POV Vina
(Kopi Sepesial)'Brengsek banget si Rani. Gue kerjain mampus lo. Lah, mau bertingkah kaya apa sebagai nyonyah di rumah ini, aku tak peduli. Aku akan tetap tinggal disini sampai kami dapat-kan hak kami.'"Vina! Cepatan kopinya lelet banget!" teriaknya. "Hem, Lo minum nih, kopi campur air liur gue! Bagus gue lo jadiin babu. Gue bisa leluasa kasih racun buat lo.""Vin lagi ngapain?" tanya Mas Anton. Mengagetkan saja. "Ini istri pertama-mu minta dibuatin kopi. Aku kerjain saja!" jawabku singkat."Kamu kerjain gimana?" tanyanya."Aku kasih air liur! Ini kopi sudah kecampur sama air ludahku. Habis kesal.""Jangan seperti itu, Vin. Meski begitu dia istriku.""Tapi dia itu sudah tidak menganggap, Mas suaminya! Sudah biarkan saja!" Mas Anton terdiam. "Vina! Lama banget sih! Cepetan!" Ya Tuhan, bikin geregetan saja manusia satu ini."Mas, orang gila sudah teriak-teriak. Aku antar kopinya dulu." Meski sudah kucampur air liur pun, aku masih tak ikhlas dengan perlakuan-nya."Ini, Bu," ucapku seraya meletakkan kopinya. 'Cepat minum, Rani. Aku mau lihat kau meminum air liurku. Biar mampus kau!'"Lama sekali kamu! Ngapain saja di belakang!" Betul-betul menguji kesabaran.
"Bikin kopi lah buat kamu! Aneh kamu! Kamu minta kopi tapi tidak mau nunggu! Dasar sinting!" ketusku kesal. Plak!Satu tamparan melayang di pipiku. Sakit dan panas rasanya. "Sudah kubilang, bukan? Jaga etika-mu kalau mau tinggal di sini!" ungkitnya. Ya, bagus. Ungkit saja terus! Dasar perempuan gila tak tahu diri."Mas Anton!" panggilannya. Mas Anton datang menghampiri kami."Ada apa?" "Coba kamu minum kopi buatan istrimu. Aku sudah tidak ada mood untuk meminumnya," ucap Rani membuatku membulatkan mata. "Aku tidak mau minum kopi," tolak Mas Anton."Loh, kenapa, Mas? Bukankah kamu paling suka kopi? Apalagi ini masih panas. Ayok, Mas minum." Mas Anton menatap wajahku. Aku diam saja pura-pura tidak terjadi apapun. "Aku suruh minum kopi! Bukan suruh kalian berpandangan!" Tahan emosi, Vin. "Aku tidak mau! Bukankah kamu yang minta dibuatkan kopi!" kesal Mas Anton. "Iya, tapi tadi. Sekarang aku tak bernafsu. Kenapa menolak? Kalian kasih racun ya?" tuduhnya. "Jangan sembarangan nuduh kamu! Bisa kena undang-undang pencemaran nama baik. Aku tuntut!" bentakku."Kalau begitu, coba kamu minum dan habiskan." Astagfirullah, hhhoooekkk! Mana mungkin aku meminumnya. "Cepat minum, kalau memang tidak ada racunnya!" Ya ampun, sungguh aku melakukan ini karena terpaksa. "Kamu lihat ya, aku akan minum kopi ini!" ucapku seraya meraih cangkir kopi di tangannya. Kulirik wajah Mas Anton, nampak bergidik jijik."Habis 'kan! Lihat ini! Aku tidak memberimu racun!" kesalku. Tak lama aku tidak bisa menahan mual di perutku. Segera aku berlari ke kamar mandi. "Hhooek, hhhooeek, hhhoooekkk!" Kumuntahkan semua kopi yang telah tertelan."Tuh 'kan benar. Kopinya kamu kasih racun ya? Ayok ngaku!" Suara Rani membuatku kaget."Gila kamu aku kasih kamu racun? Sadar dong! Aku ini perempuan normal! Sempurna! Tidak seperti kamu! Paham 'kan maksudku? Bisa saja, ini tanda kalau aku hamil!"CK!"Aku bukan perempuan mandul seperti kamu!" cibirku. Rani terdiam.
"Betul kata, Vina, Rani! Dia perempuan sempurna. Tidak seperti kamu! 4 tahun menikah tidak juga memiliki anak! Coba kamu cek ke dokter, barang kali kamu memang tidak sehat," imbuh Mas Anton. "Kasihan, kamu, Rani! Kamu punya semua harta suamiku. Tidak masalah! Tapi aku memiliki cinta utuh suamimu. Cinta suamimu yang tidak bisa kamu miliki seutuhnya. Lebih sakit mana? Percuma kalau banyak uang, tapi tak memiliki cinta seorang suami! Hahahahahah!" Aku tertawa lebar."Harta yang kamu punya, sebagian tetap akan menjadi milik Mas Anton. Tahu kenapa? Sebab, jika Mas Anton Menceraikanmu, Mas Anton akan menuntut harta gono gini! Rani Lestari! Kami tidak bodoh seperti yang kamu pikirkan! Siapa pemenangnya? Aku, Rani! Aku pemenangnya!" cibirku. Mas Anton merangkul pundakku lalu mengecup mesra keningku. Perlakuannya sungguh manis. Sudah pasti akan menyakiti hati Rani."Sudah kalian bicaranya? Aku dan Mas Anton belum bercerai untuk saat ini bukan?" ucapnya. "Aku tidak akan menceraikanmu, kalau kamu mau berbuat adil dan membagi rata harta kita. Kamu harus patuh padaku! Hormati aku, dan layani aku. Jadilah kamu seperti istriku yang dulu!" tegas Mas Anton. 'Apaan sih Mas Anton ini! Malah minta Rani melayani dia! Memang aku tidak cukup! Huft, kesallll!!!'"Oke Mas! Akan aku pertimbangkan!" jawab Rani. Aku membulat tak percaya. Apakah dia akan menuruti kemauan Mas Anton? Saingan begitu sama aku? Tak apalah, yang terpenting dia mau membagi hartanya terlebih dulu."Mas, perihal hinaan dari mulutmu kalau aku mandul, aku ingin menjawabnya!" Mas Anton menyeringai mendengar ucapan Rani."Bukan aku mandul, Mas! Tapi karena kamu saja yang tidak top dan cer! Coba, lain kali banyakin minum vitamin dulu. Belum tentu juga Vina hamil!" Rani pun berlalu setelah menghina Mas Anton secara halus. Rahang Mas Anton mengeras, dan wajahnya memerah. Sebenarnya, ku-akui ada benarnya juga ucapan Rani. Lagipula, aku mual 'kan karena air liurku yang kuminum sendiri. Bayangkan saja, dalam satu gela kopi, ada hampir setengah gelas air liur yang ku-kumpulkan. Oleh sebab itu, aku lama membuatnya."Untung itu kopi kamu sendiri yang minum. Kalau aku, bisa berbusa mulutku karena racun yang dihasilkan dari mulutmu," goda Mas Anton penuh tawa. "Kasian … senjata makan tuan," ledeknya. "Masss!!!!" Kucubit kencang pinggang-nya hingga dia mendengus kesakitan.****
"Asalamualaikum," terdengar suara perempuan mengucap salam. Saat kulihat, perempuan itu membawa dua koper besar dan juga anak perempuannya. Kenapa aku seolah tak asing melihat perempuan itu?"Walaikumsalam," Jawa Rani cepat. Mereka bertutur sapa khas perempuan. Yaitu, cipika dan cipiki. "Mbak Winda!!!! Duduk, Mbak. Aku kangen banget," ucap Rani sambil mengajak perempuan yang bernama Winda itu duduk. Sedangkan anak kecil itu terlihat mulai memegang- megang barang antik yang manjadi pajangan. "Dasar anak tidak punya sopan santun!""Vina!!!!" teriak Rani. Ya Robb, cara dia memanggilku benar-benar memalukan. Haruskah dia berteriak sekeras itu?"Iya, Ran. Ada apa?" jawabku kala menghampirinya."Ini pembantu kamu, Ran? Tidak sopan sekali!" cetuk perempuan yang tak asing untukku. Sungguh aku seperti pernah mengenalnya. "Iya, ini dia pelakor dalam rumah tanggaku!" Nada suara Rani terdengar sinis."Oh, jadi ini bentuk pelakor-nya? Dari segi fisik masih cantikan kamu, Ran. Mata Anton sepertinya buta!" ucap perempuan itu merendahkan. "Aku bukan pelakor! Jaga mulutmu, Rani!" bentakku. "Kalau bukan pelakor apa namanya? Kamu!" lirih Perempuan yang dipanggil Winda. "Iya, kenapa sama aku?" Mas Anton cepat datang kesini. Selamatkan aku."Kamu adiknya, Santi? Santi istrinya Galang? Sekarang telah memiliki anak bernama Lisna?" tanyanya detail. Hem, betul saja dugaanku. Aku ingat sekarang, perempuan ini adalah istri Mas Galang dulu. Yang tak lain kini adalah Kakak iparku. 'Matilah aku! Jangan sampai perempuan ini membalaskan dendam-nya padaku.'"Mbak kenal dia?" tanya Rani."Oh, jelas kenal dong. Ini 'kan adiknya si pelakor itu! Hebat, ternyata keluarga pelakor. Jadi penasaran kehidupan mereka kedepannya seperti apa. Kok bisa ya, adiknya menuruni kelakuan Kakaknya menjadi pelakor," ucap Mbak Winda."Ternyata dunia ini sempit ya, Mbak. Kebetulan sekali kalau begitu," balas Santi. Sedangkan aku hanya terdiam membisu. Sungguh tega Mas Anton belum juga datang menghampiriku.
"Bagaimana kabar rumah tangga, Kakakmu?" tanya Winda.
"Kenapa, Mbak? Sakit hati ya? Kasihan sekali tidak bisa muvon! Masih kepoin mantan! Oh, jelas rumah tangga Kakak-ku sangat bahagia," jawabku. "Mbak Winda masih belum laku ya? Apa tidak ada yang mau lagi, Mbak? Kasihan!" makiku. Jelas seburuk apapun, aku akan tetap membela Mbak Santi. Aku tidak terima ada perempuan lain yang menghinanya. "Ada saatnya saya menunjukan kebahagiaan saya!" balasnya."Sekarang, kamu bawa koper Kakaku ini ke kamar! Cepat!" suruh Rani. Sialan!
Tak bisa kubantah. Aku pun membawakan koper mereka ke kamar yang telah disediakan untuknya.'Aku harus segera memberi tahu, Mbak Santi. Kalau aku bertemu istri Mas Galang.' Sejujurnya, aku takut semakin tersiksa di rumah ini. Apalagi setelah kedatangan Mbak Winda. Bisa saja Mbak Winda membalas rasa sakitnya padaku. Ya Tuhan, kenapa aku jadi merasa takut dan horor begini. Apa aku keluar saja dari rumah ini?Tolong beri aku jawaban ….
POV Rani(Diam-Diam gugat cerai)"Vina! Kamu pergi deh sama suamimu sana! Terserah mau kemana! Kalian 'kan belum sarapan. Cari makan sana! Sama cari pekerjaan apa kek. Aku sumpek lihat muka kalian. Rasanya ingin menghajar habis-habisan!" ucapku. Aku ingin membicarakan sesuatu dengan Mbak Winda. Kalau ada mereka takutnya menguping. Tak lama pria tak tahu diri itu juga muncul. Sepertinya pria itu sudah selesai mandi.Cup!Ah, tiba-tiba saja aku teringat saat Mas Anton memeluk tubuhku dari belakang dan memberikan kecupan manis di tengkuk sebelum pergi ke toko. Biasanya setelah mandi dan bersiap dia melakukan itu.Aku tak menyangka, dia malah mendua. Benci sekali rasanya! Ya Allah, aku masih belum bisa melupakan rasa sakitku. Seseorang
POV Winda(Ketemu Mantan Suami)Tidak menyangka. Aku ikut Rani ke tokonya malah ketemu Mas Galang. Entah kenapa, jiwa sombongku muncul begitu saja. Aku ingin menunjukkan padanya, bahwa aku baik-baik saja ditinggal olehnya."Rani, Mbak dan Ayu masuk duluan ya." Rani terlihat bingung. Namun, sepertinya dia juga mengerti kenapa aku tiba-tiba ingin masuk duluan ke toko.Saat sampai di dalam, ternyata Mas Galang sedang memilih sesuatu. Dia datang bersama anak dan istrinya. Kulihat, istri-nya sekarang nampak kumel. Tidak seperti dulu saat menggoda Mas Galang. Penampilannya sangat cantik. Uhu, dulu kan si pelakor itu kerja di tempat malam, dan Mas Galang mengenalnya di sana. Bagaimana ya, reaksi Mas Galang bila melihatku."Ehem! Aku berdehem. Kutatap mantan suami
POV WINDA(MANTAN SUAMI MENYESAL)[P][P][Tes][Tes][Tes]Aku bingung, nomor siapa tiba-tiba mengirim pesan tanpa nama. Namun, saat kulihat bagian profil nampak sebuah nama GALW … Aku si berpikir Mas Galang.Senyumku mengembang begitu saja layaknya bunga mawar yang mekar. Jelas senyum dong, ternyata mantan yang menghubungi. Apalagi mantan yang menyakiti. Apakah semua perempuan akan merasa senang kalau tiba-tiba mantan datang? Atau hanya aku yang senang? Hahahaha ….[Assalamualaikum, Wind. Simpan y
POV Anton(Rencana Untuk Rani 1)Sialan memang Rani. Makin hari makin kelewatan. Tinggal menerima Vina kok susah banget. Wajar kali aku lelaki punya istri dua. Yang tidak wajar itu perempuan kalau bersuami dua."Mas, dari tadi kita muter-muter di jalanan mau kemana sih tujuannya?" tanya Vina."Ya aku nggak tahu mau kemana. Uang juga nggak ada!" bentakku."Udah aku bilang, kita nikah diam-diam aja. Kamu malah yakin banget kalau, Rani bakal nerima pernikahan kita!" lanjutku kesal."Kok kamu jadi nyalahin aku sih, Mas? Aku nggak mau lah nikah cuma jadi istri simpanan!" sungutnya. Bingung aku, setelah menikahi Vina, rasanya kesialan langsung menimpa.
POV Anton(Batal Membunuh)Sudah hampir menjelang subuh hingga kami mulai tertidur di depan gerbang seperti gelandangan, Rani ataupun Winda masih tidak membukakan pintu gerbang. Ya Tuhan, rasanya semakin geregetan dan ingin mencekik lehernya.Vina juga berkali-kali mengeluh. "Bukan kebahagiaan yang aku dapatkan, Mas. Justru terluntang-lanting begini," grutunya seraya menyenderkan kepala di pundakku. Aku juga tidak tega melihatnya seperti ini. Bukan kenyamanan yang mampu aku berikan, melainkan penderitaan. Sungguh, aku tidak pernah menduga kalau akhirnya akan seperti ini, dan Rani berubah seperti itu.***Panas sinar matahari dan silaunya tepat menyorot ke wajah kami. Aku menutup wajahku dengan tangan.
(Benih Cinta Itu Muncul Kembali)Malam ini, aku dan Vina langsung masuk ke kamar pembantu dan tak merengek apalagi menawar apapun pada Rani. Seperti obat nyamuk ataupun kipas angin."Mas, tidur saja di kamar kalian. Ini kuncinya." Rani masuk ke kamar pembantu menghampiri kami dengan memakai pakaian jubah tidur khusus wanita yang memperlihatkan belahan dadanya. Sungguh sangat indah dan membuatku tetiba saja memiliki hasrat padanya."Tidak apa-apa, Ran?" tanyaku dengan mata masih terfokus pada penampilannya. Rani tersenyum sambil menggeleng."Tidak apa-apa, Mas. Kalian pindah saja," ucapnya manis. Kenapa aku baru sadar kalau aku memiliki istri yang luar biasa. Rani berjalan anggun menuju ke kamarnya. Entah kenapa, jiwa laki-lakiku kembali bangkit setelah beberapa
Malam pun tiba. Seperti rencana, aku hendak gegas ke kamar Rani. Tidak lupa, aku memakai aroma parfum kesukaannya terlebih dahulu. Aku juga menggosok gigi supaya napasku bau mint bukan bau bunga bangkai raksasa alias bunga raflesia.Di depan cermin, aku meliuk-liukkan tubuhku, merapikan rambut cepak yang menunjang penampilanku agar terlihat semakin tampan dan mempesona. Sungguh, aku seperti jatuh cinta lagi. Jatuh cinta pada Rani kali ini begitu mendebarkan hati. Rasanya juga sangat berbeda karena lebih menegangkan seperti genderang mau perang. Ah! Kok aku jadi tidak jelas seperti ini."Mas! Mau kemana kamu? Rapi banget. Wangi lagi." Vina memeluk tubuhku dari belakang. Jarinya kembali bermain di dadaku."Malam ini, aku mau tidur di kamar, Rani!" ucapku seraya melepaskan tangan Vina.
POV Galang(Penyesalan Tinggal Penyesalan)Aku Galang ….Seorang suami yang awalnya memiliki pekerjaan sukses sebagai manajer disebuah BANK. Pekerjaan memadai, istri cantik dan seorang anak perempuan yang sangat lucu, kurang apalagi? Aku memiliki mertua yang penyayang dan tidak banyak menuntut. Tidak pernah ikut campur dalam urusan rumah tangga, istri penurut yang sangat menyayangi orang tuaku, serta ipar yang sangat menghargaiku. Kurang apalagi sebenarnya hidupku? Jawabannya satu, kurang bersyukur.Perempuan lembut bernama Winda itu, kutinggal selingkuh karena tidak bisa memenuhi hasratku sebagai seorang laki-laki. Ya, Winda melahirkan Ayu secara Caesar. Membuatku harus menunggu lama untuk berhubungan badan. Kepalaku terasa pusing, aku uring-uringan. Sa
POV YUDHASampai di kamar, aku coba untuk kembali menghubungi Cintia. Tak menyerah! Sampai teleponku mendapat jawaban aku terus berusaha menghubunginya."Halo." Tiba-tiba terdengar suara seraknya. Sepertinya dia baru bangun tidur."Halo, kamu dimana? Kenapa bikin aku khawatir?" tanyaku dengan nada suara terdengar panik."Maaf, Mas. Aku hanya ingin menenangkan diri. Aku ada di hotel bersama Afi," jawab Cintia."Hotel mana? Aku jemput yah sekarang. Aku udah dapat rumahnya. Kita pindah. Aku bukan lagi kontrak rumah, tapi aku beli rumah untuk kamu. Untuk kita. Rumah yang sudah lengkap dengan isinya. Pasti kamu suka. Maafin aku ya kemarin sempat marah sama kam
Sampai di cafe terdekat, aku langsung mengambil meja paling pojok. Setelah itu pelayan datang menghampiri. Langsung aku pun memesan makanan. "Afi mau pesan apa?""Nasi goreng daging dengan telur ceplok setengah matang, Ma. Sama pesan lemon tea," ucapnya."Mbak pesan itu aja dua. Sedang ya jangan terlalu pedas," ujarku pada Pelayan. Mbak Pelayan itu pun mengangguk dan segera beranjak.Sungguh, dalam keadaan seperti ini, aku kembali teringat dengan Mas Reno. Aku kira hatiku sudah mampu menerima Yudha seutuhnya, tapi ternyata tidak. Laki-laku itu sama sekali belum sepenuhnya memenangkan hatiku. Dan yah, mungkin aku menikahinya karena atas dasar rasa kasihan melihat perjuangannya. Atau aku mau menikah dengannya karena Afi? Afi menganggap Yudha Ayahnya.
Pov Rani"Bang aku kok gak bisa tidur ya? Kepikiran nasib Vina," lirihku karena mataku masih terjaga. Bang Roel langsung mengusap rambutku dengan lembut dan mencium pucuk kepalaku."Iya. Abang juga kasihan. Doakan saja yang terbaik. Apa kita coba tengok ke kampung halamannya?""Ide bagus tuh, Bang. Tapi anak-anak kasihan kalau harus dibawa pergi jauh. Pasti mereka kecapekan, Bang," ujarku."Iya juga sih. Besok Abang bicarakan dengan Yudha," ujarnya."Dia lagi malam pertama pasti, Bang.""Abang juga mau malam pertama kita diulang. Boleh?" ijinnya sembari menatap dalam mataku.
POV RANIMalam ini seperti biasa kami berkumpul di ruang tamu. Hujan sedari siang tadi masih belum berhenti. Justru semakin deras. Sudah pukul delapan malam Yudha belum juga pulang. Begitupun dengan Dita. Ponsel mereka tidak aktif sama sekali. Kemana mereka pergi.Ting … nong ….!Terdengar suara bel berbunyi. Segera ART kami berlari membukakan pintu. Mungkin Yudha dan Dita."Assalamualaikum!" ucap Dita."Walaikumsalam!" jawab kami serempak. Segera adik Iparku itu berjalan menghampiri kami."Baru pulang?" tanyaku."Ya, Mbak. Tadi aku mampir dulu di restoran makan. Hujannya bikin male
POV CINTIA"Jangan melamun, Nak. Apa yang kamu pikirkan? Kenapa seperti hilang konsentrasi?" sapa Ibu mertua saat aku tengah membuat sarapan pagi ini. Aku tersenyum pada mertuaku sambil menggenggam tangannya."Tidak ada, Bu. Setelah berpikir semalaman, memang ada baiknya aku mencoba membuka diri untuk menerima Mas Yudha," ujarku lirih. Tak kusangka ku lontarkan juga kata-kata ini."Alhamdulillah. Memang sebaiknya begitu. Terlebih Afi pun sudah sangat dekat dengan Yudha," ucap Ibu. 'Bukan hanya dekat, Bu. Tapi Afi bilang sosok Ayahnya ada pada Yudha. Aku tidak boleh egois. Tidak menutup kemungkinan jika suatu saat Yudha bisa bersama orang lain, lantas bagaimana dengan Afi. Aku tidak mau itu kembali terjadi."Iya, Bu," ucapku coba tersenyum sambil membawa nasi go
POV RANIHari terus berlalu seiring berjalannya waktu. Setelah beberapa bulan ini, sejak bertemu dengan Vina, aku tidak pernah lagi mendengar kabar tentangnya. Terakhir dia mengabari sudah berada di kampung dan sampai saat ini tidak pernah lagi memberi kabar. Nomor yang digunakan untuk menghubungiku juga sudah tidak pernah aktif lagi. Pernah aku coba hubungi untuk menanyakan kabarnya, tapi tidak bisa. Apapun itu, semoga saja keadaan Vina membaik. Diangkat segala penyakitnya supaya bisa menjalani hidup dengan baik.Dalam beberapa bulan ini banyak yang terjadi. Sekarang Damar dan Wulan sudah berusia 7 bulan. Keduanya tumbuh sehat. Mereka sudah bisa mengucapkan kata mama atau papa, juga sudah mulai bisa tengkurap, dan bahkan berguling untuk berpindah dari satu sisi tempat tidur ke sisi lainnya. Pokoknya aku dan Bang Roel benar-benar tidak mau melewati masa lucu
POV VINAAku tak menyangka kembali bertemu dengan Rani dalam keadaan yang sangat memprihatinkan seperti ini. Aku malu … sekarang aku sangat lemah. Hari ini kau merasakan sakit luar biasa terutama di bagian alat vitalku. Dapat kurasakan sesuatu mengalir deras seperti perempuan yang tengah mengalami menstruasi. Tapi bukan darah. Melainkan nanah. Apakah ini balasan atas perbuatan yang kulakukan? Bang Roel, dia terus menjauh sambil menutup hidung. Mungkin bau yang ditimbulkan ini memang sangat menyengat?"Mas bagaimana?" tanya Rani."Bagaimana apanya? Tidak mungkin kita yang antar dia ke rumah sakit. Vina sangat kotor. Dan ya, di dalam juga ada anak-anak. Nggak mungkin kita ajak Vina masuk ke mobil. Kamu kasih duit saja biar dia bisa ke rumah
POV RANIPagi ini kami sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama. Ini kali pertama aku masak di tempat mertuaku. Ya, mereka juga mertuaku. Karena merekalah Bang Roel terlahir. Cintia pagi ini terlihat sangat manis dan penuh senyum. Wajahnya yang teduh lagi ayu, membuat kedamaian sendiri bagi orang yang menatapnya."Yudha sama Afi mana?" tanya Bang Roel."Mungkin sebentar lagi turun dari kamar," jawab Cintia. Wanita itu mulai menyusun piring di meja makan."Bagaimana keadaan dia?" tanya Bang Roel."Alhamdulillah baik. Semalam sebelum tidur juga mau menghabiskan susunya. Dibujuk oleh Mas Yudha," ujarnya lembut. Tutur suara perempuan itu terdengar halus lagi menenangkan.
POV RANITiga minggu berlalu, kami kembali menjalani kehidupan dengan normal. Namun, entah kenapa, aku teringat akan orang tua kandung suamiku. Tersirat di benakku untuk mengajaknya silaturahmi ke tempat mereka. Meski bagaimanapun, mereka tetaplah orang tua kami. Kami tidak boleh menyimpan dendam. Mungkin mereka ingin singgah kesini tapi ada perasaan segan. Tidak ada dendam sih, waktu itu suamiku juga bilang akan tetap menjaga silaturahmi dengan mereka. Mungkin suamiku lupa dengan janjinya. Ah, dia pun juga manusia biasa yang perlu diingatkan. Atau larut pada kebenaran tentang Dion yang telah meninggal dunia. Ya, semenjak dia tahu karyawannya itu meninggal dalam kecelakaan, ia merasa sangat bersalah."Bang, hari ini kita pergi ke rumah Ibu dan Ayah yuk. Kasihan mereka masih dalam suasana berduka. Kita juga t