Bang Fahad menatapku dengan raut wajah penuh keterkejutan sekaligus rasa bersalah. "Kamu masih perawan ...." Suaranya bergetar, seperti tak percaya apa yang baru saja ia sadari.Aku hanya mengangguk pelan, wajahku memerah menahan rasa malu yang begitu besar. Kata-kata seolah tak mampu keluar dari bibirku. Bukankah aku sudah bilang kalau aku memang masih perawan?Bang Fahad buru-buru menyelimuti tubuhku sampai ke pinggang. Dia kembali berada di atas tubuhku lalu mengusap pelan pipiku. "Apa saya sudah menyakiti kamu?" tanyanya dengan suara begitu lembut."Sakit sih, tapi 'kan ... bukannya malam pertama katanya emang sakit?"Terdengar hembusan napas berat dari Bang Fahad. "Saya minta maaf, Chi, sudah menuduh kamu waktu itu. Ternyata saya salah dan kamu benar. Saya merasa sangat bersalah," ucapnya dengan sendu dan terdengar penuh penyesalan.Aku menggeleng, lalu mengarahkan tangan menangkup kedua pipinya. "Sudah, Bang. Yang lewat, biarlah berlalu. Kita tatap hubungan kita ke depannya, ya?
Keluar dari kamar, aku sudah mengenakan kain mukena yang membungkus tubuh. Berjalan pelan dan hati-hati sampai akhirnya tiba di mushola kecil dalam rumah dan mendapat Bang Fahad tengah duduk di atas sajadahnya.Bertepatan dengan kedatanganku, Bang Fahad menoleh membuatku tersenyum kaku."Masya Allah, kamu cantik banget pakai mukena itu," ucapnya membuatku menunduk."Abang gak usah gombal ah. Kita udah sama-sama menerima pernikahan ini, ngapain masih ngegombal sih?" tukasku merasa malu."Lho, siapa yang gombal? Saya jujur dan apa salahnya saya memuji istri sendiri?"Aku hanya tersenyum tipis mendengar jawabannya. Entah kenapa, rasanya berbeda ketika Bang Fahad mengucapkan hal-hal manis seperti itu. Aku tahu dia tidak berbohong, tapi tetap saja hatiku berdegup kencang seolah aku adalah gadis remaja yang baru jatuh cinta."Sudah siap, Chi? Yuk, kita mulai shalat," ajaknya seraya bangkit.A
Beberapa menit berlalu. Omelette di dalam wajan tampak sudah matang. Baru saja tanganku terulur pada tungku kompor, Bang Fahad sudah lebih dulu memutar kenop kompornya hingga api pun padam seketika. Satu tangannya bergerak cepat memindahkan omelette ke atas piring saji. Setelahnya, dia seperti terburu-buru memutar tubuhku hingga berbalik. Kedua tangannya yang besar mengangkat pinggangku, hingga aku terduduk di meja kitchen set. Kedua tangannya kembali menahan di belakang pinggangku dengan sangat posesif.Kami saling tatap, sampai tangan kanannya tiba-tiba menyentuh pahaku yang terekspos karena tidak tertutup sepenuhnya oleh rok yang kupakai. Jari jemarinya yang besar menari-nari di sana, sampai tiba-tiba tangannya masuk begitu saja."Abang! Sarapannya udah siap, Abang mau ngapain?!" sergahku merasa geli sekaligus panas dingin karena sentuhan tangannya."Menurut kamu, saya mau apa?" tanyanya dengan tatapan genit. Tangannya tak mau diam, membuatku menahan napas karena rasa aneh yang men
"Abang gak siap-siap ke kantor?" tanyaku yang sedang membersihkan perabotan bekas sarapan di bak wastafel. Sedangkan Bang Fahad masih duduk di meja makan, dan aku baru menyadari kalau dia masih memakai pakaian rumah."Saya di rumah aja. Gak mau jauh dari kamu," jawabnya membuatku tak kuasa menahan tawa. Hingga tawaku menyembur berbarengan dengan pekerjaan yang sudah selesai. Aku mengeringkan kedua tangan lalu kembali mendekatinya di meja makan.Baru saja aku berdiri di samping kursi yang ia tempati, tanganku ditarik cukup kencang, sampai badanku oleng dan terjatuh tepat di pangkuannya."Kenapa kamu kok ketawa kayak gitu? Kamu ngeledek?" tudingnya dengan bibir mengerucut yang sangat menggemaskan."Abang ini bukannya pemimpin di kantor? Bisa-bisanya gak ke kantor cuma karena gak mau jauh dari aku," tukasku diikuti gelengan kepala.Bang Fahad mendaratkan dagunya di bahuku, menatapku dari samping dengan tatapan yang p
Sepeninggal Bang Fahad yang berangkat ke kantor hingga hari beranjak semakin siang, suasana rumah terasa sedikit sepi. Aku duduk di sofa ruang televisi, menatap gelas berisi jus strawberry buatanku sendiri. Ada rasa rindu yang aneh meskipun baru saja tadi pagi kami bersama.Tangan kiriku memegang ponsel, jemariku bergerak mencari kontak Bang Fahad. Setelah ragu sejenak, akhirnya aku mengirim pesan singkat.[Bang, udah istirahat makan siang?]Pesanku terkirim. Tak butuh waktu lama, ponselku bergetar. Sebuah balasan masuk.[Udah, Sayang. Kenapa? Kangen ya?]Aku tertawa kecil membaca pesannya. Seperti tahu isi pikiranku saja. Cepat-cepat aku mengetik balasan.[Enggak kok, cuma nanya aja]Tak sampai semenit, balasan darinya muncul lagi.[Masa? Tapi hati saya bilang kalau istri saya ini lagi mikirin saya. Bener gak?]Wajahku memanas. Sepertinya Bang Fahad ini bena
Bang Fahad tersenyum lebar, lalu mencondongkan tubuhnya mendekat. "Chiara Sayang, kalau kamu bilang enggak cemburu, kenapa wajah kamu merah begitu? Apa jus strawberry yang kamu ini kepanasan di perjalanan sampai kamu yang membawanya juga ikut panas?" tanyanya dengan nada menggoda.Aku memalingkan wajah. Menolak untuk menatapnya. "Enggak merah kok biasa aja. Abang aja suka berlebihan!" jawabku membantah, meski aku sadar suaraku terdengar melemah.Ia tertawa kecil. Tangannya yang kokoh meraih daguku, membawa wajahku terangkat hingga kembali menghadap ke arahnya. "Kalau enggak merah, terus kenapa ini pipi kamu panas sekali?" tanyanya sambil mengusap lembut pipiku dengan ibu jarinya. Sentuhannya membuatku sempat terpaku. Hingga aku berusaha mundur untuk menghindar darinya."Ini jus buat saya?" tanyanya yang hanya kubalas dengan anggukan kepala.Aku menatapnya dengan sinis, tapi dia terlihat santai saat membuka tutup botol kacanya dan mulai menyeruput
Bang Fahad melajukan mobil dengan kecepatan konstan, namun karena jalanan siang hari yang lengang mobil pun kembali tiba di rumah dengan sangat cepat. Kini, bahkan sudah berhenti di teras garasi.Dia susah keluar lebih dulu dari mobil ini. Sedangkan kau masih duduk dengan punggung bersandar di kursi. Sampai pintu mobil di sampingku dibuka dari luar."Ayo, Sayang." Suara Bang Fahad terdengar begitu lembut.Namun aku tidak juga keluar. Mengigit bibir sebab merasa gugup."Chi? Ayo, turun. Kita udah sampai rumah."Aku menoleh dan menatap Bang Fahad. "Mau turun sendiri atau saya gendong?"Aku menggeleng pelan. Kemudian mulai menggerakkan kaki hingga turun dari dalam mobil.Bang Fahad menutup pintu kembali dengan cukup kencang. Tangannya menggenggam tanganku seolah takut aku akan melarikan diri. Dengan tangan berada dalam genggamannya, dia berjalan lebih dulu, selama menuntunku di belakangnya tapi lebih tepatnya menyeret langkahku."Bang?" seruku berusaha menghentikan langkahnya yang begit
Tubuhku ambruk bersama deru napas yang terengah. Kepalaku bertumpu lemas di dada kokoh Bang Fahad yang penuh oleh keringat. Rasanya gila. Bercinta di siang hari bolong di atas sofa ruangan televisi. Pencahayaan begitu terang. Jendela besar di belakang layar televisi yang langsung menghadap pada halaman samping, seolah menjadi saksi penyatuan kami.Aku tak berdaya dalam dekapan tangan kekar Bang Fahad. Dia mencium ubun-ubunku entah berapa banyak. Tangannya silih berganti mengusap rambutku yang sudah tergerai dan pasti berantakan."Thank you, Sayang," ucapnya berbisik lembut. Aku tak menyahut, hanya terus memperbaiki napasku yang rasanya berantakan karena aktivitas ini.TING TONG"Astaga!" Aku menarik diri dengan cepat saat bel rumah berbunyi dengan nyaring."Tenang aja, Chi. Kamu kok kaget gitu sih, santai aja," ucap Bang Fahad yang juga turut bangkit.Buru-buru aku turun dari sofa. "Santai gimana? Ke
Malam hari hujan turun cukup deras. Aku duduk di sofa ruang santai tepat di balik jendela dengan gorden yang dibiarkan terbuka. Menatap tiap tetesan air hujan yang berjatuhan dan mengenai kaca jendela dari luar.Cuaca malam ini begitu syahdu, menggali lubang rindu dalam hatiku akan sosok Bang Fahad yang kini membentangkan jaraknya. Aku sangat berharap dia akan datang ke rumah ini lagi lalu mengajakku untuk pulang. Kembali merenda mahligai rumah tangga kami yang membuat hidupku menjadi lebih indah.Namun, tiga hari aku di sini pun, dia tidak menampakkan batang hidungnya sama sekali. Dia pun sepertinya tidak peduli dengan keadaanku yang tengah sakit kemarin-kemarin.Jujur saja, aku begitu merindukannya. Bau keringatnya sepulang bekerja, wangi tubuhnya saat bangun tidur, dekapan hangatnya, wangi napasnya, semua tentangnya yang kini menjadi candu buatku namun tak bisa kurasakan. Hanya meninggalkan sesak yang menggerogoti hati."Chi
Entah berapa lama aku tertidur, demam di tubuhku sudah mulai turun. Badanku terasa lebih ringan saat membuka mata. Namun, hawa di sekitarku terasa jauh lebih dingin. Pun dengan keadaan yang begitu hening dan senyap. Hanya deru napasku yang terdengar memenuhi kamar saat ini.Aku membawa tubuh terlentang. Mengecek ponsel dan ternyata baru jam dua malam. Aku kembali berbaring miring dan memeluk guling. Menatap dinding kamar dengan perasaan tak menentu.Kamar ini pernah menjadi tempat di mana aku sangat ingin kembali sebelumnya, karena awal-awal pernikahan yang sulit diterima. Sekarang, setelah aku mantap melabuhkan hati dan segenap perasaanku terhadapnya, ia malah meragukanku tanpa mau percaya sedikit pun. Dia malah membiarkanku di sini tanpa ingin membicarakan masalah ini berdua. Membiarkanku berkubang dalam kesedihan atas kejadian yang aku sendiri tidak merasa melakukannya.***Tiga hari sudah aku di rumah Mama. Kedua orang tuaku ser
Aku membuka mata. Rasanya tubuhku makin tidak karuan saja. Aku mengedarkan pandangan, dan ternyata aku berada dalam kamarku di lantai atas. Mungkin Papa yang sudah membawaku, karena usai Bang Fahad pergi, tubuhku limbung tak terkendali.Aku meraba dahi, mendapati kompres instan yang menempel. Menyentuh leher dan tubuhku memang lebih hangat dari biasanya."Mba sudah sadar?" tanya pembantu rumah yang duduk di sampingku terbaring.Aku mengangguk lemah sebagai jawaban. "Sekarang jam berapa?""Jam delapan malam, Mba.""Mama sama Papa mana?""Bapak sama Ibu pergi dulu katanya.""Ke mana?""Tidak bilang, Mba. Bapak sama Ibu berpesan, kalau Mba sudah sadar, Mba harus makan. Tadi sudah diperiksa dokter yang datang, Mba Chia demam, makanya dipasang kompres instan."Aku pun hanya mengangguk. Kondisi tubuhku rasanya naik turun dan tidak juga membaik. Aku lantas meminta pembantu rumah untuk membuatku bangkit sampai akhirnya duduk bersandar. Ketika duduk, pusing di kepalaku kembali terasa. Rasanya
Tidak tinggal diam, aku berjalan cepat keluar dari ruangan depan rumah Mama. Menyusul Bang Fahad yang melangkah begitu lebar dan sudah sampai di halaman. Aku berlari menuruni teras seraya meneriakkan namanya. Langkahnya tampak melambat, sedangkan aku mempercepat langkah kaki.Sampai aku berhasil memeluknya dari belakang. Kepalaku rebah di punggung lebarnya. "Bang, jangan seperti ini. Kenapa Abang gak percaya sama aku?" tanyaku dengan suara lirih. Jujur saja, sebenarnya aku tidak begitu bertenaga. Tubuhku rasanya lelah sekali, tapi aku tidak mungkin membiarkan Bang Fahad pergi begitu saja.Laki-laki yang tengah kupeluk ini hanya bergeming tanpa reaksi. Tidak ada pula yang keluar dari mulutnya.Air mataku sudah tidak bisa dibendung. Hingga kubiarkan jebol dan membasahi pipi. "Aku hanya mencintai Abang. Sedikitpun aku gak pernah terpikirkan untuk kembali pada Raka apalagi sampai berselingkuh dengan dia. Tolong, percaya padaku, Bang," ucapku coba menjelaskan kembali. Kuharap, dia mau mend
"A—apa maksudnya?" Napasku rasanya tercekat di tenggorokan. Suaraku melemah. Tidak mengerti dan mencoba mencerna apa yang disampaikan penjaga rumah.Mungkinkah Bang Fahad mengusirku? Atau ... dia ingin menyudahi mahligai rumah tangga kami?"Saya tidak tahu, Mba. Tuan hanya berpesan sebelum pergi, untuk menyampaikan pada Mba Chiara, kalau Mba tidak diizinkan masuk ke dalam rumah. Dan menyampaikan kalau Tuan ada di rumah orang tuanya Mba," jawab si penjaga rumah menambah keresahan dalam hatiku.Aku mengusap wajah dengan kedua tangan. Kakiku sebenarnya lemas sekali, tapi dipaksa kuat karena keadaan yang membingungkan dan harus kuhadapi.Kutarik napas panjang, melirik pada koper-koper milikku yang sudah berada di luar pagar. "Pak, titip dulu kopernya. Aku ke rumah orang tuaku dulu pakai ojeg online," pintaku pada si penjaga rumah."Baik, Mba."Aku menjauh dari depan pagar. Memesan ojeg online dengan cepat melalui ponsel. Menunggunya dengan perasaan tak menentu. Hingga berselang sepuluh me
Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi, tapi yang kurasakan tubuhku rasanya begitu lemas. Kesadaranku mulai pulih. Aku membuka mata yang rasanya teramat berat. Langit-langit kamar yang putih membuatku merasa ingin kembali memejam, karena artinya aku sudah di rumah.Meski mataku terpejam, aku bisa merasakan kalau sekarang tubuhku sudah terbaring di atas kasur empuk dengan selimut yang menutupi. Hingga turut kurasakan, tangan yang membelai rambutku lalu kecupan yang mendarat di kening. Namun karena keadaan, aku enggan membuka mata.Aku memilih mengubah posisi, membawa tubuhku berbaring miring lalu memeluk pinggang Bang Fahad. Merasakan kehangatan yang menjalari tubuh, meski hawa tubuhku sendiri rasanya panas. Aku membawa wajah ini tenggelam di dadanya. Menelusup mencari tempat paling nyaman yang selalu kudapatkan darinya.Tangannya kembali mengusap kepalaku, membelai rambutku, sentuhannya begitu lembut dan membuatku merasakan nyaman berkali lip
Dua Minggu berlalu, Bang Fahad benar-benar menepati ucapannya. Dia selalu menungguku hingga selesai kelas dan baru pergi ke kantornya setelah mengantarku dengan aman sampai ke rumah. Aku seperti anak TK yang harus ditunggui tiap jam belajar. Tapi dengan seperti itu, aku benar-benar terbebas dari gangguan Rakana. Sejak Bang Fahad dengan setia menungguiku, Rakana memang tidak pernah lagi menemuiku. Membuat hidup ini terasa lebih tentram kembali.Pagi ini seperti biasanya aku tengah menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Dua cangkir teh hangat beserta sandwich roti panggang sudah tersaji. Aku menunggu di meja makan, menatap cangkir teh di depanku yang masih mengepulkan asapnya.Tanganku mengarah ke belakang, menyentuh leher lalu mengusap pundak dan memijatnya pelan. Rasanya tubuhku meriang dan sedikit lemas, entah kenapa tapi kemarin aku masih baik-baik saja."Kenapa, Chi?" Bang Fahad datang dan langsung bertanya.Aku menggerakkan kepala ke kanan serta kiri. "Tiba-tiba aku meriang, Bang,"
Aku menatapnya heran. Penampilannya siang ini mirip eksekutif muda. Aku heran karena penampilannya kali ini benar-benar jauh berbeda dari sebelumnya, saat bertemu terakhir dengannya di toko florist hari itu.Trek!!!Aku tersentak saat Rakana menjentikkan jarinya di depan wajahku."Chi? Gak usah terkesima gitu lah lihatin aku," ucapnya dengan senyuman yang terukir. "Ayo, aku antar kamu pulang."Aku menggeleng cepat. "Gak usah ge-er kamu! Dan gak perlu repot-repot, aku gak mau dianter kamu!" tegasku lalu bergeser, ingin segera berlalu darinya.Namun tiba-tiba pergelangan tanganku dicekal, hingga langkahku terhenti. Aku coba menariknya agar terlepas, tapi Rakana menahannya kuat."Lepas, Raka!" Bukannya melepaskan, Raka menarik tubuhku hingga berhadapan lagi dengannya. "Jutek banget sih, Chi? Aku udah gak jadi OB lagi. Mobil aku punya, kerjaanku juga sekarang jauh lebih bagus, kamu lihat p
Bang Fahad sudah merebahkan tubuhku mengisi kursi belakang mobil saat ini. Dia masih menciumku dengan seduktif. Kedua tanganku menahan dadanya. Pikiran serta respon tubuhku mulai bertolak belakang. Pikiran ini menolak tapi respon tubuhku justru berkhianat."Bang ...," bisikku saat ia melepaskan bibirnya. Namun itu tidak lama, karena dia menciumku kembali. Kali ini bahkan lebih dalam. Tubuhku panas dingin dibuatnya."Bang, jangan di sini," ucapku saat ciumannya sudah berpindah ke leher."Terus di mana, Sayang?" balasnya dengan suara parau, namun ia tidak menghentikan aktivitasnya itu."Di rumah," jawabku dengan napas tersengal."Saya maunya di sini," timpal Bang Fahad yang sudah merambat turun ke dadaku."Tapi ... ini di jalan, Bang. Malu nanti kepergok orang," sahutku coba menyadarkannya. Walau aku sendiripun sudah terpancing dengan sentuhan liarnya itu."Gak masalah, kita bukan pasangan mesum, kita suami istri kok," jawabnya tak mau kalah."Tapi, Bang——" Ucapanku tertahan, saat Bang