Mobil sudah melaju meninggalkan komplek masjid. Meluncur di jalan raya menembus siang hari yang lumayan terik. Tidak ada pembicaraan selama perjalanan menuju pulang. Aku diam dan tenggelam dalam pikiranku sendiri. Sedangkan Bang Fahad tampak fokus menyetir.Hingga aku tersadar bahwa arah jalan yang saat ini dilalui, bukanlah arah jalan pulang menuju rumah Bang Fahad. Rumah Mama Papa juga bukan.“Ini mau ke mana, Bang?” tanyaku sambil celingukan ke kanan dan kiri.“Nanti kamu juga tahu,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan yang lurus ke depan. "Ada tempat yang ingin saya tunjukkan. Semoga kamu suka.”Aku tidak bertanya lebih lanjut, hanya mengikuti perjalanan dengan rasa penasaran. Semakin lama, mobil kini melalui jalanan di kawasan perkebunan teh, hawa dingin mulai terasa, dan terhampar perkebunan teh yang begitu luas, hijau, serta menenangkan.Udara segar segera menyambut ketika jendela mobil
Bang Fahad perlahan melepaskan ciumannya, membiarkan dahiku tetap bersandar di bahunya. Aku masih memejamkan mata, mencoba mengendalikan detak jantung yang berdentam tak karuan. Seperti ada percikan hangat yang menjalar ke seluruh tubuhku, membangkitkan perasaan yang selama ini coba kutepis. “Chi,” panggilnya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. “Saya tahu, hubungan kita mungkin masih sangat sulit kita terima, tapi … saya ingin mencoba untuk saling memahami, sedikit demi sedikit.” Aku membuka mata dan mendongak, menatapnya. Sorot matanya begitu tulus, lembut, dan penuh harapan. Ada kehangatan yang mengalir di antara kami, membuatku tak mampu berkata-kata. Aku hanya diam, membiarkan perasaan ini perlahan mengalir, meski jauh di sudut hati, bayangan Rakana masih menyelinap. Bang Fahad menarik selimut lebih rapat, memastikan aku tidak kedinginan. Angin malam yang dingin seperti hilang ditelan kehangatan yang ia berikan. “Chi,” ia memulai lagi, suaranya bergetar pelan. “Di awal
Bang Fahad melepaskan tangannya perlahan, seolah memberiku ruang untuk bernapas. Sorot matanya tetap tertuju padaku, namun kali ini lebih lembut, seperti sedang menunggu aku bicara. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan kekacauan dalam pikiranku. Hubungan ini terasa rumit, bahkan untuk sekadar dipahami. Antara masa lalu yang menahan dan masa kini yang mencoba menyentuhku dengan harapan baru, aku merasa terjebak di tengahnya. “Apa Abang pernah merasa takut? Takut kalau kita ini cuma ... salah jalan? Atau mungkin sebenarnya... kita nggak pernah ditakdirkan untuk bersama?” Ia tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. “Pernah. Banyak malah.” Jawabannya yang jujur membuatku tertegun. Aku menunggu ia melanjutkan, dan ia melakukannya. “Tapi, Chi, ada satu hal yang saya pelajari dari kehidupan. Kadang, jalan yang kita pikir salah itu justru membawa kita ke tempat yang tepat. Kita nggak akan pernah tahu kalau kita nggak mencoba. Sesuatu yang kita anggap buruk dan tidak kita sukai, b
Aku membelalakkan mata, jantungku berdegup kencang mendengar kalimat terakhirnya. Wajahku memanas, tapi aku tahu ini bukan saatnya bersikap pasif. Entah keberanian dari mana, aku memutuskan untuk membalasnya."Memakan aku, Bang? Hmmm, seperti kue klepon, begitu?" Aku menyipitkan mata, mencoba terdengar santai, meski dalam hati, aku gugup setengah mati.Bang Fahad mengerutkan kening, lalu tertawa kecil. “Kue klepon? Kamu ini ada-ada aja, tapi itu juga salah satu makanan kesukaan saya, lho."“Abang tahu kan, kalau klepon itu manis di luar dan lengket di dalamnya? Mungkin ... aku juga begitu,” ucapku sembari menatapnya tanpa berkedip. Aku sengaja menggeser sedikit tubuhku, mendekatkan wajahku ke wajahnya.Bang Fahad tampak terkejut. Pipinya yang biasanya tegas itu mulai memerah. Ia berdeham pelan, mencoba mengalihkan pandangannya, tapi aku menahan dagunya dengan jemariku.“Jangan pura-pura sibuk lihat gorden, Bang. A
Gemericik hujan terdengar lembut dari balik jendela. Udara dingin yang menyeruak masuk melalui celah tirai membuatku menggeliat pelan, mencoba mencari kehangatan lebih di balik selimut.Namun, kehangatan itu bukan hanya berasal dari selimut, melainkan dari tubuh seseorang yang masih memelukku erat.Mataku terbuka perlahan, pandanganku langsung jatuh pada wajah Bang Fahad yang masih terlelap. Ada sesuatu yang damai dan menenangkan menelusup dalam hati Garis rahangnya tegas, alisnya yang sedikit berkerut meskipun sedang tidur, dan napasnya yang pelan membuat dadaku terasa hangat. Rasanya aneh mengakui, tapi aku suka melihatnya seperti ini, tanpa kepalsuan, tanpa jarak.Aku memiringkan tubuhku sedikit, menatapnya lebih dekat. Tanganku bergerak pelan, membenarkan rambut di dahinya yang sedikit berantakan. Tapi tiba-tiba matanya mengerjap terbuka, membuatku refleks menarik tangan.“Kamu ngapain, Chi?” tanyanya dengan suara
Aku mendengkus pelan. “Lihat nanti.”“Berarti saya peluk kamu aja terus,” katanya santai sambil memejamkan mata lagi.Aku menyerah, membiarkan kehangatan pelukannya mengalir dalam tubuhku. Di luar, hujan masih turun, tapi di sini, bersama Bang Fahad, semuanya terasa lebih hangat, lebih aman dan entah bagaimana rasanya lebih bahagia. Aku sendiri tidak paham. Namun beberapa saat kemudian, aku berhasil lolos dari pelukan Bang Fahad saat dirinya lengah.Ia mengerang manja dan menyuruhku kembali ke tempat tidur. Aku hanya tertawa kecil sambil menarik selimut ke atas tubuhnya. "Tidur lagi aja, Bang. Aku mau bikin teh hangat," kataku meski tidak yakin aku bisa melakukannya.Dia hanya mengangguk malas, matanya terpejam lagi, tapi aku bisa mendengar gumaman kecil darinya. "Jangan lama-lama, Chi."Aku melangkah ke dapur kecil, menyalakan kompor untuk memanaskan air. Suara hujan di luar terdengar lebih jelas d
Hujan turun begitu deras sejak pagi hingga sekarang hampir siang hari, menciptakan irama tenang yang berpadu dengan suara dedaunan basah di sekitar kabin. Aku membuka pintu, duduk pada ambalannya, memandangi kabut tipis yang menyelimuti pepohonan.“Chi, kamu ngapain di situ? Nanti kedinginan.” Suara Bang Fahad terdengar dari arah dapur kecil.Aku menoleh, menemukan dia sedang membawa dua cangkir cokelat panas. Asap tipis mengepul dari cangkir itu, aromanya segera menghangatkan udara.“Lagi liatin hujan, Bang,” jawabku. “Kayaknya bakalan hujan seharian." Dia mengangguk sambil menyerahkan salah satu cangkir kepadaku. “Iya, makanya kita santai aja di sini. Nggak usah mikirin apa-apa. Nikmatin aja waktunya.”“Abang nggak bosan?” tanyaku padanya yang masih berdiri di belakang.Dia tertawa kecil, lalu duduk di sampingku. Tak ayal tubuh kami jadi bersentuhan karena sempit. “Bosan gimana, Chi? Selama ada k
Malam menyapa. Rintik hujan masih terus terdengar hampir tanpa jeda. Seharian aku bersama Bang Fahad di dalam kabin ini. Keperluan makan, diurus Bang Fahad sehingga entah sudah berapa banyak aku makan.Karena aku tidak membawa pakaian ganti, malam ini aku memakai kaos gombrong dan celana boxer selutut milik Bang Fahad yang disimpan sebagai pakaian cadangan di dalam mobilnya.Cahaya lampu di kabin redup, memberikan kehangatan tersendiri di tengah suara gemuruh petir yang sesekali terdengar di kejauhan. Aku duduk bersandar di sofa kecil, selimut tebal melingkupiku. Bang Fahad duduk tak jauh dariku, sibuk memeriksa ponsel dengan alis sedikit mengernyit“Abang lagi ngapain?” tanyaku, memecah keheningan.Dia menoleh seraya tersenyum tipis. “Cek cuaca. Kayaknya besok cuacanya udah normal. Kita bisa check out, Chi. Saya juga harus ke kantor."Aku pun hanya mengangguk mendengar penjelasannya.“Kamu laper gak
"Om Ruslan ...?" ucapku berbisik setelah tahu siapa yang memukul wajahku. Punggung tangan bergerak mengusap sudut bibir bawah yang berdarah. Pukulan tadi memang sangat keras, karena itulah sudut bibirku sampai berdarah."Mau apa kamu ke mari? Mau apa lagi?!" Om Ruslan menghardik. Dia berdiri menjulang di depanku. Wajah dengan rahang mengeras itu menunjukkan bahwa ia tengah diliputi kemarahan. "Setelah tiga tahun berlalu, untuk apalagi kamu menampakkan diri pada Chiara, hah? Belum cukup kamu menyakiti dia sebelumnya? Sekarang Chiara sudah bahagia dan melupakan masa lalu yang buruk bersama kamu. Mau apalagi kamu mengganggu putri saya?!"Aku lantas berusaha bangkit, hingga akhirnya mampu berdiri sekaligus berhadapan dengannya. "Om, saya tidak bermaksud mengganggu Chia. Saya ... ke mari karena memang ingin berbicara pada kalian——""Halah! Sudahlah Fahad, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Sejak tiga tahun yang lalu, kami sudah memutuskan untuk tidak saling mengenal dengan kamu dan kel
Minuman pesananku baru saja datang, padahal aku berniat untuk berniat. Terpaksa aku menyeruputnya meski sedikit. Karena sudah dibayar, aku pun segera bangkit. Meninggalkan meja dan buru-buru keluar dari resto itu. Masuk ke dalam mobilku lalu duduk di balik setir kemudi. Melepas masker penutup wajah serta topi.Kepala refleks bersandar pada kursi. Obrolan sepasang suami istri tadi terbayang lagi. Aku tidak sanggup lama-lama berada di sana dan terus menguping semuanya. Makin lama hatiku makin nyeri mendengarnya. Bagaimana mereka tampaknya begitu saling menyayangi dan melindungi satu sama lain."Chiara sudah bahagia. Apa aku pulang saja tanpa pernah menemuinya? Karena untuk apalagi aku bertemu? Chiara sudah memiliki kehidupan lain," gumamku dengan tangan mencengkram setir kemudi.Aku sendiri gamang, entah harus bagaimana. Pesan terakhir Mama adalah memintaku untuk meminta maaf pada Chiara dan keluarganya. Tapi aku tidak yakin, Chiara mau bertemu denganku, apalagi keluarganya. Aku sadar k
Aku terduduk lesu dengan kedua kaki menekuk, wajahku tenggelam di antara lengan yang bertumpu. Tak kuasa aku menahan tangis, hingga tergugu sendirian di samping pusara anakku sendiri.Apa yang sudah terjadi tiga tahun ke belakang? Apa yang sudah Chiara dan kandungannya lalui? Bagaimana bisa aku mengabaikan mereka hingga kenyataan saat ini benar-benar menamparku.Darah dagingku sudah tiada tanpa aku ketahui. Apa dia sakit? Atau kecelakaan? Atau hal apa yang sudah membuatnya kembali begitu cepat kepada Sang Pencipta?Aku mengangkat wajah yang basah dan mengusapnya meski belum puas menangis. Tanganku kembali terulur pada nisan dari marmer hitam itu dan mengusapnya."Assalamualaikum, Nak ...," ucapku lirih. Aku bahkan baru sadar, kalau aku belum mengucapkan salam sejak mendatangi makam ini."Ini ... papa kamu, Nak. Maaf, papa bahkan baru bisa datang sekarang. Papa pikir kamu sudah tumbuh menggemaskan, tapi ternyata ...." Bibirku rasanya kelu untuk melanjutkan.Aku berusaha untuk meredam t
Aku sudah kembali terbaring di atas ranjang rawat. Menatap langit-langit ruang rawat bercat putih terang. Satu kenyataan sudah kudapat, bahwa Chiara sudah menikah lagi. Dia sudah benar-benar melupakanku, bahkan mungkin sudah tidak mengharapkanku di hidupnya lagi. Aku pun sadar, aku sudah sangat melukainya. Kuhembus napas berat. Mencoba untuk beristirahat agar tidak terlalu mengingat Chiara lagi, terutama wajah teduhnya yang begitu manis dengan kerudungnya tadi. Membuatku gelisah dan tidak tahu malu berharap bisa melihatnya lagi. Satu jam aku sendirian di ruang rawat, berbeda dengan pasien-pasien di balik tirai sebelah yang ditembak sanak keluarganya. Hingga dokter bersama perawat datang dan mengecek kondisiku. Dokter yang berbeda, mulai memeriksa luka di bahu dan pelipisku. Hingga memberi instruksi pada perawat yang sama dengan sebelumnya untuk mengganti perban di kepalaku. "Bapak tidak mengabari saudar
Malam telah larut saat aku tiba di Malang. Kota ini begitu sunyi, hanya ada cahaya lampu jalan yang temaram menemani perjalananku menuju sebuah penginapan kecil di pinggiran kota. Udara dingin menyeruak masuk dari sela-sela jendela mobil, membuatku kian merasa sendirian di tengah malam yang gelap. Bahkan rinai hujan seolah menyambut kedatanganku.Aku memilih menginap di sebuah losmen sederhana. Tidak ada yang mewah, hanya tempat untukku merebahkan tubuh setelah perjalanan panjang dari kota. Setelah check-in, aku langsung menuju kamar dan menghempaskan tubuh di atas kasur yang terasa keras. Meski lelah, mataku tak juga terpejam. Bayangan Mama, wajah Chia, dan segala kenangan pahit terus menghantui pikiranku.Kuhembus napas kasar. Hati ini rasanya makin kacau, entah ke mana aku harus memulai pencarian nantinya. Bahkan aku tidak memiliki informasi lebih detail tentang keluarga Chiara di daerah ini.Dalam keadaan terlentang, aku meraih ponsel di meja nakas. Memandang layarnya dengan peras
Setibanya di rumah sakit, hari sudah malam. Aku langsung menuju ruang ICU di mana Mama mendapatkan perawatan intensif. Ruangan yang seharusnya steril itu, justru tampak ramai karena ada Papa, dokter dan suster di dalamnya. Aku pun masuk dan mendekat ke samping ranjang.Mama terlihat sudah membuka matanya, tapi napasnya justru tersengal dan tertahan-tahan. Aku meraih tangan Mama yang terasa begitu dingin. Aku menciumnya hingga tanpa terasa air mata menetes begitu saja, melihat keadaan Mama apalagi wajahnya yang sangat pucat."Ma ... mama harus kuat. Mama pasti sembuh dan sehat lagi," bisikku tepat di telinganya. Sementara Papa dengan matanya yang basah, terus mengusap kepala Mama."Had ... kamu harus cari keluarga Om Ruslan. Minta maaf pada mereka. Sampaikan juga permintaan maaf mama karena anak-anak mama sudah menyakiti mereka terutama Chia. Mama ... titip Rakana. Jangan biarkan dia makin tersesat. Didik dia ... agar menjadi lebih baik, Had." Suara Mama parau dan terbata-bata.Aku men
"Hari itu, aku yang menyuntikkan obat tidur saat Chia gak sadarkan diri di dalam mobilku. Aku ... memang menidurinya saat dia dalam kondisi tidak sadarkan diri. Aku terobsesi sama Chia karena aku gak rela dia mencintai Abang. Aku gak rela Chia menjadi milik Abang dan gak ada yang boleh memiliki Chia kalau aku gak bisa memilikinya. Aku yang dengan sadar merekam perbuatanku pada Chia saat dia tertidur agar Abang marah dan menceraikannya. Setelah kalian berpisah, aku bisa memilikinya kembali.""Tapi aku salah, bagaimanapun aku memohon dan mengemis, dia tetap tidak mau menerimaku lagi. Dia gak mau memberiku kesempatan. Dia dan keluarganya pergi tapi aku gagal mengikuti mereka hari itu. Aku cari-cari info tapi gak ada jejak yang bisa aku temukan. Aku kehilangan Chia, benar-benar kehilangan dia. Sampai aku mencoba mulai menerima kehadiran Faula yang sudah melahirkan. Aku mencoba berdamai dengan hubunganku bersama Faula. Hidup sebagai mana harusnya dengan Faula karena Chia gak bisa lagi aku
"Mama kenapa, Pa? Mama sakit apa?" Aku langsung memburu Papa begitu tiba di rumah sakit. Menyusul duduk di kursi tunggu sebrang ruangan ICU.Papa tampak mengusap wajahnya frustasi. Kemudian menengadahkan kepala menempel pada dinding di belakangnya. "Mama sehat-sehat aja sebenarnya, Had. Tapi ....""Tapi apa? Pa, jangan buat aku makin khawatir," pintaku cemas.Papa meraup wajah dengan kedua telapak tangannya, lalu menatapku dengan netra berembun. "Had ... apa kamu tahu Rakana di mana selama ini?"Keningku sontak mengernyit karena selama tiga tahun lamanya, baru kali ini Papa menanyakan Rakana kembali. Aku pun menggeleng. "Aku gak tahu, Pa. Aku juga gak peduli lagi dia di mana. Mungkin, dia sudah menikah dan hidup bersama Chia setelah membohongiku tiga tahun yang lalu," jawabku kemudian.Papa menoleh dan menatapku dengan tatapan tak biasa. "Bagaimana bisa kamu menduga kalau mereka menikah?"Aku mengangkat bahu malas. "Mereka masih saling saling mencintai, Pa. Sangat mungkin kalau mereka
**************TIGA TAHUN KEMUDIAN ....Drrrt Drrrt Drrrt.Aku membuka mata saat ponsel bergetar, menyala karena alarm yang disetel sebelumnya. Setelah bangun, aku segera mematikannya. Waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Cepat aku membuka resleting dari tenda yang menjadi tempatku tidur.Lapangan luas membentang. Bau tanah kering menyeruak. Beberapa tenda lain terpasang dengan jarak cukup jauh dari tempatku, menjadi pemandangan pagi ini.Satu tahun ke belakang, aku senang mendaki gunung. Apalagi saat berhasil summit di puncaknya. Rasanya hanya ada aku dan alam, menyatu dan menenangkan.Aku enggan beranjak dari dalam tenda. Aku duduk dengan kedua kaki menekuk sambil memeluk lutut. Memandangi hamparan tanah yang begitu luas di alun-alun Suryakencana saat ini.Saat sendiri seperti sekarang, aku selalu diingatkan akan sosok Chiara. Perempuan manis yang berhasil membuatku jatuh cinta begitu dalam, tapi juga mampu menjatuhkanku tanpa ampun bersama luka yang tak berperi.Dia berselingkuh d