Malam hari hujan turun cukup deras. Aku duduk di sofa ruang santai tepat di balik jendela dengan gorden yang dibiarkan terbuka. Menatap tiap tetesan air hujan yang berjatuhan dan mengenai kaca jendela dari luar.
Cuaca malam ini begitu syahdu, menggali lubang rindu dalam hatiku akan sosok Bang Fahad yang kini membentangkan jaraknya. Aku sangat berharap dia akan datang ke rumah ini lagi lalu mengajakku untuk pulang. Kembali merenda mahligai rumah tangga kami yang membuat hidupku menjadi lebih indah.Namun, tiga hari aku di sini pun, dia tidak menampakkan batang hidungnya sama sekali. Dia pun sepertinya tidak peduli dengan keadaanku yang tengah sakit kemarin-kemarin.Jujur saja, aku begitu merindukannya. Bau keringatnya sepulang bekerja, wangi tubuhnya saat bangun tidur, dekapan hangatnya, wangi napasnya, semua tentangnya yang kini menjadi candu buatku namun tak bisa kurasakan. Hanya meninggalkan sesak yang menggerogoti hati."Chi"Dokter Arya sedang di luar kota. Tidak bisa ke sini, tapi di rumah sakit ada anaknya yang juga bekerja. Kita ke rumah sakit saja, bagaimana?" tanya Papa setelah selesai menelpon lalu menghampiriku dan Mama. "Gimana, Chi? Mau ya? Biar kita tahu kamu sakit apa," ujar Mama terdengar membujuk. Aku pun hanya mengangguk tanda setuju. Tidak bisa diam saja, aku memang harus tahu apa yang terjadi sebenarnya pada tubuhku. Benarkah aku ... hamil muda? Atau hanya sedang tidak sehat saja. "Ya sudah, papa siapkan mobil dulu. Mama bantu Chiara ya," tukas Papa kemudian segera berjalan keluar dari rumah. Sementara Mama membantuku untuk bangkit, kemudian duduk dan akhirnya memapahku berjalan keluar dari rumah sampai masuk ke dalam mobil. Duduk di jok belakang dengannya dan aku segera menyandarkan kepala di pundaknya. Kepalaku terasa pusing kembali dengan kunang-kunang yang menyerbu. Mobil mulai melaju, meninggalkan halaman rumah Mama dan meluncur di jalan besar. Selama perjalanan, rasanya tubuhku
"Abang di mana? Apa Abang gak mau tahu keadaanku? Apa Abang gak mau mendengar kabar bahagia ini?" Aku bergumam sambil menatap layar ponsel. Kuhirup napas panjang lalu menghubunginya sekali lagi. Namun hasilnya tetap sama. Putus asa, kusimpan ponsel di atas meja nakas. Pandanganku lurus pada langit-langit kamar. Mengembus napas kasar merasakan sesak dalam dada. Ingin sekali aku mengabarkan hal bahagia ini pada Bang Fahad. Bayi kecil yang begitu dia inginkan hadir dalam pernikahan kami akan segera terwujud. Tapi Bang Fahad justru benar-benar menghindar dariku. Meski hati dan pikiranku menjadi bercabang, aku mencoba untuk beristirahat. Berharap kondisi tubuhku akan membaik setelahnya. Berselang satu jam, nyatanya aku malah terus terjaga. Perutku juga mulai terasa lapar. Beruntung pembantu rumah datang dan mengantarkan bubur ayam ke kamar. "Mba, biar bibi bantu makannya ya? Ibu sama Bapak ada pekerjaan dulu katanya," ujar pembantu rumah yang sudah mengabdikan dirinya bertahun-tahun i
Pagi-pagi sekali aku sudah berdiri di depan gerbang pagar rumah Bang Fahad. Menatap pagar tinggi menjulang itu dengan penuh tekad. Bersama surat hasil pemeriksaan di tangan, aku pun mulai melangkah menuju pos jaga."Bang Fahad ada, 'kan?" tanyaku pada si penjaga rumah.Tampak laki-laki berseragam khas seorang security itu mengangguk. "Ada, Mba," jawabnya tapi terdengar ragu."Saya mau bertemu.""Tuan ... tidak bisa diganggu."Aku mengembus napas kasar. Apa sesusah ini untuk bertemu suami sendiri?"Kenapa? Saya istrinya. Apa suami bertemu istrinya adalah gangguan?" tanyaku dengan nada mendesak.Terlihat si penjaga rumah itu tampak gelisah sambil menggosok telapak tangan. Seolah-olah mengizinkanku masuk adalah larangan yang sudah diberikan Bang Fahad padanya.Akhirnya ia mau membukakan gerbang. Namun yang menyayat hati ialah, ia memintaku menunggu di teras sementara dirinya memanggil Bang Fahad ke dalam rumah. Aku istrinya, kenapa sampai begininya ingin bertemu dengan suami sendiri? Ap
Aku mundur beberapa langkah, terpaku mendengar ucapan Rakana yang terdengar seperti ledakan."Enggak mungkin! Jangan asal bicara kamu, Raka! Aku hanya tidur dengan Bang Fahad. Tidak terjadi apapun di antara kita dan Bang Fahad tidak seperti yang kamu tuduhkan!" teriakku sambil mendorong bahunya. Namun tidak berarti apa-apa, tubuh Rakana tak bergeming sedikit pun.Rakana merangsek maju, sampai jaraknya mungkin hanya sejengkal denganku."Aku gak bohong, Chi," balasnya dengan nada penuh keyakinan. "Kita memang sudah melakukannya. Mungkin kamu lupa dan tidak sadar, tapi aku mengingatnya. Lalu Bang Fahad, selama ini dia menyembunyikan kenyataan itu dari kamu. Dia gak mau terlihat lemah, jadi dia memilih untuk diam. Tapi aku tahu semuanya dan sekarang, kamu juga harus tahu."Aku menggeleng cepat, berusaha menepis semua yang dikatakannya. "Kamu pikir aku akan percaya omong kosong ini? Kamu hanya ingin menghancurkan semuanya! Kamu sengaja membuat kekacauan!"Rakana mendekat lagi, tatapannya s
Aku menegakkan punggung, rasa gugup langsung menguasai diri. Bang Fahad masuk bersama Mama, lalu ia mengisi sofa single di sebelah kanan sofa yang kutempati. Wajahnya serius, tanpa senyuman atau tanda-tanda kehangatan seperti yang biasa kulihat.Aku mencoba menetralkan rasa gugup yang menyerang. Berusaha agar bersikap sesantai mungkin. Entah kenapa, bertemu dengannya setelah pertemuan menyakitkan kemarin, seolah membangkitkan rasa sakitnya lagi."Om Ruslan ada, Tan?" tanya Bang Fahad kemudian. Suaranya terdengar begitu dingin. Dia bahkan tidak lagi memanggil Mama pada mertuanya."Ada di taman belakang. Apa kita akan berbicara bersama-sama?" jawab serta tanya Mama.Bang Fahad tampak hanya mengangguk. Mama lantas bangkit untuk memanggil Papa. Meninggalkanku berdua bersama Bang Fahad.Aku menatapnya yang selalu tampil dengan rapi. Ingin sekali aku memeluknya, tenggelam dalam dadanya yang kokoh, mencium wangi tubuhnya dan bermanja-manja seperti biasanya. Namun, jangankan balas menatapku,
Aku tidak tahu apa yang terjadi. Kesadaranku hilang timbul. Saat ini, aku merasa tubuhku tak berdaya. Berada di atas ranjang yang tengah didorong, melewati lorong rumah sakit sampai akhirnya masuk ke dalam ruangan.Aku mendapatkan penanganan yang mana perutku masih terasa sakit. Entah apa berikutnya, karena kesadaranku akhirnya benar-benar hilang.Tidak tahu berapa lama, tapi saat akhirnya kembali membuka mata, aku sudah berada di dalam ruangan yang berbeda dengan sebelumnya. Tubuhku rasanya lemas, tapi perutku tidak sesakit tadi. Punggung tangan terasa perih, karena terpasang selang infus."Chi, kamu sudah siuman?" Suara Mama membuatku menoleh. Mama duduk di samping ranjang rawatku. Tangannya terulur, menyentuh kepalaku dan mengusapnya.Aku hanya bisa menatapnya. Suaraku rasanya tertahan untuk berbicara."Kandungan kamu lemah, Chi. Kalau kamu begini terus, kami semua khawatir kandungan kamu gak bisa bertahan. Kamu kuat, Chi. Ada mama dan Papa bersama kamu. Jangan kamu pikirkan apapun
Aku membuka mata perlahan, menatap langsung pada Bang Fahad yang duduk di kursi di sebelah ranjangku. Aku mencoba tersenyum tipis, meski hatiku hancur."Bang ...." Aku memulai dengan suara parau.Bang Fahad menghela napas seraya mengangguk kecil. "Apa yang ingin kamu bicarakan lagi, Chi?"Aku mengumpulkan keberanian. Tubuhku mungkin lemah, tapi hatiku tidak boleh menyerah. Aku harus menghadapi ini dengan tegar, demi bayi yang sedang aku kandung."Aku cuma ingin mengatakan satu hal," kataku pelan. Aku berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mataku. "Aku tidak akan memaksa Abang untuk tetap bersamaku. Kalau memang Bang Fahad ingin berpisah, aku terima. Tapi satu yang harus Abang tahu, aku tidak pernah berselingkuh, dan bayi ini adalah anak abang."Laki-laki itu nampak tak bereaksi. Kepalanya sedikit menunduk dengan pandangan lurus ke depan. Meski begitu, aku yakin dia mendengar ucapanku."Aku terima perpisahan yang Abang inginkan. Mungkin sejak awal, seharusnya kita
Setelah kepergian Bang Fahad, aku memutuskan untuk memusatkan seluruh energiku untuk menghadapi hidup tanpa dirinya. Meski hati remuk, aku tahu aku tidak bisa menyerah. Hidupku kini bukan hanya tentang diriku sendiri. Bayi ini adalah alasan terbesarku untuk bertahan.Mataku rasanya panas, bahkan mulai berair. Namun aku memberi sugesti pada diriku hingga bibirku mengukir senyum kecil. Aku harus kuat. Aku akan tetap bahagia, meski tanpa Bang Fahad lagi.Aku memejamkan mata lalu mengembus napas pelan. Mencoba lebih menenangkan diri agar tidak terus-terusan stress.Pelan-pelan aku bangun sampai akhirnya bisa duduk bersandar. Mengambil gelas berisi air di atas meja lalu meneguknya. Memberikan rasa sejuk di tenggorokan dan setitik ketenangan yang aku butuhkan.Masih dalam posisi duduk bersandar, aku menyentuh perut kembali. Mengusapnya lembut meski perutku masih sangat rata."Kita pasti bisa lewati semua ini sama-sama ya, Nak? Kita gak boleh sakit-sakit lagi. Kita harus happy. Baik-baik di
"Om Ruslan ...?" ucapku berbisik setelah tahu siapa yang memukul wajahku. Punggung tangan bergerak mengusap sudut bibir bawah yang berdarah. Pukulan tadi memang sangat keras, karena itulah sudut bibirku sampai berdarah."Mau apa kamu ke mari? Mau apa lagi?!" Om Ruslan menghardik. Dia berdiri menjulang di depanku. Wajah dengan rahang mengeras itu menunjukkan bahwa ia tengah diliputi kemarahan. "Setelah tiga tahun berlalu, untuk apalagi kamu menampakkan diri pada Chiara, hah? Belum cukup kamu menyakiti dia sebelumnya? Sekarang Chiara sudah bahagia dan melupakan masa lalu yang buruk bersama kamu. Mau apalagi kamu mengganggu putri saya?!"Aku lantas berusaha bangkit, hingga akhirnya mampu berdiri sekaligus berhadapan dengannya. "Om, saya tidak bermaksud mengganggu Chia. Saya ... ke mari karena memang ingin berbicara pada kalian——""Halah! Sudahlah Fahad, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Sejak tiga tahun yang lalu, kami sudah memutuskan untuk tidak saling mengenal dengan kamu dan kel
Minuman pesananku baru saja datang, padahal aku berniat untuk berniat. Terpaksa aku menyeruputnya meski sedikit. Karena sudah dibayar, aku pun segera bangkit. Meninggalkan meja dan buru-buru keluar dari resto itu. Masuk ke dalam mobilku lalu duduk di balik setir kemudi. Melepas masker penutup wajah serta topi.Kepala refleks bersandar pada kursi. Obrolan sepasang suami istri tadi terbayang lagi. Aku tidak sanggup lama-lama berada di sana dan terus menguping semuanya. Makin lama hatiku makin nyeri mendengarnya. Bagaimana mereka tampaknya begitu saling menyayangi dan melindungi satu sama lain."Chiara sudah bahagia. Apa aku pulang saja tanpa pernah menemuinya? Karena untuk apalagi aku bertemu? Chiara sudah memiliki kehidupan lain," gumamku dengan tangan mencengkram setir kemudi.Aku sendiri gamang, entah harus bagaimana. Pesan terakhir Mama adalah memintaku untuk meminta maaf pada Chiara dan keluarganya. Tapi aku tidak yakin, Chiara mau bertemu denganku, apalagi keluarganya. Aku sadar k
Aku terduduk lesu dengan kedua kaki menekuk, wajahku tenggelam di antara lengan yang bertumpu. Tak kuasa aku menahan tangis, hingga tergugu sendirian di samping pusara anakku sendiri.Apa yang sudah terjadi tiga tahun ke belakang? Apa yang sudah Chiara dan kandungannya lalui? Bagaimana bisa aku mengabaikan mereka hingga kenyataan saat ini benar-benar menamparku.Darah dagingku sudah tiada tanpa aku ketahui. Apa dia sakit? Atau kecelakaan? Atau hal apa yang sudah membuatnya kembali begitu cepat kepada Sang Pencipta?Aku mengangkat wajah yang basah dan mengusapnya meski belum puas menangis. Tanganku kembali terulur pada nisan dari marmer hitam itu dan mengusapnya."Assalamualaikum, Nak ...," ucapku lirih. Aku bahkan baru sadar, kalau aku belum mengucapkan salam sejak mendatangi makam ini."Ini ... papa kamu, Nak. Maaf, papa bahkan baru bisa datang sekarang. Papa pikir kamu sudah tumbuh menggemaskan, tapi ternyata ...." Bibirku rasanya kelu untuk melanjutkan.Aku berusaha untuk meredam t
Aku sudah kembali terbaring di atas ranjang rawat. Menatap langit-langit ruang rawat bercat putih terang. Satu kenyataan sudah kudapat, bahwa Chiara sudah menikah lagi. Dia sudah benar-benar melupakanku, bahkan mungkin sudah tidak mengharapkanku di hidupnya lagi. Aku pun sadar, aku sudah sangat melukainya. Kuhembus napas berat. Mencoba untuk beristirahat agar tidak terlalu mengingat Chiara lagi, terutama wajah teduhnya yang begitu manis dengan kerudungnya tadi. Membuatku gelisah dan tidak tahu malu berharap bisa melihatnya lagi. Satu jam aku sendirian di ruang rawat, berbeda dengan pasien-pasien di balik tirai sebelah yang ditembak sanak keluarganya. Hingga dokter bersama perawat datang dan mengecek kondisiku. Dokter yang berbeda, mulai memeriksa luka di bahu dan pelipisku. Hingga memberi instruksi pada perawat yang sama dengan sebelumnya untuk mengganti perban di kepalaku. "Bapak tidak mengabari saudar
Malam telah larut saat aku tiba di Malang. Kota ini begitu sunyi, hanya ada cahaya lampu jalan yang temaram menemani perjalananku menuju sebuah penginapan kecil di pinggiran kota. Udara dingin menyeruak masuk dari sela-sela jendela mobil, membuatku kian merasa sendirian di tengah malam yang gelap. Bahkan rinai hujan seolah menyambut kedatanganku.Aku memilih menginap di sebuah losmen sederhana. Tidak ada yang mewah, hanya tempat untukku merebahkan tubuh setelah perjalanan panjang dari kota. Setelah check-in, aku langsung menuju kamar dan menghempaskan tubuh di atas kasur yang terasa keras. Meski lelah, mataku tak juga terpejam. Bayangan Mama, wajah Chia, dan segala kenangan pahit terus menghantui pikiranku.Kuhembus napas kasar. Hati ini rasanya makin kacau, entah ke mana aku harus memulai pencarian nantinya. Bahkan aku tidak memiliki informasi lebih detail tentang keluarga Chiara di daerah ini.Dalam keadaan terlentang, aku meraih ponsel di meja nakas. Memandang layarnya dengan peras
Setibanya di rumah sakit, hari sudah malam. Aku langsung menuju ruang ICU di mana Mama mendapatkan perawatan intensif. Ruangan yang seharusnya steril itu, justru tampak ramai karena ada Papa, dokter dan suster di dalamnya. Aku pun masuk dan mendekat ke samping ranjang.Mama terlihat sudah membuka matanya, tapi napasnya justru tersengal dan tertahan-tahan. Aku meraih tangan Mama yang terasa begitu dingin. Aku menciumnya hingga tanpa terasa air mata menetes begitu saja, melihat keadaan Mama apalagi wajahnya yang sangat pucat."Ma ... mama harus kuat. Mama pasti sembuh dan sehat lagi," bisikku tepat di telinganya. Sementara Papa dengan matanya yang basah, terus mengusap kepala Mama."Had ... kamu harus cari keluarga Om Ruslan. Minta maaf pada mereka. Sampaikan juga permintaan maaf mama karena anak-anak mama sudah menyakiti mereka terutama Chia. Mama ... titip Rakana. Jangan biarkan dia makin tersesat. Didik dia ... agar menjadi lebih baik, Had." Suara Mama parau dan terbata-bata.Aku men
"Hari itu, aku yang menyuntikkan obat tidur saat Chia gak sadarkan diri di dalam mobilku. Aku ... memang menidurinya saat dia dalam kondisi tidak sadarkan diri. Aku terobsesi sama Chia karena aku gak rela dia mencintai Abang. Aku gak rela Chia menjadi milik Abang dan gak ada yang boleh memiliki Chia kalau aku gak bisa memilikinya. Aku yang dengan sadar merekam perbuatanku pada Chia saat dia tertidur agar Abang marah dan menceraikannya. Setelah kalian berpisah, aku bisa memilikinya kembali.""Tapi aku salah, bagaimanapun aku memohon dan mengemis, dia tetap tidak mau menerimaku lagi. Dia gak mau memberiku kesempatan. Dia dan keluarganya pergi tapi aku gagal mengikuti mereka hari itu. Aku cari-cari info tapi gak ada jejak yang bisa aku temukan. Aku kehilangan Chia, benar-benar kehilangan dia. Sampai aku mencoba mulai menerima kehadiran Faula yang sudah melahirkan. Aku mencoba berdamai dengan hubunganku bersama Faula. Hidup sebagai mana harusnya dengan Faula karena Chia gak bisa lagi aku
"Mama kenapa, Pa? Mama sakit apa?" Aku langsung memburu Papa begitu tiba di rumah sakit. Menyusul duduk di kursi tunggu sebrang ruangan ICU.Papa tampak mengusap wajahnya frustasi. Kemudian menengadahkan kepala menempel pada dinding di belakangnya. "Mama sehat-sehat aja sebenarnya, Had. Tapi ....""Tapi apa? Pa, jangan buat aku makin khawatir," pintaku cemas.Papa meraup wajah dengan kedua telapak tangannya, lalu menatapku dengan netra berembun. "Had ... apa kamu tahu Rakana di mana selama ini?"Keningku sontak mengernyit karena selama tiga tahun lamanya, baru kali ini Papa menanyakan Rakana kembali. Aku pun menggeleng. "Aku gak tahu, Pa. Aku juga gak peduli lagi dia di mana. Mungkin, dia sudah menikah dan hidup bersama Chia setelah membohongiku tiga tahun yang lalu," jawabku kemudian.Papa menoleh dan menatapku dengan tatapan tak biasa. "Bagaimana bisa kamu menduga kalau mereka menikah?"Aku mengangkat bahu malas. "Mereka masih saling saling mencintai, Pa. Sangat mungkin kalau mereka
**************TIGA TAHUN KEMUDIAN ....Drrrt Drrrt Drrrt.Aku membuka mata saat ponsel bergetar, menyala karena alarm yang disetel sebelumnya. Setelah bangun, aku segera mematikannya. Waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Cepat aku membuka resleting dari tenda yang menjadi tempatku tidur.Lapangan luas membentang. Bau tanah kering menyeruak. Beberapa tenda lain terpasang dengan jarak cukup jauh dari tempatku, menjadi pemandangan pagi ini.Satu tahun ke belakang, aku senang mendaki gunung. Apalagi saat berhasil summit di puncaknya. Rasanya hanya ada aku dan alam, menyatu dan menenangkan.Aku enggan beranjak dari dalam tenda. Aku duduk dengan kedua kaki menekuk sambil memeluk lutut. Memandangi hamparan tanah yang begitu luas di alun-alun Suryakencana saat ini.Saat sendiri seperti sekarang, aku selalu diingatkan akan sosok Chiara. Perempuan manis yang berhasil membuatku jatuh cinta begitu dalam, tapi juga mampu menjatuhkanku tanpa ampun bersama luka yang tak berperi.Dia berselingkuh d