""Awas kalo ketauan singgah-singgah, apalagi nekat jajan di luar.""Iya, sayang.""Good.". "Hati-hati Zein, mengemudinya! Jangan kebut-kebutan ya!" Pesanku pada Zein, sebelum dia berangkat. "Iya, iya." Ih, nurut banget sama istri. Makin gumush deh liatnya. Setelah Zein pergi, aku rebahan di tempat tidur sambil chatingan bareng trio ember. Ya, walaupun sudah jarang ketemu lang