"Mas, kamu nggak punya pembantu?" tanya Vina. Aku melirik ke arahnya.
"Pembantu buat apa?"
"Ya, pembantu! Buat masak, nyuci baju, beres-beres rumah."
"Kan ada kamu. Ada Rani juga. Ngapain pake pembantu?" Buang-buang uang saja pake pembantu segala rupa.
"Ih, kok gitu? Enak saja! Idih, masa aku nikah sama bos yang punya toko jadi pembantu. Ogah, Mas! Oooggahhh!" pekiknya terdengar nyaring di telinga.
"Katanya cinta? Kalau cinta harus terima dong!" sungutku. Entah, aku jadi merasa sedikit kesal karena ulah Rani tadi.
"Cinta sih cinta, Mas! Tapi nggak begini juga kali!" protesnya. "Pokoknya hari ini juga, harus ada pembantu, Mas. Aku nggak mau ya kalau cuci baju sendiri! Selama aku jadi karyawan kamu saja, pakaianku di laundry!"
"Berisik! Cablak banget sih kamu! Baru juga jadi istri sehari! Perasaan waktu pacaran kamu manis banget," godaku. Ah, mau cablak atau tidak aku memang mencintainya.
"Namanya juga mau ambil hati kamu, Mas! Masa iya, berakrakan! Ntar kamu nggak tertarik dong. Huahahhaaha" Vina tertawa seraya bergelayut manja. Itu yang aku suka darinya, selain cantik, manis, dia juga luwes. Di toko Vina sangat pandai melayani pelanggan. Entah, aku pun tak mengerti kenapa begitu dalam mencintainya. Bersamanya, duniaku seperti kembali berwarna.
"Mas," lirihnya.
"Hem."
"Aku nggak nyangka bisa nikah sama kamu. Ya, meski nikahnya hanya sederhana. Diam-diam lagi!" Vina memanyunkan bibirnya. Sangat menggemaskan. Berbeda dengan, Rani. Bersama Vina, aku seolah menjadi suami yang sangat dibutuhkan. Sedangkan Rani terlalu mandiri, seolah tidak membutuhkan keberadaanku. Apapun dia bisa mengerjakannya sendiri. Sedangkan aku cukup mengurus toko. Padahal, aku ingin kalau Rani itu bergantung padaku.
"Aku juga tidak menyangka bisa menikah dengan kamu. Aku juga tidak pernah menyangka kamu bisa menyukaiku yang jelas-jelas telah memiliki seorang istri."
"Sudah, Mas. Jangan bahas itu, aku malu," rajuknya. "Namanya juga cinta, Mas. Datang tak diundang. Habis kamu suka lihatin aku. Jelas aku jadi tertarik sama kamu. Selain itu, kamu ganteng, bos lagi. Wajar dong kalau aku semakin tertarik lagi."
"Aku mau ke toko. Kamu mau ikut?" tawarku. Vina terdiam sejenak. Mungkin dia tengah berpikir karena di toko ada Rani.
"Mau, Mas. Sekalian mau menunjukkan pada karyawan lain, kalau aku udah sah jadi istri kamu," jawabnya. Aku mengambil kunci motor dan menunggu Vina di luar. Setelah beberapa menit, Vina pun keluar dengan polesan make-up tipis natural yang membuat wajahnya terlihat cerah. "Cantik banget istriku ini," pujiku mampu membuat wajahnya bersemu malu.
"Tas aku bagus 'kan, Mas?" tanyanya.
"Bagus dong. Itukan tas mahal yang aku belikan. Cepat naik!"
"Mas β¦."panggilnya. Dia masih berdiri di tempatnya.
"Kenapa? Ayok naik!"
"Masa naik motor? Emang nggak ada mobil? Percuma dong dandanan aku nanti rusak. Terus rambut aku gimana? Nanti kusut dong! Kamu tahu sendiri butuh waktu lama untuk menyisir rambutku!" Lagi dan lagi Vina memanyunkan bibirnya.
"Kalau naik motor rambutku ketiup angin kusut dong! Aku nggak mau naik motor, Mas! Aku mau naik mobil saja!" cercanya membuat kepalaku pusing. Vina berbeda sekali dengan Rani. Sedangkan Rani paling suka naik motor. Ternyata wanita memiliki kegemaran yang berbeda.
"Tidak ada mobil! Kamu mau ikut atau tidak!" bentakku. Mau pergi ke toko saja kebanyakan drama.
"Makanya jadi suami jangan lembek! Ya sudah aku ikut! Mau pamer tas baru sama pamer udah jadi istri kamu!" sungutnya sambil naik ke atas motor.
"Pegangan! Aku mau ngebut!" Vina diam saja tak menjawab. Saat ku-arahkan kaca sepion ke wajahnya, dia terlihat sangat kesal menahan amarah.
***
Setibanya di toko, semua karyawan tengah sibuk. Ternyata banyak sekali pelanggan hari ini. Rani sampai turun tangan sendiri ikut melayani. Lalu, siapa yang jaga kasir. Segera aku dan Vina masuk ke dalam.
"Mas, aku duduk di meja kasir saja," ucapnya. Aku mengangguk. Setelah itu segera melayani pelanggan yang baru saja tiba.
"Kalau menurut saya, lebih bagus yang ini, Ini granit yang paling bagusnya. Insya Allah, Mas tidak akan kecewa," ucap Rani penuh keramah tamahan. Aneh, kenapa aku tidak suka melihatnya terlalu dekat dengan pelanggan. Bukan tanpa sebab, karena pelanggannya seorang pria.
"Oke, kalau gitu, saya ambil granitnya 120 kardus," ucap laki-laki itu.
"Silahkan lakukan pembayaran, Mas," ujar Vina tak kalah ramah.
"Kamu minggir! Lancang sekali kamu ke ruangan kasir! Siapa yang suruh? Keluar kamu!" usir Rani. Wajah Vina terlihat merah menahan malu. 'Kelewatan kamu, Ran!'
"Itu siapa, Mbak?" tanya pelanggan.
"Oh, karyawan saya, Mas. Bukan apa, dia telah mencuri milik saya. Mencuri barang yang telah 4 tahun saya jaga. Untung sekarang saya sudah tidak membutuhkan barang itu," jawab Rani. Memang Vina mencuri apa?
"Memang barang apa, Mbak?" Laki-laki itu kembali bertanya.
"Oh, bukan apa-apa, Mas. Hanya boneka yang sudah rusak," jawab Rani. Mana ada Vina mencuri boneka rusak milik Rani. Ada-ada saja dia ini.
"Jadi berapa, Mbak?" tanyanya.
"27 juta, Mas. Mas tinggalkan alamatnya, nanti biar karyawan saya yang antar. Terimakasih dan selamat datang kembali," ucap Rani ramah.
"Sama-sama, Mbak. Saya tunggu belanjaan saya. Semoga tepat waktu," ucap lelaki itu seraya berlalu. Sedangkan Rani, masih sibuk menatap kepergiannya.
"Mas!" teriak seseorang membuat semua orang kaget.
"Iya, ada apa?" tanyaku.
"Dari tadi saya minta karpet biru, 12 meter! Mas-nya malah sibuk merhatiin, Mbak-nya melayani pelanggan! Niat jualan nggak si!" bentak pelanggan.
"Maaf, Pak. Bapak butuh apalagi selain karpet?" tanyaku mencoba mencairkan suasana.
"Udah cukup ini saja! Jadi berapa?"
"Silahkan bayar ke kasir, Pak."
'Ngomong-ngomong, dimana Vina?' Pasti dia sangat sedih dipermalukan seperti itu oleh Rani. Rani memang keterlaluan. Ingin mencari Vina tapi toko sedang ramai.
Selama aku menjaga toko, belum pernah serame ini. Tapi kenapa saat Rani yang menjaga, justru bisa 3 kali lipat pengunjungnya? Mungkinkah Rani itu pembawa hoki? Bahkan kasir pembayaran saja sampai antri. Wah, sudah bisa kubayangkan keuntungan yang diraup hari ini.
Tak terasa, sangking ramai-nya, waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 siang. Pantas saja perut mulai keroncongan. Kenapa Rani belum juga memesan makanan?
"Mas!" panggil Vina. Rani melirik ke arah kami. "Aku bawain makanan buat kamu, Sayang," ucapnya seraya menyerahkan sebuah kotak makanan. Vina memang berbeda dengan Rani. Sedangkan, Rani β¦ melihat suami ada di sini, bukannya dilayani malah sibuk dengan pelanggan saja. Harus-nya dia lebih mengutamakan aku! Ini malah cuek bebek. Kelewatan sekali. Tidak salah ternyata langkahku menikahi Vina meski tanpa seizin-nya.
Kebetulan, toko sudah mulai sepi pelanggan. Aku dan Vina duduk di bangku dekat Rani duduk menjaga kasir. Kasirnya terus ia jaga, takut digondol jin mungkin.
"Kamu dari mana saja dari tadi? Aku itu nyariin kamu!" Sengaja suara ku-kencangkan supaya Rani merasa cemburu dan akhirnya, bisa memberi perhatian untukku. Bukan cuek bebek begini. Seakan menganggap kehadiranku tidak ada.
"Aku baca cerita tentang pelakor, Mas. Ini seru banget. Ikut gemes deh sama Pelakor-nya. Masa pelakor kirim foto kemesraan-nya sama si suami, terus dikirim ke istrinya. Kisah nyata lagi katanya. Kasian ya, Mas. Istrinya sedih banget. Tapi dia tetap menerima dan bertahan dengan alasan seorang anak!" jelas Vina seraya menunjukkan sebuah cerita di ponselnya. Cerita yang berjudul "Suamiku diambil pelakor" memiliki banyak like dan komentar. Kebanyakan mereka menyalahkan pelakor dan suaminya. Aku juga kasihan. Untung aku tidak seperti laki-laki dalam cerita itu. Terbukti dari sikap Rani yang enjoy dan justru terbilang cuek. Dia juga banyak tertawa daripada menangis.
"Edi!" panggil Rani. Edi segera berlari menghampiri Rani.
"Iya, Bu."
"Beli nasi Padang pakai ayam cabe ijo 10 bungkus. punya Ibu, pake paha ya. Sembilan bungkusnya, bagi ke teman-teman," titah Rani.
"Wah, makan enak nih, Bu. Kalau sama Bapak, mana pernah kami dibelikan makanan, Bu," cetus Edi. Sembarangan Edi.
"Tenang, asal toko ramai, Ibu bakal sering belikan kalian makanan. Mulai hari ini dan seterusnya, Ibu yang pegang alih toko. Bos-nya Ibu bukan Bapak! Bilang sama teman-teman, yang harus dipatuhi ucapan Ibu bukan Bapak," ucap Rani.
"Uhuk β¦ uhuk β¦." Aku dan Vina tersedak bersamaan.
"Sana jalan cepat," Rani langsung memberikan uang 300 ribu rupiah pada Edi. Lumayan uang segitu, malah untuk menteraktir makanan!
Selesai makan dan mencuci tangan, aku langsung menghampiri Rani. Kesal bercampur emosi dengan maksud ucapannya tadi. Tak peduli meski banyak karyawan sekaligus. Vina berdiri di belakangku.
"Maksud kamu mereka tidak boleh mematuhi ucapanku apa?" tanyaku sambil mencengkram erat pergelangan tangannya.
"Lepasin, Mas! Jangan sentuh apapun yang berada dalam tubuhku. Aku jijik!" tandas Rani. "Ingat, Mas! Jangan sentuh aku!" Aku melepaskannya. Semua karyawan mulai terdiam. Mungkin mereka ingin menyaksikan pertengkaran kami.
"Maksud kamu apa berkata kalau bos-nya itu sekarang hanya kamu!" geramku.
"Iya, Mas. Apa-apaan istri pertama kamu ini. Tamak! Rakus!" maki Vina.
"Eh, pelakor! Jangan ikut campur kamu!" balas Rani. "Sebenarnya, aku menyebut namamu pelakor itu juga jijik. Jijik aku berbicara sama kalian berdua!" lanjutnya.
"Kamu beneran mau tahu jawabannya di depan karyawanmu, Mas?" tanya Rani tegas.
"Iya!" jawabku tak kalah tegas.
"Oke, sekarang silahkan duduk, Mas!" ucap Rani. Rani keluar dari ruang kasir dan ikut duduk bersama kami di bangku yang disediakan untuk pelanggan.
"Awal kamu nikah sama aku, apa kita langsung sukses, Mas?" tanyanya. Aku menggeleng. Vina melotot.
"Apa yang kita lakukan hingga bisa berada pada titik ini?" tanya Rani lagi.
"Kamu dan aku, sama-sama bekerja. Menjadi karyawan orang. Mengumpulkan modal untuk usaha. Setiap malam kita lembur, berjualan bakso milik Pak Anang untuk mencari penghasilan tambahan. Hingga akhirnya kita menjadi seperti ini. Berawal dari memiliki toko kecil, menjadi toko yang besar," jawabku.
"Kamu catat, Vina!" tunjuk Rani.
"Aku tidak ridho dan ikhlas, hasil yang kita kumpulkan bersama, ikut dinikmati oleh perempuan ini. Dulu, aku tinggal di rumah kontrakan! Aku harus bekerja untuk mendapatkan uang dan menjadi seperti ini. Aku mau, kamu dan Istri barumu keluar dari rumah. Dan mulai perjuangan kalian dari nol! Tidak ada fasilitas apapun untuk kalian. Kalian berdua harus menggapai kesuksesan kalian sendiri!" tegas Rani. Semua karyawan bertepuk tangan serempak. Sialan!
"Untung aku lebih cerdas dari kamu, Mas! Jadi aku lebih berhati-hati. Ternyata ketakutan-ku benar terjadi!" Bodoh memang ketika semua surat penting atas nama istriku. Kendaraan, sertifikat toko, dan semua tabungan atas nama Rani Lestari. Tak kusangka, efek dari menikahi Vina membuatku harus mengulang kehidupan dari awal lagi.
Membayangkan bekerja keras seperti dulu, tubuhku seolah merasakan lelah.
Bruk!
Vina pingsan. Mungkin dia shock. Aku harus bisa kembali mengambil hati Rani. Kalau perlu mengeluarkan jurus laki-laki yang kupunya.
"Ran, mana kunci mobilnya. Aku mau ajak Vina pulang. Kasihan ini pingsan.""Heleh, enak saja kamu ngomong. Tidak bisa! Kalau mau mobil, beli saja sendiri. Tapi ingat, belinya pakai uang hasil kalian berdua!" ucap Rani.Halah! Mau pakai mobil saja banyak cingcong ini perempuan. Lihat saja nanti di rumah."Kohar!!!!!" teriakku."Iya, Pak." Kohar langsung berlari menghampiri."Kamu ikut saya pulang. Jaga Vina! Pegangi Vina, kita naik motor bertiga," suruhku. Malu sekali rasanya. Tapi mau bagaimana lagi."Kita bonceng bertiga, Pak? Nanti kalau ada polisi kita ditilang bagaimana, Pak?" tanyanya. Iya juga si. Benar juga ucapan Kohar.
POV VinaSelama di danau Mas Anton terus melamun. Entah, mungkin dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Kasihan juga melihatnya seperti ini. Tapi bagaimana lagi? Aku juga sedikit kesal dan kecewa. Mau tidak mau harus tetap kujalani karena sudah menjadi pilihan. Rasanya menjadi aku kali ini itu, nano-nano. Tapi lebih banyak kesalnya. Bagaimana tidak seperti itu? Aku berharap hidup enak menikahi bosku. Malah jadi seperti ini. Siapa sangka juga Rani yang lembut bisa berubah seperti singa yang garang hendak menerkam.Sekarang begini, normal bukan aku mencintai bosku? Mas Anton tampan! Kaya! Dia juga perhatian. Jadi wajar aku menaruh hati padanya. Mana aku tahu kalau ternyata tidak bisa menyimpan perasaan cintaku padanya. Justru setelah dia membalas perhatianku, aku mulai agresif. Aku juga yang mulai mengirim pesan untuknya. Sekedar say hello. Hubungan itu berlanjut setel
POV Rani(KUBUAT PELAKOR MENDERITA)Tega sekali Mas Anton berkata aku mandul. Normal bukan, sebagai perempuan aku merasa sedih dimaki mandul? Memang sudah 4 tahun aku menikah dengan Mas Anton dan belum memiliki keturunan. Tapi bukan berarti aku mandul. Banyak kok di luar sana yang bahkan sudah sepuluh tahun menikah belum dikaruniai anak. Tapi suaminya setia. Memberi semangat pada istrinya. Bukan menikah lagi. Memang tidak ada larangan suami menikah lagi asal mampu berbuat adil. Namun, tidak semua perempuan juga, mau menerima pernikahan kedua suaminya. Hanya perempuan pilihan yang memiliki kelebihan rasa sabar sehingga mampu menerima dengan ikhlas jika suaminya menikah lagi. Bukan perempuan seperti aku yang tidak mau berbagi. Iya, aku tidak mau. Bahkan membayangkan suami mendua pun aku tak mampu. Tapi takdir berkata lain, aku yang sangat menentang, tapi memilikinya.
POV Vina(Kopi Sepesial)'Brengsek banget si Rani. Gue kerjain mampus lo. Lah, mau bertingkah kaya apa sebagai nyonyah di rumah ini, aku tak peduli. Aku akan tetap tinggal disini sampai kami dapat-kan hak kami.'"Vina! Cepatan kopinya lelet banget!" teriaknya."Hem, Lo minum nih, kopi campur air liur gue! Bagus gue lo jadiin babu. Gue bisa leluasa kasih racun buat lo.""Vin lagi ngapain?" tanya Mas Anton. Mengagetkan saja."Ini istri pertama-mu minta dibuatin kopi. Aku kerjain saja!" jawabku singkat."Kamu kerjain gimana?" tanyanya."Aku kasih air liur! Ini kopi sudah kecampur sama air ludahku. Habis kesal.""Jangan seperti itu, Vin. Meski begitu dia istriku.""Tapi dia itu sudah tidak menganggap, Mas suaminya! Sudah biarkan saja!" Mas Anton terdiam."Vina! Lama banget sih! Cepetan!" Ya Tuhan, bikin geregetan saja manusia sa
POV Rani(Diam-Diam gugat cerai)"Vina! Kamu pergi deh sama suamimu sana! Terserah mau kemana! Kalian 'kan belum sarapan. Cari makan sana! Sama cari pekerjaan apa kek. Aku sumpek lihat muka kalian. Rasanya ingin menghajar habis-habisan!" ucapku. Aku ingin membicarakan sesuatu dengan Mbak Winda. Kalau ada mereka takutnya menguping. Tak lama pria tak tahu diri itu juga muncul. Sepertinya pria itu sudah selesai mandi.Cup!Ah, tiba-tiba saja aku teringat saat Mas Anton memeluk tubuhku dari belakang dan memberikan kecupan manis di tengkuk sebelum pergi ke toko. Biasanya setelah mandi dan bersiap dia melakukan itu.Aku tak menyangka, dia malah mendua. Benci sekali rasanya! Ya Allah, aku masih belum bisa melupakan rasa sakitku. Seseorang
POV Winda(Ketemu Mantan Suami)Tidak menyangka. Aku ikut Rani ke tokonya malah ketemu Mas Galang. Entah kenapa, jiwa sombongku muncul begitu saja. Aku ingin menunjukkan padanya, bahwa aku baik-baik saja ditinggal olehnya."Rani, Mbak dan Ayu masuk duluan ya." Rani terlihat bingung. Namun, sepertinya dia juga mengerti kenapa aku tiba-tiba ingin masuk duluan ke toko.Saat sampai di dalam, ternyata Mas Galang sedang memilih sesuatu. Dia datang bersama anak dan istrinya. Kulihat, istri-nya sekarang nampak kumel. Tidak seperti dulu saat menggoda Mas Galang. Penampilannya sangat cantik. Uhu, dulu kan si pelakor itu kerja di tempat malam, dan Mas Galang mengenalnya di sana. Bagaimana ya, reaksi Mas Galang bila melihatku."Ehem! Aku berdehem. Kutatap mantan suami
POV WINDA(MANTAN SUAMI MENYESAL)[P][P][Tes][Tes][Tes]Aku bingung, nomor siapa tiba-tiba mengirim pesan tanpa nama. Namun, saat kulihat bagian profil nampak sebuah nama GALW … Aku si berpikir Mas Galang.Senyumku mengembang begitu saja layaknya bunga mawar yang mekar. Jelas senyum dong, ternyata mantan yang menghubungi. Apalagi mantan yang menyakiti. Apakah semua perempuan akan merasa senang kalau tiba-tiba mantan datang? Atau hanya aku yang senang? Hahahaha ….[Assalamualaikum, Wind. Simpan y
POV Anton(Rencana Untuk Rani 1)Sialan memang Rani. Makin hari makin kelewatan. Tinggal menerima Vina kok susah banget. Wajar kali aku lelaki punya istri dua. Yang tidak wajar itu perempuan kalau bersuami dua."Mas, dari tadi kita muter-muter di jalanan mau kemana sih tujuannya?" tanya Vina."Ya aku nggak tahu mau kemana. Uang juga nggak ada!" bentakku."Udah aku bilang, kita nikah diam-diam aja. Kamu malah yakin banget kalau, Rani bakal nerima pernikahan kita!" lanjutku kesal."Kok kamu jadi nyalahin aku sih, Mas? Aku nggak mau lah nikah cuma jadi istri simpanan!" sungutnya. Bingung aku, setelah menikahi Vina, rasanya kesialan langsung menimpa.
POV YUDHASampai di kamar, aku coba untuk kembali menghubungi Cintia. Tak menyerah! Sampai teleponku mendapat jawaban aku terus berusaha menghubunginya."Halo." Tiba-tiba terdengar suara seraknya. Sepertinya dia baru bangun tidur."Halo, kamu dimana? Kenapa bikin aku khawatir?" tanyaku dengan nada suara terdengar panik."Maaf, Mas. Aku hanya ingin menenangkan diri. Aku ada di hotel bersama Afi," jawab Cintia."Hotel mana? Aku jemput yah sekarang. Aku udah dapat rumahnya. Kita pindah. Aku bukan lagi kontrak rumah, tapi aku beli rumah untuk kamu. Untuk kita. Rumah yang sudah lengkap dengan isinya. Pasti kamu suka. Maafin aku ya kemarin sempat marah sama kam
Sampai di cafe terdekat, aku langsung mengambil meja paling pojok. Setelah itu pelayan datang menghampiri. Langsung aku pun memesan makanan. "Afi mau pesan apa?""Nasi goreng daging dengan telur ceplok setengah matang, Ma. Sama pesan lemon tea," ucapnya."Mbak pesan itu aja dua. Sedang ya jangan terlalu pedas," ujarku pada Pelayan. Mbak Pelayan itu pun mengangguk dan segera beranjak.Sungguh, dalam keadaan seperti ini, aku kembali teringat dengan Mas Reno. Aku kira hatiku sudah mampu menerima Yudha seutuhnya, tapi ternyata tidak. Laki-laku itu sama sekali belum sepenuhnya memenangkan hatiku. Dan yah, mungkin aku menikahinya karena atas dasar rasa kasihan melihat perjuangannya. Atau aku mau menikah dengannya karena Afi? Afi menganggap Yudha Ayahnya.
Pov Rani"Bang aku kok gak bisa tidur ya? Kepikiran nasib Vina," lirihku karena mataku masih terjaga. Bang Roel langsung mengusap rambutku dengan lembut dan mencium pucuk kepalaku."Iya. Abang juga kasihan. Doakan saja yang terbaik. Apa kita coba tengok ke kampung halamannya?""Ide bagus tuh, Bang. Tapi anak-anak kasihan kalau harus dibawa pergi jauh. Pasti mereka kecapekan, Bang," ujarku."Iya juga sih. Besok Abang bicarakan dengan Yudha," ujarnya."Dia lagi malam pertama pasti, Bang.""Abang juga mau malam pertama kita diulang. Boleh?" ijinnya sembari menatap dalam mataku.
POV RANIMalam ini seperti biasa kami berkumpul di ruang tamu. Hujan sedari siang tadi masih belum berhenti. Justru semakin deras. Sudah pukul delapan malam Yudha belum juga pulang. Begitupun dengan Dita. Ponsel mereka tidak aktif sama sekali. Kemana mereka pergi.Ting … nong ….!Terdengar suara bel berbunyi. Segera ART kami berlari membukakan pintu. Mungkin Yudha dan Dita."Assalamualaikum!" ucap Dita."Walaikumsalam!" jawab kami serempak. Segera adik Iparku itu berjalan menghampiri kami."Baru pulang?" tanyaku."Ya, Mbak. Tadi aku mampir dulu di restoran makan. Hujannya bikin male
POV CINTIA"Jangan melamun, Nak. Apa yang kamu pikirkan? Kenapa seperti hilang konsentrasi?" sapa Ibu mertua saat aku tengah membuat sarapan pagi ini. Aku tersenyum pada mertuaku sambil menggenggam tangannya."Tidak ada, Bu. Setelah berpikir semalaman, memang ada baiknya aku mencoba membuka diri untuk menerima Mas Yudha," ujarku lirih. Tak kusangka ku lontarkan juga kata-kata ini."Alhamdulillah. Memang sebaiknya begitu. Terlebih Afi pun sudah sangat dekat dengan Yudha," ucap Ibu. 'Bukan hanya dekat, Bu. Tapi Afi bilang sosok Ayahnya ada pada Yudha. Aku tidak boleh egois. Tidak menutup kemungkinan jika suatu saat Yudha bisa bersama orang lain, lantas bagaimana dengan Afi. Aku tidak mau itu kembali terjadi."Iya, Bu," ucapku coba tersenyum sambil membawa nasi go
POV RANIHari terus berlalu seiring berjalannya waktu. Setelah beberapa bulan ini, sejak bertemu dengan Vina, aku tidak pernah lagi mendengar kabar tentangnya. Terakhir dia mengabari sudah berada di kampung dan sampai saat ini tidak pernah lagi memberi kabar. Nomor yang digunakan untuk menghubungiku juga sudah tidak pernah aktif lagi. Pernah aku coba hubungi untuk menanyakan kabarnya, tapi tidak bisa. Apapun itu, semoga saja keadaan Vina membaik. Diangkat segala penyakitnya supaya bisa menjalani hidup dengan baik.Dalam beberapa bulan ini banyak yang terjadi. Sekarang Damar dan Wulan sudah berusia 7 bulan. Keduanya tumbuh sehat. Mereka sudah bisa mengucapkan kata mama atau papa, juga sudah mulai bisa tengkurap, dan bahkan berguling untuk berpindah dari satu sisi tempat tidur ke sisi lainnya. Pokoknya aku dan Bang Roel benar-benar tidak mau melewati masa lucu
POV VINAAku tak menyangka kembali bertemu dengan Rani dalam keadaan yang sangat memprihatinkan seperti ini. Aku malu … sekarang aku sangat lemah. Hari ini kau merasakan sakit luar biasa terutama di bagian alat vitalku. Dapat kurasakan sesuatu mengalir deras seperti perempuan yang tengah mengalami menstruasi. Tapi bukan darah. Melainkan nanah. Apakah ini balasan atas perbuatan yang kulakukan? Bang Roel, dia terus menjauh sambil menutup hidung. Mungkin bau yang ditimbulkan ini memang sangat menyengat?"Mas bagaimana?" tanya Rani."Bagaimana apanya? Tidak mungkin kita yang antar dia ke rumah sakit. Vina sangat kotor. Dan ya, di dalam juga ada anak-anak. Nggak mungkin kita ajak Vina masuk ke mobil. Kamu kasih duit saja biar dia bisa ke rumah
POV RANIPagi ini kami sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama. Ini kali pertama aku masak di tempat mertuaku. Ya, mereka juga mertuaku. Karena merekalah Bang Roel terlahir. Cintia pagi ini terlihat sangat manis dan penuh senyum. Wajahnya yang teduh lagi ayu, membuat kedamaian sendiri bagi orang yang menatapnya."Yudha sama Afi mana?" tanya Bang Roel."Mungkin sebentar lagi turun dari kamar," jawab Cintia. Wanita itu mulai menyusun piring di meja makan."Bagaimana keadaan dia?" tanya Bang Roel."Alhamdulillah baik. Semalam sebelum tidur juga mau menghabiskan susunya. Dibujuk oleh Mas Yudha," ujarnya lembut. Tutur suara perempuan itu terdengar halus lagi menenangkan.
POV RANITiga minggu berlalu, kami kembali menjalani kehidupan dengan normal. Namun, entah kenapa, aku teringat akan orang tua kandung suamiku. Tersirat di benakku untuk mengajaknya silaturahmi ke tempat mereka. Meski bagaimanapun, mereka tetaplah orang tua kami. Kami tidak boleh menyimpan dendam. Mungkin mereka ingin singgah kesini tapi ada perasaan segan. Tidak ada dendam sih, waktu itu suamiku juga bilang akan tetap menjaga silaturahmi dengan mereka. Mungkin suamiku lupa dengan janjinya. Ah, dia pun juga manusia biasa yang perlu diingatkan. Atau larut pada kebenaran tentang Dion yang telah meninggal dunia. Ya, semenjak dia tahu karyawannya itu meninggal dalam kecelakaan, ia merasa sangat bersalah."Bang, hari ini kita pergi ke rumah Ibu dan Ayah yuk. Kasihan mereka masih dalam suasana berduka. Kita juga t