"Kamu?! Ngapain kamu ke sini?!" tanya wanita paruh baya itu sembari menunjuk wajahku. "Jadi kamu masih berhubungan dengan perempuan miskin dan tak tahu diri itu Dikta?!" sentak Tante Delima membuat dadaku berdebar seketika. "Aku cinta sama Lana sejak dulu dan aku hanya akan menikah dengannya, Ma." Dikta melangkah tergesa mendekatiku dan Ryan yang kembali berdiri saat melihat tuan rumah datang. Adik lelakiku itu mulai mendekat dan kini berada tepat di depanku. Dia genggam erat tanganku, seolah menjadi benteng untukku jika tiba-tiba wanita itu menyerang dengan buasnya, seperti dulu. Dikta yang kini berada di samping Ryan pun menatapku beberapa saat lalu mengedipkan matanya berusaha menenangkan. Kuhela napas panjang, terus menata hati jika sewaktu-waktu kata-kata menyakitkan itu terucap kembali. "Kamu anak Erwin Wicaksono, Dikta. Seorang pengusaha yang sukses dan cukup ternama di kota ini. Apa kata orang kalau kamu menikah dengan gembel seperti dia!" tunjuk wanita itu lagi ke arahku
"Kamu?! Ngapain kamu ke sini?!" tanya wanita paruh baya itu sembari menunjuk wajahku. "Jadi kamu masih berhubungan dengan perempuan miskin dan tak tahu diri itu Dikta?!" sentak Tante Delima membuat dadaku berdebar seketika. "Aku cinta sama Lana sejak dulu dan aku hanya akan menikah dengannya, Ma." Dikta melangkah tergesa mendekatiku dan Ryan yang kembali berdiri saat melihat tuan rumah datang. Adik lelakiku itu mulai mendekat dan kini berada tepat di depanku. Dia genggam erat tanganku, seolah menjadi benteng untukku jika tiba-tiba wanita itu menyerang dengan buasnya, seperti dulu. Dikta yang kini berada di samping Ryan pun menatapku beberapa saat lalu mengedipkan matanya berusaha menenangkan. Kuhela napas panjang, terus menata hati jika sewaktu-waktu kata-kata menyakitkan itu terucap kembali. "Kamu anak Erwin Wicaksono, Dikta. Seorang pengusaha yang sukses dan cukup ternama di kota ini. Apa kata orang kalau kamu menikah dengan gembel seperti dia!" tunjuk wanita itu lagi ke arahku
"Dikta!" Tante Delima masih terus memanggil anak lelakinya seiring terdengar deru mobil Dikta yang mulai keluar garasi. Laki-laki itu buru-buru turun dari mobil lalu menghampiriku dan Ryan yang masih memesan taksi. Wajahnya merah padam menahan amarah. Tak peduli dengan teriakan mamanya yang makin membuatku sakit kepala. "Kembali ke rumah, Dikta. Aku bisa pulang sama Ryan," ucapku berusaha tetap tenang agar Dikta tak sekacau itu. "Nggak, Lana. Aku harus mengantarmu pulang. Aku yang jemput, jadi aku pula yang antar," kekeuhnya. Aku menghela napas lagi dan lagi menghadapi keras kepalanya. Jika dia bersikeras mengantarku pulang, mamanya pasti akan semakin membenciku karena merasa dikesampingkan. Namun, aku juga tak bisa menyalahkan Dikta sepenuhnya sebab ini memang bagian dari tanggungjawabnya. "Mbak Lana benar, Mas. Sebaiknya Mas Dikta masuk dan menyelesaikan masalah ini dengan keluarga Mas Dikta. Kalau seperti ini semua akan semakin runyam." Ryan kembali menengahi. "Baguslah kalau
Perlahan menyusuri jalan menuju pemakaman, sementara Ryan berada di belakang dan mengikuti setiap langkahku. Dia pun tak banyak protes, cukup tahu apa yang kini membelenggu hati dan pikiranku. Ryan sudah cukup dewasa. Dia paham kapan saatnya bicara dan kapan saatnya memberiku waktu untuk mengeja segala rasa. Dengan gesit, Ryan mencabuti rumput-rumput kecil yang tumbuh di makam ibu. Mengumpulkan dedaunan yang jatuh di atasnya lalu jongkok di sebelahku. Kami sama-sama terdiam dalam kekhusyukan doa. Berharap ibu dan bapak tenang di sisiNya dan diampuni segala dosa-dosanya. Kupejamkan mata perlahan sembari menceritakan kejadian hari ini dalam diam. Aku ingin mengungkapkan apa yang kurasakan tanpa harus menggunakan kata-kata. Entah sudah berapa menit mataku masih saja terpejam, hingga akhirnya kurasakan pelukan di lenganku. Kubuka kedua mata. Adik lelakiku itu tersenyum meski dengan mata yang basah. "Ibu dan bapak memang sudah tiada, Mbak, tapi Mbak Lana tak perlu risau sebab masih ada
POV : DIKTA (1)Makan siang yang kupikir akan menjadi momen spesial, ternyata hancur berantakan. Mama benar-benar keterlaluan pada Lana. Kata-kata yang diucapkannya terlalu menyakitkan dan menyesakkan dada. Aku tak menyangka jika mama bisa sesadis itu pada sesama wanita, apalagi pada Lana yang dari segi usia jauh di bawahnya. Aku tak tega melihat perempuan yang kucintai terluka seperti ini. Ingin sekali mengusap kedua pipinya yang basah air mata dan membawanya dalam pelukan, tapi itu tak mungkin terjadi sebab aku dan dia belum terikat dalam pernikahan. Kami bukan mahram, jadi tak bisa bersentuhan seperti itu apalagi pakai pelukan segala. Kutitipkan dia pada adik lelakinya, semoga Ryan bisa menjaga kakaknya dengan baik. "Balik ke rumah kalau nggak mau mama sebut anak durhaka!" Ucapan mama membuatku tersentak seketika. Aku yang saat itu masih berusaha membujuk Lana agar mau kuantar pulang, tapi mama justru semakin membuatnya ketakutan. "Aku baik-baik saja, Dik. Masuklah, aku nggak ma
POV : DIKTA (2)"Ma, jadi papa dan ibunya Lana benar-benar pernah menikah?" Aku memberanikan diri untuk bertanya daripada masalah ini semakin nggak jelas ujungnya. Jika memang ada hubungan darah, kenapa papa seolah memberi lampu hijau atas hubunganku dengan Lana? Bukankah seharusnya papa juga tahu kalau hal itu jelas dilarang agama? Belum sempat membalas pertanyaanku, terdengar salam dari luar. Kupikir Lana yang datang, tapi ternyata bukan. Aku semakin tak menyangka jika Riana dan mamanya datang ke rumah. Entah sejak kapan Riana kembali dekat dengan mama. Apa mungkin mereka sering datang ke sini saat aku masih di Jogja? Entahlah. Yang jelas mama dan Tante Lisa memang saling kenal. Mereka teman kuliah dan sempat bekerja di kantor yang sama sebelum bisnis papa maju pesat dan meminta mama resign dari tempat kerjanya."Eh, Lisa, Riana. Duduk dulu." Mama terlihat sangat ramah. Sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Kedatangan Riana membuat senyum mama merekah. Sungguh ekspresi y
POV : DIKTAMama jatuh pingsan setelah mendengar pertanyaanku tadi. Papa membawanya ke kamar sembari memijit kakinya perlahan. Sementara Tante Lisa dan Rania masih di ruang tengah menunggu mama sampai siuman sebelum pamit pulang, katanya. "Papa sama ibunya Lana memang pernah menikah, Dikta. Dia cinta pertama papa, hanya saja almarhum opa sama Oma kamu nggak setuju lalu menjodohkan papa dengan mamamu." Tanpa kutanya papa menjelaskan tentang masa lalunya. Mungkin papa tadi sempat mendengarkan obrolanku dengan mama sebelum akhirnya pingsan. Kisah papa mirip denganku saat ini yang tak direstui mama. Lana sama-sama cinta pertamaku, tapi mama bersikeras menentang hubungan ini dengan berbagai alasan. "Terus, Pa?" Aku mendongak, menanti cerita papa selanjutnya. "Ibunya Lana orang biasa, hal itulah yang membuat almarhum Opa dan Omamu menolak keras. Namun, papa sangat mencintainya. Sama seperti kamu mencintai Lana. Papa pun begitu. Bagi papa ibunya Lana itu spesial meski terlahir dari kelu
POV : DIKTA"Kalian bahas apa?" tanya mama dengan tatapan sayu dan lemas. "Nggak kok, Ma. Sekadar cerita tentang masa lalu. Dikta sudah dewasa, dia sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Karena itu pula papa merasa dia berhak tahu tentang masa lalu kita dan apa yang membuat mama begitu menolak Lana sebagai calon istrinya Dikta." Mama membulatkan mata, seolah tak setuju dengan keputusan papa. Namun, kali ini seolah tak peduli dengan penolakan mama, papa justru melanjutkan kembali ceritanya. "Dulu papa memang sempat frustasi karena kepergian Rahayu. Papa merasa bersalah selama berbulan-bulan. Namun, akhirnya papa sadar jika jodoh tak mungkin salah tempat. Mungkin memang dia bukan jodoh papa dan mamamulah jodoh yang dituliskan Allah untuk papa di Laut MahfuzNya. Seperti pesan terakhir Rahayu sebelum dia pergi, dia minta papa untuk menjadi suami dan ayah yang baik. Dia berharap papa bisa bahagia meski tanpanya dan dia pun mengharapkan hal yang sama, bahagia meski tanp