Aku akhirnya diizinkan pulang sore hari setelah menginap satu malam lagi bersama Afkar. Dari semua pemeriksaan, aku maupun bayi mungil itu dalam keadaan baik. ASI-ku pun sudah keluar cukup banyak. Hanya Mas Arsya dan Ibu yang menemaniku sejak semalam. Ditambah Mama Astri yang datang pagi harinya. Entah ke mana yang lain? Saat aku bertanya, mereka menjawab kompak tidak tahu. Mas Arsya memapahku berjalan, sedangkan Afkar bersama Mama Astri dan Ibu membawakan tas dan barang-barang lain. Aku punya dua ibu sekarang dan itu sangat luar biasa rasanya. Sikap Mama Astri berubah banyak kepadaku dan aku bersyukur karenanya. Kesabaran memang tidak ada tandingan. Bahkan, jika dibilang kesabaran ada batasnya, itu mungkin kurang tepat. Emosilah yang ada batasnya sehingga kesabaran terkadang kalah dan terpaksa ditinggalkan dalam sesaat. Aku sangat sering mengalami itu karena emosi yang naik-turun seperti rollercoaster. Sampai di rumah, keadaan sangat sepi. Hanya ada Bi Narti yang membukakan pintu
Sejak aku pindah ke kamar bawah, Ayah dan Ibu yang tidur di kamarku bersama Mas Arsya yang di lantai atas. Satu kamar lagi digunakan oleh Kaniya. Lantas, Mas Danu tidur di sofa ruang tengah depan televisi.Malam ini, setelah memastikan Mas Arsya dan Afkar tidur, aku keluar dari kamar, sengaja untuk bicara dengan Mas Danu. Aku tidak ingin Kaniya mundur karena sikap Mas Danu yang tak acuh. Kulihat, laki-laki berkulit putih itu sedang rebahan di sofa sambil terus memencet-pencet tombol remote televisi. Channel acara televisi pun terus berpindah tanpa diindahkan oleh yang ada di hadapan. "Bisa pusing remote-nya dipencet-pencet terus kayak gitu, Mas," ucapku seraya duduk di sofa yang hanya cukup satu orang di sampingnya. Mas Danu bingkas dan langsung memosisikan duduk. Dia menghela napas, lalu menyadarkan punggung. "Kirain siapa?" ucapnya kemudian. "Aku perlu ngomong sama Mas Danu." Kutatap tajam laki-laki yang melihat lurus ke arah televisi. Dia seperti sengaja menghindar dari pandang
PoV Danu"Sudah tiga bulan kamu lamar Kaniya, Dan. Cepat diresmikan. Ayah sama Ibu sudah dua kali tentukan tanggal, tapi kamu masih nolak. Kasihan Kaniya dan keluarganya. Mereka nunggu kepastian." Ayah mulai mendesak lagi. "Nggak tahu, Yah. Aku belum mau terikat," jawabku tak terlalu peduli. "Besok, Ayah sama Ibu mau ke Bekasi. Kayaknya, Manda sudah mau lahiran. Ibu mau nemenin adikmu di sana. Ibu harap, setelah Manda melahirkan, kamu memberi kepastian agar Ayah dan Ibu punya alasan untuk mampir ke rumah orang tua Kaniya." Sekarang, Ibu yang menimpali. Sudah tiga bulan saja aku tidak bertemu Manda. Dia pasti tambah gendut. Aku tertawa sendiri membayangkan wajah adik paling bandel itu. Meskipun tahu jika tidak mungkin lagi mengharapkannya, aku tetap tidak bisa melupakan rasa untuknya. Sementara Kaniya, aku masih belum bisa memberikan haknya. Hati ini masih tertuju untuk Manda. Namun, memang keberadaan Kaniya sedikit banyak sudah mengubah cara berpikirku, tapi untuk cinta, itu masih
Aku berharap yang terbaik untuk Mas Danu dan Kaniya. Hari ini, mereka pergi ke rumah orang tua Kaniya untuk membicarakan lebih lanjut mengenai tanggal pernikahan Keduanya. Bersama Ayah, Ibu, dan Mas Arsya, mereka berangkat sekitar pukul tujuh tadi pagi. Aku tidak ikut karena Afkar yang masih terlalu kecil. Di rumah, aku ditemani Mama Astri dan Papa Farhan yang datang beberapa menit sebelum mereka semua pergi. Mertuaku sangat perhatian kepada Apalagi saat dengan Afkar, mereka bisa tertawa lepas. Aku bersyukur masalah keluarga Mas Arsya selesai dan menjadi lebih baik. Mengingat bagaimana dulu Mama Astri memperlakukanku, itu benar-benar sangat berbeda dengan Mama Astri yang sekarang. Untuk Kaniya dan Mas Danu, aku tidak tahu apa yang membuat mereka berubah pikiran. Namun, ada yang mengganjal perasaan saat tahu keduanya akan menentukan tanggal pernikahan. Apakah hubungan mereka akan baik tanpa dilandasi cinta? Aku tahu kalau Kaniya mencintai Mas Danu, tapi belum sebaliknya. Kakakku it
PoV ArsyaAku sangat takut saat begitu banyak darah merembes di pakaian Manda. Keringat dingin pun makin terasa saat aku menyentuh kulitnya. Wajahnya pun tampak sangat pucat dengan tubuhnya bergetar. Masalah demi masalah yang ada bahkan belum mau pergi sejak dari awal kehamilannya hingga Afkar lahir. Aku pun sama sekali belum bisa membuatnya bahagia. Hari sebelumya saat aku pulang dari rumah orang tua Kaniya, Manda sudah terlihat kurang sehat. Namun, aku hanya berpikir jika dia kelelahan dan terlalu memikirkan Danu. Malam harinya pun, Manda masih bersikap biasa saja saat Pak Zaidan dan keluarganya datang. Rupanya, aku yang tidak peka. Manda mungkin sengaja diam saja soal apa yang dirasakannya. Sampai di rumah sakit terdekat, Manda langsung ditangani oleh dokter. Sementara aku hanya bisa melihat dari jarak sedikit jauh di ruang UGD ini untuk memberi ruang gerak kepada dokter dan perawat yang sedang melakukan tindakan. Satu perawat yang baru saja keluar setelah mengambil darah Manda,
Aku mendengar tangis bayi berulang kali, tapi kedua mata ini sulit terbuka. Rasanya seperti ada batu besar yang menindih tubuh sehingga aku tidak bisa bergerak sama sekali. Namun, saat ada yang memanggil, mata ini sontak terbuka. Aku melihat pemandangan di hadapan. Hanya ada sesuatu yang menggantung, lalu bola lampu yang menyala. Aku tiba-tiba linglung, tidak tahu ini di mana, lalu kenapa bisa ada di tempat ini. "Manda! Sayang!"Aku berusaha menoleh ke arah suara. Wajah laki-laki yang sangat familier tampak tersenyum dan dia juga menggenggam tanganku. Namun, aku kesulitan mengenalinya. Aku kenapa? Dia siapa? Manda? Apa itu namaku? "Manda ... akhirnya kamu sadar juga, Sayang." Laki-laki itu seperti akan menangis. Aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca. Saat aku masih mencoba mengingat, dua orang perempuan berbaju putih mendekat dan memeriksaku. Mata, mulut, tangan, semuanya menjadi sasaran. Ah, aku mengenali pakaian putih itu. Dia pasti seorang dokter. "Bu Manda bisa melihat
Tiba di rumah, aku langsung mencari Afkar. Hanya anak itu yang membuatku bersemangat untuk segera sembuh dan bisa membersamainya setiap saat. Bayi menggemaskan itu ada dalam gendongan sang nenek dan menyambutku dengan hangat. Aku yang berjalan pelan setelah turun dari mobil dengan dipapah Mama Astri, tersenyum semringah bisa kembali menjejak rumah ini lagi. Rasanya ini seperti keajaiban. "Bunda pulang, Nak." Ibu berucap dengan binar cerah di wajahnya saat melihatku mendekat ke pintu rumah. "Assalamu'alaikum," ucapku pelan. Semua menjawab salamku dengan cepat. Mas Danu pun menerobos dari belakang Ibu dan memberikan usapan lembut di kepalaku. Dia tersenyum penuh arti. Aku masih bisa merasakan cinta yang berlebih dari sorot matanya. Namun, kuanggap itu cinta untuk seorang adik. "Selamat datang, Nyonya Arsya. Jangan lagi buat orang-orang yang sayang sama kamu khawatir, ya. Caramu itu kurang berkelas," ucap Mas Danu dengan senyum. "Emangnya, yang berkelas, yang kayak gimana, Mas?" sah
Menjadi orang pertama yang mengetahui setiap perkembangan Afkar memang sangat membahagiakan. Bayi berpipi gembul itu sekarang sudah bisa tengkurap di usia tiga bulan. Sampai sekarang pula, Ibu masih tinggal bersamaku di rumah Mas Arsya. Sementara Ayah sudah dua kali bolak-balik Bekasi-Jogja. Untuk Mas Danu, aku dan dia sedikit lebih jauh sekarang. Sejak pulang ke Jogja bersama Ayah, dia belum ke sini lagi. Bahkan, sekadar berkirim pesan juga tidak pernah. Aku dan Kaniya juga putus kontak. Dia tidak bisa dihubungi sejak terakhir berkunjung. Kondisiku pun sudah normal seperti sedia kala. Mas Arsya juga mulai sibuk di kantor meskipun jadwal kerjanya dibuat teratur. Berangkat pukul delapan pagi dan sampai rumah sebelum pukul lima sore. Kami punya banyak waktu untuk bersama. Bahkan, di hari Sabtu dan Ahad, dia membebaskan diri dari semua pekerjaan kantor. Seperti hari ini, Mas Arsya menemaniku membawa Afkar ke baby spa. Untuk kali ini, Ibu memilih tidak ikut, katanya sedikit lelah. Kare
PoV ArsyaAku tidak pernah menyalahkan Manda dengan sikapnya yang kadang kala seperti anak kecil. Itulah dia apa adanya. Sekali, dua kali, tiga kali dikecewakan, dia masih bisa bersabar. Semua terbongkar sudah kenapa dia begitu marah saat aku menunda kepulangan dari Kalimantan selama beberapa hari lagi. Semua orang merahasiakan sesuatu dan baru sekarang aku mengetahui kejadian sebenarnya. Afkar sempat demam tinggi dan mengalami kejang sehingga dirawat selama satu hari di rumah sakit. Kemungkinan karena anak itu tidak bisa jauh dariku terlalu lama. Padahal, saat itu baru dua hari aku pergi. Ya, kekecewaan Manda bukan karena egois, tapi dia marah karena itu berhubungan dengan Afkar. Mama menceritakan betapa Manda kebingungan karena harus bolak-balik dari rumah ke rumah sakit sampai sepuluh kali dalam sehari. Syifa yang rewel karena belum pernah jauh dari sang bunda dan Afkar yang terus mencariku. Sementara Syifa tidak mungkin dibawa ke rumah sakit. "Kenapa nggak ngabarin aku, Ma? Aku
PoV ArsyaBayu terperangah saat aku membuka tudung kepala dan kacamata hitam. Dia beringsut mundur dan tampak gugup. Namun, dia juga tidak lari. Mungkin, dia kaget dengan keberadaanku."Ba–bapak kenapa bisa di sini?" tanyanya terbata-bata. "Siapa dia, Pak Bayu? Apa perlu saya—""Diam! Dia adalah Pak Arsya, pemilik Jaya Properties!" seru Bayu kepada laki-laki bertubuh besar yang ada di belakangku. Semua orang yang ada dan melihat kejadian ini, terdengar berkasak-kusuk. Kebanyakan mereka menghujatku karena mengira sebagai orang yang bertanggung jawab dalam pembelian tanah korban kebakaran. Aku lalu menghubungi Damar. Dia bilang, sudah selesai membeli semua barang dan memastikan sampainya barang-barang itu di pengungsian. Sekarang, dia sedang menuju ke tempatku berada. Aku kini justru dikepung warga yang tidak terima dengan harga pembelian tanah mereka. Sementara Bayu berhasil lolos dengan tipu dayanya. Kebanyakan menyalahkanku dan meminta pembatalan pembelian."Saya memang pemilik p
PoV ArsyaKalau orang bilang, pasti aku dan Damar itu seperti surat dengan perangko yang menempel terus ke mana pun. Di Kalimantan ini, Damar pun ikut denganku dan kali ini, tanpa Edo yang bisanya menjadi pelengkap tiga sekawan. Edo sedang ada pertemuan dengan klien lain di Jakarta. Dia juga orang sibuk. Sampai di Kalimantan, aku dan Damar langsung menuju hotel terlebih dahulu karena pertemuan dengan Pak Hamdan sudah dijadwalkan selepas makan siang. Sementara saat ini, waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. "Satu kamar aja, nggak apa-apa, kan, Mar? Tapi, aku ambil tempat tidurnya yang dua," kataku setelah memesan kamar. "Saya, sih, nggak apa-apa, Pak. Cuma, apa Bapak nyaman satu kamar sama sopir?" jawab Damar dengan kalimat tanya juga. Mendengar itu, aku justru tertawa. "Kamu masih makan nasi, kan?" "Iya, Pak. Memangnya kenapa? Tadi, saya juga sudah sarapan." Damar berbicara seperti tidak paham dengan ucapanku. "Ya sudah, berarti aku aman. Soalnya, teman satu kamarku bukan
PoV ArsyaDamar berhasil membawa Kasih, istri dari korban di apartemen yang membuat namaku buruk di mata publik. Acara konferensi pers ini juga dihadiri beberapa wakil dari pihak kontraktor, termasuk Pak Alif Nurdiansyah selaku pemilik perusahaan kosntruksi itu. Memang proyek apartemen itu sudah berlangsung lebih dari dua tahun, sejak sebelum aku mengenal Pak Zaidan. Kasih tidak bisa lagi memberikan tuduhan di depan banyaknya kamera yang merekam kami. Dia juga akhirnya mau menerima jalan damai yang aku dan Pak Alif tempuh dengan memberikan jaminan penghidupan yang layak untuk calon anaknya yang masih dalam kandungan hingga lulus jenjang perguruan tinggi. Aku juga memberinya pekerjaan sebagai staff marketing dengan jam kerja bebas karena memperhitungkan kondisinya yang tengah mengandung. Aku memberinya posisi itu karena dia rupanya lulusan SMK dan mempunyai ijazah D3 Managemen Pemasaran. Keterbatasan ekonomi membuatnya tidak bisa melanjutkan jenjang S1 dan dia kesulitan mendapat peke
PoV ArsyaSatu masalah selesai, datang lagi masalah baru. Lelah sudah pasti, tapi selama Manda selalu di sisi, semuanya terasa lebih mudah. Dia selalu mendukungku dalam segala hal yang masih dalam koridor kebaikan. Aku sangat beruntung memilikinya. dengan ancaman perempuan yang suaminya menjadi korban kecelakaan di apartemen. Namun, aku tidak ingin Manda ikut kepikiran dengan masalah itu. Apalagi, berita di media elektronik dan sosial yang simpang siur. Aku sebenarnya tidak takut dengan berita miring yang beredar. Namun, tuduhan tentang korupsi dana yang membuatku tidak habis pikir. Aku yang menggelontorkan dana untuk pembangunan apartemen itu dan lahan pun milikku, mana mungkin aku membuat buruk nama sendiri? Pengacara perusahaan pun memberiku support untuk tetap tenang. Juga semua karyawan yang percaya sepenuhnya denganku. Akan tetapi, banyak juga yang membuat namaku makin dituding buruk. Mereka yang merasa tersaingi dengan pesatnya peningkatan perusahaanku tentunya. Aku memijat-
PoV ArsyaBerita tentangku dengan Galuh rupanya tersebar di media sosial. Apalagi, foto saat awalnya aku duduk di sebelah Galuh, sempat tersebar. Memang sebelumnya aku tidak terlalu peduli duduk bersebelahan dengan perempuan itu, tapi karena mulai ada tanda-tanda tidak beres, aku pun bertukar tempat dengan Damar. Siapalah aku yang sampai menjadi incaran pemburu berita? Apa istimewanya juga meliput tentangku? Bahkan, menyebarkan berita hoax yang bisa saja membuat kehidupanku menjadi kacau. Untungnya, Manda bisa berpikir positif dan tidak langsung menuduhku macam-macam. Saat anak-anak sudah tidur lagi, Manda memperlihatkan berita tentangku di akun Instagram miliknya. Cukup viral juga. Namun, yang membuat geram itu caption yang dituliskan "Pemilik Jaya Properties Berlibur ke Belitung dengan Putri Bungsu Pemilik Lahan yang sedang Digarap menjadi Resort di Pelabuhan Ratu." Jelas salah total apa yang diberitakan. Aku ke sana hanya untuk bisnis dan pemilih lahan resort itu bukan lagi ayah
PoV ArsyaSelepas Subuh, aku sudah berangkat ke Bandara karena Manda justru memaksaku pergi ke Belitung. Dia tidak lagi mempermasalahkan kesibukanku sejak semalam. Setelah kami sama-sama melepas rindu, dia tiba-tiba memberiku izin. Sebenarnya, aku justru takut jika dia seperti itu. Manda seperti menganggap dirinya tidak penting bagiku. Aku bertekad dalam hati akan mengambil libur setelah urusan di Belitung selesai. Lagi pula, nanti sore, aku sudah kembali lagi ke Jakarta. Aku ke sana juga tidak sendiri. Edo dan Damar aku paksa ikut. Sebagai asisten pribadi, Damar sangat dibutuhkan karena dia juga berperan sebagai sekretarisku. Sekitar pukul delapan pagi, aku dan yang lain sampai di bandara Pulau Belitung. Kami pun langsung menuju tempat pertemuan dengan klien yang dijadwalkan pukul sembilan pagi. Masih ada waktu satu jam lagi untuk kami menyiapkan presentasi. Aku juga harus membaca ulang proposal yang dikirimkan oleh pihak klien lewat email kepada Edo. Satu orang yang berada di ant
PoV ArsyaManda makin sibuk mengurus Afkar dan Syifa. Untungnya, kami tinggal bersama Mama dan masih ada Resti sehingga dia tidak terlalu kelelahan. Meskipun begitu, tuan putri kecil kami tidak pernah absen mengajak bergadang sampai usianya sekarang sudah tiga bulan. Dia bahkan sudah bisa diajak bercanda dan mulai belajar tengkurap. Untuk hadiah kunci saat itu, Manda tidak menolak, tapi hadiahnya malah aku yang memakai. Apa lagi, mobil yang dulu kacanya pecah, sudah kujual karena membuat trauma. Kemudian, mobil yang satunya, aku biarkan dibawa oleh Damar. Kasihan saja kalau dia harus bolak-balik pakai motor untuk pulang dan pergi. Jadi, biar dia sekalian yang merawat mobilku dan saat dia datang, aku tinggal berangkat. Tidak perlu memanaskan mesin dulu. "Hari ini jadwal imunisasi Syifa, Mas. Minggu lalu, Mas Arsya udah janji mau anter, loh," ucap Manda saat aku sudah siap akan pergi ke kantor. Aku menatapnya bingung. Aku diam, bingung harus menjawab apa. Aku benar-benar lupa dengan
Hari ini, akikah untuk Syifa dilaksanakan. Rumah Mama dan Papa ditata begitu meriah sehingga penuh dengan tamu yang kebanyakan adalah teman kerja dan keluarga besar. Aku bersyukur karena banyak yang datang dan ikut mendoakan putri kecilku. "Mas, bekas jahitannya nyeri."Mendengar keluhan Manda itu, aku bergegas membawanya ke kamar. Dia pasti kelelahan dan terlalu banyak bergerak saat acara. Syifa pun aku minta kepada Mama untuk dibawa masuk. Apalagi, untuk proses akikah, memang sudah selesai. Tinggal makan bersama saja dengan para tamu. Untungnya, Sofyan juga ada di acara ini dan dia kuminta untuk memeriksa Manda. Katanya, tidak ada apa-apa, hanya kemungkinan karena terlalu banyak bergerak saja. Sofyan lalu menyuruh untuk memberikan obat pereda nyeri saja setelah memastikan Manda makan."Nak Arsya keluar saja. Biar Ibu yang jagain Manda sama Syifa. Para tamu nyariin tadi." Ibu ikut masuk ke kamar ini dan mengambil alih piring berisi makanan yang akan aku berikan untuk Manda. "Iya, S