Pov Dewi“Sudah! Sudah! Kita pergi sekarang! Dewi dan Ayu boleh ikut semua!” Akhirnya Om Subekti memperbolehkan Tante Lani mengajakku. Sedikit terkejut sebetulnya ketika mengetahui secepat itu Om Subekti menyambut kedatangan Ayu di dalam keluarga mereka. Gila saja, mau diajak makan siang sekeluarga. Aku saja yang sudah kenal lama dan digadang-gadangkan Tante Lani untuk menjadi calon menantu, belum mendapatkan perlakuan spesial seperti ini.Dia, hanya modal nama yang mendadak viral saja, sudah bisa merebut hati Om Subekti. Awas saja, ya! Sebentar lagi juga paling kamu ditendang jauh-jauh dari kehidupan Dion. Tante Lani bahkan sudah percaya pada apa yang kusampaikan. Kadang heran, Tante Lani selalu bilang mengurus bisnis ini, itu dan menggunakan otaknya yang brilian. Hanya saja, kok segitu mudahnya aku kecoh. Namun, justru ini yang menjadi kekuatanku untuk masuk ke keluarga Om Subekti. Akhirnya kami pun pergi. Mampir ke minimarket dulu. Aku dan Tante Lani menunggu dalam mobil saja. Me
Pov Dewi“Dari mana Tante mendapatkan informasi menyesatkan ini? Hati-hati ngambil berita dari media Tante, banyak yang hoax! Tante bisa tanya sama Sobat Peri, cerita ini memang baru terbit satu tahun yang lalu dalam bentuk novel cetak, tetapi saya membuatnya jauh sebelum itu! Cerita itu adalah cerita pertama saya yang saya release dalam sebuah platform online! Jejak digitalnya masih ada dan nyata! Surat kontraknya masih saya pegang sampai saat ini! Saya membuatnya lima tahun lalu, tiga tahun lebih awal dari pada postingan di akun sosial media itu! Jadi, sekarang bisa dipastikan, siapa yang mencuri cerita siapa?” Deg! Penjelasan Ayu seketika membuat kedua tungkai ini terasa lemas. Sialan, Salsa kurang jauh cari infonya. Harusnya dia edit postingan sepuluh tahun lalu, jadi tak semudah ini tuduhan ini dia patahkan. Hancur sudah reputasiku sekarang di depan Tante Lani, astagaaa. “Kamu jangan ngarang! Tunjukkin saja buktinya kalau memang bukan omong kosong! Kalau bukan dari sumber yan
Pov DewiSalsa belum memulai pembicaraan ketika dering gawai dari dalam tasku terdengar. Lekas aku mengambilnya. Rupanya panggilan dari Mama. Ada apa juga dia menelpon di saat tengah genting kayak gini. Kuabaikan, lalu kembali aku fokus pada Salsa dan Mirna. Aku benar-benar butuh solusi untuk semua masalah ini. Kali ini notifikasi pesan masuk. Karena gawai masih di tangan, mau tak mau aku bisa membaca deretan pesan yang dikirimkan Mama.[Dewi, kamu di mana? Kamu bilang apa sama Tante Lani?] Astagaaa? Tadi aku bilang Mama jatuh dari tangga dan mau ke rumah sakit. Jangan-jangan Tante Lani menelpon Mama atau jangan-jangan dia ke rumah. Mampus aku kalau kayak gini. “Jadi sekarang gini-”“Bentar!”Aku menyela ucapan Mirna. Lekas aku mengusap layar gawai dan menelpon Mama. Otakku sudah panas saat ini gak bisa mikir. Hanya ingin memastikan apakah Tante Lani hanya menelpon Mama atau ke rumah? Dering panggilan tak diangkat-angkat. Kadang Mama tuh suka gini. Seolah-olah dirinya penting. Bar
Pov Dewi“Keknya masalahnya makin ribet, Wi! Mending kamu pulang saja dulu, pastiin sama nyokap gimana-gimananya sama Tante Lani! Besok kita ketemu lagi di sini! Kita pikirin lagi solusinya. Kali otak si Salsa juga sudah dingin jadi kalian bisa baikan lagi!” Ucapan Mirna masuk akal. Aku pun setuju. Kuhabiskan setengah gelas lagi es kopi yang gelasnya sudah mengembun dan bersiap pulang. Namun, baru saja aku bangkit, gawai bergetar. Aku mengambilnya dari dalam tas, tampak panggilan dari nomor tak dikenal dan tanpa foto profil. Baru saja kuusap layarnya dan hendak kuangkat, tiba-tiba panggilan dimatikan. Hanya saja, rupanya dia sudah mengirim pesan. [Ini bukti rekamanmu. Pengakuan ini bisa dijadikan alat buat hancurin karir kamu. Kalau mau selamat, temui aku besok malam di hotel Citra.] Jemariku gemetar ketika memijat tombol putar pada video yang dia kirimkan. Mirna pun mendekat karena aku kembali duduk karena kaki ini terasa lemas dan tak menyahut ucapannya. “Apa sih, Wi?” tanyanya
Pov AyuAkhirnya rasa penasaranku terjawab sudah. Sepanjang jalan, aku bertanya pada Dion, tetapi dia tak mau menjawabnya. Aneh sebetulnya, masa iya bisa, Tante Lani secepat itu berubah. Apa karena gara-gara talk show kemarin? Begitu pikirku pada awalnya, tetapi ketika tiba di rumah Dion dan melihat ada Dewi di sana, pikiranku sudah mulai tak karuan. Rasanya ada yang ganjil. Namun, tentu saja aku tetap bersikap ramah dan sopan seperti biasa, apalagi Tante Lani pun tampak menyambutku meskipun entah dengan tulus atau tidak, soalnya tak ada getar yang sampai pada hati. Rupanya Dion mengajakku makan siang bersama keluarganya. Hal yang sangat mendebarkan pada awalnya. Apakah ini pertanda jika dia sebetulnya memang masih menyimpan rapat rasa itu untukku? Dion mengajakku mampir di salah satu minimarket milik Papanya. Dikenalkannya aku pada konsep waralaba. Rupanya mudah ya jika memiliki uang. Bahkan yang tak bisa bisnis pun bisa belajar tanpa harus pusing memikirkan perusahaan start up y
Pov Dewi Seharian ini aku menghabiskan sisa waktuku di rumah Mirna. Malas sekali pulang, Mama itu orang yang tipe orang yang suka ngungkit. Walau tadi pagi sudah lolos dari amukannya, tetapi hal ini bisa saja dia ungkit setiap kali bertemu denganku dan ada kesempatan. Sore menjelang. Nomor tersebut sudah mengirimi pesan. [Hotel Citra, langsung naik ke kamar 606.] Kalimat itu terkesan memerintah, bukan memberitahu. Aku lekas mandi dan berganti pakaian, beberapa pakaian milikku memang ada di rumah Mirna. Kadang ketika menginap, ganti baju di sini dan tak kuambil. Sekitar pukul tujuh malam, aku sudah tiba di depan hotel Citra, tempat yang dijanjikan oleh orang tersebut yang entah siapa. Bahkan aku tak tahu, apakah dia lelaki atau perempuan. Mobil kuparkir di area yang kurasa nyaman. Lekas turun dengan melenggang. Hati ini aku memakai minidress di atas lutut yang pastinya mengeksploitasi kaki jenjangku. Apalagi bagian depannya membentuk huruf V dengan potongan sedikit rendah, membu
Pov Ayu“Ehm, langsung pulang?” Suara Dion mengagetkanku. Kebetulan pikiranku tengah melayang ke mana-mana. Aku menoleh, sejenek bersirobok dengan manik hitam yang ternyata tengah memandangku lekat. Rupanya dia asik memandangku ketika semua makanan yang dipesan sudah habis tak bersisa. Memang tak memesan banyak, hanya secukupnya. “Iya, emang mau ke mana lagi?” Aku menunduk lagi, menyembunyikan semu. Gak mau kalau terlalu tampak hati berbunga-bunga. Selama makan, semua ucapan yang tadi di tengah perjalanan itu terekam ulang. “Hmmm, mungkin mau kuantar ke mana dulu?” tukasnya, kedua bibir itu tak luput dari lengkung senyuman. “Nanti ada yang lapor sama Mama kamu,” tukasku seraya meringis. Tanpa aba-aba dia mengacak pucuk kepalaku.“Maaf, ya! Maaf kalau bikin kamu gak nyaman.” “Gak apa, Yon!” Hanya itu jawabanku. Lantas hening, hanya sesekali aku melirik ke ruang sebelah yang terhalang anyaman bambu. Ingin rasanya mengetahui siapa lelaki yang tengah menelpon itu. Dari feelingku,
“Aku lihat dulu tamunya, ya, Bu!” tukasku pada Ibu.Ibu yang tengah mengiris wortel hanya mengiyakan. Lekas aku mengambil kerudung instan dan membuka pintu. Sedikit tersentak ketika aku melihat siapa yang datang. Lebih kaget lagi ketika aku melihat penampilannya yang berubah. Dia datang dengan memakai gamis dan kerudung yang menutup kepalanya.“Assalamu’alaikum, Yu!” Belum lagi rasa terkejutku habis, kali ini ditimpa untuk kedua kalinya. Dewi mengucap salam dengan santunnya. Wajahnya kini tampak cantik tanpa riasan make up yang biasanya tebal dan menurutku membuat tampak gerah. “Wa’alaikumsalam, Wi! Hmmm, duduk.” Meskipun bergama pertanyaan berlarian. Aku tetap memintanya untuk duduk. Lekas bangkit dan segera membuatkan dia minum. “Silakan, Wi! Ada apa, ya, tumben?” Aku menatap wajah Dewi. Dia tertawa, tampak hambar. Tawa itu kurasa tak tulus dari dalam, tetapi entahlah. “Ada perlu sama kamu, Yu!” tukasnya. “Eh, tumbenan banget, sih. Perlu apa?” Aku menatapnya. “Gini, Yu! Wakt
Suara tangisan bayi terdengar nyaring ketika aku dan Bang Zayd baru saja menginjakkan kakinya di rumah sakit. Senyum pada bibirku terkembang sempurna. Akhirnya adik yang kutunggu-tunggu sejak dulu, kini sudah ada. Meskipun, jaraknya teramat jauh. Dia akan menjadi paman kecil putriku. “Tuh, tadi kelamaan wara-wiri, pas datang sudah lahiran!” tukas Bang Zayd. “Ya, kan beli-beli dulu, Bang. Kalau gak aku, siapa? Ibu kan punya anaknya satu saja.” Aku mendelik ke arahnya. Namun baru saja aku mengatupkan bibir. Dari arah berlawanan tampak anak-anak Pak Hakim muncul sambil menenteng paper bag juga. Tak kalah banyak pula dariku. “Hay, Syfa!” “Hay!” Aku melambaikan tangan juga ketika Bang Zayd menyenggol lenganku sambil berbisik, “Kamu gak sendiri, Syfa. Tuh, sekarang ada mereka.”“Iya, Bang. Keknya gegara kemarin makan mie instan, kecerdasanku langsung berkurang.” “Eh, kamu makan mie lagi?” “Duh, keceplosan. Sekali lagi doang, Abang … kan waktu itu malah Abang habisin.” Lalu obrolan i
“Oh, ya? Ibu serius?” Aku terkejut senang. Ibu baru saja mengabarkan jika Bapak, Mama Renita dan Mbak Merina datang ke rumah. “Ya seriuslah, Syfa. Ibu juga sampai kaget. Gak nyangka.” Kudengar Ibu menjawab disertai kekehan. Duh senang rasanya mendengar nada bicara Ibu yang riang dan ringan. Hidupnya kini tampak lebih menyenangkan. “Tulus gak tuh minta maafnya? Tumben?” tanyaku lagi. Jujurly, aku tak percaya. Kok semudah itu mereka meminta maaf. Apakah insiden kemarin benar-benar membuatnya tobat? Aku memiringkan kepala untuk menjepit ponsel yang kuletakkan di antara bahu dan telinga. Sementara itu, satu tanganku sibuk mengaduk mie instan. Rasanya aku sudah tak tahan lagi mencium wangi yang menguar ini. Mumpung Bang Zayd gak ada. Akhir-akhir ini, aku berasa di penjara. Bang Zayd protektif banget. Mau ini, gak boleh, itu gak boleh. Padahal dokter juga bilang kalau sesekali gak apa-apa. “Semoga saja tulus, Fa. Alhamdulilah kalau mereka sudah sadar. Mungkin kejadian kemarin yang membu
Merina duduk tepekur di ruang tengah. Sudah dua hari berlalu dari kejadian memalukan di hotel itu, Merina sama sekali tak mau keluar. Dia terus-terusan mengurung diri di dalam rumah. Mentalnya tak kuat menghadapi ocehan dan cemoohan para tetangga.“Gak nyangka, ya! Ayahnya dokter, tapi anaknya mau-maunya jadi pelakor! Untung gagal nikah, ya!” “Iya, kasihan sekali istri pertamanya. Kemarin katanya pas datang ke acara itu lagi hamil besar, ya? Saya gak dateng kemarin soalnya.” “Iya Mbak e. Ya ampuun. Kita saja kaget dan shock. Apalagi pas tahu, itu duit yang dipake buat pesta, ternyata duit mertuanya si cowok!”“Masa, sih, Mbak? Gila, ya! Bener-bener itu janda bodong. Gak punya hati banget. Pasti dia goda habis-habisan itu cowok biar nempel! Gak nyangka, ya! Si Merina itu padahal anak dokter, ya!”Kalimat-kalimat cemoohan. Baik yang tak sengaja dia dengar, maupun tanpa sengaja dibacanya dari status WA dan sosial media, benar-benar merusak mood Merina. Semua menyalahkannya. Semua menyu
“Kami datang, sekalian mau sebar undangan, besan!” Mama Renita berbasa-basi pada Mami Ayu. “Oh, ya? Selamat kalau begitu! Kapan acaranya?” Mami Ayu menatap Mama Renita dengan penuh senyuman. “Semingguan lagi dari hari ini. Besan wajib dateng, ya. Kami merayakannya lebih mewah dari pada yang dulu-dulu.”“Inysa Allah.” Aku hanya mendengarkan obrolan Mama Renita dengan Mami Ayu. Tetiba saja Mama Renita bilang besan, padahal kan yang besanan sama Mami Ayu, cuma Ibu. Kenapa pula dia ikutan ngaku-ngaku. Dia pun sama sekali tak menyapa Ibu, malah sibuk terus dengan Mami Ayu dan keluarganya. Ibu datang menyambut hanya bersalaman saja. Dia terus ngajak ngobrol lagi dengan Mami Ayu dan mengabaikan Ibu, aneh.“Alhamdulilah, calon suaminya sekarang itu dokter. Memang kalau keluarga dokter, coocknya sama dokter,” tukas Mama Renita sambil tertawa sumbang. Kulihat Mami Ayu merangkulnya penuh rasa persahabatan lalu mengajak Mami Renita menjauh. Ah, sayang … padahal aku tengah turut serta mendengar
“Aish, gak akan bisa! We!” Aku makin senang menggodanya. Namun, aku yang lengah menubruk tubuh orang lain sehingga akhirnya Bang Zayd yang menang. Tanpa kusangka dia membopongku dan langsung membawa lari menuju cottage. “Siap-siap, Sayang!” bisik Bang Zayd yang membuat aku merinding. Suaranya berebutan dengan desau angin. Senyum pada bibirku mengembang bersama wajah yang terasa memanas. Mungkin sudah merona merah ketika langkah demi langkah akhirnya membawa kami ke cottage. Derit pijakkan lantai kayu terdengar. Bang Zayd membuka pintu dengan sikunya, lalu menjatuhkan tubuh kami sama-sama ke pembaringan. “Masih mau lari?” bisiknya. Sangat dekat sehingga degup jantungku berpacu sangat-sangat cepat. Meskipun bukan pertama kali, tapi berdekatan dengannya selalu seperti ini.*** “Ehm, Asyfa?!”Tangan Bang Zayd menguyel-uyel ujung hidungku, membuat bayangan romantis yang sedang kukenang berhamburan. “Ish, Abang!” Aku mendelik ke arahnya, sebal. Bisa-bisanya dia memanggilku di saat aku s
Sebuah surat undangan kudapatkan. Arlia, gadis yang pernah membuatku cemburu pada Bang Zayd itu, ternyata berjodoh dengan Bang Irfan. Aku menggeleng sambil tersenyum sendirian menatap sepasang nama mempelai pada kartu undangan. Arlia dan Irfan. “Kenapa senyum-senyum sendiri, hmm?” “Eh, Abang. Ini … hanya pernah ingat dulu.” Aku menyimpan surat undang yang Bang Zayd bawa. Dia tak menyahut dan berlalu begitu saja, meninggalkanku dari sofa bed yang ada di ruang keluarga dan ngeloyor ke kamar. “Eh, kok kayak gak suka, ya?” Aku mengedik saja, lalu merebahkan tubuh. Syukurlah Bang Zayd ke kamar, jadinya aku bisa bebas tiduran. Tontonan yang tadi dia pindahkan pun, aku kembalikan pada tayangan semula, acara kartun yang sesekali membuatku tertawa. Cukup lama, Bang Zayd tidak kembali. Perlahan aku menguap karena rasa nyaman ini. Lalu tiba-tiba aku berada di suatu tempat yang indah. Aku sedang berada di sebuah kapal pesiar dan menikmati hembusan angin pantai ketika tiba-tiba ada seorang l
“Apa? Zayd mau menikahi Karina?” Kali ini Mami Ayu yang terkejut. “Kalau gak salah dengar sih, iya, Mami. Syfa ke sini mau minta pendapat Mami. Baiknya kami gimana?” Mami Ayu tak menjawab pendapat Asyfa, tapi dia langsung menoleh pada Ainina sambil bicara, “Ai, telepon Abang kamu sekarang! Panggil ke sini! Biar semua masalah bisa jelas ujung pangkalnya!” Ainina sigap mengambil ponsel lalu menelpon Zayd. Sementara itu, Tante Harum dan Azriel berpamitan. “Jangan lupa, ya, datang nanti ke pernikahan Arlia, Syfa!” Tante Harum menepuk pundak Asyfa. Dia dan Azriel sudah berdiri untuk berpamitan. “Inysa Allah, Tante!” Asyfa tersenyum dan mengangguk sopan. Dia bukan tipe pendendam. Yang dulu-dulu dan sudah berlalu, ya, sudahlah. “Semoga segera dapat momongan, ya! Doakan juga Arlia agar bisa memiliki keturunan,” tukasnya dengan senyuman getir. Tiba-tiba ada perasaan aneh di hati Asyfa. Entah kenapa, dia merasa bersalah karena dulu tak berempati ketika mendengar jika Arlia akan sulit men
Pov 3Asyfa menatap kartu debit yang dipegangnya. Reza melarangnya membayar. Lelaki itu sudah beranjak setengah jam yang lalu, tapi dirinya masih duduk termenung di saung lesehan itu. Entah kenapa, tiba-tiba Asyfa merasa malas untuk beranjak. Dunianya terasa asing, sunyi dan senyap. Rasa takut sendirian kembali datang. Memori waktu kecil terasingkan berlarian. Gegas dia beranjak pulang. Rupanya di rumah sudah ada Ainina dan Caca yang menunggunya. Kedua gadis itu tampak sumringah ketika kakak iparnya datang. “Mbak habis dari mana, si?” oceh Ainina sambil memeluk Asyfa singkat. Begitupun dengan Caca. “Habis dari rumah Ibu.” Asyfa menjawab datar lalu mengajak dua adik iparnya masuk. “Bang Zayd panik tahu, Mbak. Dia telepon Ibu, katanya Mbak Syfa sudah pulang, telepon si BIbi, belum sampe. Kamilah jadi diutus kemari.”Aku terkekeh, lalu menyuguhkan minuman dari lemari es untuk dua adik iparku, lalu duduk pada sofa dan mengambil satu biji softdrink. “Tumbenan juga sekhawatir itu.” Aku
Pov 3Reza sedikit panik ketika mendengar kabar kecelakaan itu. Kemarin malam tepatnya, tapi dia sedang di Jakarta, masih ada pemotretan. Akhirnya baru pagi tadi dia sempat menjenguk gadis kecil di ruang ICU itu. Ketika dia berkunjung tadi, tampak kondisi gadis kecil itu sudah membaik. Reza pun tak lama di sana, dia gegas beranjak pergi lagi. Reza belum bisa show up tentang hubungan yang sudah dirancang oleh dua keluarga besarnya dengan perempuan pilihan Mama Pinah itu sekarang. Bagiamanapun, Reza belum resmi bercerai. Dia masih menjadi suami sah dari Merina. Pikiran Reza yang semrawut karena perseteruan Merina dan mamanya yang terjadi hampir di setiap detik, membuatnya enggan pulang. Apalagi ketika tiba di rumah, yang ada hanya rumah semrawut, dan pakaian kotor berserakan. Reza yang lelah butuh ketenangan. Dia pun akhirnya mampir dulu ke sebuah rumah makan. Letaknya yang strategis membuat rumah makan tersebut selalu ramai. Namun, ketika Reza hendak mencari tempat duduk ketika tiba-