Begitu Rizal keluar kamar, perasaan Ratih tak enak. Dia seolah de javu mengingatkan pada masa putih abu-abu. Bagaimana Rizal dahulu pernah marah padanya. "Papa marah ya, Bunda?" tanya Sasti. "Nggak. Papa nggak marah. Hanya ngasih tahu ke kita. Harus ijin dulu. Bunda yang salah. Bunda minta maaf ya." Ratih mengusap kepala Sasti. Penuh sesal menyelimuti dadanya. Hingga habis isya, Rizal tidak masuk kamar. Meski Ratih masih samar mendengar suara Rizal ngobrol di luar sana, tapi rasa bersalah berjejalan di dadanya. "Sasti bobok dulu, yuk. Sudah malam," ajak Ratih. "Baca buku ya, Bunda. Tapi, Bunda bacanya yang bagus ya...." Ratih tersenyum dengan permintaan putri sambungnya. "Iya. Tapi, Bunda masih belajar. Janji, besok-besok lebih bagus lagi." Ratih berusaha mengalihkan pikirannya dari kemarahan Rizal. Namun, hingga Sasti terlelap, pikirannya kembali pada Rizal lagi. Demi mengusir pikiran yang tak karuan, Ratih keluar kamar. Berharap dia menemukan Rizal di ruang tengah. Namun, te
"Tadi Mbak Siti nitip, karena mau ngobrol sama saudara-saudara dulu di rumah," jelas Ratih, dengan intonasi setengah berbisik. Dia khawatir Sasti terjaga karena suara mereka. Rizal mendesah, lalu keluar kamar. "Kamu mau kemana?" Ratih buru-buru menarik tangan Rizal untuk mencegahnya. Dia belum mengajak bicara, apalagi minta maaf. Jangan sampai Rizal urung tidur di kamar dengan membawa amarah, gumam Ratih. Tapi, Rizal malah mengibaskan tangan Ratih. Pria itu tetap keluar kamar. Ingin rasanya Ratih mengejar, namun, dia tak mau bertindak bodoh. Itu bukan rumahnya. Jangan sampai membuat gaduh. Apalagi mereka masih pengantin baru. Jangan sampai ada yang mengira mereka sedang berantem. Ratih berusaha menahan diri. Dia ingat, ada yang akan senang, jika hubungannya dengan Rizal retak. Itu tak boleh terjadi, bisiknya. Namun, tak lama Ratih bisa menarik nafas lega. Rizal kembali ke kamar dengan membawa gulungan kasur. Rupanya dia keluar karena ingin mengambil kasur cadangan. Karena, tempa
Lancang? Ratih benar-benar tak menyangka. Dua kali dia sudah berbuat salah, pada selang yang tak terlalu lama. Dan dua-duanya adalah karena kelancangannya. Secepat itukan Rizal menyimpulkan tentangnya? Atau memang Ratih yang salah, belum meminta ijin. Haruskan seorang suami istri, semua hal kecil harus minta izin, tanpa boleh berinisiatif? Ratih pernah mendengar, seorang laki-laki, kalau hasratnya tidak tersalurkan, maka kemarahannya menjadi tak terbendung. Itulah alasannya, seorang istri tidak boleh menolak, jika suaminya sedang menginginkan. Ratih mengerti, Rizal adalah seorang duda, yang mungkin sudah menahan diri selama dua tahun. Namun, tak bisakah dia menunda sejenak, toh esok hari mereka akan berbulan madu? Ratih menarik nafas. Satu yang ditakutkannya, malaikat tidak menaunginya sampai esok hari. Kalau dulu dia pernah mendapat marah dari Rizal, tapi pria itu bukan siapa-siapanya. Tentu berbeda dengan sekarang. Tak sampai sepuluh menit, Rizal sudah kembali. Pria itu sengaj
Suara gaduh di luar kamar membuat Ratih menghentikan gerakannya berkemas. Namun, Ratih ragu untuk mengintipnya keluar. Ratih tahu diri kalau dia anggota keluarga baru di rumah itu. Namun, suara Prita yang terdengar olehnya benar-benar menganggunya. “Lagian, kamu kok kesannya buru-buru nikah sama Mbak Ratih. Memang ada apa? Kamu dijebak sama Mbak Ratih? Tampangnya aja polos, tapi pinter juga mainnya.” Nada suara Prita yang terdengar menyindir, membuat hati Ratih semankin merasa tersayat. Tak hanya terkesan menuduh, namun juga merendahkan. Proses pernikahan antara Rizal dan Ratih memang cepat. Namun, itu tak seperti yang dituduhkan Prita. Ratih hanya mengikuti rencana yang telah ditentukan oleh keluarganya, karena kebetulan adiknya mau menikah. Dan Rizal yang banyak komunikasi dengan keluarganya, menyetujui rencana itu. Ratih tak terlalu terlibat dalam penentuan waktu. Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah, orang tua Ratih yang sudah tahu siapa Rizal. Kebetulan salah satu sauda
Ceklek..Ratih tergagap saat mendadak pintu kamar terbuka. Begitu juga dengan Rizal. Dia tak menyangka kalau Ratih tengah berdiri di balik pintu, mendengar pembicaraan di luar kamar. "Kamu nguping?" "Nggak usah nguping, aku mendengar semuanya. Suara Prita keras, dan tampaknya sengaja agar aku mendengarnya," sahut Ratih menguatkan diri, sebelum Rizal menuduhnya menguping pembicaraan. Teringat kejadian kemarin, lelah dia harus mengalah dari Rizal. Pria itu selalu merasa benar dan bebas saja memperlakukannya sebagai wanita lemah. Benar dulu Ratih menyukainya. Tapi, bukan artinya harus menerima semua perlakuan Rizal yang masih semaunya. Rizal menutup rapat pintu itu, dan menguncinya. Pria itu lalu mengambil kursi dan duduk di dekat Ratih. "Duduklah," titah Rizal karena Ratih masih berdiri. Rizal tahu, duduk adalah salah satu cara meredam kemarahan. "Apa benar semua ucapan Prita?" Ratih tak mau basa-basi. Dia bahkan tak sempat melihat apakah di luar masih ada Prita dan anggota kelua
Ratih menelan ludah. Hatinya pedih. Sikap Rizal yang hanya terdiam. Bahkan tanpa memberi penjelasan pada orang disekelilingnya sudah cukup memberi penjelasan pada Ratih, kalau masih ada hal yang disembunyikan darinya. Ratih merasa bodoh. Dia terlalu percaya begitu saja dengan orang-orang disekelilingnya yang mendukung keputusannya menerima pinangan Rizal. Padahal, yang menjalani kehidupan selanjutnya adalah dirinya. Bukan orang lain. Harusnya, dia mengeluarkan pengorbanan yang lebih untuk tahu lebih dalam tentang Rizal sebelum memutuskan menerima pinangan itu. Bukankah mempercayai begitu saja lelaki yang pernah melukainya sama saja mempercayai kenyataan yang terlalu bagus untuk dinilai benar? Akankah olok-olok yang pernah ditujukan padanya oleh teman SMA di grup chat akan terjadi lagi. Mereka mengolok-olok keputusan besarnya menerima Rizal setelah pernah ditolak sepuluh tahun lalu. Dan kini, tak hanya grup SMA, bahkan keluarga besar Rizal. Beginikah butanya cinta akan berakhir nela
" Zal, sarapan sudah siap. Ajak Mbak Ratih makan dulu." Suara Bude Titik membuat Ratih dan Rizal yang bersitegang agak mencair. "Yuk. Bapak dan Ibu pasti sudah menunggu," ajak Rizal. Ratih menatap Rizal. "Mas, aku belum tahu banyak hal tentangmu dan keluargamu. Kamu bisa pilih, aku mengetahuinya sendiri atau kamu yang akan memberitahuku," ancam Ratih tegas. Rizal menghela nafas. "Ratih, ijinkan aku memilah mana yang akan aku sampaikan padamu. Karena mengetahui semuanya, bukan hal yang baik. Kadang, justru akan menyakitkan. Namun, kalau memang itu maumu, secepatnya kamu akan tahu semuanya," janji Rizal. "Sekarang, kita makan dulu. Nggak enak sama bapak dan ibu. Pasti sudah menunggu menantu kesayangannya." Rizal menjawil dagu Ratih. Pria itu berusaha sedikit mencairkan suasana. Saat mereka keluar kamar, hanya disambut oleh keheningan. Rupanya Prita sudah tidak ada. "Mereka sudah pulang," ucap Bapak Rizal saat melihat Ratih menebarkan pandangan ke penjuru arah. Pria paruh baya itu
Rizal mengajak Ratih menghampiri tamunya. Mereka pasangan suami istri. “Ini Pakde Hadi sama Bude Rum. Kakaknya bapak,” ujar Rizal mengenalkan keduanya pada Ratih. “Lha berdua sudah rapi, mau kemana? Sasti di depan aku lihat malah main pasaran." Wanita yang dipanggil Bude Rum itu berkomentar. “Mereka berdua mau balik Jakarta. Rizal ada pekerjaan.” Bapak Rizal langsung menyela, sebelum Rizal menjawab. “Lho, anaknya ditinggal?” Ratih merasa ada intonasi tak suka dari wanita paruh baya itu. Ratih meremas tangan Rizal, memberi kode tentang ucapan budenya Rizal itu. Bapak dan Ibu Rizal asli dari kampung yang sama. Begitu juga sanak familinya. Namun, beberapa famili tinggal di luar desa, atau kecamatan lain karena mendapat pasangan bukan dari kampungnya. Tak heran, jika apa yang dialami Rizal pun sudah banyak diketahui saudara-saudaranya. Termasuk perceraian Rizal dan menikahnya untuk yang kedua kali. “Makanya saya lebih setuju Rizal balik sama Desti. Jangan sampai Sasti diurus sama
“Besok aku ke kantor. Kita meeting semua ya. Jam delapan harus sudah siap.” Rizal tegas memberikan instruksi. Rizal teringat ancaman mantan mertua dan mantan iparnya. Mungkin ini adalah titik kulminasinya, setelah mereka tahu, pada siapa akhirnya Rizal memutuskan. Pasti saat dia tidak ada di kantor, mantan mertua dan iparnya itu mencarinya. Atau bisa jadi mereka mendengar dari Prita atau malah Desti sendiri. Bukannya dia sendiri yang mengenalkan Desti pada Ratih. Dan cerita Ratih kalau Desti pun berusaha menemuinya di kantor.“Minum, Mas.” Rizal tergagap saat Ratih sudah di dekatnya membawa segelas air putih.“Besok mulai kerja?” sambung Ratih. Ratih paham, urusan pekerjaan pasti sangat beragam.”Iya. Jam delapan ada meeting.”“Mau disiapkan sesuatu?”Rizal tersenyum. Pertanyaan Ratih mengingatkan statusnya yang sudah tak duda lagi.Kalau biasanya dia memikirkan diri sendiri, kini ada orang lain di sampingnya.”Kok malah senyum-senyum doang? Kamu biasanya pagi sarapan apa? Nasi goren
Rizal menghentikan mobilnya di luar kompleks perumahan. Nomor Gilang disegera dihubunginya. “Lang, ketemuan sekarang!” ucapnya begitu nomor Gilang tersambung. “Astaga. Ada apa lagi sih, Zal. Udah berapa kali kamu ganggu aku?” terdengar suara ketus dari Gilang. “Bisa nggak?” Rizal tak menimpali ucapan Gilang. “Nggak bisa, Bos. Gue ini cuma pegawai rendahan. Nggak kayak elu yang CEO! Jam makan siang, deh,” tawar Gilang. “Justru gue nggak bisa jam makan siang.” “Eits. Tumben?” “Nggak usah ngeledek. Besok siang. Awas jangan bikin janji sama yang lain!” ”Ya nggak bisa jamin juga....” Gilang belum selesai bicara, namun Rizal dengan semena-mena menutup sambungan teleponnya. Pikiran Rizal sedikit terganggu dengan beragam hal. Pertama pertemuannya dengan Desta. Cepat atau lambat, keluarga Desti pasti tak akan tinggal diam mengetahui dirinya memutuskan menikah lagi, dan bukan dengan Desti. Padahal Papa Desti sudah berulang kali memintanya. Dan, perusahaan yang dipegangnya, tentu sekara
”Makasih, Sa.” Ekor mata Ratih mencari-cari Rizal yang tak kunjung kelihatan. Teman SMA-nya itu baru saja keluar dari supermarket. Dia tengah membawa tentengan belanjaan. “Ingat pesanku dulu. Jangan sampai kamu dimanfaatkan oleh Rizal.” Suara Danisa terdengar tegas dan mengancam. ”Aku duluan. Salam buat Rizal,” sambungnya. Belum sempat mencegah, Danisa sudah berlalu. “Kok malah bengong. Ayo. Katanya mau belanja.” Rizal mengambil alih troly yang dipegang Ratih. Mereka berdua masuk ke dalam area supermarket. Meski hari masih pagi, tapi supermarket ini sudah buka. ”Tadi ada Danisa. Kamu ingat kan? Nitip salam buat kamu.” Ratih berbicara sambil memberi kode Rizal untuk berhenti di stand aneka seafood. Kalimat paling belakang, sungguh menganggu Rizal. Rizal tahu, itu bukan salam biasa layaknya teman. Danisa, memang pernah kuliah satu kampus dengannya. Dulu, seperti Ratih, gadis itu dulu sering mencari perhatian padanya. Namun, lagi-lagi, Danisa bukan tipe yang Rizal inginkan.
Darah Rizal seolah mendidih. Dari kejauahan dia melihat istrinya yang tengah ngobrol dengan seorang pria.Awalnya dia pikir hanya seseorang yang ingin bertanya sesuatu. Namun, mendadak, dia merasa cukup mengenal sosok itu.Sejenak Rizal berusaha mengingat, hingga satu nama ada di kepalanya. Ya, saat itu, dia bertemu dengan pria itu di pusat kuliner di ibukota saat tengah janjian makan siang dengan Gilang.Ya, benar. Itu adalah pria yang akan dikenalkan pada Ratih oleh Gilang.[Lang, sepupu Sekar yang kamu sebut tempo hari namanya siapa?] Rizal langsung mengirim pesan ke Gilang. Dia sungguh tak mengingatnya.[Sepupu Sekar yang mana?] Tumben Gilang langsung membalas. Padahal biasanya sepagi itu dia akan sibuk dengan urusan domestic dan anak-anaknya.[Yang kamu kenalin ke aku sebelum aku melamar Ratih.][Hah? Emang ada apa? Pengantin baru kok malah nanyain rival?] Sebuah emotikon tawa ngakak terlihat di layar ponsel Rizal.Tanpa menunggu lama, Rizal langsung menelon sahabatnya itu.”Jawa
“Mas, bangun. Udah adzan!” Tepukan lembut di pipi kanan sekaligus suara lembut yang memenuhi gendang telinganya membuat mata Rizal mengerjap.Pria itu bak hidup di alam mimpi. Bahkan dia baru menyadari di mana dia berada.“Jam berapa ini?” tanyanya. Tubuhnya merasa sungguh kelelahan. Dia bahkan seolah mati suri.”Jam 5.””Hah? Jam 5?”Rizal yang tadinya masih malas membuka mata, kaget dan refleks langsung terduduk.”Kok kamu baru bangunin?” Matanya masih berusaha mengerjap. Rambutnya acak-acakan. Namun tangannya sibuk mencari ponsel. Meyakinkan kalau dia benar-benar bangun kesiangan.Ditanya begitu, Ratih hanya terdiam. Dia memang sengaja tak membangunkan Rizal sebelum dia rapi.Ratih sudah mandi. Aroma sampo sudah tercium.Rizal langsung melompat dari tempat tidurnya. Dia tak peduli dengan penampilannya yang acak-acakan.“Siapin bajuku!” teriak Rizal sebelum dia menutup pintu kamar mandi.Sebenarnya dahulu saat masih bersama Desti, bahkan Rizal tak pernah meminta istrinya itu menyiap
”Dik, yuk kita balik. Barang-barang sudah mau diantar.” Rizal berucap setelah emnerima telepon dari seseorang. Rupanya pengirim barang yang dibelinya tadi sudah hampir tiba di rumahnya.Ratih mengiyakan.“Di, aku tunggu di rumah baru, ya!” Rizal memberi titah pada pemuda yang tengah menyusun barang-barang Rizal ke mobil box.“Siap, Mas!”Dalam perjalanan pulang mereka tak banyak bicara.”Dekat ya, Mas?” tanya Ratih setelah masuk ke kompleks yang dikunjungi pertama tadi.”Ya, kurang lebih. Sasti kan sekolahnya sekitar sini. Nggak mungkin pindah jauh-jauh,” ucap Rizal.Ratih mengangguk paham. Apalagi bapak-bapak seperti Rizal pasti rumit kalau ingin memindahkan putrinya ke sekolah yang baru.”Saat ini, mungkin kamu nggak akan masalah dengan anak suami kamu. Tapi, kita nggak tahu setelahnya. Jadi, hati kamu harus seluas samudera jika suami kamu bakal banyak mementingkan anak sambung kamu. Dia juga pasti punya beban sendiri dalam membesarkannya. Akan lebih baik kamu selalu support dia, di
Mobil yang dikendarai Rizal masuk ke halaman.”Aman semuanya?” tanya Rizal pada Pardi sambil membuka kaca mobilnya. Pemuda yang selain membantu Rizal bersih-bersih, juga kadang merangkap menjadi orang kepercayaannya.“Aman, Mas.”“Pardi ini juga dari kampung kita. Masih saudara. Dia ikut sejak lulus SMA. Dia sekarang kerja sama aku, sambil aku suruh kuliah,” terang Rizal.”Jadi, ini rumah kamu?” tanya Ratih.Mobil Rizal berhenti.”Betul. Ini rumah aku dan Desti dulu. Sebentar lagi akan laku. Aku sudah menjualnya. Sebelum pulang kemarin, Mbak Siti sudah packing barang-barangnya dan milik Sasti. Barang-barangku juga. Nanti kita bawa ke rumah baru. Sisanya, semua furniture dan perabot, akan dijual saja. Hasil penjualan, aku bagi dua dengan Desti.”Ratih mengangguk.“Ayo turun,” ajak Rizal.Pria itu membuka pintu depan.Tak bisa dikatakan mewah jika dibanding rumah artis. Namun, tergolong cukup elit untuk ukuran masyarakat awam. Barang-barangnya pun terlihat berkelas.Rizal mencuri pandan
Rizal terkekeh melihat Ratih yang belum nyambung. Puas rasanya dia bisa bercanda dengan pasangan. Hal yang hilang dari impiannya selama ini.Buat apa menikah, kalau semuanya palsu. Bahkan, selama pernikahannya, dia tak bisa menjadi dirinya sendiri. Sudah berkorban menjadikan pasangan sebagai ratu, malah berakhir dikhianati.Namun, Rizal tak ingin memutar waktu. Semua dapat diambil hikmahnya. Dia punya putri yang cantik. Dan tak menyesalinya.”Ayo, kalau sudah, kita bayar.” Rizal langsung menghubungi petugas di toko itu, menunjukkan item yang hendak dibeli, dan petugas mengecek ketersediaan di gudang.”Serius kamu beli semuanya?””Itu belum semua sayang. Bulan depan, kita beli lagi barang yang masih diperlukan. Sekarang seadanya dulu.”Ratih menghela nafas.“Kalau kamu bilang langsung belanja, aku bawa amplop dari teman-teman,” bisik Ratih.“Oh, klo gitu, besok kita belanja lagi…” Rizal mengedip-ngedipkan matanya.Refleks Ratih memukul lengan Rizal.“Coba hitung, sejak ijab qobul, kamu
”Sate Kambing, mau?” Rizal mengedip-kedipkan matanya.“Iya, nggak papa. Emangnya kenapa?” tanya Ratih. Bukannya dia sudah bilang mau apa saja.”Sama tongseng juga?” tawar Rizal tanpa menjawab pertanyaan Ratih.”Boleh.” Ratih tak mau ambil pusing masalah menu makanan. Dia malah kepikiran dengan rumah yang hendak mereka tinggali.Selama ini, Ratih tak berfikir sejauh itu. Dia pikir Rizal sudah punya rumah, jadi dia tinggal angkat koper. Meski sebenarnya dia mau menikah dengan duda, bukan karena asetnya. Tapi buat apa beli baru kalau yang lama masih ada dan masih bisa dipakai.”Nggak berubah pikiran?” tanya Rizal dengan ekspresi jahilnya. ”Kalau udah dipesan, nggak bisa berubah lho.”Ratih mendengus. Keningnya berkerut. “Seperti ada yang tidak beres,” gumamnya dalam hati.Kenapa Rizal berubah aneh. Apa selama sepuluh tahun memang banyak yang berubah. Atau selama ini dia memang tak tahu karakter Rizal.Kadang terlalu mengagumi orang, dapat menutupi sikap-sikap lainnya yang tak pernah terp