Penasaran dengan Gilang dan Sekar? Silakan mampir ke MENIKAH DENGAN TETANGGA JUTEK. Ada kisah cinta Gilang dan Sekar di sana
Sebuah panggilan masuk ke ponsel Rizal. Nama Desti terlihat jelas, membuat Rizal menyingkir. “Ada apa?” Sahutan itu terdengar dingin. Tak seperti Rizal sebelumnya yang selalu hangat. “Mas, Papa sudah bicara kan sama kamu?” tanya Desti dari seberang. “Iya,” sahut Rizal pendek. “Jadi, apa keputusanmu? Kita rujuk kan? Aku masih mencintaimu, Mas.” Rizal tersenyum miring. Bahkan empat tahun lamanya saat mereka hidup bersama, kata-kata itu tak pernah keluar dari mulutnya. Selama empat tahun, Rizal hanya cinta sendiri. Dia mencintai Desti, tapi tidak sebaliknya. “Mas, kamu masih dengar aku kan?” “Maaf aku sibuk.” Rizal segera menutup sambungan teleponnya. Dia terduduk lemas di sisi ranjang di kamarnya. Saat dia ke rumah orang tuanya, dan sejak dia berpisah dengan Desti, Sasti selalu tidur dengan neneknya. Kakeknya biasanya akan tidur di kamar tamu setelah sampai malam akan berbincang dengan Rizal. Belum Rizal meletakkan ponsel itu, pesan tanda masuk membuatnya urung. [Mas
Rizal baru saja hendak meninggalkan masjid usai sholat jamaah. Sebuah tepukan di bahu, membuatnya menoleh. “Eh, Pak Rustam…” Rizal mengangguk, meski dalam hati, ingin rasanya buru-buru meninggalkan pria yang hari itu berpeci putih yang senada dengan gamisnya. “Masih ingat ponakan saya, nggak, Mas Rizal?” Deg, perasaan Rizal tak enak. Jangan bilang Pak Rustam bawa Ratih ke Masjid juga? Mata Rizal memindai sekeliling. “Bentar, masih di dalam.” Pak Rustam tersenyum penuh arti, saat melihat wajah panik Rizal. Mau tak mau, Rizal memang menyembunyikan rasa tak nyaman. Apalagi teringat kelakarnya dengan Gilang tadi. Jangan-jangan Gilang menyampaikan ucapannya, tentang sales tadi? “Nah, itu dia,” tunjuk Pak Rustam pada pria dengan baju koko warna coklat susu dan celana bahan warna milo itu. Ada rasa lega. Bukan Ratih yang dimaksud Pak Rustam. “Hai, Mas Rizal. Apa kabar?” Tangan Hasan terulur yang langsung disambut oleh Rizal. Hasan dulu masih kelas satu saat Rizal sudah ke
Rizal menatap punggung Hasan yang meninggalkannya. Dia menyesap kopi yang sudah terlanjur dingin. Ingatannya kembali ke masa SMA. Sudah samar apa yang diucapkan Hasan barusan. Bagi Rizal, apa yang dikatakan pada Ratih adalah hal sepele. Wanita itu terlalu memperbesar masalah. Ratih, wanita yang selama ini tak ada dalam kamus hidupnya. Dia hanyalah penghalang kebahagiaannya. Namun, kenapa setelah sepuluh tahun berselang, kenapa harus kembali diributkan? Kopi hitam di cangkirnya sudah tandas. Rizal segera beranjak. Mobil Pajero sport keluaran terbaru, dilajukan menuju rumah orang tua Sekar, dimana Gilang menginap malam ini. “Bisa ketemu dengan Gilang, Bu?” tanya Rizal pada Ibunya Sekar yang membukakan pintu. Hari sudah malam. Seluruh penghuni rumah keluarga Sekar sudah pulas. “Mas Gilang sudah tidur, Nak. Besok pagi-pagi mau kembali ke Jakarta. Ada yang penting?” Rizal menunduk. Dia tahu, itu sudah terlalu larut. Nggak mungkin memaksa sahabatnya itu bangun. Apalagi kalau Gil
“Bagian mana yang kamu sebut “busuk”? Hanya karena dia mencintai mantan kekasihnya dan meminta cerai darimu, kamu bilang “busuk”? Dia bahkan tak mengambil hak dia sepeserpun darimu.” “Ah. Sudahlah! Aku nggak mau membahas lagi. Percuma. Kita beda pemikiran!” Rizal bangkit dari duduknya lalu masuk ke kamarnya. “Rizal, kamu akan tahu akibatnya!” ancam Prita sebelum Rizal benar-benar menghilang di balik pintu. Di dalam kamar, dia tak langsung bisa tidur. Matanya berusaha terpejam, namun pikirannya menggembara. Kata-kata Hasan dan Prita bergantian memenuhi kepalanya. Hal yang tadinya membuat dia pasti ingin meninggalkan Desti, mendadak ragu kembali. Ya, pernikahannya dengan Desti memang mampu mengangkat derajat keluarganya. Yang tadinya bukan siapa-siapa di kampung, menjadi sedikit dipandang. Dia yang dulu hanya berbekal tekat untuk kuliah di ibukota, terbantu dengan bekerja menjadi supir pribadi Desti, hingga akhirnya mengenal dunia bisnis yang digelutinya sekarang. Jam sudah
Rizal tersenyum lega. Ulangan Fisikanya selamat. Bahkan nilainya nyaris sempurna. Catatan Ratih bahkan sangat lengkap. Termasuk cara-cara pengerjaan soal, yang semua mirip dengan yang keluar di ulangan. Ratih, selain rajin menyimak pelajaran di kelas, dia juga rajin membuat resume agar pelajaran mudah diingat. Dan salah satu hal yang dia rajin lalukan di pelajaran fisika adalah Latihan soal. Tak hanya soal yang diberikan oleh Pak Guru. Tapi, Ratih juga rajin mencari bahan pengayaan di perpustakaan. Dia meminjam buku, dan dibawanya pulang. Di rumah, dia akan mengerjakan soal-soal itu. Tak heran jika cara belajar yang dilakukannya banyak menolongnya saat ujian. Di saat yang genting pun, dia tak harus panik. “Zal, aku kecewa sama kamu. Ratih yang bisanya dapat sepuluh, ulangan kali ini jeblok karena kamu!” Dewi memprotes Rizal saat pembagian kertas ulangan. Fisika adalah pelajaran favorit Ratih. “Itu namanya takdir,” jawab Rizal santai. Dalam hati, ia berbunga, karena berkat dia nger
“Sini. Punya orang, jangan main rusak-rusak aja.” Gilang segera merebut buku itu. Rizal tersenyum memandangi catatan yang ada di tangannya. Catatan sejarah sudah dikembalikan oleh Gilang saat itu. Tapi, masih ada beberapa catatan rupanya yang justru tak dikembalikannya. Ya, catatan itu saat dia sudah kelas tiga. Rupanya tak hanya sekali dua kali dia berurusan dengan Ratih perihal pelajaran sekolah. Pagi itu… “Zal, tugas Pak Lukman dah jadi? Pinjem dong!” Bagas teman sebangkunya bertanya. “Tugas apaan?”“Jangan bilang kamu belum ngerjain ya? Kamu bisa distrap ntar!” Bagas mengingatkan. Di kelas tiga, Rizal sudah tidak sekelas lagi dengan Ratih dan Dewi. “Jam ketiga lho kelas Pak Lukman!” terang Bagas. Artinya tidak lewat jam istirahat. Padahal jam pertama dan kedua adalah pelajaran Bahasa Inggris. Kelas terlihat genting. Semua murid saling contek untuk mengerjakan tugas. “Dikumpulin emang?” Rizal yang masih bengong, bingung mau gimana. Mengerjakan dalam waktu cepat tak mungkin
Pak Lukman masih memutari kelas saat menunjuk Rizal maju ke depan. Satu per satu siswa di periksa, adakah yang lalai mengerjakan PR itu. Dengan sedikit grogi, Rizal melangkah ke depan, membawa buku PR milik Ratih. Bahkan, dia sendiri tak begitu yakin, apakah tugas yang dikerjakan oleh Ratih benar atau salah. Peluh mulai menetes. Tapi, tak ada pilihan lain. Buru-buru dia menyalin tulisan Ratih ke papan tulis. "Nah, ini salah satu contoh siswa yang memperhatikan pelajaran Bapak!" Suara Pak Lukman saat Rizal selesai menyalin. Tak ada yang dilebihkan atau dikurangkan dari tulisan Ratih. Memang dia menulis cara pengerjaan dengan runtut dan mudah dipahami. Rizal mundur dengan perasaan lega. Gemuruh menyambut Rizal. Bagas segera melirik buku yang dipegang Rizal. Keningnya berkerut. Dapat pinjaman PR dari mana? Pikir Bagas. "Ada yang belum jelas?" Suara Pak Lukman kembali membahana. Kelas kembali senyap. "Saya kasih soal satu lagi." Pak Lukman menuliskan soal di papan tulis. Rizal y
Rizal mengangguk. Mereka keluar ruangan guru, setelah Pak Lukman mengembalikan buku Ratih. "Memalukan!" Gumam Rizal geram. Ratih hanya mengerutkan keningnya. Apa maksudnya? Namun, dadanya penuh bunga karena bersama orang yang selama ini dipujanya. "Tulisanmu di halaman belakang buku itu, memalukan!" ujar Rizal tegas, sebelum Ratih berbelok ke kelasnya. Ratih terbelalak. Dia baru ingat, sambil belajar dia mencoret-coret nama Rizal di bagian belakang buku itu. Bak orang kasmaran, melihat namanya saja, membuat Ratih deg-degan. "Nggak perlu kamu merasa sok pahlawan karena meminjamkan PR itu!" Rizal masih mengomel. Jantung Ratih rasanya mau copot mendengar ucapan kasar itu. Tapi, ya sudahlah. Mungkin cinta perlu usaha lebih keras lagi mengambil hatinya, batib Ratih. Dan Ratih tahu, apa yang kini dibutuhkan Rizal ada pada dirinya. Bukankah ini sebuah kesempatan, bukan? Batin Ratih lagi."Udah minta maaf?" Bagas menghampiri Rizal yang bermuka masam. Suara Bagas masih terdengar jelas
“Besok aku ke kantor. Kita meeting semua ya. Jam delapan harus sudah siap.” Rizal tegas memberikan instruksi. Rizal teringat ancaman mantan mertua dan mantan iparnya. Mungkin ini adalah titik kulminasinya, setelah mereka tahu, pada siapa akhirnya Rizal memutuskan. Pasti saat dia tidak ada di kantor, mantan mertua dan iparnya itu mencarinya. Atau bisa jadi mereka mendengar dari Prita atau malah Desti sendiri. Bukannya dia sendiri yang mengenalkan Desti pada Ratih. Dan cerita Ratih kalau Desti pun berusaha menemuinya di kantor.“Minum, Mas.” Rizal tergagap saat Ratih sudah di dekatnya membawa segelas air putih.“Besok mulai kerja?” sambung Ratih. Ratih paham, urusan pekerjaan pasti sangat beragam.”Iya. Jam delapan ada meeting.”“Mau disiapkan sesuatu?”Rizal tersenyum. Pertanyaan Ratih mengingatkan statusnya yang sudah tak duda lagi.Kalau biasanya dia memikirkan diri sendiri, kini ada orang lain di sampingnya.”Kok malah senyum-senyum doang? Kamu biasanya pagi sarapan apa? Nasi goren
Rizal menghentikan mobilnya di luar kompleks perumahan. Nomor Gilang disegera dihubunginya. “Lang, ketemuan sekarang!” ucapnya begitu nomor Gilang tersambung. “Astaga. Ada apa lagi sih, Zal. Udah berapa kali kamu ganggu aku?” terdengar suara ketus dari Gilang. “Bisa nggak?” Rizal tak menimpali ucapan Gilang. “Nggak bisa, Bos. Gue ini cuma pegawai rendahan. Nggak kayak elu yang CEO! Jam makan siang, deh,” tawar Gilang. “Justru gue nggak bisa jam makan siang.” “Eits. Tumben?” “Nggak usah ngeledek. Besok siang. Awas jangan bikin janji sama yang lain!” ”Ya nggak bisa jamin juga....” Gilang belum selesai bicara, namun Rizal dengan semena-mena menutup sambungan teleponnya. Pikiran Rizal sedikit terganggu dengan beragam hal. Pertama pertemuannya dengan Desta. Cepat atau lambat, keluarga Desti pasti tak akan tinggal diam mengetahui dirinya memutuskan menikah lagi, dan bukan dengan Desti. Padahal Papa Desti sudah berulang kali memintanya. Dan, perusahaan yang dipegangnya, tentu sekara
”Makasih, Sa.” Ekor mata Ratih mencari-cari Rizal yang tak kunjung kelihatan. Teman SMA-nya itu baru saja keluar dari supermarket. Dia tengah membawa tentengan belanjaan. “Ingat pesanku dulu. Jangan sampai kamu dimanfaatkan oleh Rizal.” Suara Danisa terdengar tegas dan mengancam. ”Aku duluan. Salam buat Rizal,” sambungnya. Belum sempat mencegah, Danisa sudah berlalu. “Kok malah bengong. Ayo. Katanya mau belanja.” Rizal mengambil alih troly yang dipegang Ratih. Mereka berdua masuk ke dalam area supermarket. Meski hari masih pagi, tapi supermarket ini sudah buka. ”Tadi ada Danisa. Kamu ingat kan? Nitip salam buat kamu.” Ratih berbicara sambil memberi kode Rizal untuk berhenti di stand aneka seafood. Kalimat paling belakang, sungguh menganggu Rizal. Rizal tahu, itu bukan salam biasa layaknya teman. Danisa, memang pernah kuliah satu kampus dengannya. Dulu, seperti Ratih, gadis itu dulu sering mencari perhatian padanya. Namun, lagi-lagi, Danisa bukan tipe yang Rizal inginkan.
Darah Rizal seolah mendidih. Dari kejauahan dia melihat istrinya yang tengah ngobrol dengan seorang pria.Awalnya dia pikir hanya seseorang yang ingin bertanya sesuatu. Namun, mendadak, dia merasa cukup mengenal sosok itu.Sejenak Rizal berusaha mengingat, hingga satu nama ada di kepalanya. Ya, saat itu, dia bertemu dengan pria itu di pusat kuliner di ibukota saat tengah janjian makan siang dengan Gilang.Ya, benar. Itu adalah pria yang akan dikenalkan pada Ratih oleh Gilang.[Lang, sepupu Sekar yang kamu sebut tempo hari namanya siapa?] Rizal langsung mengirim pesan ke Gilang. Dia sungguh tak mengingatnya.[Sepupu Sekar yang mana?] Tumben Gilang langsung membalas. Padahal biasanya sepagi itu dia akan sibuk dengan urusan domestic dan anak-anaknya.[Yang kamu kenalin ke aku sebelum aku melamar Ratih.][Hah? Emang ada apa? Pengantin baru kok malah nanyain rival?] Sebuah emotikon tawa ngakak terlihat di layar ponsel Rizal.Tanpa menunggu lama, Rizal langsung menelon sahabatnya itu.”Jawa
“Mas, bangun. Udah adzan!” Tepukan lembut di pipi kanan sekaligus suara lembut yang memenuhi gendang telinganya membuat mata Rizal mengerjap.Pria itu bak hidup di alam mimpi. Bahkan dia baru menyadari di mana dia berada.“Jam berapa ini?” tanyanya. Tubuhnya merasa sungguh kelelahan. Dia bahkan seolah mati suri.”Jam 5.””Hah? Jam 5?”Rizal yang tadinya masih malas membuka mata, kaget dan refleks langsung terduduk.”Kok kamu baru bangunin?” Matanya masih berusaha mengerjap. Rambutnya acak-acakan. Namun tangannya sibuk mencari ponsel. Meyakinkan kalau dia benar-benar bangun kesiangan.Ditanya begitu, Ratih hanya terdiam. Dia memang sengaja tak membangunkan Rizal sebelum dia rapi.Ratih sudah mandi. Aroma sampo sudah tercium.Rizal langsung melompat dari tempat tidurnya. Dia tak peduli dengan penampilannya yang acak-acakan.“Siapin bajuku!” teriak Rizal sebelum dia menutup pintu kamar mandi.Sebenarnya dahulu saat masih bersama Desti, bahkan Rizal tak pernah meminta istrinya itu menyiap
”Dik, yuk kita balik. Barang-barang sudah mau diantar.” Rizal berucap setelah emnerima telepon dari seseorang. Rupanya pengirim barang yang dibelinya tadi sudah hampir tiba di rumahnya.Ratih mengiyakan.“Di, aku tunggu di rumah baru, ya!” Rizal memberi titah pada pemuda yang tengah menyusun barang-barang Rizal ke mobil box.“Siap, Mas!”Dalam perjalanan pulang mereka tak banyak bicara.”Dekat ya, Mas?” tanya Ratih setelah masuk ke kompleks yang dikunjungi pertama tadi.”Ya, kurang lebih. Sasti kan sekolahnya sekitar sini. Nggak mungkin pindah jauh-jauh,” ucap Rizal.Ratih mengangguk paham. Apalagi bapak-bapak seperti Rizal pasti rumit kalau ingin memindahkan putrinya ke sekolah yang baru.”Saat ini, mungkin kamu nggak akan masalah dengan anak suami kamu. Tapi, kita nggak tahu setelahnya. Jadi, hati kamu harus seluas samudera jika suami kamu bakal banyak mementingkan anak sambung kamu. Dia juga pasti punya beban sendiri dalam membesarkannya. Akan lebih baik kamu selalu support dia, di
Mobil yang dikendarai Rizal masuk ke halaman.”Aman semuanya?” tanya Rizal pada Pardi sambil membuka kaca mobilnya. Pemuda yang selain membantu Rizal bersih-bersih, juga kadang merangkap menjadi orang kepercayaannya.“Aman, Mas.”“Pardi ini juga dari kampung kita. Masih saudara. Dia ikut sejak lulus SMA. Dia sekarang kerja sama aku, sambil aku suruh kuliah,” terang Rizal.”Jadi, ini rumah kamu?” tanya Ratih.Mobil Rizal berhenti.”Betul. Ini rumah aku dan Desti dulu. Sebentar lagi akan laku. Aku sudah menjualnya. Sebelum pulang kemarin, Mbak Siti sudah packing barang-barangnya dan milik Sasti. Barang-barangku juga. Nanti kita bawa ke rumah baru. Sisanya, semua furniture dan perabot, akan dijual saja. Hasil penjualan, aku bagi dua dengan Desti.”Ratih mengangguk.“Ayo turun,” ajak Rizal.Pria itu membuka pintu depan.Tak bisa dikatakan mewah jika dibanding rumah artis. Namun, tergolong cukup elit untuk ukuran masyarakat awam. Barang-barangnya pun terlihat berkelas.Rizal mencuri pandan
Rizal terkekeh melihat Ratih yang belum nyambung. Puas rasanya dia bisa bercanda dengan pasangan. Hal yang hilang dari impiannya selama ini.Buat apa menikah, kalau semuanya palsu. Bahkan, selama pernikahannya, dia tak bisa menjadi dirinya sendiri. Sudah berkorban menjadikan pasangan sebagai ratu, malah berakhir dikhianati.Namun, Rizal tak ingin memutar waktu. Semua dapat diambil hikmahnya. Dia punya putri yang cantik. Dan tak menyesalinya.”Ayo, kalau sudah, kita bayar.” Rizal langsung menghubungi petugas di toko itu, menunjukkan item yang hendak dibeli, dan petugas mengecek ketersediaan di gudang.”Serius kamu beli semuanya?””Itu belum semua sayang. Bulan depan, kita beli lagi barang yang masih diperlukan. Sekarang seadanya dulu.”Ratih menghela nafas.“Kalau kamu bilang langsung belanja, aku bawa amplop dari teman-teman,” bisik Ratih.“Oh, klo gitu, besok kita belanja lagi…” Rizal mengedip-ngedipkan matanya.Refleks Ratih memukul lengan Rizal.“Coba hitung, sejak ijab qobul, kamu
”Sate Kambing, mau?” Rizal mengedip-kedipkan matanya.“Iya, nggak papa. Emangnya kenapa?” tanya Ratih. Bukannya dia sudah bilang mau apa saja.”Sama tongseng juga?” tawar Rizal tanpa menjawab pertanyaan Ratih.”Boleh.” Ratih tak mau ambil pusing masalah menu makanan. Dia malah kepikiran dengan rumah yang hendak mereka tinggali.Selama ini, Ratih tak berfikir sejauh itu. Dia pikir Rizal sudah punya rumah, jadi dia tinggal angkat koper. Meski sebenarnya dia mau menikah dengan duda, bukan karena asetnya. Tapi buat apa beli baru kalau yang lama masih ada dan masih bisa dipakai.”Nggak berubah pikiran?” tanya Rizal dengan ekspresi jahilnya. ”Kalau udah dipesan, nggak bisa berubah lho.”Ratih mendengus. Keningnya berkerut. “Seperti ada yang tidak beres,” gumamnya dalam hati.Kenapa Rizal berubah aneh. Apa selama sepuluh tahun memang banyak yang berubah. Atau selama ini dia memang tak tahu karakter Rizal.Kadang terlalu mengagumi orang, dapat menutupi sikap-sikap lainnya yang tak pernah terp