"Ran, mana kunci mobilnya. Aku mau ajak Vina pulang. Kasihan ini pingsan."
"Heleh, enak saja kamu ngomong. Tidak bisa! Kalau mau mobil, beli saja sendiri. Tapi ingat, belinya pakai uang hasil kalian berdua!" ucap Rani.
Halah! Mau pakai mobil saja banyak cingcong ini perempuan. Lihat saja nanti di rumah.
"Kohar!!!!!" teriakku.
"Iya, Pak." Kohar langsung berlari menghampiri.
"Kamu ikut saya pulang. Jaga Vina! Pegangi Vina, kita naik motor bertiga," suruhku. Malu sekali rasanya. Tapi mau bagaimana lagi.
"Kita bonceng bertiga, Pak? Nanti kalau ada polisi kita ditilang bagaimana, Pak?" tanyanya. Iya juga si. Benar juga ucapan Kohar.
"Eh, Mas! Lagi pula, sekalipun tidak ada polisi, aku tidak mengijinkan Kohar ikut bersama kamu!" ucap Rani ketus.
"Nasi Padang datang!" teriak Edi. Membuatku semkain kesal saja. Fokus Kohar pun teralihkan pada nasi Padang yang dibawa Edi. Terpaksa aku pergi ke warung sebelah untuk membeli minyak angin. Vina merepotkan saja. Baru dengar seperti ini saja sudah pingsan. Bagaimana kalau kuajak hidup miskin beneran? Apa iya dia mau bertahan? Ah, setidaknya kalau pun dia tak mau bertahan ya sudah. Aku cari perempuan lain. Aku 'kan laki-laki tampan. Sangat mudah mendapatkan perempuan.
****
"Maya! Beli minyak angin ya," ucapku yang memang sudah akrab dengan janda si Dendi ini.
"Kenapa kamu, Mas Anton? Suntuk banget," tanyanya.
"Tidak apa-apa. Cepetan minyak angin-nya mana? Saya sedang tidak mood untuk bercanda," ketuaku. Bahkan orang lain pun menjadi sasaran.
"Ini, Mas!" Maya menyerahkan minyak angin-nya. Aku meraih minyak angin itu tanpa membayar.
"Catet saja, May! Masukan bon minta sama, Rani!" teriakku sambil berlalu.
Saat sampai lagi toko, wajahku kembali masam. Aku menyaksikan semua karyawan dan Rani sedang makan bersama. Akrab sekali kelihatanya. Jujur saja aku benci melihat itu semua. Bukan apa, aku juga ingin ikut menikmati kebersamaan ini. Namun, apa daya tidak ada yang mau mengajakku. Seperti tidak ada harganya keberadaan-ku dengan Vina di sini. Sangat memalukan. Rani …! Rani…! Sungguh, kelakuanmu mampu membuatku mengelus dada.
"Istri tua merajuk! Pindah ke rumah istri muda! Kalau dua-dua merajuk, Anton kawin tiga!" Sengaja aku menyanyikan lagu itu sambil berteriak supaya membuat Rani tertawa. Namun, bukan Rani yang tertawa melainkan para karyawan. Terutama Edi dan Kohar karyawan lama yang terkenal paling somplak. Maklum, mereka berdua yang mengatur letak barang toko. Kalau tidak ada mereka amburadul semuanya.
"Emang masih punya duit, buat kawin lagi, Pak?" timpal Edi. Sedangkan yang lain tertawa renyah. Kurang ajar mereka! Kompak sekali. Benar-benar membuatku geram.
"Berisik kamu!" Aku melempar botol minyak angin ke wajahnya.
"Vin, bangun! Pingsan awet banget," gerutuku.
Setelah selesai makan Rani mendekat. Rani membawa air bekas cuci tangan di kantong pelastik. Entah untuk apa air itu.
"Masih belum sadar juga sudah diboreh minyak angin, Mas?" tanyanya.
"Belum ni, Ma." Kesempatanku untuk mengambil hatinya bukan? Rani mah pasti menyapaku duluan. Mana bisa dia jauh dari suami tampan yang mirip Arjuna begini.
"Oh, minggir kamu, Mas. Biar aku saja," ucapnya.
Cuuuurrrrrr!
Rani mengucurkan air bekas cuci tangan mereka tepat di wajah Vina. Bayangkan saja, seperti air pancuran, dan Vina sebagai embernya.
"Hhhuuuuaaaa! Pedas!!!!" teriak Vina. Rani membuang pelastik bekasnya juga ke wajah Vina seperti tempat sampah.
"Rani!!!!" teriak Vina segera berdiri tegak. Matanya kepedasan hingga dia berteriak-teriak meminta air untuk mencuci muka.
"Kelewatan kamu, Ran! Sakit jiwa tahu kamu!" berangku seraya membawa Vina ke kamar mandi.
"Pelakor memang kudu dikasih pelajaran biar nggak ngelunjak, Bu!" ucap Resa dengan suara yang dikencangkan.
"Masih mending cuma diguyur air kobokan! Kalau perlu nganunya disumpel cabe biar puas dan tahu rasa, Bu!" teriak Nana seperti sengaja. Geram aku dibuatnya. Setelah Vina sampai di kamar mandi, aku meninggalkannya dan kembali menghampiri Nana serta Resa.
Brrakkk!
Kugebrak bangku hingga membuat mereka diam ketakutan.
"Kalian pikir, selama saya diam, kalian bisa seenaknya memaki saya! Begitu?!"
Tidak ada yang menjawab ucapanku termasuk kedua karyawan yang tak tahu diri itu.
"Mas!" Tak lama Vina datang dengan memegang tanganku. "Pecat saja mereka, Mas!"
"Kamu! Nana! Resa!" Kalian saya berhentikan sebagai karyawan saya," tegasku. Kedua perempuan itu hanya diam menunduk bahkan tak berani menatapku. "Dasar kerupuk! Renyahnya hanya ketika di dalam kaleng saja!" cibirku.
Rani maju ke depan lalu mendekatiku.
"Atas dasar apa kamu berani pecat karyawanku?!" tanyanya dengan dagu yang ditinggikan. Angkuh! Seperti itu tepatnya.
"Aku juga berhak! Karena toko ini modal bersama. Ada hak aku di sini! Kamu jangan lupa itu!" balasku.
"Edi! Kohar!" teriak Rani. "Kalian tutup sekarang tokonya!"
"Siap, Bu," jawab keduanya serempak.
Fokus Rani kembali teralihkan ke arah aku dan Vina.
"Benar!" ucapnya tegas.
"Benar! Disini memang ada hak kamu! Haruskah aku memikirkan hakmu sedangkan kamu tidak memikirkan hakku? Egois kamu!" tunjuknya tepat di wajahku. Rani tidak pernah seperti ini sebelumnya. Meskipun dia tipikal perempuan mandiri, tapi Rani lembut dan penuh kasih sayang. Hanya saja dia bukan perempuan manja yang suka meminta ataupun merengek.
"Bu, kuncinya." Edi menyerahkan kunci pada Rani. Lalu, mereka pun pergi meninggalkan toko. Mungkin saja kami akan menjadi buah bibir di sepanjang jalan pulang. Kini, di toko yang sudah sedikit gelap hanya ada kami bertiga.
"Kamu membicarakan soal hak 'kan, Mas? Apa kamu peduli dengan hakku? Apa kamu meminta izin padaku untuk menikahi, Vina? Kamu egois, Mas! Kamu tidak memikirkan bagaimana hati dan perasaanku sebagai wanita harus diduakan oleh suaminya!" Rani terdiam sejenak terlihat menarik nafas.
"Kamu tidak memikirkan perasaanku! Apa aku akan sakit hati? Kamu tidak memikirkan itu! Yang ada di kepala kamu, kalau aku akan menerima pernikahan kalian. Begitu? Asal kamu tahu, Mas, aku sakit! Dan sakit hati ini mungkin tak berdarah! Tapi pengkhianatan kamu, selalu membekas abadi di relung hati terdalamku!"
"Tolong jangan katakan lagi tentang hak!" ucapnya seakan membuat lidahku menjadi kelu.
"Jadi kamu lebih suka jika suamimu itu berbuat dosa dengan berselingkuh, begitu? Tidak ada hak laki-laki menikah lagi harus dengan seizin istrinya! Laki-laki berhak memiliki istri lebih dari satu!" balas Vina.
"Kamu, kalau tidak tahu apa-apa, sebaiknya diam saja! Wanita-wanita yang doyan dengan suami orang seperti kamu, baiknya dimusnahkan dari muka bumi ini!"
"Tidak habis pikir aku dengan perempuan kasta rendahan seperti kamu! Apa tidak punya hati hingga rela mengambil dan menggoda milik orang lain?" Rani menyeringai seraya menggelengkan kepalanya. Aku seperti kehabisan kata untuk membalas setiap perkataan yang keluar dari mulut Rani.
"Ayok pulang!" Kutarik tangan Vina keluar sebelum membalas ucapan Rani. Takut nantinya akan semakin panjang. Baru dua hari pernikahanku dan tinggal bersama rasanya seakan memanas. Sepertinya aku perlu menenangkan diri sebentar.
"Vin kita mampir ke danau dulu ya," ucapku. Vina mengangguk.
"Ayok, Mas. Pikiranku juga rungsang. Sekalian kita cari cara untuk kedepannya harus gimana," ucap Vina. Aku mengangguk. Segera kupacu motorku meninggalkan toko. Vina memeluk pinggangku erat, seakan memberi kekuatan.
🌿🌿🌿🌿🌿🌿
Mak Thor sampai tahan nafas😂😂
Emosi aku! 😂😂😂😂🙏🙏🙏
POV VinaSelama di danau Mas Anton terus melamun. Entah, mungkin dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Kasihan juga melihatnya seperti ini. Tapi bagaimana lagi? Aku juga sedikit kesal dan kecewa. Mau tidak mau harus tetap kujalani karena sudah menjadi pilihan. Rasanya menjadi aku kali ini itu, nano-nano. Tapi lebih banyak kesalnya. Bagaimana tidak seperti itu? Aku berharap hidup enak menikahi bosku. Malah jadi seperti ini. Siapa sangka juga Rani yang lembut bisa berubah seperti singa yang garang hendak menerkam.Sekarang begini, normal bukan aku mencintai bosku? Mas Anton tampan! Kaya! Dia juga perhatian. Jadi wajar aku menaruh hati padanya. Mana aku tahu kalau ternyata tidak bisa menyimpan perasaan cintaku padanya. Justru setelah dia membalas perhatianku, aku mulai agresif. Aku juga yang mulai mengirim pesan untuknya. Sekedar say hello. Hubungan itu berlanjut setel
POV Rani(KUBUAT PELAKOR MENDERITA)Tega sekali Mas Anton berkata aku mandul. Normal bukan, sebagai perempuan aku merasa sedih dimaki mandul? Memang sudah 4 tahun aku menikah dengan Mas Anton dan belum memiliki keturunan. Tapi bukan berarti aku mandul. Banyak kok di luar sana yang bahkan sudah sepuluh tahun menikah belum dikaruniai anak. Tapi suaminya setia. Memberi semangat pada istrinya. Bukan menikah lagi. Memang tidak ada larangan suami menikah lagi asal mampu berbuat adil. Namun, tidak semua perempuan juga, mau menerima pernikahan kedua suaminya. Hanya perempuan pilihan yang memiliki kelebihan rasa sabar sehingga mampu menerima dengan ikhlas jika suaminya menikah lagi. Bukan perempuan seperti aku yang tidak mau berbagi. Iya, aku tidak mau. Bahkan membayangkan suami mendua pun aku tak mampu. Tapi takdir berkata lain, aku yang sangat menentang, tapi memilikinya.
POV Vina(Kopi Sepesial)'Brengsek banget si Rani. Gue kerjain mampus lo. Lah, mau bertingkah kaya apa sebagai nyonyah di rumah ini, aku tak peduli. Aku akan tetap tinggal disini sampai kami dapat-kan hak kami.'"Vina! Cepatan kopinya lelet banget!" teriaknya."Hem, Lo minum nih, kopi campur air liur gue! Bagus gue lo jadiin babu. Gue bisa leluasa kasih racun buat lo.""Vin lagi ngapain?" tanya Mas Anton. Mengagetkan saja."Ini istri pertama-mu minta dibuatin kopi. Aku kerjain saja!" jawabku singkat."Kamu kerjain gimana?" tanyanya."Aku kasih air liur! Ini kopi sudah kecampur sama air ludahku. Habis kesal.""Jangan seperti itu, Vin. Meski begitu dia istriku.""Tapi dia itu sudah tidak menganggap, Mas suaminya! Sudah biarkan saja!" Mas Anton terdiam."Vina! Lama banget sih! Cepetan!" Ya Tuhan, bikin geregetan saja manusia sa
POV Rani(Diam-Diam gugat cerai)"Vina! Kamu pergi deh sama suamimu sana! Terserah mau kemana! Kalian 'kan belum sarapan. Cari makan sana! Sama cari pekerjaan apa kek. Aku sumpek lihat muka kalian. Rasanya ingin menghajar habis-habisan!" ucapku. Aku ingin membicarakan sesuatu dengan Mbak Winda. Kalau ada mereka takutnya menguping. Tak lama pria tak tahu diri itu juga muncul. Sepertinya pria itu sudah selesai mandi.Cup!Ah, tiba-tiba saja aku teringat saat Mas Anton memeluk tubuhku dari belakang dan memberikan kecupan manis di tengkuk sebelum pergi ke toko. Biasanya setelah mandi dan bersiap dia melakukan itu.Aku tak menyangka, dia malah mendua. Benci sekali rasanya! Ya Allah, aku masih belum bisa melupakan rasa sakitku. Seseorang
POV Winda(Ketemu Mantan Suami)Tidak menyangka. Aku ikut Rani ke tokonya malah ketemu Mas Galang. Entah kenapa, jiwa sombongku muncul begitu saja. Aku ingin menunjukkan padanya, bahwa aku baik-baik saja ditinggal olehnya."Rani, Mbak dan Ayu masuk duluan ya." Rani terlihat bingung. Namun, sepertinya dia juga mengerti kenapa aku tiba-tiba ingin masuk duluan ke toko.Saat sampai di dalam, ternyata Mas Galang sedang memilih sesuatu. Dia datang bersama anak dan istrinya. Kulihat, istri-nya sekarang nampak kumel. Tidak seperti dulu saat menggoda Mas Galang. Penampilannya sangat cantik. Uhu, dulu kan si pelakor itu kerja di tempat malam, dan Mas Galang mengenalnya di sana. Bagaimana ya, reaksi Mas Galang bila melihatku."Ehem! Aku berdehem. Kutatap mantan suami
POV WINDA(MANTAN SUAMI MENYESAL)[P][P][Tes][Tes][Tes]Aku bingung, nomor siapa tiba-tiba mengirim pesan tanpa nama. Namun, saat kulihat bagian profil nampak sebuah nama GALW … Aku si berpikir Mas Galang.Senyumku mengembang begitu saja layaknya bunga mawar yang mekar. Jelas senyum dong, ternyata mantan yang menghubungi. Apalagi mantan yang menyakiti. Apakah semua perempuan akan merasa senang kalau tiba-tiba mantan datang? Atau hanya aku yang senang? Hahahaha ….[Assalamualaikum, Wind. Simpan y
POV Anton(Rencana Untuk Rani 1)Sialan memang Rani. Makin hari makin kelewatan. Tinggal menerima Vina kok susah banget. Wajar kali aku lelaki punya istri dua. Yang tidak wajar itu perempuan kalau bersuami dua."Mas, dari tadi kita muter-muter di jalanan mau kemana sih tujuannya?" tanya Vina."Ya aku nggak tahu mau kemana. Uang juga nggak ada!" bentakku."Udah aku bilang, kita nikah diam-diam aja. Kamu malah yakin banget kalau, Rani bakal nerima pernikahan kita!" lanjutku kesal."Kok kamu jadi nyalahin aku sih, Mas? Aku nggak mau lah nikah cuma jadi istri simpanan!" sungutnya. Bingung aku, setelah menikahi Vina, rasanya kesialan langsung menimpa.
POV Anton(Batal Membunuh)Sudah hampir menjelang subuh hingga kami mulai tertidur di depan gerbang seperti gelandangan, Rani ataupun Winda masih tidak membukakan pintu gerbang. Ya Tuhan, rasanya semakin geregetan dan ingin mencekik lehernya.Vina juga berkali-kali mengeluh. "Bukan kebahagiaan yang aku dapatkan, Mas. Justru terluntang-lanting begini," grutunya seraya menyenderkan kepala di pundakku. Aku juga tidak tega melihatnya seperti ini. Bukan kenyamanan yang mampu aku berikan, melainkan penderitaan. Sungguh, aku tidak pernah menduga kalau akhirnya akan seperti ini, dan Rani berubah seperti itu.***Panas sinar matahari dan silaunya tepat menyorot ke wajah kami. Aku menutup wajahku dengan tangan.
POV YUDHASampai di kamar, aku coba untuk kembali menghubungi Cintia. Tak menyerah! Sampai teleponku mendapat jawaban aku terus berusaha menghubunginya."Halo." Tiba-tiba terdengar suara seraknya. Sepertinya dia baru bangun tidur."Halo, kamu dimana? Kenapa bikin aku khawatir?" tanyaku dengan nada suara terdengar panik."Maaf, Mas. Aku hanya ingin menenangkan diri. Aku ada di hotel bersama Afi," jawab Cintia."Hotel mana? Aku jemput yah sekarang. Aku udah dapat rumahnya. Kita pindah. Aku bukan lagi kontrak rumah, tapi aku beli rumah untuk kamu. Untuk kita. Rumah yang sudah lengkap dengan isinya. Pasti kamu suka. Maafin aku ya kemarin sempat marah sama kam
Sampai di cafe terdekat, aku langsung mengambil meja paling pojok. Setelah itu pelayan datang menghampiri. Langsung aku pun memesan makanan. "Afi mau pesan apa?""Nasi goreng daging dengan telur ceplok setengah matang, Ma. Sama pesan lemon tea," ucapnya."Mbak pesan itu aja dua. Sedang ya jangan terlalu pedas," ujarku pada Pelayan. Mbak Pelayan itu pun mengangguk dan segera beranjak.Sungguh, dalam keadaan seperti ini, aku kembali teringat dengan Mas Reno. Aku kira hatiku sudah mampu menerima Yudha seutuhnya, tapi ternyata tidak. Laki-laku itu sama sekali belum sepenuhnya memenangkan hatiku. Dan yah, mungkin aku menikahinya karena atas dasar rasa kasihan melihat perjuangannya. Atau aku mau menikah dengannya karena Afi? Afi menganggap Yudha Ayahnya.
Pov Rani"Bang aku kok gak bisa tidur ya? Kepikiran nasib Vina," lirihku karena mataku masih terjaga. Bang Roel langsung mengusap rambutku dengan lembut dan mencium pucuk kepalaku."Iya. Abang juga kasihan. Doakan saja yang terbaik. Apa kita coba tengok ke kampung halamannya?""Ide bagus tuh, Bang. Tapi anak-anak kasihan kalau harus dibawa pergi jauh. Pasti mereka kecapekan, Bang," ujarku."Iya juga sih. Besok Abang bicarakan dengan Yudha," ujarnya."Dia lagi malam pertama pasti, Bang.""Abang juga mau malam pertama kita diulang. Boleh?" ijinnya sembari menatap dalam mataku.
POV RANIMalam ini seperti biasa kami berkumpul di ruang tamu. Hujan sedari siang tadi masih belum berhenti. Justru semakin deras. Sudah pukul delapan malam Yudha belum juga pulang. Begitupun dengan Dita. Ponsel mereka tidak aktif sama sekali. Kemana mereka pergi.Ting … nong ….!Terdengar suara bel berbunyi. Segera ART kami berlari membukakan pintu. Mungkin Yudha dan Dita."Assalamualaikum!" ucap Dita."Walaikumsalam!" jawab kami serempak. Segera adik Iparku itu berjalan menghampiri kami."Baru pulang?" tanyaku."Ya, Mbak. Tadi aku mampir dulu di restoran makan. Hujannya bikin male
POV CINTIA"Jangan melamun, Nak. Apa yang kamu pikirkan? Kenapa seperti hilang konsentrasi?" sapa Ibu mertua saat aku tengah membuat sarapan pagi ini. Aku tersenyum pada mertuaku sambil menggenggam tangannya."Tidak ada, Bu. Setelah berpikir semalaman, memang ada baiknya aku mencoba membuka diri untuk menerima Mas Yudha," ujarku lirih. Tak kusangka ku lontarkan juga kata-kata ini."Alhamdulillah. Memang sebaiknya begitu. Terlebih Afi pun sudah sangat dekat dengan Yudha," ucap Ibu. 'Bukan hanya dekat, Bu. Tapi Afi bilang sosok Ayahnya ada pada Yudha. Aku tidak boleh egois. Tidak menutup kemungkinan jika suatu saat Yudha bisa bersama orang lain, lantas bagaimana dengan Afi. Aku tidak mau itu kembali terjadi."Iya, Bu," ucapku coba tersenyum sambil membawa nasi go
POV RANIHari terus berlalu seiring berjalannya waktu. Setelah beberapa bulan ini, sejak bertemu dengan Vina, aku tidak pernah lagi mendengar kabar tentangnya. Terakhir dia mengabari sudah berada di kampung dan sampai saat ini tidak pernah lagi memberi kabar. Nomor yang digunakan untuk menghubungiku juga sudah tidak pernah aktif lagi. Pernah aku coba hubungi untuk menanyakan kabarnya, tapi tidak bisa. Apapun itu, semoga saja keadaan Vina membaik. Diangkat segala penyakitnya supaya bisa menjalani hidup dengan baik.Dalam beberapa bulan ini banyak yang terjadi. Sekarang Damar dan Wulan sudah berusia 7 bulan. Keduanya tumbuh sehat. Mereka sudah bisa mengucapkan kata mama atau papa, juga sudah mulai bisa tengkurap, dan bahkan berguling untuk berpindah dari satu sisi tempat tidur ke sisi lainnya. Pokoknya aku dan Bang Roel benar-benar tidak mau melewati masa lucu
POV VINAAku tak menyangka kembali bertemu dengan Rani dalam keadaan yang sangat memprihatinkan seperti ini. Aku malu … sekarang aku sangat lemah. Hari ini kau merasakan sakit luar biasa terutama di bagian alat vitalku. Dapat kurasakan sesuatu mengalir deras seperti perempuan yang tengah mengalami menstruasi. Tapi bukan darah. Melainkan nanah. Apakah ini balasan atas perbuatan yang kulakukan? Bang Roel, dia terus menjauh sambil menutup hidung. Mungkin bau yang ditimbulkan ini memang sangat menyengat?"Mas bagaimana?" tanya Rani."Bagaimana apanya? Tidak mungkin kita yang antar dia ke rumah sakit. Vina sangat kotor. Dan ya, di dalam juga ada anak-anak. Nggak mungkin kita ajak Vina masuk ke mobil. Kamu kasih duit saja biar dia bisa ke rumah
POV RANIPagi ini kami sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama. Ini kali pertama aku masak di tempat mertuaku. Ya, mereka juga mertuaku. Karena merekalah Bang Roel terlahir. Cintia pagi ini terlihat sangat manis dan penuh senyum. Wajahnya yang teduh lagi ayu, membuat kedamaian sendiri bagi orang yang menatapnya."Yudha sama Afi mana?" tanya Bang Roel."Mungkin sebentar lagi turun dari kamar," jawab Cintia. Wanita itu mulai menyusun piring di meja makan."Bagaimana keadaan dia?" tanya Bang Roel."Alhamdulillah baik. Semalam sebelum tidur juga mau menghabiskan susunya. Dibujuk oleh Mas Yudha," ujarnya lembut. Tutur suara perempuan itu terdengar halus lagi menenangkan.
POV RANITiga minggu berlalu, kami kembali menjalani kehidupan dengan normal. Namun, entah kenapa, aku teringat akan orang tua kandung suamiku. Tersirat di benakku untuk mengajaknya silaturahmi ke tempat mereka. Meski bagaimanapun, mereka tetaplah orang tua kami. Kami tidak boleh menyimpan dendam. Mungkin mereka ingin singgah kesini tapi ada perasaan segan. Tidak ada dendam sih, waktu itu suamiku juga bilang akan tetap menjaga silaturahmi dengan mereka. Mungkin suamiku lupa dengan janjinya. Ah, dia pun juga manusia biasa yang perlu diingatkan. Atau larut pada kebenaran tentang Dion yang telah meninggal dunia. Ya, semenjak dia tahu karyawannya itu meninggal dalam kecelakaan, ia merasa sangat bersalah."Bang, hari ini kita pergi ke rumah Ibu dan Ayah yuk. Kasihan mereka masih dalam suasana berduka. Kita juga t