"Hah, serius Sya? Sampai segitunya?" Aira tak bisa menyembunyikan wajah kaget dan herannya di depanku.
"Hanya tak mau kamu gemuk, Raka sampai rela turun ke dapur, nge-pack semua yang dibawa ummi dan mertua kamu? Duh, sumpah baru nemu suami modelan gini."Aira benar tak yakin. Jika Aira saja harus merespon begitu, lalu bagaimana denganku. Aku bahkan seolah mimpi saja berapa bulan lalu.Mimpi, kareran merasa di ratukan, dijaga perasaanku sebagai istrinya. Ternyata...."Apa alasannya?" Tanya Aira, memandangiku. Menunggu jawabanku."Yah, aku kurang yakin sama apa yang mas Raka bilang. Dia bilang sih, nggak menarik dilihat." Ucapku di depan wajah Aira.Aira yang tadinya duduk, kini berdiri. Dia nampak kegerahan dengan apa yang aku sampaikan."Aisya sayang..., Benar gue nggak nyangka Raka punya pikiran gitu. Memang kenapa dengan gemuk. Gemuk sedikit kalau hamil ya wajar. Namanya juga ada yang bertumbuh." Tatap Aira padaku.Aku hanya mengangkat bahu. Aku pun tak tahu harus apa sekarang.
"Terus kamu bilang mau keluar sama aku?""Iya...""Pesan dari dia apa?"Kuraih ponselku yang ada di sampingku. Lalu kubuka pesan w******p yang mas Raka kirimkan."Katanya..."Silahkan! Tapi jangan makan yang manis! Jangan makan terlalu banyak karbohidrat! Ingat, ya! Nggak boleh gemuk!"Aku membacakan isi pesan mas Raka. Aira benar geleng kepala tak henti."Aku sebagai bagian dari tenaga medis, sangat tahu hal ini nggak masuk akal, Aisya sayang. Kamu hamil, perlu banyak asupan."Aira mulai nampak pusing sendiri. Dia berkali-kali menatapku, lalu bolak-balik didepanku."Sudahlah, Ra... Aku hanya butuh teman ngobrol. Mas Raka sangat bisa diandalkan untuk masalah ngobrol. Tapi untuk masalah ini, salah kalau aku ngobrol dengan dia."Aku meminta Aira duduk. Kasihan, menu yang dipesan belum tersentuh sama sekali.Aku ingin menikmatinya, sangat ingin. Namun, bayang perjanjian itu masih seolah mengikatku. Andai aku belum positif hamil, mungkin aku punya cara mengatasinya. Tapi, kalau sudah begini....
JIKA KAMU GEMUK, MAKA PERCERAIAN MENJADI SOLUSI.Oh, tulisan kapital diujung kertas bermaterai itu membuat aku seolah masuk ke dalam mimpi buruk yang nyata.Cerai?!Siapa yang menginginkan itu terjadi?Siapa pun pasangan yang sudah menikah, pasti mau sehidup semati-bahkan sehidup-sesyurga. Nah, kalau sampai bercerai, gimana coba??!"Tuh kamu melamun lagi. Itu artinya hal ini membuat kamu kepikiran. Gimana kalau kamu stress, Sya?!""Stress?? Apa bisa. Dulu aku pernah menghadapi pekerjaan yang tingkat stress-nya parah. Tapi bisa kulalui. Aku yakin aku pasti bisa menghadapi ini, Ra. Cuman waktunya aja masih shock!""Bisa!!! Apalagi nih, janin yang kamu kandung sekarang bertumbuh. Kamu stress, efeknya ada untuk dia. Ayolah..., Jadilah Aisya yang bangkit dari penindasan!"Melihat Aira yang gemas begitu, aku jadi bingung harus apa. Satu sisi mas Raka imamku. Tapi, satu sisi dia juga yang buat perjanjian penuh mudharat."Oke! Aku akan bangkit!" Seruku, lalu menarik spageti yang tersaji, bahkan sudah dingin itu.Bahkan jus yang sejak tadi jika kutatap terbayang perjanjian yang kutandatangani, berikut wajah mas Raka, kini sudah tersisa seperempat. Semua demi janinku!
"Yah, gini yang benar! Jangan sampai janin ini terlahir stunting!" Aira menyemangatiku, menyodorkan makanan yang menurut pantauannya aman untukku."Ra, mulai hari ini kamu jadi konsultan gizi buatku, ya! Pokoknya berapa pun biayanya, tenang saja...." Lirikku pada Aira.Aira mengangguk, memberikan kedua jempolnya ke arahku. Aki terharu, menangis sembari terus mengunyah makananku.****"Sya, darimana?"Aku duduk di teras rumah ketika datang. Tak langsung masuk ke dalam. Ternyata ada ibu mertuaku."Loh bu, kapan datang?" Tanyaku, melihat garasi. Tak ada mobil ibu di sana."Naik ojek tadi. Kangen sama kalian. Dari mana?"Ibu kembali bertanya padaku."Oh, dari luar ketemu teman, Bu." Jawabku jujur apa adanya. Ibu mertuaku, mengamatiku, sebelum bertanya."Laki atau perempuan?""Perempuan lah, Bu... Aisya nggak akan keluar menemui lelaki." Ucapku pada ibu mertuaku yang membalas dengan tawa kecil."Ibu hanya khawatir aja. Nggak tersinggung, kan?"Aku menggeleng."Yuk, masuk! Tebak ibu bawakan kamu apa...." Ibu menggandengku untuk masuk. Aku menurutinya."Lihat! Kamu harus makan yang banyak, ya!"Rupa-rupanya ibu membawa bakso komplit, home made. Buatan ibu sendiri dengan kombinasi yang disesuaikan dengan keadaanku yang hamil ini. Lihat saja, pentolnya sampai dicampur cacahan wortel dan brokoli.
"Bu, kok repot-repot, sih...."Aku sedikit sungkan. Tak tahu apakah makanan melimpah ini akan bernasib sama dengan yang sebelumnya. Dieksekusi mas Raka buat mereka di luaran sana."Tapi, hebat kamu... Makanan dua hari lalu sudah habis! Duh, kalau begini senang ibu bawain kamu makanan, nak...."Degh!Kukatupkan bibirku rapat. Ibu membahas makanan yang dia bawa dua hari lalu.Meski pun pikiran ibu mengira habis kukonsumsi, kok rasa-rasanya tak mungkin juga dalam dua hari bisa habis jika aku dan mas Raka saja.
Yaa Allah, Bu...Andai Ibu tahu...."Jadi lusa ibu akan bawakan makanan sehat lainnya. Kamu tenang saja. Istirahat yang cukup! Masalah makanan biar ibu dan ummi kamu yang urus!"Lah, harus bagaimana aku sekarang?"Sekarang ibu panaskan ini. Kamu harus makan! Ibu mau lihat sebelum pulang!"Ibu sangat bersemangat meracik bakso untukku. Mau dicegah takut membuat rasa bahagia ibu luntur."Apa pun yang buat ibu senang...." Ucapku melepas senyum.Maka, dalam waktu yang tak lama, bakso yang menggugah itu pun jadi. Ibu sampai duduk di hadapanku, menungguku untuk makan."Ayo, di makan...." Ucap ibu padaku tak sabar."Masih panas ibuku sayang...." Tawaku.Sejenak aku melupakan perjanjian yang terjadi antaraku dan mas Raka.Di benakku sekarang hanya ada bagaimana cara membuat ibunya, mertuaku ini bahagia. Melihatnya bahagia dengan cara sederhana ini membuat hatiku menghangat bahkan haru. Sungguh, mertuaku terasa seperti ibu kandung sendiri.Setelah memastikan bakso sudah hangat, aku pun menyeruput kuahnya. Kaldunya terasa begitu gurihnya. Bahkan baksonya saja menciptakan sensasi yang menyenangkan."Enak, kan?"Aku mengangguk kuat.Tiba-tiba saja, tanpa kami sadari mas Raka sudah berdiri di pintu dapur. Sorot matanya memandangku, memandang penuh makna.Aku bahkan tak tahu sejak kapan dia berdiri di sana. Begitu aku perhatikan, jasnya sudah berganti baju kaos rumahan."Mas...." Sapaku tersenyum padanya. "Ibu bawa bakso. Enak loh! Aku siapkan, ya...." Ucapku padanya.Ibu menatap mas Raka. Putra satu-satunya itu dengan senyum sumringah. Sementara yang dipandang tak mengalihkan pandangannya dariku, dan makananku.Dia pun tak merespon tawaranku."Bawakan aku air putih!"Hanya itu kalimatnya padaku, lalu mendekati ibunya. Memeluk dan mencium punggung tangan ibu.Ekspresinya berbeda saat ke ibu. Lebih luwes dan asyik.Ah, memang mas Raka ini...,Bunglon!!"Bu, nggak usah repot lah, bawa makanan kemari." Kudengar Mas Raka bicara dengan ibu di ruang tamu."Memang kenapa? Aisya juga senang aja, kan? Ibu cuma mau memastikan Aisya mengkonsumsi makanan yang bagus untuk diri dan janinnya. Salah?"Hela napas mas Raka terdengar. Aku yang kebetulan duduk di sofa ruang tengah, dekat pintu sangat jelas mendengarnya. Mungkin Mas Raka pikir aku di kamar, karena memang pamit ke kamar tadi."Bu, aku hanya nggak mau Aisya jadi bergantung sama ibu, terus jadi kebiasaan. Nanti malah nggak tahu apa-apa." Ucap mas Raka. Aku tahu ini alasan dia agar ibu tak lagi membawa makanan."Jangan salah! Istri kamu itu paket komplit. Masak jago. Beresin rumah juga jago. Nggak mungkin sembilan bulan ibu dan umminya bantu, tiba-tiba nggak bisa apa-apa nanti. Kamu ini, ya...., Bukannya senang ibunya dekat dengan istrinya, malah seolah meminta ibu tak mikirin." Ibu mertuaku nampaknya tak suka mas Raka melarangnya datang membawa makanan."Bu, maksud Raka itu nggak mau ng
Malam telah larut. Dengkuran mas Raka sudah kudengar. Kuelus perutku yang terasa lapar. Sungguh, kenapa harus aku terjebak dalam kondisi pernikahan model begini. Tak pernah terbayang sebelumnya, ternyata Mas Raka punya sikap dan pandangan aneh begini.Saking tak tahannya dengan rasa lapar yang menyiksaku, belum lagi terbayang janinku yang andai bisa berteriak mungkin saja dia akan berteriak, maka kuberanikan diri turun dari kasur. Perlahan menuju pintu. Membukanya perlahan.Setelah berhasil keluar, aku pun harus menutupnya kembali rapat. Agar tak ada cahaya yang masuk ke dalam kamar. Beruntung Mas Raka setuju dengan permintaanku yang terbiasa tidur tanpa penerangan.Haaah. Kuatur napasku saat sudah berdiri tenang depan pintu. Membayangkan diri mengendap begini, persis pencuri di rumah sendiri.Perlahan aku menuju ke dapur. Aku ingat kalau ibu membawa camilan selain makanan berat. Maka, kubuka kulkas kucari roti mariam yang menggugah selera tatkala kelaparan begini.Kuambil empat bij
"Nggak terasa calon ponakanku sudah tiga bulan." Syerin berucap dengan tangan sibuk membuka buku pink yang kuserahkan padanya.Dia menatapku."Kak, ada beban jadi istrinya Mas Raka?"Syerin menatapku. Mas Raka izin ke luar ruangan karena menerima panggilan telepon."Beban?" Aku gantian menatap Syerin."Kak, usia kandungan seharusnya beratnya sudah sekitar 40 gram. Nah, ini kenapa beratnya kurang dari itu?"Kugigit bibirku, terpukul dengan ucapan Syerin barusan."Kalau kakak diet, please jangan egois. Janin ini nggak bisa diajak diet!" Ucap Syerin kesal. "Sudah banyak yang konsultasi, tapi tak ada kasus seperti kakak ini. Janinnya nanti lahirnya malah kecil, bisa jadi prematur, kekurangan gizi. Pokoknya banyak sebabnya jadi tolong perhatikan dia." Pinta Syerin padaku. "Mas Raka nggak membatasi kakak makan, kan?" Tatap Syerin lagi. Dia bertanya hati-hati padaku. Tubuhnya saja sampai condong ke arahku.Aku memilih diam. Syerin memicingkan mata, menatapku."Pasti Mas Raka nih, sebabnya.
Ucapan Syerin terus terngiang, membuat aku susah tidur. Sementara Mas Raka sudah mendengkur sejak berapa menit lalu. Dia seolah tak memiliki beban dengan apa yang disampaikan Syerin padanya. Sama sekali. Bahkan membahasnya saja tidak.Terbayang kasus beberapa ibu yang harus terpisah dengan anaknya karena ditahan di ruang NICU saja membuat aku prihatin. Masa iya anakku akan mengalami hal yang sama hanya karena keegoisan ayahnya ini?Seingatku pun dia tak pernah mengelus perutku, kecuali saat kusampaikan padanya kehamilanku. Dia excited tapi tak bisa mengekpresikannya jelas karena ketakutan itu. Takut aku menjadi gemuk.Ah, tidak! aku menggeleng kuat.Mas Raka sudah kelewatan!Aku perlahan mengambil posisi duduk. Menatapnya yang tidur menyamping ke arahku.Lagi-lagi di jam begini rasa lapar memaksaku untuk bangun lagi. Aku marah pada Mas Raka dan sekarang aku tak bisa mengabaikan sedikitpun tentang tumbuh kembang janinku. Aku harus makan sesuatu!Kupastikan dia benar sudah lelap barul
Mas Raka pulang. Aku sendiri yang membuka pintu untuknya."Mas semalam nginap di mana?" Aku bertanya ingin tahu. Kurasa pun wajar aku bertanya karena dia suamiku.Mas Raka menghentikan langkah, memutar tubuh dan menghadap kepadaku."Di rumah Ibu." Balasnya dingin.Aku tahu dia berbohong. Kalau memang dia di rumah Ibu pasti tadi Ibu cerita padaku."Makan siangnya aku siapkan, ya." Ucapku melangkah menuju ke arah dapur."Tidak usah repot. Tadi sudah makan di luar.""Oh, okelah." Balasku lalu menarik langkah. Berbelok menuju ruang tengah. Aku akan melanjutkan pekerjaanku. Tadi Naima sudah mengirimkan pesan sekaligus mengirimkan gajiku.Rupanya Mas Raka mengikuti ayunan langkahku. Saat dia melihat camilan di atas meja kerjaku, dia langsung mengambilnya."Mas, itu camilan buat anak kita." Aku mendekatinya, mengambil kembali dari tangannya."Buat dia atau kamu? Lihat lengan kamu sudah gemuk begitu! Pipi kamu, badan kamu...." Mas Raka seperti orang frustasi, memegang lenganku, lalu mengita
Aisya mendadak jadi pendiam. Dia tak seriang awal dulu, dia pun tak seperhatian sebelumnya. Sebel juga melihatnya begitu. Belum lagi kalau melihat dia nampak selalu segar akhir-akhir ini. Buat aku gemas, namun tak bisa melakukan apa-apa.Semua memang salahku,Tapi, aku tetap dengan keputusanku. Aisya tak boleh gemuk. Aku jadi membayangkan seorang artis yang dulunya idola, wara-wiri di layar kaca selepas menikah, punya anak, badannya gemuk sekali. Kata teman kantor tak kembali modal.Aku membayangkan jika itu Aisya. Perempuan yang buat hatiku bergetar saat pertama jumpa. Namun, rupanya ucapan itu menggelitikku. Selain rasa takut dan tak rela dia gemuk, aku sepertinya memang lebih cinta fisiknya yang seperti awal jumpa. Menarik!"Lihat itu, waduh..., Semuanya bengkak!" Tawa di ruangan membahana."Aku kalau punya istri macam itu, kusuruh saja di rumah. Malu jatuhnya." "Kalau aku cari yang baru sebagai cadangan!"Berbagai komentar yang membuatku kesal terus bermunculan. Namun, di antara
Abah menungguku. Ibu terus menatapku. Sementara Aisya dia memilih tak memberikan jawaban apa pun."Kalian berantem?" Abah kembali bertanya. Kali ini intonasinya sudah berubah."Tidak Abah." Jawabku. Bisa gawat kalau Aisya membuka perihal perjanjian yang kubuat untuknya. "Lalu, kenapa kalian seperti orang asing begini?" "Oh, Aisya lelah saja, Bah." Aku membalas pertanyaan Abah lagi."Ya bawa Aisya ke kamar. Dia memang butuh istirahat." Abah lalu memintaku membawa Aisya ke kamar.Tanpa menunggu, aku menghampiri Aisya. Aisya menatapku sebentar, lalu tak menggubris ajakanku ke kamar.Maka tak punya pilihan. Segera kuangkat dia, kugendong ke kamar.Sumpah, beratnya serasa melebihi beratnya diawal pernikahan. Kulihat Umma yang tersenyum padaku.Seingatku dulu awal nikah aku bisa menggendongnya begini dan masih bisa membuka pintu tanpa harus kepayahan seperti ini.Sampai kamar kuturunkan dia di sofa. Lalu...,"Apa kubilang. Berat kamu itu nambah! Mungkin timbangan kamu sekarang delapan pul
POV RAKABagaimana ini, Ibu sudah ikut pulang setelah mendapati Aisya tak di rumah. Semangatnya luluh membayangkan jika Aisya tak akan pernah kembali.Aku masuk ke dapur. Duduk di kursinya. Biasanya ada Aisya disini. Berdiri di hadapanku. Meski pun saban hari aku selalu membully-nya dia terkadang menerimanya saja.Puncak bully-anku padanya mungkin agak sering beberapa waktu belakangan. Pernah di dapur ini, saat dia sudah memegang piring aku menegurnya."Makan terus..., nggak sadar badan semakin melar, Dek??"Aisya menatapku. Tangannya bergetar, piringnya pun ikut bergetar. Dia sedang menahan amarahnya sekaligus mungkin menahan laparnya."Mas, aku sudah bilang aku tak peduli. Aku mau anakku sehat saat lahir." Jawab Aisya padaku."Ya itu harus. Tapi apa dengan makan terus begini? Badan kamu itu loh, jadi seperti badut jalanan."Piring diletakkan Aisya begitu saja di meja. Wajahnya merah padam. Mungkin itu kelewatan, tapi dia masih bisa mempersiapkan makanan untukku.Kutarik napas kuat.
POV AISYA"Siapa, Sya?"Ummi bertanya dari arah dapur."Tidak tahu, Mi. Memang tak ada yang ngirim pesan main ke rumah?" Aku bertanya pada Ummi. Karena biasanya kalau ada keluarga yang datang, selalu mengirim pesan. Itu sudah seperti itu sejak aku kecil."Dilihat dulu...." Pinta Ibu. Maka aku pun bergegas, berusaha berdiri dari dudukku. Namun, tanganku ditahan Syerin. Dia malah memintaku duduk."Itu Mas Raka." Bisiknya."lah, lalu mobilnya?" Aku jelas bingung. Baru kali ini kulihat Mas Raka mengganti mobilnya."Punya ayah. Ayah baru datang tadi malam. Terus nanyain Kakak. Yah mungkin Mas Raka mau menjemput." Ucap Syerin.Oh rupanya mertua lelakiku baru saja kembali dari luar kota, dan dia mencariku.Aku tetap berdiri. Ingat selalu pesan Ummi H-1 pernikahan kala itu. Ummi berpesan padaku, baik buruknya Suami tanggungjawab istri menjaga nama baiknya. Pun seburuk apa pun suami, Istri harus tetap memberikan baktinya."Firaun saja sekejam itu, Asiah istrinya tetap memegang teguh perannya s
POV AISYAKupandangi Mas Raka yang terus melihat ke arahku. Dia memintaku pulang, namun aku belum memutuskan.Mas Raka yang angin-anginan, aku yakin paling satu dua hari dia bisa menahan diri tak melarangku makan. setelah itu??sebenarnya aku sudah membaca pesannya, melihat panggilannya. namun rasa kesalku membuat aku memilih tak meresponnya. biarkan dulu aku dan dia terbentang jarak, biar dia mikir."Yakin dia mikir?" Abah merasa tak yakin saat aku menyampaikan perihal Mas Raka yang memintaku pulang."Abah masih ada saja, dia bisa semena-mena. padahal dia yang gentle datang menemui abah, mau menikahi kamu. oke abah setuju. tapi apa sekarang??"Aku tak bisa membantah Abah. Kali ini Abah sangat kecewa dengan Mas Raka. Aku yang selalu bilang semua baik, ternyata harus menerima kalau Ibu mertuaku yang terlalu jujur ke Abah."Syukur mertua kamu orang yang jujur. kalau tidak? jadi apa kamu dan cucu Abah?"ummi mendekati, mengelus punggung Abah. Kutarik napasku sembari mengelus perutku yang
Aku menekan rem. Aku memutar arah pandanganku. Tak salah! aku melihat Aisya duduk di kafe outdoor bersama teman-temannya.Tawanya,Senyumnya...,Kenapa aku malah terbayang rindu padanya?Kuambil ponselku, lalu kukirim pesan padanya.[Kamu di mana?]Setelah pesanku terkirim, aku terus memerhatikan. Namun tak ada balasan yang merespon pesanku.Aku terus menunggu, tapi tetap sama."[Aisya, aku mau bertemu. Kamu dimana?]Sekali lagi kukirimkan pesan. Hasilnya tetap sama. Pesanku tidak dia balas. Aku yang saat meninggalkan rumah Rivan dengan emosi, merasa emosiku tersulut lagi. Bisa-bisanya dia nongkrong disaat aku memikirkan bagaimana membawanya pulang ke rumah."Kamu lelaki pertama kukenali yang brengsek, Raka!" Tatap Rivan."Kamu sadar tidak pengorbanan apa yang dilalui istri kamu? dia rela loh, tubuhnya mau berubah demi mengandung anak kamu." Ucap Rivan lagi. Wajahnya tak ramah seperti awal aku datang."Ucapan kamu persis teman aku Hamka." "Yah, itu artinya teman kamu waras! mengharg
POV RAKABagaimana ini, Ibu sudah ikut pulang setelah mendapati Aisya tak di rumah. Semangatnya luluh membayangkan jika Aisya tak akan pernah kembali.Aku masuk ke dapur. Duduk di kursinya. Biasanya ada Aisya disini. Berdiri di hadapanku. Meski pun saban hari aku selalu membully-nya dia terkadang menerimanya saja.Puncak bully-anku padanya mungkin agak sering beberapa waktu belakangan. Pernah di dapur ini, saat dia sudah memegang piring aku menegurnya."Makan terus..., nggak sadar badan semakin melar, Dek??"Aisya menatapku. Tangannya bergetar, piringnya pun ikut bergetar. Dia sedang menahan amarahnya sekaligus mungkin menahan laparnya."Mas, aku sudah bilang aku tak peduli. Aku mau anakku sehat saat lahir." Jawab Aisya padaku."Ya itu harus. Tapi apa dengan makan terus begini? Badan kamu itu loh, jadi seperti badut jalanan."Piring diletakkan Aisya begitu saja di meja. Wajahnya merah padam. Mungkin itu kelewatan, tapi dia masih bisa mempersiapkan makanan untukku.Kutarik napas kuat.
Abah menungguku. Ibu terus menatapku. Sementara Aisya dia memilih tak memberikan jawaban apa pun."Kalian berantem?" Abah kembali bertanya. Kali ini intonasinya sudah berubah."Tidak Abah." Jawabku. Bisa gawat kalau Aisya membuka perihal perjanjian yang kubuat untuknya. "Lalu, kenapa kalian seperti orang asing begini?" "Oh, Aisya lelah saja, Bah." Aku membalas pertanyaan Abah lagi."Ya bawa Aisya ke kamar. Dia memang butuh istirahat." Abah lalu memintaku membawa Aisya ke kamar.Tanpa menunggu, aku menghampiri Aisya. Aisya menatapku sebentar, lalu tak menggubris ajakanku ke kamar.Maka tak punya pilihan. Segera kuangkat dia, kugendong ke kamar.Sumpah, beratnya serasa melebihi beratnya diawal pernikahan. Kulihat Umma yang tersenyum padaku.Seingatku dulu awal nikah aku bisa menggendongnya begini dan masih bisa membuka pintu tanpa harus kepayahan seperti ini.Sampai kamar kuturunkan dia di sofa. Lalu...,"Apa kubilang. Berat kamu itu nambah! Mungkin timbangan kamu sekarang delapan pul
Aisya mendadak jadi pendiam. Dia tak seriang awal dulu, dia pun tak seperhatian sebelumnya. Sebel juga melihatnya begitu. Belum lagi kalau melihat dia nampak selalu segar akhir-akhir ini. Buat aku gemas, namun tak bisa melakukan apa-apa.Semua memang salahku,Tapi, aku tetap dengan keputusanku. Aisya tak boleh gemuk. Aku jadi membayangkan seorang artis yang dulunya idola, wara-wiri di layar kaca selepas menikah, punya anak, badannya gemuk sekali. Kata teman kantor tak kembali modal.Aku membayangkan jika itu Aisya. Perempuan yang buat hatiku bergetar saat pertama jumpa. Namun, rupanya ucapan itu menggelitikku. Selain rasa takut dan tak rela dia gemuk, aku sepertinya memang lebih cinta fisiknya yang seperti awal jumpa. Menarik!"Lihat itu, waduh..., Semuanya bengkak!" Tawa di ruangan membahana."Aku kalau punya istri macam itu, kusuruh saja di rumah. Malu jatuhnya." "Kalau aku cari yang baru sebagai cadangan!"Berbagai komentar yang membuatku kesal terus bermunculan. Namun, di antara
Mas Raka pulang. Aku sendiri yang membuka pintu untuknya."Mas semalam nginap di mana?" Aku bertanya ingin tahu. Kurasa pun wajar aku bertanya karena dia suamiku.Mas Raka menghentikan langkah, memutar tubuh dan menghadap kepadaku."Di rumah Ibu." Balasnya dingin.Aku tahu dia berbohong. Kalau memang dia di rumah Ibu pasti tadi Ibu cerita padaku."Makan siangnya aku siapkan, ya." Ucapku melangkah menuju ke arah dapur."Tidak usah repot. Tadi sudah makan di luar.""Oh, okelah." Balasku lalu menarik langkah. Berbelok menuju ruang tengah. Aku akan melanjutkan pekerjaanku. Tadi Naima sudah mengirimkan pesan sekaligus mengirimkan gajiku.Rupanya Mas Raka mengikuti ayunan langkahku. Saat dia melihat camilan di atas meja kerjaku, dia langsung mengambilnya."Mas, itu camilan buat anak kita." Aku mendekatinya, mengambil kembali dari tangannya."Buat dia atau kamu? Lihat lengan kamu sudah gemuk begitu! Pipi kamu, badan kamu...." Mas Raka seperti orang frustasi, memegang lenganku, lalu mengita
Ucapan Syerin terus terngiang, membuat aku susah tidur. Sementara Mas Raka sudah mendengkur sejak berapa menit lalu. Dia seolah tak memiliki beban dengan apa yang disampaikan Syerin padanya. Sama sekali. Bahkan membahasnya saja tidak.Terbayang kasus beberapa ibu yang harus terpisah dengan anaknya karena ditahan di ruang NICU saja membuat aku prihatin. Masa iya anakku akan mengalami hal yang sama hanya karena keegoisan ayahnya ini?Seingatku pun dia tak pernah mengelus perutku, kecuali saat kusampaikan padanya kehamilanku. Dia excited tapi tak bisa mengekpresikannya jelas karena ketakutan itu. Takut aku menjadi gemuk.Ah, tidak! aku menggeleng kuat.Mas Raka sudah kelewatan!Aku perlahan mengambil posisi duduk. Menatapnya yang tidur menyamping ke arahku.Lagi-lagi di jam begini rasa lapar memaksaku untuk bangun lagi. Aku marah pada Mas Raka dan sekarang aku tak bisa mengabaikan sedikitpun tentang tumbuh kembang janinku. Aku harus makan sesuatu!Kupastikan dia benar sudah lelap barul
"Nggak terasa calon ponakanku sudah tiga bulan." Syerin berucap dengan tangan sibuk membuka buku pink yang kuserahkan padanya.Dia menatapku."Kak, ada beban jadi istrinya Mas Raka?"Syerin menatapku. Mas Raka izin ke luar ruangan karena menerima panggilan telepon."Beban?" Aku gantian menatap Syerin."Kak, usia kandungan seharusnya beratnya sudah sekitar 40 gram. Nah, ini kenapa beratnya kurang dari itu?"Kugigit bibirku, terpukul dengan ucapan Syerin barusan."Kalau kakak diet, please jangan egois. Janin ini nggak bisa diajak diet!" Ucap Syerin kesal. "Sudah banyak yang konsultasi, tapi tak ada kasus seperti kakak ini. Janinnya nanti lahirnya malah kecil, bisa jadi prematur, kekurangan gizi. Pokoknya banyak sebabnya jadi tolong perhatikan dia." Pinta Syerin padaku. "Mas Raka nggak membatasi kakak makan, kan?" Tatap Syerin lagi. Dia bertanya hati-hati padaku. Tubuhnya saja sampai condong ke arahku.Aku memilih diam. Syerin memicingkan mata, menatapku."Pasti Mas Raka nih, sebabnya.