POV : DIKTA (2)"Ma, jadi papa dan ibunya Lana benar-benar pernah menikah?" Aku memberanikan diri untuk bertanya daripada masalah ini semakin nggak jelas ujungnya. Jika memang ada hubungan darah, kenapa papa seolah memberi lampu hijau atas hubunganku dengan Lana? Bukankah seharusnya papa juga tahu kalau hal itu jelas dilarang agama? Belum sempat membalas pertanyaanku, terdengar salam dari luar. Kupikir Lana yang datang, tapi ternyata bukan. Aku semakin tak menyangka jika Riana dan mamanya datang ke rumah. Entah sejak kapan Riana kembali dekat dengan mama. Apa mungkin mereka sering datang ke sini saat aku masih di Jogja? Entahlah. Yang jelas mama dan Tante Lisa memang saling kenal. Mereka teman kuliah dan sempat bekerja di kantor yang sama sebelum bisnis papa maju pesat dan meminta mama resign dari tempat kerjanya."Eh, Lisa, Riana. Duduk dulu." Mama terlihat sangat ramah. Sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Kedatangan Riana membuat senyum mama merekah. Sungguh ekspresi y
POV : DIKTAMama jatuh pingsan setelah mendengar pertanyaanku tadi. Papa membawanya ke kamar sembari memijit kakinya perlahan. Sementara Tante Lisa dan Rania masih di ruang tengah menunggu mama sampai siuman sebelum pamit pulang, katanya. "Papa sama ibunya Lana memang pernah menikah, Dikta. Dia cinta pertama papa, hanya saja almarhum opa sama Oma kamu nggak setuju lalu menjodohkan papa dengan mamamu." Tanpa kutanya papa menjelaskan tentang masa lalunya. Mungkin papa tadi sempat mendengarkan obrolanku dengan mama sebelum akhirnya pingsan. Kisah papa mirip denganku saat ini yang tak direstui mama. Lana sama-sama cinta pertamaku, tapi mama bersikeras menentang hubungan ini dengan berbagai alasan. "Terus, Pa?" Aku mendongak, menanti cerita papa selanjutnya. "Ibunya Lana orang biasa, hal itulah yang membuat almarhum Opa dan Omamu menolak keras. Namun, papa sangat mencintainya. Sama seperti kamu mencintai Lana. Papa pun begitu. Bagi papa ibunya Lana itu spesial meski terlahir dari kelu
POV : DIKTA"Kalian bahas apa?" tanya mama dengan tatapan sayu dan lemas. "Nggak kok, Ma. Sekadar cerita tentang masa lalu. Dikta sudah dewasa, dia sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Karena itu pula papa merasa dia berhak tahu tentang masa lalu kita dan apa yang membuat mama begitu menolak Lana sebagai calon istrinya Dikta." Mama membulatkan mata, seolah tak setuju dengan keputusan papa. Namun, kali ini seolah tak peduli dengan penolakan mama, papa justru melanjutkan kembali ceritanya. "Dulu papa memang sempat frustasi karena kepergian Rahayu. Papa merasa bersalah selama berbulan-bulan. Namun, akhirnya papa sadar jika jodoh tak mungkin salah tempat. Mungkin memang dia bukan jodoh papa dan mamamulah jodoh yang dituliskan Allah untuk papa di Laut MahfuzNya. Seperti pesan terakhir Rahayu sebelum dia pergi, dia minta papa untuk menjadi suami dan ayah yang baik. Dia berharap papa bisa bahagia meski tanpanya dan dia pun mengharapkan hal yang sama, bahagia meski tanp
POV : DIKTA[Plat nomor mobil ini yang menabrakku tempo hari di depan sekolah, Mas. Aku foto dari rekaman cctv. Sepertinya aku cukup familiar dengan nomornya sebab tadi aku lihat ada di garasi rumah Mas Dikta]Aku membaca kembali pesan yang dikirimkan Ryan. Kupejamkan mata beberapa saat untuk meredam emosi yang tiba-tiba saja kembali meningkat. Benarkah mama yang menabrak Ryan tempo hari? Jika memang iya, betapa teganya mama melakukan itu semua apalagi pada anak yatim piatu. Apa sebenarnya yang mama inginkan? Apakah sengaja membuat Ryan celaka agar Lana menyerah dan mundur karena tak ingin mama semakin brutal? Ryan nggak salah apapun, tapi mengapa mama tega melakukan ini semua padanya?Kudengar mama dan dua tamunya saling tertawa di ruang keluarga. Ingin rasanya mencecar mama soal kecelakaan Ryan ini, tapi aku nggak mau orang lain mendengarnya. Aku masih menghargai mama sebab walau bagaimanapun dia tetaplah perempuan yang melahirkanku ke dunia. Tak mungkin sengaja mempermalukannya d
POV : DIKTA "Ajak Riana ngobrol, Dikta. Mama juga mau ngobrol sama Tante Lisa." Aku menghela napas panjang lalu menyandarkan punggung ke sofa. Daripada bengong, kuambil handphone di saku celana lalu membaca beberapa pesan yang masuk. [Mas, maaf kalau pesanku tadi menyinggung Mas Dikta. Aku hanya nggak ingin terjadi sesuatu sama Mbak Lana makanya secepatnya membongkar masalah itu. Bukannya aku buruk sangka, cuma sepertinya kecelakaan kemarin memang disengaja. Mungkin Mas Dikta juga nggak tahu kalau Tante Delima pernah datang ke sini sama Mbak Laura. Tante Delima bilang perempuan itu kekasih Mas Dikta. Tante Delima mengancam Mbak Lana supaya berhenti mendekati Mas Dikta. Tolong jangan bilang Mbak Lana kalau aku cerita tentang ini, Mas. Dia bisa marah besar sama aku] Pesan Ryan benar-benar membuatku ternganga. Laura? Ngapain mama menemui perempuan itu lagi. Apa mama pengin punya menantu materialistis seperti dia? Sudah berulang kali aku bilang bagaimana sikap Laura sebenarnya, tapi m
POV : DIKTA "Aku sudah mendengar semua obrolan dan rencana kalian," ucapku sembari keluar dari area taman. Tadinya melipir ke sana karena mau menelpon Ryan dan menanyakan kejelasan soal kabar kecelakaan itu, tapi mendadak berubah haluan setelah mendengar rencana busuk dua perempuan itu. Wajah-wajah yang berubah seperti bidadari saat bersama mama, tapi berubah syaitan saat di belakang mama. "Kenapa? Kaget kalau aku masih di sini?" Aku tersenyum tipis ke arah anak dan mamanya yang masih mematung di samping mobil yang ternyata bukan milik mereka sendiri melainkan menyewanya dari orang lain itu. Keduanya menjadi salah tingkah. Wajar, karena topengnya terbongkar mendadak. "Obrolan apa sih, Dikta? Aku sama mama cuma ngobrolin arisan kok," balas Riana dengan sedikit gugup lalu pura-pura tersenyum tipis. "Iya, Nak Dikta. Tante cuma bahas soal bisnis perhiasan Tante sama mama kamu yang mulai berkembang." Tante Lisa pun ikut mengelak. Anak dan ibu sama saja pandai bersandiwara. "Kalian pi
POV : DIKTA"Mungkin mama mau menuruti papa agar tak cemburu lagi pada Rahayu, tapi mama minta maaf kalau mama tetap nggak setuju anak Rahayu yang akan menjadi menantu kita. Kehadirannya tetap akan membuat papa mengingat mamanya dan membuat mama kembali membencinya." "Buang jauh-jauh dendam di hati mama supaya mama bisa menerima kenyataan jika anak kita memang mencintai anak itu, Ma. Papa yakin sebenarnya mama berhati baik, hanya saja rasa cemburu dan sakit hati itu masih begitu melekat di hati mama. Makanya mama bisa sekeras sekarang. Percayalah, Ma. Sekalipun Lana menjadi menantu kita, tak akan pernah mengubah rasa sayang papa sama mama. Hubungan papa dan ibunya Lana sudah kandas bahkan dia sudah tenang di sisiNya,ngapain terus dibahas? Jangan terlalu memusuhi anak yatim piatu, Ma. Bisa dosa besar jika kita mendzalimi mereka, Ma." Aku yakin kali ini papa mulai mengusap lengan mama lalu memeluknya. Kelembutan dan kesabaran hati papa saat melihat kemarahan mama benar-benar membuatku
[Lana, sudah selesai istikharahnya, kan?] Pesan dari Mas Radit membuatku tercekat seketika. Aku memang sempat bilang sama Ibu Sulis soal istikharah itu. Mungkin wanita berhati lembut itu memberi tahu Mas Radit jika aku sudah siap dengan jawabannya. Beberapa kali istikharah untuk memilih antara Dikta dengan Mas Radit, hati ini tetap fokus pada satu nama saja, Dikta. Meski belum bisa meluluhkan hati Tante Delima, tapi aku yakin sekeras-kerasnya batu akan rapuh juga oleh tetesan air yang terus-menerus menimpanya. Aku berharap bisa menjadi air yang akan meluluhkan hatinya suatu saat nanti. Mas Radit bukan lelaki yang buruk. Dia bahkan nyaris sempurna, tampan, mapan, perhatian, sopan, patuh pada orang tua dan banyak kebaikan yang dia punya. Hanya saja cinta memang tak bisa dipaksakan bukan? Aku tak mencintainya dan menganggap dia seperti keluarga, oleh karena itulah aku memilih Dikta sebab sejak dulu memang hanya dia satu-satunya lelaki yang membuatku jatuh hati. [Alhamdulillah.