"Bu, nggak usah repot lah, bawa makanan kemari."
Kudengar Mas Raka bicara dengan ibu di ruang tamu.
"Memang kenapa? Aisya juga senang aja, kan? Ibu cuma mau memastikan Aisya mengkonsumsi makanan yang bagus untuk diri dan janinnya. Salah?"Hela napas mas Raka terdengar. Aku yang kebetulan duduk di sofa ruang tengah, dekat pintu sangat jelas mendengarnya. Mungkin Mas Raka pikir aku di kamar, karena memang pamit ke kamar tadi."Bu, aku hanya nggak mau Aisya jadi bergantung sama ibu, terus jadi kebiasaan. Nanti malah nggak tahu apa-apa." Ucap mas Raka. Aku tahu ini alasan dia agar ibu tak lagi membawa makanan."Jangan salah! Istri kamu itu paket komplit. Masak jago. Beresin rumah juga jago. Nggak mungkin sembilan bulan ibu dan umminya bantu, tiba-tiba nggak bisa apa-apa nanti. Kamu ini, ya...., Bukannya senang ibunya dekat dengan istrinya, malah seolah meminta ibu tak mikirin."Ibu mertuaku nampaknya tak suka mas Raka melarangnya datang membawa makanan.
"Bu, maksud Raka itu nggak mau ngerepotin ibu."Kudengar Mas Raka kembali memberikan alasan."Ya sudah kalau begitu. Karena ibu merasa tak direpotkan, kamu tak berhak melarang ibu."Hi...hi.... Jadi lucu, kan. Ucapannya sendiri jadi pembenaran untuk ibu, tetap menyiapkan gizi untukku dan calon cucunya."Bu....""Sudah sana.... Ojek ibu sebentar lagi datang. Pokoknya jangan buat Aisya stres!" Ultimatum ibu pada mas Raka. "Perhatikan makanannya. Beri dia rasa nyaman menjalani kehamilannya."Panjang wejangan ibu untuk Mas Raka. Aku yang mendengarnya dibuat senyam-senyum senang.Tuh, dapat kuliah gratis tentang bagaimana bersikap ke perempuan hamil. Langsung dari pawangnya!
Tak lama, karena aku merasa ojek ibu sudah dekat, aku pun keluar menghampiri."Maaf ya, Bu. Aisya lama." Ucapku, duduk di sebelah ibu.Kulirik mas Raka yang memandangku penuh arti. Tak tahu apa yang sedang dia rencanakan di otaknya itu.
"Biarin! Kamu itu memang harus banyak istirahat. Lain kali kalau mau keluar, jangan jauh dari rumah, ya....""Siap, ibu...." Balasku dengan senyum mengembang."Eh tuh! Ojek ibu sudah tiba. Ibu pulang dulu. Pokoknya itu makanan di kulkas tinggal dipanaskan!" Kembali ibu berpesan padaku dan pada mas Raka."Lusa ibu bawakan menu baru." Ucap ibu sembari memakai sepatunya.Pandangannya tertuju pada Mas Raka yang pasrah. Wajahnya seperti orang yang kalah selepas berperang.
Ibu sudah pergi. Aku berbalik segera. Namun, baru selangkah, Mas Raka memintaku duduk menemaninya di teras.Tumben!"Ibu nanya tentang makanan dua hari lalu?""Nggak. Ibu merasa senang, menganggap makanan itu habis oleh kita." Balasku, duduk di sebelahnya."Kalau begitu yang ada di dalam, kita bagi saja sama yang lain. Tadi pas pulang aku lewat jalan belakang. Banyak tuh, rumah warga yang sederhana sekali, dipinggiran perumahan ini. Mereka pasti senang kalau diberikan makanan."Oh, kukira mas Raka akan membahas apa gitu. Ajakan liburan-kah, atau mungkin umroh bareng sesuai janjinya padaku di awal pernikahan. Atau kalau tidak yah membicarakan jangka panjang tentang anaknya ini, yang masih berenang di dalam air ketuban di rahimku."Terserah Mas saja mau diapakan. Aku berdebat hal ini pun percuma, mas."Aku berucap, lalu minta izin masuk ke dalam.Sebenarnya aku tak yakin alasannya agar aku tak gemuk hanya karena tak enak di pandang. Pasti ada yang lebih dari itu. Ingin ditanyakan, takut dia tersinggung.
"Sayang, tolonglah. Aku tak mau pernikahan kita harus berakhir sesuai perjanjian yang kita sepakati."Mas Raka rupanya mengejar langkahku. Tunggu! Dia bilang Kita sepakati? Aku nggak salah dengar, kan?Refleks aku berbalik. Mas Raka terkejut."Mas, sejak kapan perjanjian itu KITA SEPAKATI? Aku menyepakati itu karena Mas yang minta tanda tangan. Lagian kalau memang harus berujung seperti yang Mas tulis, itu kan, Mas yang tulis sendiri. Memang aku dilibatkan?" Tanyaku dengan alis terangkat, tetap dengan tenang, memandangi mas Raka tanpa sedikitpun memandangnya remeh."Makanya, makan kamu direm, dong," ucap Mas Raka, lagi-lagi tak mempertimbangkan ucapannya."Mas, aku tahu mas berilmu. Mas tahu apa resiko jika aku menahan napsu makanku ketika aku ingin. Jika saja aku tak hamil, mungkin aku bisa. Tapi, aku mengandung calon manusia. Dia butuh asupan untuk bertumbuh. Mas sadari itu??""Iya, aku sadar. Tapi, bisa kan tidak harus gemuk kiri-kanan? Ada kok orang yang hamil malah nggak nampak dia hamil."Mulai...Mas Raka mulai membandingkan kehamilanku dengan perempuan lain di luaran sana. Memang enak rasanya??"Kalau begitu kenapa nggak cari modelan begitu? Memang sama setiap kondisi dan fisik orang? Please deh, Mas. Bisa tidak untuk tak lagi membahas hal ini?" Pintaku memelas. Aku capek sekarang."Okelah! Aku janji tak bahas itu. Tapi, ingat ya terserah kamu mau apa aja, asal tidak untuk satu itu. Satu yang merubah fisik kamu menjadi gemuk atau gendut!"Kuhela napas berat, lalu kutinggalkan mas Raka. Aku tidak masuk ke kamar, melainkan masuk ke kamar tamu yang biasa ditempati ummi abah jika menginap.Aku jadi kangen ummi abah yang tak pernah melarangku makan apa saja. Justru abah dan ummi akan marah kalau aku diet dan seterusnya.Kupandangi jalan di depan rumah yang ramai. Rumahku besar, namun rasanya sumpek! Serba salah. Sementara aku sadar perutku mulai merasa lapar kembali."Sayang, jangan marah dong...."Mas Raka muncul, langsung memeluk pinggangku."Mas, aku butuh sendiri." Ucapku, berusaha melepas kait tangannya yang kokoh itu."Sebentar saja. Aku kangen kamu." Bisiknya di belakang telingaku.Maka kubiarkan dia memelukku. Kurang lebih lima belas menit dalam posisi itu, mas Raka lalu melepas tangannya."Aku lapar. Buatkan makan, ya...." Pintanya.Tanpa memberikan jawaban, aku pun langsung bergerak ke dapur.Kubuka kulkas lebar, lalu mencari food container yang berisi ayam lengkuas yang siap goreng. Salah satu bawaan ibu selain bakso.
Setelah ayam lengkuas jadi, aku pun menghangatkan untuknya sup kimlo agar mas Raka makan tak kering-kering amat. Barulah setelah semuanya siap, aku memanggilnya ke kamar."Mas, makannya sudah siap." Ucapku duduk di meja riasku."Temani aku makan, ya...."Kupandangi dia. Yah seperti yang kubilang kadang mas Raka itu berubah manis, jutek, bahkan sekarang seperti bocah minta di temani ibunya makan.
Mau tak mau aku mengangguk juga.
"Kamu temani aku, cukup duduk saja. Tak perlu ikut makan. Sudah makan, kan tadi?!"Mas Raka memandangku. Benar menyebalkan Mas Raka ini. Teganya dia bilang begitu untuk mengingatkan aku kalau dia minta ditemani bukan makan bersama."Yaa Allah, Mas..., hanya nggak mau aku gemuk, kamu sampai tak memikirkan perasaanku??"Malam telah larut. Dengkuran mas Raka sudah kudengar. Kuelus perutku yang terasa lapar. Sungguh, kenapa harus aku terjebak dalam kondisi pernikahan model begini. Tak pernah terbayang sebelumnya, ternyata Mas Raka punya sikap dan pandangan aneh begini.Saking tak tahannya dengan rasa lapar yang menyiksaku, belum lagi terbayang janinku yang andai bisa berteriak mungkin saja dia akan berteriak, maka kuberanikan diri turun dari kasur. Perlahan menuju pintu. Membukanya perlahan.Setelah berhasil keluar, aku pun harus menutupnya kembali rapat. Agar tak ada cahaya yang masuk ke dalam kamar. Beruntung Mas Raka setuju dengan permintaanku yang terbiasa tidur tanpa penerangan.Haaah. Kuatur napasku saat sudah berdiri tenang depan pintu. Membayangkan diri mengendap begini, persis pencuri di rumah sendiri.Perlahan aku menuju ke dapur. Aku ingat kalau ibu membawa camilan selain makanan berat. Maka, kubuka kulkas kucari roti mariam yang menggugah selera tatkala kelaparan begini.Kuambil empat bij
"Nggak terasa calon ponakanku sudah tiga bulan." Syerin berucap dengan tangan sibuk membuka buku pink yang kuserahkan padanya.Dia menatapku."Kak, ada beban jadi istrinya Mas Raka?"Syerin menatapku. Mas Raka izin ke luar ruangan karena menerima panggilan telepon."Beban?" Aku gantian menatap Syerin."Kak, usia kandungan seharusnya beratnya sudah sekitar 40 gram. Nah, ini kenapa beratnya kurang dari itu?"Kugigit bibirku, terpukul dengan ucapan Syerin barusan."Kalau kakak diet, please jangan egois. Janin ini nggak bisa diajak diet!" Ucap Syerin kesal. "Sudah banyak yang konsultasi, tapi tak ada kasus seperti kakak ini. Janinnya nanti lahirnya malah kecil, bisa jadi prematur, kekurangan gizi. Pokoknya banyak sebabnya jadi tolong perhatikan dia." Pinta Syerin padaku. "Mas Raka nggak membatasi kakak makan, kan?" Tatap Syerin lagi. Dia bertanya hati-hati padaku. Tubuhnya saja sampai condong ke arahku.Aku memilih diam. Syerin memicingkan mata, menatapku."Pasti Mas Raka nih, sebabnya.
Ucapan Syerin terus terngiang, membuat aku susah tidur. Sementara Mas Raka sudah mendengkur sejak berapa menit lalu. Dia seolah tak memiliki beban dengan apa yang disampaikan Syerin padanya. Sama sekali. Bahkan membahasnya saja tidak.Terbayang kasus beberapa ibu yang harus terpisah dengan anaknya karena ditahan di ruang NICU saja membuat aku prihatin. Masa iya anakku akan mengalami hal yang sama hanya karena keegoisan ayahnya ini?Seingatku pun dia tak pernah mengelus perutku, kecuali saat kusampaikan padanya kehamilanku. Dia excited tapi tak bisa mengekpresikannya jelas karena ketakutan itu. Takut aku menjadi gemuk.Ah, tidak! aku menggeleng kuat.Mas Raka sudah kelewatan!Aku perlahan mengambil posisi duduk. Menatapnya yang tidur menyamping ke arahku.Lagi-lagi di jam begini rasa lapar memaksaku untuk bangun lagi. Aku marah pada Mas Raka dan sekarang aku tak bisa mengabaikan sedikitpun tentang tumbuh kembang janinku. Aku harus makan sesuatu!Kupastikan dia benar sudah lelap barul
Mas Raka pulang. Aku sendiri yang membuka pintu untuknya."Mas semalam nginap di mana?" Aku bertanya ingin tahu. Kurasa pun wajar aku bertanya karena dia suamiku.Mas Raka menghentikan langkah, memutar tubuh dan menghadap kepadaku."Di rumah Ibu." Balasnya dingin.Aku tahu dia berbohong. Kalau memang dia di rumah Ibu pasti tadi Ibu cerita padaku."Makan siangnya aku siapkan, ya." Ucapku melangkah menuju ke arah dapur."Tidak usah repot. Tadi sudah makan di luar.""Oh, okelah." Balasku lalu menarik langkah. Berbelok menuju ruang tengah. Aku akan melanjutkan pekerjaanku. Tadi Naima sudah mengirimkan pesan sekaligus mengirimkan gajiku.Rupanya Mas Raka mengikuti ayunan langkahku. Saat dia melihat camilan di atas meja kerjaku, dia langsung mengambilnya."Mas, itu camilan buat anak kita." Aku mendekatinya, mengambil kembali dari tangannya."Buat dia atau kamu? Lihat lengan kamu sudah gemuk begitu! Pipi kamu, badan kamu...." Mas Raka seperti orang frustasi, memegang lenganku, lalu mengita
Aisya mendadak jadi pendiam. Dia tak seriang awal dulu, dia pun tak seperhatian sebelumnya. Sebel juga melihatnya begitu. Belum lagi kalau melihat dia nampak selalu segar akhir-akhir ini. Buat aku gemas, namun tak bisa melakukan apa-apa.Semua memang salahku,Tapi, aku tetap dengan keputusanku. Aisya tak boleh gemuk. Aku jadi membayangkan seorang artis yang dulunya idola, wara-wiri di layar kaca selepas menikah, punya anak, badannya gemuk sekali. Kata teman kantor tak kembali modal.Aku membayangkan jika itu Aisya. Perempuan yang buat hatiku bergetar saat pertama jumpa. Namun, rupanya ucapan itu menggelitikku. Selain rasa takut dan tak rela dia gemuk, aku sepertinya memang lebih cinta fisiknya yang seperti awal jumpa. Menarik!"Lihat itu, waduh..., Semuanya bengkak!" Tawa di ruangan membahana."Aku kalau punya istri macam itu, kusuruh saja di rumah. Malu jatuhnya." "Kalau aku cari yang baru sebagai cadangan!"Berbagai komentar yang membuatku kesal terus bermunculan. Namun, di antara
Abah menungguku. Ibu terus menatapku. Sementara Aisya dia memilih tak memberikan jawaban apa pun."Kalian berantem?" Abah kembali bertanya. Kali ini intonasinya sudah berubah."Tidak Abah." Jawabku. Bisa gawat kalau Aisya membuka perihal perjanjian yang kubuat untuknya. "Lalu, kenapa kalian seperti orang asing begini?" "Oh, Aisya lelah saja, Bah." Aku membalas pertanyaan Abah lagi."Ya bawa Aisya ke kamar. Dia memang butuh istirahat." Abah lalu memintaku membawa Aisya ke kamar.Tanpa menunggu, aku menghampiri Aisya. Aisya menatapku sebentar, lalu tak menggubris ajakanku ke kamar.Maka tak punya pilihan. Segera kuangkat dia, kugendong ke kamar.Sumpah, beratnya serasa melebihi beratnya diawal pernikahan. Kulihat Umma yang tersenyum padaku.Seingatku dulu awal nikah aku bisa menggendongnya begini dan masih bisa membuka pintu tanpa harus kepayahan seperti ini.Sampai kamar kuturunkan dia di sofa. Lalu...,"Apa kubilang. Berat kamu itu nambah! Mungkin timbangan kamu sekarang delapan pul
POV RAKABagaimana ini, Ibu sudah ikut pulang setelah mendapati Aisya tak di rumah. Semangatnya luluh membayangkan jika Aisya tak akan pernah kembali.Aku masuk ke dapur. Duduk di kursinya. Biasanya ada Aisya disini. Berdiri di hadapanku. Meski pun saban hari aku selalu membully-nya dia terkadang menerimanya saja.Puncak bully-anku padanya mungkin agak sering beberapa waktu belakangan. Pernah di dapur ini, saat dia sudah memegang piring aku menegurnya."Makan terus..., nggak sadar badan semakin melar, Dek??"Aisya menatapku. Tangannya bergetar, piringnya pun ikut bergetar. Dia sedang menahan amarahnya sekaligus mungkin menahan laparnya."Mas, aku sudah bilang aku tak peduli. Aku mau anakku sehat saat lahir." Jawab Aisya padaku."Ya itu harus. Tapi apa dengan makan terus begini? Badan kamu itu loh, jadi seperti badut jalanan."Piring diletakkan Aisya begitu saja di meja. Wajahnya merah padam. Mungkin itu kelewatan, tapi dia masih bisa mempersiapkan makanan untukku.Kutarik napas kuat.
Aku menekan rem. Aku memutar arah pandanganku. Tak salah! aku melihat Aisya duduk di kafe outdoor bersama teman-temannya.Tawanya,Senyumnya...,Kenapa aku malah terbayang rindu padanya?Kuambil ponselku, lalu kukirim pesan padanya.[Kamu di mana?]Setelah pesanku terkirim, aku terus memerhatikan. Namun tak ada balasan yang merespon pesanku.Aku terus menunggu, tapi tetap sama."[Aisya, aku mau bertemu. Kamu dimana?]Sekali lagi kukirimkan pesan. Hasilnya tetap sama. Pesanku tidak dia balas. Aku yang saat meninggalkan rumah Rivan dengan emosi, merasa emosiku tersulut lagi. Bisa-bisanya dia nongkrong disaat aku memikirkan bagaimana membawanya pulang ke rumah."Kamu lelaki pertama kukenali yang brengsek, Raka!" Tatap Rivan."Kamu sadar tidak pengorbanan apa yang dilalui istri kamu? dia rela loh, tubuhnya mau berubah demi mengandung anak kamu." Ucap Rivan lagi. Wajahnya tak ramah seperti awal aku datang."Ucapan kamu persis teman aku Hamka." "Yah, itu artinya teman kamu waras! mengharg
POV AISYA"Siapa, Sya?"Ummi bertanya dari arah dapur."Tidak tahu, Mi. Memang tak ada yang ngirim pesan main ke rumah?" Aku bertanya pada Ummi. Karena biasanya kalau ada keluarga yang datang, selalu mengirim pesan. Itu sudah seperti itu sejak aku kecil."Dilihat dulu...." Pinta Ibu. Maka aku pun bergegas, berusaha berdiri dari dudukku. Namun, tanganku ditahan Syerin. Dia malah memintaku duduk."Itu Mas Raka." Bisiknya."lah, lalu mobilnya?" Aku jelas bingung. Baru kali ini kulihat Mas Raka mengganti mobilnya."Punya ayah. Ayah baru datang tadi malam. Terus nanyain Kakak. Yah mungkin Mas Raka mau menjemput." Ucap Syerin.Oh rupanya mertua lelakiku baru saja kembali dari luar kota, dan dia mencariku.Aku tetap berdiri. Ingat selalu pesan Ummi H-1 pernikahan kala itu. Ummi berpesan padaku, baik buruknya Suami tanggungjawab istri menjaga nama baiknya. Pun seburuk apa pun suami, Istri harus tetap memberikan baktinya."Firaun saja sekejam itu, Asiah istrinya tetap memegang teguh perannya s
POV AISYAKupandangi Mas Raka yang terus melihat ke arahku. Dia memintaku pulang, namun aku belum memutuskan.Mas Raka yang angin-anginan, aku yakin paling satu dua hari dia bisa menahan diri tak melarangku makan. setelah itu??sebenarnya aku sudah membaca pesannya, melihat panggilannya. namun rasa kesalku membuat aku memilih tak meresponnya. biarkan dulu aku dan dia terbentang jarak, biar dia mikir."Yakin dia mikir?" Abah merasa tak yakin saat aku menyampaikan perihal Mas Raka yang memintaku pulang."Abah masih ada saja, dia bisa semena-mena. padahal dia yang gentle datang menemui abah, mau menikahi kamu. oke abah setuju. tapi apa sekarang??"Aku tak bisa membantah Abah. Kali ini Abah sangat kecewa dengan Mas Raka. Aku yang selalu bilang semua baik, ternyata harus menerima kalau Ibu mertuaku yang terlalu jujur ke Abah."Syukur mertua kamu orang yang jujur. kalau tidak? jadi apa kamu dan cucu Abah?"ummi mendekati, mengelus punggung Abah. Kutarik napasku sembari mengelus perutku yang
Aku menekan rem. Aku memutar arah pandanganku. Tak salah! aku melihat Aisya duduk di kafe outdoor bersama teman-temannya.Tawanya,Senyumnya...,Kenapa aku malah terbayang rindu padanya?Kuambil ponselku, lalu kukirim pesan padanya.[Kamu di mana?]Setelah pesanku terkirim, aku terus memerhatikan. Namun tak ada balasan yang merespon pesanku.Aku terus menunggu, tapi tetap sama."[Aisya, aku mau bertemu. Kamu dimana?]Sekali lagi kukirimkan pesan. Hasilnya tetap sama. Pesanku tidak dia balas. Aku yang saat meninggalkan rumah Rivan dengan emosi, merasa emosiku tersulut lagi. Bisa-bisanya dia nongkrong disaat aku memikirkan bagaimana membawanya pulang ke rumah."Kamu lelaki pertama kukenali yang brengsek, Raka!" Tatap Rivan."Kamu sadar tidak pengorbanan apa yang dilalui istri kamu? dia rela loh, tubuhnya mau berubah demi mengandung anak kamu." Ucap Rivan lagi. Wajahnya tak ramah seperti awal aku datang."Ucapan kamu persis teman aku Hamka." "Yah, itu artinya teman kamu waras! mengharg
POV RAKABagaimana ini, Ibu sudah ikut pulang setelah mendapati Aisya tak di rumah. Semangatnya luluh membayangkan jika Aisya tak akan pernah kembali.Aku masuk ke dapur. Duduk di kursinya. Biasanya ada Aisya disini. Berdiri di hadapanku. Meski pun saban hari aku selalu membully-nya dia terkadang menerimanya saja.Puncak bully-anku padanya mungkin agak sering beberapa waktu belakangan. Pernah di dapur ini, saat dia sudah memegang piring aku menegurnya."Makan terus..., nggak sadar badan semakin melar, Dek??"Aisya menatapku. Tangannya bergetar, piringnya pun ikut bergetar. Dia sedang menahan amarahnya sekaligus mungkin menahan laparnya."Mas, aku sudah bilang aku tak peduli. Aku mau anakku sehat saat lahir." Jawab Aisya padaku."Ya itu harus. Tapi apa dengan makan terus begini? Badan kamu itu loh, jadi seperti badut jalanan."Piring diletakkan Aisya begitu saja di meja. Wajahnya merah padam. Mungkin itu kelewatan, tapi dia masih bisa mempersiapkan makanan untukku.Kutarik napas kuat.
Abah menungguku. Ibu terus menatapku. Sementara Aisya dia memilih tak memberikan jawaban apa pun."Kalian berantem?" Abah kembali bertanya. Kali ini intonasinya sudah berubah."Tidak Abah." Jawabku. Bisa gawat kalau Aisya membuka perihal perjanjian yang kubuat untuknya. "Lalu, kenapa kalian seperti orang asing begini?" "Oh, Aisya lelah saja, Bah." Aku membalas pertanyaan Abah lagi."Ya bawa Aisya ke kamar. Dia memang butuh istirahat." Abah lalu memintaku membawa Aisya ke kamar.Tanpa menunggu, aku menghampiri Aisya. Aisya menatapku sebentar, lalu tak menggubris ajakanku ke kamar.Maka tak punya pilihan. Segera kuangkat dia, kugendong ke kamar.Sumpah, beratnya serasa melebihi beratnya diawal pernikahan. Kulihat Umma yang tersenyum padaku.Seingatku dulu awal nikah aku bisa menggendongnya begini dan masih bisa membuka pintu tanpa harus kepayahan seperti ini.Sampai kamar kuturunkan dia di sofa. Lalu...,"Apa kubilang. Berat kamu itu nambah! Mungkin timbangan kamu sekarang delapan pul
Aisya mendadak jadi pendiam. Dia tak seriang awal dulu, dia pun tak seperhatian sebelumnya. Sebel juga melihatnya begitu. Belum lagi kalau melihat dia nampak selalu segar akhir-akhir ini. Buat aku gemas, namun tak bisa melakukan apa-apa.Semua memang salahku,Tapi, aku tetap dengan keputusanku. Aisya tak boleh gemuk. Aku jadi membayangkan seorang artis yang dulunya idola, wara-wiri di layar kaca selepas menikah, punya anak, badannya gemuk sekali. Kata teman kantor tak kembali modal.Aku membayangkan jika itu Aisya. Perempuan yang buat hatiku bergetar saat pertama jumpa. Namun, rupanya ucapan itu menggelitikku. Selain rasa takut dan tak rela dia gemuk, aku sepertinya memang lebih cinta fisiknya yang seperti awal jumpa. Menarik!"Lihat itu, waduh..., Semuanya bengkak!" Tawa di ruangan membahana."Aku kalau punya istri macam itu, kusuruh saja di rumah. Malu jatuhnya." "Kalau aku cari yang baru sebagai cadangan!"Berbagai komentar yang membuatku kesal terus bermunculan. Namun, di antara
Mas Raka pulang. Aku sendiri yang membuka pintu untuknya."Mas semalam nginap di mana?" Aku bertanya ingin tahu. Kurasa pun wajar aku bertanya karena dia suamiku.Mas Raka menghentikan langkah, memutar tubuh dan menghadap kepadaku."Di rumah Ibu." Balasnya dingin.Aku tahu dia berbohong. Kalau memang dia di rumah Ibu pasti tadi Ibu cerita padaku."Makan siangnya aku siapkan, ya." Ucapku melangkah menuju ke arah dapur."Tidak usah repot. Tadi sudah makan di luar.""Oh, okelah." Balasku lalu menarik langkah. Berbelok menuju ruang tengah. Aku akan melanjutkan pekerjaanku. Tadi Naima sudah mengirimkan pesan sekaligus mengirimkan gajiku.Rupanya Mas Raka mengikuti ayunan langkahku. Saat dia melihat camilan di atas meja kerjaku, dia langsung mengambilnya."Mas, itu camilan buat anak kita." Aku mendekatinya, mengambil kembali dari tangannya."Buat dia atau kamu? Lihat lengan kamu sudah gemuk begitu! Pipi kamu, badan kamu...." Mas Raka seperti orang frustasi, memegang lenganku, lalu mengita
Ucapan Syerin terus terngiang, membuat aku susah tidur. Sementara Mas Raka sudah mendengkur sejak berapa menit lalu. Dia seolah tak memiliki beban dengan apa yang disampaikan Syerin padanya. Sama sekali. Bahkan membahasnya saja tidak.Terbayang kasus beberapa ibu yang harus terpisah dengan anaknya karena ditahan di ruang NICU saja membuat aku prihatin. Masa iya anakku akan mengalami hal yang sama hanya karena keegoisan ayahnya ini?Seingatku pun dia tak pernah mengelus perutku, kecuali saat kusampaikan padanya kehamilanku. Dia excited tapi tak bisa mengekpresikannya jelas karena ketakutan itu. Takut aku menjadi gemuk.Ah, tidak! aku menggeleng kuat.Mas Raka sudah kelewatan!Aku perlahan mengambil posisi duduk. Menatapnya yang tidur menyamping ke arahku.Lagi-lagi di jam begini rasa lapar memaksaku untuk bangun lagi. Aku marah pada Mas Raka dan sekarang aku tak bisa mengabaikan sedikitpun tentang tumbuh kembang janinku. Aku harus makan sesuatu!Kupastikan dia benar sudah lelap barul
"Nggak terasa calon ponakanku sudah tiga bulan." Syerin berucap dengan tangan sibuk membuka buku pink yang kuserahkan padanya.Dia menatapku."Kak, ada beban jadi istrinya Mas Raka?"Syerin menatapku. Mas Raka izin ke luar ruangan karena menerima panggilan telepon."Beban?" Aku gantian menatap Syerin."Kak, usia kandungan seharusnya beratnya sudah sekitar 40 gram. Nah, ini kenapa beratnya kurang dari itu?"Kugigit bibirku, terpukul dengan ucapan Syerin barusan."Kalau kakak diet, please jangan egois. Janin ini nggak bisa diajak diet!" Ucap Syerin kesal. "Sudah banyak yang konsultasi, tapi tak ada kasus seperti kakak ini. Janinnya nanti lahirnya malah kecil, bisa jadi prematur, kekurangan gizi. Pokoknya banyak sebabnya jadi tolong perhatikan dia." Pinta Syerin padaku. "Mas Raka nggak membatasi kakak makan, kan?" Tatap Syerin lagi. Dia bertanya hati-hati padaku. Tubuhnya saja sampai condong ke arahku.Aku memilih diam. Syerin memicingkan mata, menatapku."Pasti Mas Raka nih, sebabnya.