Malam pun tiba. Seperti rencana, aku hendak gegas ke kamar Rani. Tidak lupa, aku memakai aroma parfum kesukaannya terlebih dahulu. Aku juga menggosok gigi supaya napasku bau mint bukan bau bunga bangkai raksasa alias bunga raflesia.
Di depan cermin, aku meliuk-liukkan tubuhku, merapikan rambut cepak yang menunjang penampilanku agar terlihat semakin tampan dan mempesona. Sungguh, aku seperti jatuh cinta lagi. Jatuh cinta pada Rani kali ini begitu mendebarkan hati. Rasanya juga sangat berbeda karena lebih menegangkan seperti genderang mau perang. Ah! Kok aku jadi tidak jelas seperti ini.
"Mas! Mau kemana kamu? Rapi banget. Wangi lagi." Vina memeluk tubuhku dari belakang. Jarinya kembali bermain di dadaku.
"Malam ini, aku mau tidur di kamar, Rani!" ucapku seraya melepaskan tangan Vina.
POV Galang(Penyesalan Tinggal Penyesalan)Aku Galang ….Seorang suami yang awalnya memiliki pekerjaan sukses sebagai manajer disebuah BANK. Pekerjaan memadai, istri cantik dan seorang anak perempuan yang sangat lucu, kurang apalagi? Aku memiliki mertua yang penyayang dan tidak banyak menuntut. Tidak pernah ikut campur dalam urusan rumah tangga, istri penurut yang sangat menyayangi orang tuaku, serta ipar yang sangat menghargaiku. Kurang apalagi sebenarnya hidupku? Jawabannya satu, kurang bersyukur.Perempuan lembut bernama Winda itu, kutinggal selingkuh karena tidak bisa memenuhi hasratku sebagai seorang laki-laki. Ya, Winda melahirkan Ayu secara Caesar. Membuatku harus menunggu lama untuk berhubungan badan. Kepalaku terasa pusing, aku uring-uringan. Sa
POV GALANG(KETEMU IPAR)Sampai di toko Bang Roel, aku kaget karena ada karyawan baru yang sedang menyiapkan barang yang akan dikirim. Biasanya bos muda yang tampan itu selalu menungguku. Kalau seperti ini, bisa berkurang pendapatanku."Bang," sapaku. Bang Roel sedang memperhatikan karyawan perempuan yang sibuk menyerikan seri warna gamis batik."Eh, Mas Galang. Nanti yang dibal ada 5 karung ya, Mas. Pake indah cargo. Yang ke Bekasi, pake wahana," perintahnya."Siap, Bang," jawabku mantap. Lalu, aku pun mulai mengambil karung."Bang, yang seri hitamnya habis." Aku menengok ke sumber suara.
POV ANTON(UTANG DUIT)"Mas, nanti kalau aku tidak dapat casbonan dari Si Boss, aku pinjam uang, Mas Galang ya?""Uhuk … uhuk …." Mas Galang malah tersedak."Gimana, Mas?" tanyaku lagi untuk memastikannya."Gampang itu, Ton." Mendengar jawabannya, aku memiliki harapan dan sedikit lega.⭐⭐⭐Saat kami sampai, wajah Bang Roel tidak terlihat bersahabat seperti biasanya."Kalian langsung tutup toko saja. Dari tadi saya tunggu kalian kok lama banget. Kang Rusdi bilang tidak terlalu panjang antriannya. Saya ada urusan ini!" Wajah Bang Roel terlihat kesal. Memang wajar kesal, kami p
POV ANTON(KUBAKAR TOKOKU TERANG-TERANGAN)Malam setelah aku kembali dari rumahku, rumah yang telah dikuasai Rani maksudku. Aku pun mengintai sejenak lingkungan di sana. Kalaupun orang lain ada yang melihat keberadaanku, mereka tidak akan curiga, karena mereka tahu ini adalah tokoku. Bahkan toko matrial besar itu terpampang nama "ARNI JAYA" Jelas hampir semua langganan tahu arti toko itu. ANTON RANI JAYA …."Mas, kamu mau kemana?" tanya Vina setelah aku meletakan koper dan langsung kembali keluar. Aku, kalau menginginkan sesuatu dalam kemarahan memang akan segera melaksanakan apa yang diniatkan. Terlebih Rani sudah sangat benar-benar membuatku kecewa. Benar-benar membuatku bangkrut. Bahkan untuk membayar sewa kontrakan rumah yang hanya sebesar 650 ribu pun aku sangat merasa keberatan. Jangan salahkan aku kalau k
POV RANI(MENEMUI A&V 1)Selesai mandi dan bersiap aku segera gegas keluar menemui Mama dan Papa. Sampai di ruang tamu mereka tengah berbincang hangat dengan Mbak Winda. Sudah ada empat gelas teh hangat di sana dan juga kue bolu."Mama, Papa, masih pagi sudah di sini saja," sapaku sambil menghampiri keduanya dan mencium punggung tangan mereka."Tidak ada kata masih pagi! Denger toko kamu kebakaran Mama sama Papa panik lah, Ran! Eh yang berkaitan malah santai. Kalau orang-orang, pasti sudah berada di toko saat ini, Rani!" pekik Mama."Baru kali ini Papa melihat orang terkena musibah masih santai," imbuh Papa."Ya terus aku suruh ngapain, Pa? Ma? Di toko sudah ada pemadam kebakaran. Sudah ada polisi, ya sudah biar
POV ANTON(KEJUTAN BIKIN KEJANG)"Mampus Rani! Mampus! Modar kamu, Rani modddaaarrrr!" ucapku puas dalam hati. Kepuasan yang tidak dapat lagi ku-ungkapkan dengan sebuah kata. Yang pasti aku sangat puas …."Lama banget sih kamu! Ngobrol sama siapa?" tanya Mbak Winda pada Rani. Wajah Rani terlihat begitu ceria dan bersemangat. Baru kali ini aku melihat orang terkena musibah tapi enjoy saja. Ajaib!"Tadi aku ketemu teman lama, Mbak," jawabnya singkat. Dari raut wajahnya, jelas terlukis seperti orang yang tengah jatuh cinta."Hay, Mas Anton. Hay Vina," sapanya."Aku turut berdukacita ya, dengan terbakarnya toko kamu," ucapku
POV ANTON(KEMANA UANG 20 JUTA?Akhirnya, sampailah kami di sebuah dealer motor. Lumayan untuk kami membeli motor, bisa jalan-jalan puas. Setidaknya kalau sedang jenuh, kami yang termasuk pengantin baru ini bisa jalan malam mencari angin segar. Sebab, polusi udara di ibukota sudah sangat luar biasa, jadi bisa menghirup udara segarnya kalau malam hari. Pagi hari kami masih tertidur."Kamu mau motor yang mana, Mas?" tanya Vina. Karena hubunganku dan Rani juga sudah berakhir, maka aku akan memulai hidup baru dengan Vina. Otomatis mulai sekarang aku harus membahagiakan dia."Terserah kamu saja, Sayang," ucapku sok romantis."Kalau begitu, aku mau Honda Beat warna hitam saja, Mas," ucapnya.
POV ANTON(MENYESAL)Sampai di kontrakan wajah Vina masih ditekuk persis tali tambang anak sekolah yang digunakan saat pramuka. Persis sekali seperti itu."Kamu kenapa sih?" tanyaku heran."Aku masih mikirin duit 20 juta itu. Cepat banget habisnya. Benci banget aku ini! Aku mau semua itu, tapi uangnya juga mau," sungutnya."Mas! Pokoknya kamu bilang deh sama Bang Roel, kamu saja yang jadi kuli panggulnya! Jangan Mas Galang!" cetusnya."Hah!" Aku mendengus. "Itu sama saja kamu mematikan rezeki Kakak Iparmu!" ucapku sambil meletakan TV di atas lemari kecil. Vina terdiam, bibirnya masih tetap pada posisi manyun 5 cm. Mungkin dia memikirkan pengeluaran besarnya hari
POV YUDHASampai di kamar, aku coba untuk kembali menghubungi Cintia. Tak menyerah! Sampai teleponku mendapat jawaban aku terus berusaha menghubunginya."Halo." Tiba-tiba terdengar suara seraknya. Sepertinya dia baru bangun tidur."Halo, kamu dimana? Kenapa bikin aku khawatir?" tanyaku dengan nada suara terdengar panik."Maaf, Mas. Aku hanya ingin menenangkan diri. Aku ada di hotel bersama Afi," jawab Cintia."Hotel mana? Aku jemput yah sekarang. Aku udah dapat rumahnya. Kita pindah. Aku bukan lagi kontrak rumah, tapi aku beli rumah untuk kamu. Untuk kita. Rumah yang sudah lengkap dengan isinya. Pasti kamu suka. Maafin aku ya kemarin sempat marah sama kam
Sampai di cafe terdekat, aku langsung mengambil meja paling pojok. Setelah itu pelayan datang menghampiri. Langsung aku pun memesan makanan. "Afi mau pesan apa?""Nasi goreng daging dengan telur ceplok setengah matang, Ma. Sama pesan lemon tea," ucapnya."Mbak pesan itu aja dua. Sedang ya jangan terlalu pedas," ujarku pada Pelayan. Mbak Pelayan itu pun mengangguk dan segera beranjak.Sungguh, dalam keadaan seperti ini, aku kembali teringat dengan Mas Reno. Aku kira hatiku sudah mampu menerima Yudha seutuhnya, tapi ternyata tidak. Laki-laku itu sama sekali belum sepenuhnya memenangkan hatiku. Dan yah, mungkin aku menikahinya karena atas dasar rasa kasihan melihat perjuangannya. Atau aku mau menikah dengannya karena Afi? Afi menganggap Yudha Ayahnya.
Pov Rani"Bang aku kok gak bisa tidur ya? Kepikiran nasib Vina," lirihku karena mataku masih terjaga. Bang Roel langsung mengusap rambutku dengan lembut dan mencium pucuk kepalaku."Iya. Abang juga kasihan. Doakan saja yang terbaik. Apa kita coba tengok ke kampung halamannya?""Ide bagus tuh, Bang. Tapi anak-anak kasihan kalau harus dibawa pergi jauh. Pasti mereka kecapekan, Bang," ujarku."Iya juga sih. Besok Abang bicarakan dengan Yudha," ujarnya."Dia lagi malam pertama pasti, Bang.""Abang juga mau malam pertama kita diulang. Boleh?" ijinnya sembari menatap dalam mataku.
POV RANIMalam ini seperti biasa kami berkumpul di ruang tamu. Hujan sedari siang tadi masih belum berhenti. Justru semakin deras. Sudah pukul delapan malam Yudha belum juga pulang. Begitupun dengan Dita. Ponsel mereka tidak aktif sama sekali. Kemana mereka pergi.Ting … nong ….!Terdengar suara bel berbunyi. Segera ART kami berlari membukakan pintu. Mungkin Yudha dan Dita."Assalamualaikum!" ucap Dita."Walaikumsalam!" jawab kami serempak. Segera adik Iparku itu berjalan menghampiri kami."Baru pulang?" tanyaku."Ya, Mbak. Tadi aku mampir dulu di restoran makan. Hujannya bikin male
POV CINTIA"Jangan melamun, Nak. Apa yang kamu pikirkan? Kenapa seperti hilang konsentrasi?" sapa Ibu mertua saat aku tengah membuat sarapan pagi ini. Aku tersenyum pada mertuaku sambil menggenggam tangannya."Tidak ada, Bu. Setelah berpikir semalaman, memang ada baiknya aku mencoba membuka diri untuk menerima Mas Yudha," ujarku lirih. Tak kusangka ku lontarkan juga kata-kata ini."Alhamdulillah. Memang sebaiknya begitu. Terlebih Afi pun sudah sangat dekat dengan Yudha," ucap Ibu. 'Bukan hanya dekat, Bu. Tapi Afi bilang sosok Ayahnya ada pada Yudha. Aku tidak boleh egois. Tidak menutup kemungkinan jika suatu saat Yudha bisa bersama orang lain, lantas bagaimana dengan Afi. Aku tidak mau itu kembali terjadi."Iya, Bu," ucapku coba tersenyum sambil membawa nasi go
POV RANIHari terus berlalu seiring berjalannya waktu. Setelah beberapa bulan ini, sejak bertemu dengan Vina, aku tidak pernah lagi mendengar kabar tentangnya. Terakhir dia mengabari sudah berada di kampung dan sampai saat ini tidak pernah lagi memberi kabar. Nomor yang digunakan untuk menghubungiku juga sudah tidak pernah aktif lagi. Pernah aku coba hubungi untuk menanyakan kabarnya, tapi tidak bisa. Apapun itu, semoga saja keadaan Vina membaik. Diangkat segala penyakitnya supaya bisa menjalani hidup dengan baik.Dalam beberapa bulan ini banyak yang terjadi. Sekarang Damar dan Wulan sudah berusia 7 bulan. Keduanya tumbuh sehat. Mereka sudah bisa mengucapkan kata mama atau papa, juga sudah mulai bisa tengkurap, dan bahkan berguling untuk berpindah dari satu sisi tempat tidur ke sisi lainnya. Pokoknya aku dan Bang Roel benar-benar tidak mau melewati masa lucu
POV VINAAku tak menyangka kembali bertemu dengan Rani dalam keadaan yang sangat memprihatinkan seperti ini. Aku malu … sekarang aku sangat lemah. Hari ini kau merasakan sakit luar biasa terutama di bagian alat vitalku. Dapat kurasakan sesuatu mengalir deras seperti perempuan yang tengah mengalami menstruasi. Tapi bukan darah. Melainkan nanah. Apakah ini balasan atas perbuatan yang kulakukan? Bang Roel, dia terus menjauh sambil menutup hidung. Mungkin bau yang ditimbulkan ini memang sangat menyengat?"Mas bagaimana?" tanya Rani."Bagaimana apanya? Tidak mungkin kita yang antar dia ke rumah sakit. Vina sangat kotor. Dan ya, di dalam juga ada anak-anak. Nggak mungkin kita ajak Vina masuk ke mobil. Kamu kasih duit saja biar dia bisa ke rumah
POV RANIPagi ini kami sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama. Ini kali pertama aku masak di tempat mertuaku. Ya, mereka juga mertuaku. Karena merekalah Bang Roel terlahir. Cintia pagi ini terlihat sangat manis dan penuh senyum. Wajahnya yang teduh lagi ayu, membuat kedamaian sendiri bagi orang yang menatapnya."Yudha sama Afi mana?" tanya Bang Roel."Mungkin sebentar lagi turun dari kamar," jawab Cintia. Wanita itu mulai menyusun piring di meja makan."Bagaimana keadaan dia?" tanya Bang Roel."Alhamdulillah baik. Semalam sebelum tidur juga mau menghabiskan susunya. Dibujuk oleh Mas Yudha," ujarnya lembut. Tutur suara perempuan itu terdengar halus lagi menenangkan.
POV RANITiga minggu berlalu, kami kembali menjalani kehidupan dengan normal. Namun, entah kenapa, aku teringat akan orang tua kandung suamiku. Tersirat di benakku untuk mengajaknya silaturahmi ke tempat mereka. Meski bagaimanapun, mereka tetaplah orang tua kami. Kami tidak boleh menyimpan dendam. Mungkin mereka ingin singgah kesini tapi ada perasaan segan. Tidak ada dendam sih, waktu itu suamiku juga bilang akan tetap menjaga silaturahmi dengan mereka. Mungkin suamiku lupa dengan janjinya. Ah, dia pun juga manusia biasa yang perlu diingatkan. Atau larut pada kebenaran tentang Dion yang telah meninggal dunia. Ya, semenjak dia tahu karyawannya itu meninggal dalam kecelakaan, ia merasa sangat bersalah."Bang, hari ini kita pergi ke rumah Ibu dan Ayah yuk. Kasihan mereka masih dalam suasana berduka. Kita juga t