Aku membuka mata perlahan, menatap langsung pada Bang Fahad yang duduk di kursi di sebelah ranjangku. Aku mencoba tersenyum tipis, meski hatiku hancur."Bang ...." Aku memulai dengan suara parau.Bang Fahad menghela napas seraya mengangguk kecil. "Apa yang ingin kamu bicarakan lagi, Chi?"Aku mengumpulkan keberanian. Tubuhku mungkin lemah, tapi hatiku tidak boleh menyerah. Aku harus menghadapi ini dengan tegar, demi bayi yang sedang aku kandung."Aku cuma ingin mengatakan satu hal," kataku pelan. Aku berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mataku. "Aku tidak akan memaksa Abang untuk tetap bersamaku. Kalau memang Bang Fahad ingin berpisah, aku terima. Tapi satu yang harus Abang tahu, aku tidak pernah berselingkuh, dan bayi ini adalah anak abang."Laki-laki itu nampak tak bereaksi. Kepalanya sedikit menunduk dengan pandangan lurus ke depan. Meski begitu, aku yakin dia mendengar ucapanku."Aku terima perpisahan yang Abang inginkan. Mungkin sejak awal, seharusnya kita
Setelah kepergian Bang Fahad, aku memutuskan untuk memusatkan seluruh energiku untuk menghadapi hidup tanpa dirinya. Meski hati remuk, aku tahu aku tidak bisa menyerah. Hidupku kini bukan hanya tentang diriku sendiri. Bayi ini adalah alasan terbesarku untuk bertahan.Mataku rasanya panas, bahkan mulai berair. Namun aku memberi sugesti pada diriku hingga bibirku mengukir senyum kecil. Aku harus kuat. Aku akan tetap bahagia, meski tanpa Bang Fahad lagi.Aku memejamkan mata lalu mengembus napas pelan. Mencoba lebih menenangkan diri agar tidak terus-terusan stress.Pelan-pelan aku bangun sampai akhirnya bisa duduk bersandar. Mengambil gelas berisi air di atas meja lalu meneguknya. Memberikan rasa sejuk di tenggorokan dan setitik ketenangan yang aku butuhkan.Masih dalam posisi duduk bersandar, aku menyentuh perut kembali. Mengusapnya lembut meski perutku masih sangat rata."Kita pasti bisa lewati semua ini sama-sama ya, Nak? Kita gak boleh sakit-sakit lagi. Kita harus happy. Baik-baik di
"Papa sudah bicara sama dokter Althaf. Kita bisa melakukan test DNA setelah usia kehamilan kamu masuk tujuh Minggu. Dia juga siap membantu kita. Nanti, setelah hasilnya ke luar, papa mau hanya kita bertiga yang tahu. Jangan beri tahu siapapun, apalagi Fahad dan Raka. Mengerti 'kan?" Papa berujar setelah melepaskan dekapannya.Aku pun hanya mengangguk. Tidak ingin membantah apapun."Tapi, Pa. Kita dapat sampel darah atau bagian tubuh Fahad dari mana?" tanya Mama."Masalah itu biar papa yang urus. Mama dan Chia gak perlu pusing memikirkannya. Yang penting nanti setelah usia kehamilan Chia tujuh Minggu, test itu kita lakukan secepatnya," jawab Papa."Emm, apa nanti gak ilegal, Pa? Test DNA juga kan harus atas persetujuan orangnya," protes Mama.Terdengar Papa menghela napas berat. "Mama jangan memikirkan apapun. Dokter Althaf akan membantu kita dan semua prosesnya biar papa yang mengurus. Tapi setelah hasilnya nanti ke luar, cukup kita dan Dokter Althaf yang tahu. Mama mengerti 'kan?" Pa
"Ngapain lagi kamu ke sini? Ngapain kamu masih nemuin Chiara? Hidupnya kacau gara-gara bajingan kayak kamu!" Papa yang baru saja datang dan turun dari mobil, langsung mencecar Rakana setelah melayangkan tinju di wajah dan perutnya. Mama coba melerai, tapi Papa tak menggubris.Papa makin mendesak tubuh Rakana sampai mentok di besi pagar. Tangannya terlihat begitu kuat mencengkram kerah kemeja Rakana. "Apa mama dan papamu belum bilang juga? Kalau kamu masih terus mengganggu putriku, tanganku sendiri yang akan menyeret kamu ke dalam penjara. Apa orang tuamu tidak juga memperingatkan kamu, hah?!" Suara Papa meninggi."Pa, udah, Pa. Malu dilihat orang nanti," sergah Mama."Papa gak malu, Ma. Papa hanya sedang berusaha menyadarkan laki-laki bajingan ini untuk berhenti mengganggu hidup Chiara. Dia sudah mengecewakan Chiara berkali-kali. Dia harus jera dan berhenti terus mengganggu putri kita," jawab Papa menggebu."Mau apa lagi kamu ke sini, heh?!" Papa kembali mencecar Rakana.Terdengar Rak
"Kalau kami tahu Fahad akan menyakiti kamu juga seperti ini, mama dan Papa pasti gak akan menyetujui pernikahan kalian hari itu. Mama dan Papa benar-benar menyesal karena kamu dinikahi Fahad, Chi," ucap Mama lagi sambil mengelus rambutku. Suaranya pelan dan berat, aku paham perasaannya. Ia pasti lebih merasa sakit melihat rumah tangga putrinya berakhir seperti ini.Perlahan aku menarik diri dari dekapan Mama lalu menatapnya."Tidak ada yang perlu disesali, Ma. Nasi sudah menjadi bubur. Sekarang, saatnya membuat bubur itu menjadi lebih enak untuk dinikmati. Menyesal sudah tidak ada gunanya, bukan? Aku minta, Mama doakan agar hidupku bisa lebih baik setelah ini. Aku minta doa dari mama, agar kandunganku sehat dan selamat sampai lahiran nanti," ujarku kemudian.Tangan Mama membelai lembut wajahku dan tersenyum. "Mama bangga, kamu ternyata bisa setegar ini. Tanpa kamu minta, doa mama pasti akan selalu menyertai kamu, Chi. Ya sudah, sekarang kamu tidur, ya. Istirahat. Ibu hamil tidak baik
************Dua Minggu kemudian.Hasil test yang ditunggu-tunggu sudah keluar. Dokter Althaf mengabarkan pada Papa untuk menemuinya di rumah sakit tempat ia bekerja, sekaligus melakukan check up terhadap kandunganku.Aku dan papa sudah siap. Tinggal menunggu mama yang masih di dalam kamar. Kami menunggunya di teras depan, hingga pembantu rumah datang bersama seseorang."Perkenalkan saya Wisnu, pengacara yang diutus Pak Fahad untuk mengurus perceraiannya dengan Ibu Chiara," ucap lelaki berkemeja navy sambil mengulurkan tangannya.Aku dan Papa saling pandang, lalu menatap kembali pada lelaki yang mengaku sebagai pengacara ini. Papa lantas menerima uluran tangannya dan bersalaman sambil mengenalkan diri juga. Kemudian kami semua masuk, menunda keberangkatan dan duduk di sofa ruangan tamu.Pengacara bernama Wisnu itu mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tasnya lalu menyimpan di atas meja. "Ini surat dari pengadilan agama untuk pengadilan mediasi yang harus dihadiri Bu Chiara satu minggu
Dokter Althaf meletakkan kertas hasil tes DNA di meja, kemudian menatapku dengan senyuman lebar. "Hasilnya akurat. Anak yang sedang Anda kandung memiliki kecocokan menyentuh angka hampir seratus persen. Bayi itu adalah anak dari sampel bernama Fahad Anggara Kusuma, tidak ada keraguan dalam hasil ini."Aku mengatupkan mulut. Hatiku terasa campur aduk. Ada rasa lega karena janin ini memang darah daging Bang Fahad, tapi juga ada kepedihan yang menyelimuti. Karena kenyataannya, Bang Fahad lebih memilih untuk bercerai dan tidak mempercayai bayi ini. Aku pun sudah sampai di titik lelah untuk meyakinkannya. Mama yang duduk di sebelahku menggenggam tanganku erat. Papa yang berdiri di belakang terasa mengusap rambutku."Hasil ini valid 'kan, Dok?" tanya Mama dengan raut wajah seolah tak percaya."Valid, Bu. Walaupun test ini dilakukan dengan prosedur ilegal, karena Pak Ruslan bilang ada masalah internal antara Chiara dan suaminya, sehingga pengambilan sampel diambil tanpa persetujuan. Tapi m
Jam tujuh pagi, mobil Papa sudah meninggalkan rumah. Kami akan pergi ke Malang dan pastinya akan memakan waktu belasan jam berkendara. Di kursi depan, diisi Papa juga Mama. Sedangkan aku duduk di kursi belakang bersama pembantu. Rumah yang ditinggalkan, benar-benar kosong tanpa penghuni. Tetapi, tidak ada satu perabotan pun yang diangkut selain pakaian. Aku sendiri belum pernah mendatangi rumah kebun yang semalam Mama katakan. Kemungkinan, furniture di sana pun sudah lengkap.TINNNN!"Astaga! Itu orang udah gila kali, ya!"Mobil yang Papa kendarai tiba-tiba mengerem mendadak. Satu unit mobil jenis sedan berwarna putih berhenti di depannya setelah berhasil menyalip.Papa dengan cepat turun dari dalam mobil, kemudian disusul Mama. Sedangkan aku memilih tetap di dalam bersama bibi."Raka?!" seruku tidak percaya saat melihat Rakana yang keluar dari mobil sedan itu. Tampak ia berdebat dengan Mama dan juga Papa. Apalagi Papa yang terlihat sudah geram karena Rakana menghadang mobilnya.Tok T
**************TIGA TAHUN KEMUDIAN ....Drrrt Drrrt Drrrt.Aku membuka mata saat ponsel bergetar, menyala karena alarm yang disetel sebelumnya. Setelah bangun, aku segera mematikannya. Waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Cepat aku membuka resleting dari tenda yang menjadi tempatku tidur.Lapangan luas membentang. Bau tanah kering menyeruak. Beberapa tenda lain terpasang dengan jarak cukup jauh dari tempatku, menjadi pemandangan pagi ini.Satu tahun ke belakang, aku senang mendaki gunung. Apalagi saat berhasil summit di puncaknya. Rasanya hanya ada aku dan alam, menyatu dan menenangkan.Aku enggan beranjak dari dalam tenda. Aku duduk dengan kedua kaki menekuk sambil memeluk lutut. Memandangi hamparan tanah yang begitu luas di alun-alun Suryakencana saat ini.Saat sendiri seperti sekarang, aku selalu diingatkan akan sosok Chiara. Perempuan manis yang berhasil membuatku jatuh cinta begitu dalam, tapi juga mampu menjatuhkanku tanpa ampun bersama luka yang tak berperi.Dia berselingkuh d
Jam tujuh pagi, mobil Papa sudah meninggalkan rumah. Kami akan pergi ke Malang dan pastinya akan memakan waktu belasan jam berkendara. Di kursi depan, diisi Papa juga Mama. Sedangkan aku duduk di kursi belakang bersama pembantu. Rumah yang ditinggalkan, benar-benar kosong tanpa penghuni. Tetapi, tidak ada satu perabotan pun yang diangkut selain pakaian. Aku sendiri belum pernah mendatangi rumah kebun yang semalam Mama katakan. Kemungkinan, furniture di sana pun sudah lengkap.TINNNN!"Astaga! Itu orang udah gila kali, ya!"Mobil yang Papa kendarai tiba-tiba mengerem mendadak. Satu unit mobil jenis sedan berwarna putih berhenti di depannya setelah berhasil menyalip.Papa dengan cepat turun dari dalam mobil, kemudian disusul Mama. Sedangkan aku memilih tetap di dalam bersama bibi."Raka?!" seruku tidak percaya saat melihat Rakana yang keluar dari mobil sedan itu. Tampak ia berdebat dengan Mama dan juga Papa. Apalagi Papa yang terlihat sudah geram karena Rakana menghadang mobilnya.Tok T
Dokter Althaf meletakkan kertas hasil tes DNA di meja, kemudian menatapku dengan senyuman lebar. "Hasilnya akurat. Anak yang sedang Anda kandung memiliki kecocokan menyentuh angka hampir seratus persen. Bayi itu adalah anak dari sampel bernama Fahad Anggara Kusuma, tidak ada keraguan dalam hasil ini."Aku mengatupkan mulut. Hatiku terasa campur aduk. Ada rasa lega karena janin ini memang darah daging Bang Fahad, tapi juga ada kepedihan yang menyelimuti. Karena kenyataannya, Bang Fahad lebih memilih untuk bercerai dan tidak mempercayai bayi ini. Aku pun sudah sampai di titik lelah untuk meyakinkannya. Mama yang duduk di sebelahku menggenggam tanganku erat. Papa yang berdiri di belakang terasa mengusap rambutku."Hasil ini valid 'kan, Dok?" tanya Mama dengan raut wajah seolah tak percaya."Valid, Bu. Walaupun test ini dilakukan dengan prosedur ilegal, karena Pak Ruslan bilang ada masalah internal antara Chiara dan suaminya, sehingga pengambilan sampel diambil tanpa persetujuan. Tapi m
************Dua Minggu kemudian.Hasil test yang ditunggu-tunggu sudah keluar. Dokter Althaf mengabarkan pada Papa untuk menemuinya di rumah sakit tempat ia bekerja, sekaligus melakukan check up terhadap kandunganku.Aku dan papa sudah siap. Tinggal menunggu mama yang masih di dalam kamar. Kami menunggunya di teras depan, hingga pembantu rumah datang bersama seseorang."Perkenalkan saya Wisnu, pengacara yang diutus Pak Fahad untuk mengurus perceraiannya dengan Ibu Chiara," ucap lelaki berkemeja navy sambil mengulurkan tangannya.Aku dan Papa saling pandang, lalu menatap kembali pada lelaki yang mengaku sebagai pengacara ini. Papa lantas menerima uluran tangannya dan bersalaman sambil mengenalkan diri juga. Kemudian kami semua masuk, menunda keberangkatan dan duduk di sofa ruangan tamu.Pengacara bernama Wisnu itu mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tasnya lalu menyimpan di atas meja. "Ini surat dari pengadilan agama untuk pengadilan mediasi yang harus dihadiri Bu Chiara satu minggu
"Kalau kami tahu Fahad akan menyakiti kamu juga seperti ini, mama dan Papa pasti gak akan menyetujui pernikahan kalian hari itu. Mama dan Papa benar-benar menyesal karena kamu dinikahi Fahad, Chi," ucap Mama lagi sambil mengelus rambutku. Suaranya pelan dan berat, aku paham perasaannya. Ia pasti lebih merasa sakit melihat rumah tangga putrinya berakhir seperti ini.Perlahan aku menarik diri dari dekapan Mama lalu menatapnya."Tidak ada yang perlu disesali, Ma. Nasi sudah menjadi bubur. Sekarang, saatnya membuat bubur itu menjadi lebih enak untuk dinikmati. Menyesal sudah tidak ada gunanya, bukan? Aku minta, Mama doakan agar hidupku bisa lebih baik setelah ini. Aku minta doa dari mama, agar kandunganku sehat dan selamat sampai lahiran nanti," ujarku kemudian.Tangan Mama membelai lembut wajahku dan tersenyum. "Mama bangga, kamu ternyata bisa setegar ini. Tanpa kamu minta, doa mama pasti akan selalu menyertai kamu, Chi. Ya sudah, sekarang kamu tidur, ya. Istirahat. Ibu hamil tidak baik
"Ngapain lagi kamu ke sini? Ngapain kamu masih nemuin Chiara? Hidupnya kacau gara-gara bajingan kayak kamu!" Papa yang baru saja datang dan turun dari mobil, langsung mencecar Rakana setelah melayangkan tinju di wajah dan perutnya. Mama coba melerai, tapi Papa tak menggubris.Papa makin mendesak tubuh Rakana sampai mentok di besi pagar. Tangannya terlihat begitu kuat mencengkram kerah kemeja Rakana. "Apa mama dan papamu belum bilang juga? Kalau kamu masih terus mengganggu putriku, tanganku sendiri yang akan menyeret kamu ke dalam penjara. Apa orang tuamu tidak juga memperingatkan kamu, hah?!" Suara Papa meninggi."Pa, udah, Pa. Malu dilihat orang nanti," sergah Mama."Papa gak malu, Ma. Papa hanya sedang berusaha menyadarkan laki-laki bajingan ini untuk berhenti mengganggu hidup Chiara. Dia sudah mengecewakan Chiara berkali-kali. Dia harus jera dan berhenti terus mengganggu putri kita," jawab Papa menggebu."Mau apa lagi kamu ke sini, heh?!" Papa kembali mencecar Rakana.Terdengar Rak
"Papa sudah bicara sama dokter Althaf. Kita bisa melakukan test DNA setelah usia kehamilan kamu masuk tujuh Minggu. Dia juga siap membantu kita. Nanti, setelah hasilnya ke luar, papa mau hanya kita bertiga yang tahu. Jangan beri tahu siapapun, apalagi Fahad dan Raka. Mengerti 'kan?" Papa berujar setelah melepaskan dekapannya.Aku pun hanya mengangguk. Tidak ingin membantah apapun."Tapi, Pa. Kita dapat sampel darah atau bagian tubuh Fahad dari mana?" tanya Mama."Masalah itu biar papa yang urus. Mama dan Chia gak perlu pusing memikirkannya. Yang penting nanti setelah usia kehamilan Chia tujuh Minggu, test itu kita lakukan secepatnya," jawab Papa."Emm, apa nanti gak ilegal, Pa? Test DNA juga kan harus atas persetujuan orangnya," protes Mama.Terdengar Papa menghela napas berat. "Mama jangan memikirkan apapun. Dokter Althaf akan membantu kita dan semua prosesnya biar papa yang mengurus. Tapi setelah hasilnya nanti ke luar, cukup kita dan Dokter Althaf yang tahu. Mama mengerti 'kan?" Pa
Setelah kepergian Bang Fahad, aku memutuskan untuk memusatkan seluruh energiku untuk menghadapi hidup tanpa dirinya. Meski hati remuk, aku tahu aku tidak bisa menyerah. Hidupku kini bukan hanya tentang diriku sendiri. Bayi ini adalah alasan terbesarku untuk bertahan.Mataku rasanya panas, bahkan mulai berair. Namun aku memberi sugesti pada diriku hingga bibirku mengukir senyum kecil. Aku harus kuat. Aku akan tetap bahagia, meski tanpa Bang Fahad lagi.Aku memejamkan mata lalu mengembus napas pelan. Mencoba lebih menenangkan diri agar tidak terus-terusan stress.Pelan-pelan aku bangun sampai akhirnya bisa duduk bersandar. Mengambil gelas berisi air di atas meja lalu meneguknya. Memberikan rasa sejuk di tenggorokan dan setitik ketenangan yang aku butuhkan.Masih dalam posisi duduk bersandar, aku menyentuh perut kembali. Mengusapnya lembut meski perutku masih sangat rata."Kita pasti bisa lewati semua ini sama-sama ya, Nak? Kita gak boleh sakit-sakit lagi. Kita harus happy. Baik-baik di
Aku membuka mata perlahan, menatap langsung pada Bang Fahad yang duduk di kursi di sebelah ranjangku. Aku mencoba tersenyum tipis, meski hatiku hancur."Bang ...." Aku memulai dengan suara parau.Bang Fahad menghela napas seraya mengangguk kecil. "Apa yang ingin kamu bicarakan lagi, Chi?"Aku mengumpulkan keberanian. Tubuhku mungkin lemah, tapi hatiku tidak boleh menyerah. Aku harus menghadapi ini dengan tegar, demi bayi yang sedang aku kandung."Aku cuma ingin mengatakan satu hal," kataku pelan. Aku berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mataku. "Aku tidak akan memaksa Abang untuk tetap bersamaku. Kalau memang Bang Fahad ingin berpisah, aku terima. Tapi satu yang harus Abang tahu, aku tidak pernah berselingkuh, dan bayi ini adalah anak abang."Laki-laki itu nampak tak bereaksi. Kepalanya sedikit menunduk dengan pandangan lurus ke depan. Meski begitu, aku yakin dia mendengar ucapanku."Aku terima perpisahan yang Abang inginkan. Mungkin sejak awal, seharusnya kita