Bang Fahad melepaskan tangannya perlahan, seolah memberiku ruang untuk bernapas. Sorot matanya tetap tertuju padaku, namun kali ini lebih lembut, seperti sedang menunggu aku bicara. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan kekacauan dalam pikiranku. Hubungan ini terasa rumit, bahkan untuk sekadar dipahami. Antara masa lalu yang menahan dan masa kini yang mencoba menyentuhku dengan harapan baru, aku merasa terjebak di tengahnya. “Apa Abang pernah merasa takut? Takut kalau kita ini cuma ... salah jalan? Atau mungkin sebenarnya... kita nggak pernah ditakdirkan untuk bersama?” Ia tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. “Pernah. Banyak malah.” Jawabannya yang jujur membuatku tertegun. Aku menunggu ia melanjutkan, dan ia melakukannya. “Tapi, Chi, ada satu hal yang saya pelajari dari kehidupan. Kadang, jalan yang kita pikir salah itu justru membawa kita ke tempat yang tepat. Kita nggak akan pernah tahu kalau kita nggak mencoba. Sesuatu yang kita anggap buruk dan tidak kita sukai, b
Aku membelalakkan mata, jantungku berdegup kencang mendengar kalimat terakhirnya. Wajahku memanas, tapi aku tahu ini bukan saatnya bersikap pasif. Entah keberanian dari mana, aku memutuskan untuk membalasnya."Memakan aku, Bang? Hmmm, seperti kue klepon, begitu?" Aku menyipitkan mata, mencoba terdengar santai, meski dalam hati, aku gugup setengah mati.Bang Fahad mengerutkan kening, lalu tertawa kecil. “Kue klepon? Kamu ini ada-ada aja, tapi itu juga salah satu makanan kesukaan saya, lho."“Abang tahu kan, kalau klepon itu manis di luar dan lengket di dalamnya? Mungkin ... aku juga begitu,” ucapku sembari menatapnya tanpa berkedip. Aku sengaja menggeser sedikit tubuhku, mendekatkan wajahku ke wajahnya.Bang Fahad tampak terkejut. Pipinya yang biasanya tegas itu mulai memerah. Ia berdeham pelan, mencoba mengalihkan pandangannya, tapi aku menahan dagunya dengan jemariku.“Jangan pura-pura sibuk lihat gorden, Bang. A
Gemericik hujan terdengar lembut dari balik jendela. Udara dingin yang menyeruak masuk melalui celah tirai membuatku menggeliat pelan, mencoba mencari kehangatan lebih di balik selimut.Namun, kehangatan itu bukan hanya berasal dari selimut, melainkan dari tubuh seseorang yang masih memelukku erat.Mataku terbuka perlahan, pandanganku langsung jatuh pada wajah Bang Fahad yang masih terlelap. Ada sesuatu yang damai dan menenangkan menelusup dalam hati Garis rahangnya tegas, alisnya yang sedikit berkerut meskipun sedang tidur, dan napasnya yang pelan membuat dadaku terasa hangat. Rasanya aneh mengakui, tapi aku suka melihatnya seperti ini, tanpa kepalsuan, tanpa jarak.Aku memiringkan tubuhku sedikit, menatapnya lebih dekat. Tanganku bergerak pelan, membenarkan rambut di dahinya yang sedikit berantakan. Tapi tiba-tiba matanya mengerjap terbuka, membuatku refleks menarik tangan.“Kamu ngapain, Chi?” tanyanya dengan suara
Aku mendengkus pelan. “Lihat nanti.”“Berarti saya peluk kamu aja terus,” katanya santai sambil memejamkan mata lagi.Aku menyerah, membiarkan kehangatan pelukannya mengalir dalam tubuhku. Di luar, hujan masih turun, tapi di sini, bersama Bang Fahad, semuanya terasa lebih hangat, lebih aman dan entah bagaimana rasanya lebih bahagia. Aku sendiri tidak paham. Namun beberapa saat kemudian, aku berhasil lolos dari pelukan Bang Fahad saat dirinya lengah.Ia mengerang manja dan menyuruhku kembali ke tempat tidur. Aku hanya tertawa kecil sambil menarik selimut ke atas tubuhnya. "Tidur lagi aja, Bang. Aku mau bikin teh hangat," kataku meski tidak yakin aku bisa melakukannya.Dia hanya mengangguk malas, matanya terpejam lagi, tapi aku bisa mendengar gumaman kecil darinya. "Jangan lama-lama, Chi."Aku melangkah ke dapur kecil, menyalakan kompor untuk memanaskan air. Suara hujan di luar terdengar lebih jelas d
Hujan turun begitu deras sejak pagi hingga sekarang hampir siang hari, menciptakan irama tenang yang berpadu dengan suara dedaunan basah di sekitar kabin. Aku membuka pintu, duduk pada ambalannya, memandangi kabut tipis yang menyelimuti pepohonan.“Chi, kamu ngapain di situ? Nanti kedinginan.” Suara Bang Fahad terdengar dari arah dapur kecil.Aku menoleh, menemukan dia sedang membawa dua cangkir cokelat panas. Asap tipis mengepul dari cangkir itu, aromanya segera menghangatkan udara.“Lagi liatin hujan, Bang,” jawabku. “Kayaknya bakalan hujan seharian." Dia mengangguk sambil menyerahkan salah satu cangkir kepadaku. “Iya, makanya kita santai aja di sini. Nggak usah mikirin apa-apa. Nikmatin aja waktunya.”“Abang nggak bosan?” tanyaku padanya yang masih berdiri di belakang.Dia tertawa kecil, lalu duduk di sampingku. Tak ayal tubuh kami jadi bersentuhan karena sempit. “Bosan gimana, Chi? Selama ada k
Malam menyapa. Rintik hujan masih terus terdengar hampir tanpa jeda. Seharian aku bersama Bang Fahad di dalam kabin ini. Keperluan makan, diurus Bang Fahad sehingga entah sudah berapa banyak aku makan.Karena aku tidak membawa pakaian ganti, malam ini aku memakai kaos gombrong dan celana boxer selutut milik Bang Fahad yang disimpan sebagai pakaian cadangan di dalam mobilnya.Cahaya lampu di kabin redup, memberikan kehangatan tersendiri di tengah suara gemuruh petir yang sesekali terdengar di kejauhan. Aku duduk bersandar di sofa kecil, selimut tebal melingkupiku. Bang Fahad duduk tak jauh dariku, sibuk memeriksa ponsel dengan alis sedikit mengernyit“Abang lagi ngapain?” tanyaku, memecah keheningan.Dia menoleh seraya tersenyum tipis. “Cek cuaca. Kayaknya besok cuacanya udah normal. Kita bisa check out, Chi. Saya juga harus ke kantor."Aku pun hanya mengangguk mendengar penjelasannya.“Kamu laper gak
Dua hari menginap, akhirnya pagi hari ini aku dan Bang Fahad pulang. Berjalan masuk ke rumah dengan langkah pelan, udara dingin dari AC menyambut, mengusir sisa hawa lembap dari perjalanan panjang yang dilalui.Aku melepas flatshoes di depan pintu dan menghela napas lega. Bang Fahad berada tepat di sebelahku, sambil wajahnya tenang meski sorot matanya terasa lebih lembut dari biasanya. “Capek?” tanyanya pelan.Aku menggeleng. “Nggak. Tapi senang akhirnya sampai di rumah.”Kata "rumah" itu meluncur begitu saja, tapi begitu aku menyadarinya, rasanya aneh di mulut. Ini rumah Bang Fahad, bukan rumahku. Tapi dia malah tersenyum kecil, seolah kata-kata itu berarti sesuatu baginya.Aku menoleh padanya dengan perasaan canggung yang mendera, tapi Bang Fahad justru mengurai senyum lebar di bibirnya.Tangannya terulur, menyentuh lembut helaian rambutku yang lepas dari ikatannya. “Kamu mulai anggap tempat ini
Mama Tari terdiam cukup lama, ekspresi wajahnya masih menunjukkan penolakan. Aku bisa melihat ada amarah yang belum sepenuhnya reda, tapi di balik itu, ada konflik batin yang nyata.“Had, kamu gak pernah berubah dari dulu, selalu jadi anak yang bisa mama dan papa andalkan,” ujar Mama Tari dengan nada yang lebih lembut tapi tetap keras kepala. “Mama gak bisa memaksa diri untuk menerima mereka. Mama gak sanggup, apalagi setelah semua yang Raka lakukan. Gak hanya mencoreng nama baik keluarga, tapi juga membuktikan mama dan Papa sudah gagal mendidik dia.”Bang Fahad menggeleng pelan. “Aku gak minta Mama menerima mereka sekarang, Ma. Aku cuma berharap Mama bisa memberikan waktu. Lagipula, aku juga gak tahu sampai kapan Raka bertahan di kantor. Kalau dia bikin masalah lagi, aku sendiri yang akan menanganinya," tegasnya. "Dan ... Mama sama Papa gak pernah gagal mendidik kami, kalian adalah orang tua terhebat untukku dan Raka. Mama jangan pernah berkata
Aku membuka mata. Rasanya tubuhku makin tidak karuan saja. Aku mengedarkan pandangan, dan ternyata aku berada dalam kamarku di lantai atas. Mungkin Papa yang sudah membawaku, karena usai Bang Fahad pergi, tubuhku limbung tak terkendali.Aku meraba dahi, mendapati kompres instan yang menempel. Menyentuh leher dan tubuhku memang lebih hangat dari biasanya."Mba sudah sadar?" tanya pembantu rumah yang duduk di sampingku terbaring.Aku mengangguk lemah sebagai jawaban. "Sekarang jam berapa?""Jam delapan malam, Mba.""Mama sama Papa mana?""Bapak sama Ibu pergi dulu katanya.""Ke mana?""Tidak bilang, Mba. Bapak sama Ibu berpesan, kalau Mba sudah sadar, Mba harus makan. Tadi sudah diperiksa dokter yang datang, Mba Chia demam, makanya dipasang kompres instan."Aku pun hanya mengangguk. Kondisi tubuhku rasanya naik turun dan tidak juga membaik. Aku lantas meminta pembantu rumah untuk membuatku bangkit sampai akhirnya duduk bersandar. Ketika duduk, pusing di kepalaku kembali terasa. Rasanya
Tidak tinggal diam, aku berjalan cepat keluar dari ruangan depan rumah Mama. Menyusul Bang Fahad yang melangkah begitu lebar dan sudah sampai di halaman. Aku berlari menuruni teras seraya meneriakkan namanya. Langkahnya tampak melambat, sedangkan aku mempercepat langkah kaki.Sampai aku berhasil memeluknya dari belakang. Kepalaku rebah di punggung lebarnya. "Bang, jangan seperti ini. Kenapa Abang gak percaya sama aku?" tanyaku dengan suara lirih. Jujur saja, sebenarnya aku tidak begitu bertenaga. Tubuhku rasanya lelah sekali, tapi aku tidak mungkin membiarkan Bang Fahad pergi begitu saja.Laki-laki yang tengah kupeluk ini hanya bergeming tanpa reaksi. Tidak ada pula yang keluar dari mulutnya.Air mataku sudah tidak bisa dibendung. Hingga kubiarkan jebol dan membasahi pipi. "Aku hanya mencintai Abang. Sedikitpun aku gak pernah terpikirkan untuk kembali pada Raka apalagi sampai berselingkuh dengan dia. Tolong, percaya padaku, Bang," ucapku coba menjelaskan kembali. Kuharap, dia mau mend
"A—apa maksudnya?" Napasku rasanya tercekat di tenggorokan. Suaraku melemah. Tidak mengerti dan mencoba mencerna apa yang disampaikan penjaga rumah.Mungkinkah Bang Fahad mengusirku? Atau ... dia ingin menyudahi mahligai rumah tangga kami?"Saya tidak tahu, Mba. Tuan hanya berpesan sebelum pergi, untuk menyampaikan pada Mba Chiara, kalau Mba tidak diizinkan masuk ke dalam rumah. Dan menyampaikan kalau Tuan ada di rumah orang tuanya Mba," jawab si penjaga rumah menambah keresahan dalam hatiku.Aku mengusap wajah dengan kedua tangan. Kakiku sebenarnya lemas sekali, tapi dipaksa kuat karena keadaan yang membingungkan dan harus kuhadapi.Kutarik napas panjang, melirik pada koper-koper milikku yang sudah berada di luar pagar. "Pak, titip dulu kopernya. Aku ke rumah orang tuaku dulu pakai ojeg online," pintaku pada si penjaga rumah."Baik, Mba."Aku menjauh dari depan pagar. Memesan ojeg online dengan cepat melalui ponsel. Menunggunya dengan perasaan tak menentu. Hingga berselang sepuluh me
Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi, tapi yang kurasakan tubuhku rasanya begitu lemas. Kesadaranku mulai pulih. Aku membuka mata yang rasanya teramat berat. Langit-langit kamar yang putih membuatku merasa ingin kembali memejam, karena artinya aku sudah di rumah.Meski mataku terpejam, aku bisa merasakan kalau sekarang tubuhku sudah terbaring di atas kasur empuk dengan selimut yang menutupi. Hingga turut kurasakan, tangan yang membelai rambutku lalu kecupan yang mendarat di kening. Namun karena keadaan, aku enggan membuka mata.Aku memilih mengubah posisi, membawa tubuhku berbaring miring lalu memeluk pinggang Bang Fahad. Merasakan kehangatan yang menjalari tubuh, meski hawa tubuhku sendiri rasanya panas. Aku membawa wajah ini tenggelam di dadanya. Menelusup mencari tempat paling nyaman yang selalu kudapatkan darinya.Tangannya kembali mengusap kepalaku, membelai rambutku, sentuhannya begitu lembut dan membuatku merasakan nyaman berkali lip
Dua Minggu berlalu, Bang Fahad benar-benar menepati ucapannya. Dia selalu menungguku hingga selesai kelas dan baru pergi ke kantornya setelah mengantarku dengan aman sampai ke rumah. Aku seperti anak TK yang harus ditunggui tiap jam belajar. Tapi dengan seperti itu, aku benar-benar terbebas dari gangguan Rakana. Sejak Bang Fahad dengan setia menungguiku, Rakana memang tidak pernah lagi menemuiku. Membuat hidup ini terasa lebih tentram kembali.Pagi ini seperti biasanya aku tengah menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Dua cangkir teh hangat beserta sandwich roti panggang sudah tersaji. Aku menunggu di meja makan, menatap cangkir teh di depanku yang masih mengepulkan asapnya.Tanganku mengarah ke belakang, menyentuh leher lalu mengusap pundak dan memijatnya pelan. Rasanya tubuhku meriang dan sedikit lemas, entah kenapa tapi kemarin aku masih baik-baik saja."Kenapa, Chi?" Bang Fahad datang dan langsung bertanya.Aku menggerakkan kepala ke kanan serta kiri. "Tiba-tiba aku meriang, Bang,"
Aku menatapnya heran. Penampilannya siang ini mirip eksekutif muda. Aku heran karena penampilannya kali ini benar-benar jauh berbeda dari sebelumnya, saat bertemu terakhir dengannya di toko florist hari itu.Trek!!!Aku tersentak saat Rakana menjentikkan jarinya di depan wajahku."Chi? Gak usah terkesima gitu lah lihatin aku," ucapnya dengan senyuman yang terukir. "Ayo, aku antar kamu pulang."Aku menggeleng cepat. "Gak usah ge-er kamu! Dan gak perlu repot-repot, aku gak mau dianter kamu!" tegasku lalu bergeser, ingin segera berlalu darinya.Namun tiba-tiba pergelangan tanganku dicekal, hingga langkahku terhenti. Aku coba menariknya agar terlepas, tapi Rakana menahannya kuat."Lepas, Raka!" Bukannya melepaskan, Raka menarik tubuhku hingga berhadapan lagi dengannya. "Jutek banget sih, Chi? Aku udah gak jadi OB lagi. Mobil aku punya, kerjaanku juga sekarang jauh lebih bagus, kamu lihat p
Bang Fahad sudah merebahkan tubuhku mengisi kursi belakang mobil saat ini. Dia masih menciumku dengan seduktif. Kedua tanganku menahan dadanya. Pikiran serta respon tubuhku mulai bertolak belakang. Pikiran ini menolak tapi respon tubuhku justru berkhianat."Bang ...," bisikku saat ia melepaskan bibirnya. Namun itu tidak lama, karena dia menciumku kembali. Kali ini bahkan lebih dalam. Tubuhku panas dingin dibuatnya."Bang, jangan di sini," ucapku saat ciumannya sudah berpindah ke leher."Terus di mana, Sayang?" balasnya dengan suara parau, namun ia tidak menghentikan aktivitasnya itu."Di rumah," jawabku dengan napas tersengal."Saya maunya di sini," timpal Bang Fahad yang sudah merambat turun ke dadaku."Tapi ... ini di jalan, Bang. Malu nanti kepergok orang," sahutku coba menyadarkannya. Walau aku sendiripun sudah terpancing dengan sentuhan liarnya itu."Gak masalah, kita bukan pasangan mesum, kita suami istri kok," jawabnya tak mau kalah."Tapi, Bang——" Ucapanku tertahan, saat Bang
Pukul setengah sebelas malam, aku dan Bang Fahad baru pulang dari rumah Mama dan sedang di dalam mobil. Satu jam sebelumnya kami baru pulang dari mall, itupun dengan Mama yang tidak hentinya menelpon Mba Lin agar segera pulang karena dia sudah rindu pada dua cucunya.Di perjalanan pulang, sekilas aku melihat pada Bang Fahad yang sedang menyetir. Wajahnya terlihat berseri dengan senyum kecil yang tersungging."Abang kenapa? Kok senyum-senyum gitu?" tanyaku penasaran.Bang Fahad menggeleng pelan. "Gak papa, saya inget tadi jalan-jalan sama keponakan kamu. Keira walaupun baru enam tahun, tapi dia udah pintar dan tanggap. Kalau Keshara, moody-an banget anaknya," jawabnya terdengar bahagia dan antusias. "Rasanya seneng aja gitu jalan-jalan sama mereka."Aku memiringkan duduk hingga menghadap padanya dengan kepala masih dibiarkan bersandar. Jujur saja aku lelah sudah berkeliling mall bersama Mba Lin tadi. "Emm ... Abang pengen punya anak juga?"
Hampir satu jam berkutat di dapur, makanan akhirnya tersaji memenuhi meja makan. Mba Lin lepas tangan, dia hanya membuat puding buah sebagai dessert dan membiarkanku memasak beberapa menu sendirian.Mba Lin dan anak-anaknya sudah mengisi meja, begitu pula denganku dan Bang Fahad yang duduk bersisian. Aku pun mulai mengisi piring makan Bang Fahad lalu menyajikannya. Berlanjut mengisi piring makanku sendiri. Sedangkan Mba Lin sudah selesai menyiapkan untuk Keira makan sendiri, sementara Keshara makan di piring yang sama dengannya.Kami semua lantas makan bersama. Keira tampak begitu lahap, sedangkan Keshara sedikit diwarnai drama gerakan tutup mulut. Seperti kebiasaan Bang Fahad, selama makan hanya denting sendok dan garpu yang terdengar. Tidak ada obrolan selama kami makan, bahkan sampai menikmati puding buah sebagai penutupnya."Keira, gimana masakan Tante Chi, kamu kasih nilai berapa?" Bang Fahad bertanya pada Keira setelah kami semua benar-benar sel