Gue sama Ryan kini udah berada di salah satu warung. Ya, gue sama dia makan di warung bukan restoran. Entahlah, jiwa miskin gue terasa meronta-ronta.
“Makannya pelan-pelan dong sayang.”
“Abisnya enak.”
“Aku suka lihat kamu makan.”
“Kok gitu?”
“Iya nggak jaim gitu.”
Gue langsung tersenyum malu dipuji Ryan seperti itu. Kenapa sih gue gampang banget baper dan geer begitu, padahal kalau dipikir-pikir belum tentu juga Ryan memuji yang benar-benar dari hati dan bisa jadi dia hanya pengin gue senang aja.
“Kalau kebanyakan jaim nanti laper,” balas gue.
“Hmm, lagian laki-laki lebih suka perempuan apa adanya aja dibanding harus tampil perfeck tapi banyak tipuan.”
Gue langsung berhenti menyuapkan makanan dan menatap ke arah Ryan yang sudah habis terlebih dulu seperti biasa.
“Aku nggak mau nipu kamu, aku pengin kamu lihat aku begini dan
Asli deh rasanya pengin gue sleding banget saat mendengarkan suara Cantika tengah tertawa begitu puas seakan-akan lagi ngeledekin gue gitu.“Ryan lagi sama gue, kenapa?”“Hahaha, bohong lo.”“Nggak percaya? Ayo video call.”Ingin membuktikan kalau ucapan si Cantika itu bohong pun akhirnya gue setuju untuk melakukan panggilan video. Tapi, pada saat sudah terhubung gue sangat kaget karena Ryan lagi teler. Ya, sepertinya Ryan habis mabok.“Cantika, kenapa lo ada di apartemen Ryan?”“Mau senang-senang lha, Ki, kayak nggak tahu aja.”“Jangan macam-macam lo.”“Tapi gue suka yang macam-macam gimana dong.”“SHIT!”“Hahaha.”Nit.Pikiran gue merasa kacau melihat Ryan yang tengah tertidur teler di sofa. Gue ngeri aja kalau Cantika kasih sesuatu yang bikin khilaf terus Ryan suruh tanggung jawab gitu
Sehabis membayar ojek, kita berdua nggak langsung kembali ke apartemen melainkan duduk-duduk di kafe Hardrock terlebih dulu.“Mau makan apa?”“Udah malam nanti aku gendut gimana?”“Aku nggak peduli sayang yang penting kamu nggak kelaperan.”“Yaudah samain aja sama kamu.”Ryan pun mengangguk dan menyebutkan beberapa menu kepada pelayan.“Teriyaki salmon 1 porsi, chipotle steak 2, long island iced tea 2, potato skins 1.”Selesai Ryan memesan pun dia langsung menatap ke arah gue dengan mata sayunya. Gue sendiri langsung terkikik geli melihat wajah bangun tidur dia.“Kamu cuci muka dulu gih.”“Kelihatan jelek banget, ya?”“Enggak kok, kamu tetap tampan cuma mau makan masa muka bantal gitu.”Ryan tersenyum dan langsung berdiri pamit untuk pergi ke toilet. Gue pun hanya menatap ke arah musik live yang dised
Pondok Labu, Jakarta.Saat ini kediaman rumah gue udah diubah sama Winda menjadi mirip orang hajatan. Tapi, kali ini bukan hajatan pernikahan tapi hanya lamaran biasa aja kok. Dan, kemarin hari jumat sore pun antar para orang tua sudah bertemu terlebih dulu sebelum hari besar ini. Mama papa gue benar-benar klop banget kalau ngobrol sama mamanya Ryan. Dua wanita itu memang senang sekali mengobrol ngalor ngidul sampai keluar tema segala.Persiapan dadakan ini bikin gue sedikit khawatir banget. Terlebih gue sama Ryan nggak pacaran sama sekali. Pacaran nggak sih? enggak deh, cuma sering hampir khilaf aja. Ryan juga bilang nggak mau ngajakin gue pacaran tapi penginnya ngajak nikah aja. Mendengar niat dia begitu kenapa harus gue tolak? Sedangkan gue juga lagi butuh pendamping hidup. Semoga saja memang Ryan adalah pilihan yang tepat buat gue.“Lipstiknya tambah lagi,” kata Winda saat menemani gue di kamar. “Masih keliatan pucat soalnya, Kiki kulitnya
Telapak tangan gue mendadak gemetaran di saat ibu calon mertua akan memakaikan cincin. Gue pun tersenyum menatap cincin yang kini sudah melingkar begitu cantik di jari manis gue. Dan, kini giliran mama untuk memakaikan cincin ke arah jari manis Ryan.Selesai dengan acara tukar cincin, kini pembawa acara melanjutkan acara yaitu ramah tamah dan perkenalan antar anggota keluarga inti dan saudara-saudara agar bisa saling mengenal satu sama lain.Kini giliran gue yang tengah dikenalkan Ryan ke arah anggota keluarganya.“Ini Abang Surya kakak kandungku sama istrinya Cantika dan mereka akan menjadi kakak kamu juga nanti, itu Chaca sepupuku dan disampingnya itu Tante Tiwi mamanya Chaca, masih banyak lagi cuma mereka nggak bisa hadir sama kondisi yang jauh di kampung,” kata Ryan.Gue mengangguk paham. Dan kini giliran gue yang akan memperkenalkan Ryan ke anggota keluarga gue.“Ini Mama Papaku kamu udah kenal, dan yang duduk di sana t
Selesai acara lamaran dengan memberikan balasan seserahan kepada keluarga Ryan berupa makanan, buah-buahan serta kebutuhan calon mempelai laki-laki, Kini gue lagi tiduran sambil cerita-cerita sama Winda yang memang sengaja menemani sambil membahas konsep acara pernikahan yang akan diadakan dua bulanan lagi.“Gue pengin sewa gedung RT aja deh, tapi Ryan pengin di ballroom hotel. Menurut lo gimana, Win?”“Yaudah turutin aja kemauan dia selagi ada modal sih.”“Sayang Win buang-buang duit buat pesta sehari doang. Gue merasa kaum biasa aja jadi agak peritungan nih, kalau sultan mah terserah di mana tempatnya gue jabanin deh.”“Kan yang bayar Ryan, Ki, ngapain sih lo pusing-pusing amat.”“Nah justru itu gue nggak enak lha, masa yang nikah berdua yang biayain dia semua sih. Gue penginnya bareng-bareng gitu, Win.”“Yaudah lo entar ngomong aja sama dia. Mau jalan kan lo nanti? Ja
Makan kali ini benar-benar beda menurut gue. Ryan lebih banyak diam setelah gue tanya tentang cinta pertamanya itu. Ada apa sih emangnya? Gue padahal mau kenal baik-baik tapi Ryan suruh kenalannya habis nikah aja. Bawaan gue penginnya suuzon ke dia tapi nggak ada bukti apa-apa. Tanya Kak Doni pun dia jawab nggak tahu kabarnya setelah lulusan SMA waktu itu. Jadi yang benar-benar tahu kondisi Rena hanya Ryan aja. Kata Kak Doni juga si Rezvan suami Nasya juga nggak tahu kabar Rena. Ih, kok bawaan gue curiga mulu begini sih.“Jangan mikir yang macam-macam,” kata Ryan seolah-olah tahu isi pikiran gue.“Enggak.”Tak mau memperpanjang masalah akhirnya gue mencoba berbaik sangka sama dia. Gue mencoba percaya sama Ryan.Selesai makan, Ryan langsung ngantar gue pulang dan katanya dia mau kumpul sama teman-temannya di kelab malam. Pengin banget ngelarang tapi gue takut nanti Ryan nggak terima atau marah. Mungkin pelan-pelan aja nanti, ngubah
Pondok Labu, Jakarta.Setelah habis dari percetakan undangan tadi, kini giliran gue buat istirahat karena jujur aja tubuh gue merasa capek banget yang benar-benar capek.Bahkan saking capeknya gue sampai meminta tolong mama buat pijetin kaki barusan. Dan sekarang pun sudah pukul dua belas malam tapi mata gue belum mau terpejam juga. Padahal udah capek tapi susah tidur gini gitu, kalian pernah merasakan hal seperti ini nggak sih? Capek tapi nggak bisa tidur.Gue pun mengambil hape yang tergeletak di atas nakas. Gue duduk sambil bengong seperti orang bingung. Dan, akhirnya pun gue hubungi Ryan.Tut. Tut. Tut.Gue pun menunggu panggilan teleponnya diangkat sambil menggigit bibir bawah. Dalam deringan ke tiga panggilan gue pun diangkat dan dijawab dengan suara serak orang khas bangun tidur.“Halo.”“Kamu udah tidur?”“Hmm, capek banget dari kemarin nggak tidur.”“Maaf ganggu tidur ka
Ballroom Hotel Poin Square, Jakarta.Keluarga gue sama keluarga Ryan sepakat buat melakukan acara akad nikah pagi hari dan dilanjut dengan resepsi pukul sebelas siang.Saat ini gue seperti pada pengantin umumnya, gue lagi dimake-up secantik mungkin supaya orang-orang bisa pangling lihat wajah gue nanti.Demi apapun rasanya benar-benar gemeteran apalagi dua jam kedepan acara akad akan segera dimulai. Mana hampir dua bulan gue sama Ryan nggak ketemu sama sekali. Baru akan ketemu entar pas di depan penghulu pula. Kita berdua hanya mengandalkan hape sebagai kekuatan hubungan di saat LDR dan dilarang ketemu seminggu sebelum nikah. Katanya sih pingit gitu. Gue sendiri hanya nurut-nurut aja apa kata orang tua.“Win, keluarga pihak cowok udah turun ke ballroom?”“Udah, mereka lagi dimake-up semua.”Lega rasanya karena pihak keluarga Ryan udah datang dan lagi dimake-up. Gue dan keluarga pun semalam nginap di hotel supaya
Selesai beres-beres apartemen dilanjut dandan, kini Kiki sudah di lobby apartemen menunggu taksi pesanannya. Hari ini ia akan ke rumah mamanya untuk memberikan sedikit oleh-oleh dari Swiss.Di saat taksi pesanannya sampai pun, ponsel Kiki berdering cukup kuat yang membuat dirinya langsung melihat siapa yang menelepon.“Ryan,” gumamnya. Bibirnya tertarik lebar dan buru-buru ia langsung menggeser tombol hijau ke samping. “Halo.”“Udah ke rumah Mama?”“Ini baru mau ke sana, taksinya udah datang sih.”“Udah di jalan?”“Iya, baru aja jalan dari apartemen.”“Hati-hati sayang.”“Hmm, kamu yang semangat kerjanya, ya.”“Iya. Kalau gitu udah dulu, ya.”“Hmm.”Kiki tersenyum sendiri seperti anak ABG jatuh cinta. Terlebih sikap Ryan yang perhatian dan romantis membuat hatinya benar-benar berbunga.
Selesai membuat sarapan dan dua cangkir kopi, Kini bergegas menuju ke arah meja makan untuk menyiapkan piring dan alat makan lainnya. Ya, meski lauknya hanya telur ceplok setidaknya ada perjuangan sedikit untuk memasak.“Sempurna,” gumam Kiki kala melihat tatanan meja yang sudah ia rapikan dan sangat terlihat bersih. Ia pun mendengarkan langkah kaki seseorang yang tengah menuju ke arahnya.“Hmm, harum banget aromanya,” puji Ryan sambil mengecup pipi Kiki dengan penuh kasih sayang.Kiki sendiri tersenyum senang karena mendapat pujian dari sang suami. “Sarapannya pakai telur ceplok doang, Mas. Gapapa kan?”“Gapapa kok, ini aja udah lebih dari cukup.”Ryan pun langsung duduk dan mengambil cangkir yang berisi kopi. Ia menyeruput sedikit demi sedikit sambil menatap wajah istrinya yang terlihat harap-harap cemas.“Nikmat.”“Seriusan, Mas?”“Iya sayang.&rdqu
Pas sampai apartemen, Kiki langsung memilih tiduran dibanding ikut duduk bersama Ryan dan Wawan. Terlebih saat ini para teman-teman Ryan yang pernah Kiki temui di kelab malam datang ke apartemennya.“Gila berisik banget, sih,” dumel Kiki yang mencoba menutup telinganya dengan bantal. Ia merasa kesal dengan sikap suaminya yang lebih mementingkan kumpul-kumpul nggak jelas seperti itu.Niat istirahat pun gagal. Kini Kiki langsung bangun dari tempat tidurnya dan berjalan ke arah pintu untuk mendengarkan obrolan Ryan dengan teman-temannya.“Gila gede banget tahu nggak sih, sampai bosan gue disandingin itu bamper.” Kiki terus mendengarkan dari balik pintu. Kalau nggak salah yang berbicara itu Hadi. Kiki hanya mendengarkan suara suaminya yang terkekeh itu. Entah kenapa bawaannya tuh jadi emosi sendiri mendengar para laki-laki itu kalau kumpul yang dibahas wanita. Mana segala body dibahas sampai diprintilin satu-satu gitu pula. Duh, gila juga ya.
SATU MINGGU KEMUDIAN.Satu minggu sudah Ryan dan Kiki menikmati bulan madu di Swiss. Banyak hal baru yang mereka lewati bersama di sana. Meski otak dan pikiran Ryan tak jauh-jauh dari hiya-hiya tapi ia selalu menuruti dan memanjakan istrinya dengan baik.Kiki sendiri benar-benar bersukur memiliki suami seperti Ryan yang pengertian dan memahami segala keinginannya. Meski setiap hari selama di Swiss harus memberikan jatah untuk Ryan entah habis jalan-jalan wisata atau sebelumnya pasti Kiki lakukan karena bisa membuat Ryan bahagia.“Wuih bro, kelihatan bahagia banget nih,” goda Wawan yang baru saja sampai di tempat penjemputan bandara internasional Soekarno—Hatta.“Ck! Lama banget lo jemput, kasihan bini gue,” sahut Ryan sambil memasukan koper ke bagasi.“Ya elah namanya juga jam kerja pasti macet bos,” dumel Wawan.Tak menjawab dumelan Wawan, kini Ryan lebih memilih menatap istrinya yang tengah lemas d
Kini sepasang suami istri itu tengah berbincang-bincang berbagai hal dengan posisi Ryan memeluk Kiki dan menjadikan lengannya sebagai bantalan.“Ryan, kamu kok bisa siapin visa sama paspor tanpa aku tahu sih?”“Iya dong, aku kan kong kalingkong sama Mama.”“Dih ... banyak banget yang kerjasama sama kamu.”“Hehehe, kalau niat baik pasti banyak yang membantu sayang.”“Jadi setelah tahu dari Mbak Sila kamu siapin ini semua?”“Hmm, sebulan sebelum nikah minta tolong sama Chaca sih buat urus paspor, visa, buat aku sama kamu.”“Ya ampun jadi nggak enak sama Chaca selalu direpotin masalah kita berdua.”“Gapapa, dia bakalan bantu terus selagi aku kasih jatah uang jajan buat dia.”Kiki terkekeh geli mendengarkan kalau anak seusia Chaca emang lagi gencar-gencar porotin uang saudara buat jajan sama jalan-jalan.“Kamu hebat b
Merasa sebagai laki-laki sejati pun akhirnya Ryan mengambil alih permainan dari Kiki. Kini ia yang berbalik menjadi pemegang kendali dalam pagutan bibirnya yang masih saling mencecap satu sama lain.Ryan terus menghisap dengan kuat bibir sang istri sampai menimbulkan suara pekikan yang membuatnya tak tinggal diam.Merasa memiliki akses menerobos pun membuat lidah Ryan langsung menelusup ke dalam dan mengabsen deretan gigi milik Kiki. Bahkan kini Ryan tengah menikmati rongga mulut sang istri.“Balas,” titah Ryan.Mendapat perintah membuat Kiki mencoba mengimbangi permainan sang suami. Ia juga mulai mengeluarkan lidahnya dan bergulat dengan milik Ryan.Suara decakan mulai terdengar di penjuru kamar hotel yang ia tempati. Terlebih Ryan mendorong tubuh Kiki menuju ke arah ranjang dan menjatuhkan di sana.Ryan yang melihat Kiki terbaring pun langsung melempar handuk dengan sembarangan. Ia tersenyum geli melihat wajah terkejut istrinya
Merasa puas tidur semalaman membuat Kiki terbangun lebih awal. Ia melihat Ryan yang masih tidur membelakangi dirinya itu. Hati kecil Kiki pun merasa tak enak karena belum memberikan hak-nya sebagai seorang istri kepada suami.Kiki nggak bermaksud nggak mau, tapi ia belum siap dan takut aja gitu. Gimana sih jelasinnya, Kiki merasa bingung sendiri. Dan, ia suka dengar kata orang itu rasanya sakit jadi tambah membuat pikiran Kiki parno.Kiki pun berangsur turun dari ranjang pelan-pelan agar tak membangunkan Ryan yang masih tertidur. Ia mengintip ke arah jendela yang tertutup hordeng dan ternyata suasana di luar lumayan terang meski pepohonan dan tanah di luaran tertutup salju yang lumayan tebal. Mana Ryan mengajak ke Swiss musim dingin juga, untung aja siap jaket tebal.“Sayang kamu ngapain berdiri di situ?”Kiki langsung menoleh dan melihat Ryan yang sudah duduk terbangun dengan tubuh shirtless-nya. Kiki menggaruk kepala belakangnya yang tak gat
Hotel Bellerive Zurich, Swiss.Setelah menempuh perjalanan dari Indonesia menuju bandara internasional Zurich selama 17 jam 40 menitan kini mereka sudah tiba di mana Ryan membooking hotel untuk mereka menginap beberapa hari ke depan.Hal pertama yang Kiki lakukan adalah langsung tiduran di atas kasur empuk hotel yang menurutnya sangat nyaman. Ia tersenyum senang karena bisa menginjakkan kaki di negara yang sama dengan model idolanya itu. Meski belum pernah ketemu Kevin Lutolf secara nyata tapi Kiki udah merasa bahagia bisa menghirup oksigen di negara yang sama dengan dia.“Kamu kenapa senyam senyum?”“Seneng aja bisa nginjak tanah Swiss.”“Mendingan bersih-bersih dulu terus makan habis itu istirahat.”“Hmm, mendingan kamu dulu aja Mas.”“Nggak mau bareng?”“Kamu duluan aja, pinggangku masih encok duduk lama.”“Yaudah.”Bagaimanapun
Ryan saat ini tengah bingung sendiri menghadapi istrinya yang tengah marajuk itu. Apalagi setelah permainan onet selesai mood Kiki langsung berubah mendadak bete.Kalau seperti ini Ryan lama-lama mendadak gila deh, kadang ia tak paham sama makhluk berjenis perempuan itu. Dia yang ngajakin main onet sendiri, kalah sendiri, terus ngambek sendiri, kalau udah begini harus gimana? Mau salahin siapa coba? Masa salahin Pak Satpam depan sih.“Sayang udah dong jangan bete-bete terus.”“Ngeselin, masa aku kalah terus sama kamu.”“Ya, aku kan nggak tahu kalau kamu kalah.”“Harusnya kamu ngalah dong sebagai laki-laki, nyebelin.”‘Tuhkan kaum perempuan emang ngeselin tingkat dewa, rasanya pengin gue sleding banget dah kalau begini,’ batin Ryan.“Ryan, nyebelin.” Suara Kiki terdengar begitu kesal bahkan bibirnya sudah ia manyun-manyunkan karena merasa tak terima kalah dua kali