Serena didorong masuk ke kamarnya. "Ganti bajumu! Kau membuat mataku sakit" Perintah itu yang terucap begitu keduanya ada di kamar Serena."Apa yang salah?" Serena melihat pakaiannya sendiri. Baju tidur pendek sepaha yang seketika membuatnya menepuk jidat.Al melengos, lantas keluar dari sana. Meninggalkan Serena yang masuk ke ruang ganti. Tak berapa lama Serena muncul kembali dengan celana berganti panjang.Al tak bereaksi tapi yang lain mengulum senyum. Hanya Ara yang tampak masam wajahnya."Kau harus hati-hati dengan geng-nya Vasti," Felix memperingatkan."Akan aku hindari sebisa mungkin," balas Serena di tengah aksinya makan."Good," respon Felix.Serena baru akan memakan camilan semacam pastel berwarna hijau, ketika Al merebutnya. Serena balik ingin merebutnya ketika ucapan Al membuat gadis itu berhenti berebut."Kau mau mati?" Setelahnya pria itu mengambil satu lalu memakannya. Serena mundur melihat isi benda itu kehijauan, kemungkinan bayam. Serena diam-diam tersenyum. "Pria i
Serene mengerjap tidak percaya, melihat Ravi Alexander berdiri di depannya. Pria tampan yang selalu membuat Serena tersenyum."Kak Ravi," pekik Serena senang. Ravi sendiri tak pernah menyangka akan benar-benar melihat Serena di Royal Diamond. Jadi Felix berhasil menemukan Serena, pemilik nama samaran Valen."Kamu sungguh lolos kompetensi? Maaf, boleh bergabung?"Karena kursi masih kosong satu, yang lain mengizinkan Ravi duduk di meja mereka. Lagi pula, bisa kenal dengan senior adalah hal bagus."Iya, aku. Al maksudku mereka menemukanku," jawab Serena kelabakan."Caranya?" Ravi kepo, sebab dia sudah mencari Serena ke mana-mana tapi tak menemukan keberadaan putri Nereida saat itu."Rahasia. Yang penting aku ada di sini. Aku bisa mengasah kemampuan juga mengumpulkan uang untuk beli obat ibu."Sendu mewarnai wajah Serena yang kini tampak lebih cantik dalam pandangan Ravi."Bibi akan baik-baik saja. Jangan cemas.""Kamu tahu keadaan ibu?"Ravi mengangguk. Keduanya sedang bicara berdua di
Al sendiri tidak tahu kenapa moodnya berubah drastis sejak makan siang selesai. Mood biasa saja sering membuat Max dan yang lainnya kewalahan. Apalagi bad mood begini. Bisa tambah runyam semua."Dia minum hasil percobaan kamu yang mana? Kenapa mukanya tambah psiko begitu?"Felix si ceplas ceplos langsung komen begitu Al mengakhiri rapat yamg dihadiri Beita by live streaming. Beita sendiri baru mengabarkan kalau Vasti nekad jalan-jalan ke lantai sepuluh."Enggak ya. Aku gak punya jadwal nguji hasil percobaan. Kecuali untuk Anthony. Obyek penelitiannya tidak cocok jika Al yang jadi bahan uji cobanya. Soalnya efeknya ngarah ke situ.""Ada juga yang seperti itu," Paul turut berkomentar."Apa karena Vasti?"Nah, kali ini semua setuju. Vasti memang perusak mood Al yang paling handal. Namun tebakan tiga sekawan itu meleset. Saat Serena pulang, Al masih mengantar. Tapi aura Al makin lama makin menyeramkan. Puncaknya ketika Al menyuruh Serena minum sup.Serena menolak dan malah nantangin Al.
Serena melengos saat dia bertemu Al waktu gadis itu membuka pintu kamar. Pagi hari sebelum dia pergi bekerja. Pria itu macam biasa, cuek dan terlihat tak peduli pada Serena.Al berjalan mendahului Serena, membiarkan sang istri menikmati penampakan punggungnya yang kokoh, juga bentuk tubuhnya yang sempurna dari belakang. Jika gadis lain, mereka sudah pasti histeris, tapi ini Serena. Wanita yang menganggap ketampanan Al biasa saja. Masih kalah dibanding kak Ravi-nya. Rona merah menyebar cepat di pipi Serena begitu wajah Ravi terlintas di kepalanya.Putri Nereida sebenarnya masih sangat marah atas perbuatan Al semalam. Lancang sekali Al waktu menciumnya. Padahal kalau diingat-ingat, tidak ada yang salah dengan perbuatan mereka. Al dan Serena adalah sepasang suami istri yang sah.Ciuman hal wajar, bahkan kalau sampai ke tahap bercinta pun, tetap oke-oke wae. Namun Serena justru ngamuk. Di era ini, Al baru nemu model wanita macam Serena. Sampai di meja makan. Seperti biasa, Al akan mend
"Serius Al aku harus me-nem-bak mereka?"Serena mengejar Al yang mulai mengisi amunisi pada pistol jenis Glock. Serena setengah ngeri sekaligus takjub melihat cepatnya tangan Al bekerja.Pria itu menoleh, lantas memberikan sepucuk senjata pada Serena. "Kamu harus mulai terbiasa. Ingat, tidak ada perceraian dalam pernikahan kita. Pelan tapi pasti kamu harus tahu, inilah kehidupanku, dan kamu sudah terlanjur masuk di dalamnya."Serena menelan ludah. Senjata ada di depannya, pun dengan musuh mulai mendekat ke dinding transparan yang melindungi mereka."Kalau kau tidak melawan, mereka akan menghabisimu. Itu rule-nya. Dan catatannya, kamu harus menang."Al berbisik, setelah Serena menerima senjatanya. Al dengan cepat menyingkir. "Aku akan meng-covermu jika kamu kewalahan.""Tidak ada waktu untuk mundur, Rena."Al benar, sejak dia setuju dengan pernikahan ini. Dia tidak bisa mundur lagi. Dia sudah terlibat dengan kehidupan pria yang kini tak terlihat keberadaannya.Maka setelahnya, Serena
"Jangan mudah percaya."Suara Al terdengar lagi. Serena jadi sadar kalau Al terus mengawasinya."I-itu. Bagaimana ya, aku sendiri juga menumpang," balas Serena tidak enak.Paras Lisa makin muram. Serena bisa melihat sang teman menggeret koper."Rumah sewamu dekat sini?""Tidak juga. Aku ke sini, cari makan yang ... murah." Lisa menjawab seraya melirik kiri dan kanan yang penuh stand makanan.Serena membenarkan. Tempat itu adalah surga bagi mereka yang ingin makan dengan harga ramah di kantong. Namun bisa memanjakan lambung."Aku tidak tahu harus tinggal di mana malam ini. Uangku habis dan gajian masih lama."Sebagai trainee mereka memang digaji meski belum penuh. Tapi jumlah itu bisa dibilang wow untuk pemula. Dibanding perusahaan lain yang sejenis, RD punya standar gaji lebih tinggi.Serena bingung. Dia harus bagaimana. Dia ingin menolong, tapi soal rumah dia tidak bisa ikut campur. Dia saja cuma menumpang di rumah Al. Bagaimana bisa dia membawa orang lain masuk ke sana."Em, sebenta
"Hubungan kalian sepertinya tambah baik." Al hanya menarik sudut bibirnya mendengar komentar Max. Al akui Serena mampu mengimbangi dirinya. Yang jelas otak gadis itu tidak sekosong gadis lain. Wanita yang pernah Al hadapi kebanyakan hanya mengutamakan fisik saja. Namun Serena mampu menyediakan keduanya. Baik fisik maupun otak. Ehem! Al berdehem, dia teringat bagaimana rasa bibir Serena. Sial! Mendadak Al jadi ingin melihat Serena. Max sudah keluar dari ruangan setelah meletakkan laporan di meja. Jika Al tidak merespon ucapannya satu kali, artinya pria itu tidak akan mendengar lagi. Namun rahang Al mengetat melihat apa yang dia lihat melalui kamera pengawas. "Bengal juga dia ini rupanya." Sedangkan yang diawasi Al saat ini sedang asyik menggerakkan tangan di atas tablet. Tidak peduli pada Lisa yang terus menempel padanya. Serena jelas sedang bahagia level akut. Sebab saat dia makan tadi pagi satu paper bag diberikan Ara padanya. Kantong berisi Ipad dan laptop yang bisa dia gunak
"Aku gak bermaksud begitu, Al. Apa aku harus diam saja saat melihat dia mau ngambil dompet orang itu."Serena mengkeret melihat tatapan tajam Al padanya. Gadis itu dicecar oleh Al begitu sampai di rumah. Setelah dia dijemput Max di halte yang entah ada di mana.Serena asal saja turun, sebab dia tidak mungkin menunjukkan rumahnya pada Lisa. Pun di tidak tahu alamat The Pallace.Al sendiri memang tidak bisa menjemput Serena kemarin, dia utus Max tapi pria itu bilang kalau sang istri pulang dengan Lisa naik bus. Al yang sudah illfeel dengan nama Lisa makin geram di buatnya.Lebih jengkel lagi kala Serena tak menuruti sarannya untuk menjaga jarak dengan Lisa. Bukannya manut Serena malah iya iya saja naik bus bareng Lisa."Aku beri tahu. Itu bukan urusanmu. Jangan berlagak kau bisa membantu semua orang yang mengalami kesulitan.""Enggak semua Al, cuma kebetulan aku melihatnya. Apa salahnya aku nolong.""Lalu kamu yang ganti jadi sasaran mereka. Mikir, Ren! Kamu mengganggu lahan bisnis mere
Uhuk! Serena langsung terbatuk begitu kakinya melangkah masuk ke sebuah tempat, yang aromanya seketika membuat perutnya mual.Felix terbahak dengan Al menggulung senyum."Ini baru pintu masuknya," bisik Al di telinga Serena."Di dalam lebih parah?" Serena memastikan."Bagi kami biasa, entah buatmu." Felix menjawab dari sebelah kiri.Al dan Felix seperti pengawal dengan Sergie dan Lalita mengikuti dari arah belakang. Meski mood Serena masih didominasi sedih, tapi gadis itu bisa tertawa kala melihat Lalita ikut dengannya."Jadi bagaimana? Mau putar haluan?" Tawar Al. Mata elangnya yang tadi sibuk memindai kini kembali memandang Serena.Al tahu benar wajah dibalik masker itu menyembunyikan berbagai ekspresi yang mungkin lucu andai digabung jadi satu.Al bisa melihat raut kepo, cemas, antusias, sekaligus takut berganti-ganti di paras sang istri."Gak ah, sekali-kali pengen tahu yang namanya diskotik, klub malam. Biar gak disebut cupu, udik."Balasan Serena membuat Al dan Felix saling pand
"Kamu ngawasin aku! Aku bukan tahanan!"Serena memandang lurus Al yang menunjukkan anting safir di tangannya."Ini cuma ada buat alat komunikasi, tidak ada kameranya. Pakai!""Tidak mau!"Al memejamkan mata, dia coba meredam emosi yang sempat mencuat naik. Rasa yang muncul setelah Al lega luar biasa melihat Serena baik-baik saja."Boleh tidak tolong aku sekali ini saja. Pakai ini, dengan ini kita bisa terhubung meski tanpa ponsel. Jika ada bahaya macam tadi, kamu bisa kasih tahu aku."Serena mengerutkan dahi, tampak berpikir. "Ayolah, Ren. Edgar itu orangnya nekat. Makanya aku belum publish pernikahan kita. Sebelum urusanku sama Edgar selesai.""Ye, aku gak ngarep divalidasi ya."Al menepuk jidatnya. Seharusnya dia tahu kalau Serena tidak peduli, pernikahannya diketahui orang banyak atau tidak. Tidak adanya landasan cinta di antara keduanya, terlebih Serena.Membuat gadis itu begitu santai menjalani hari, meski statusnya istri. Awalnya Al begitu, tapi belakangan ini hatinya ... beru
Seharian berada di rumah ternyata membuat Serena bosan. Dia pikir akan menyenangkan saat Al memberinya cuti.Gadis itu hanya berkabar dengan Ravi, yang akan mengurus pengambilalihan Eternal Diamond dari tangan Anthony secepat mungkin.Pengacara sedang memprosesnya. Serena setuju Eternal Diamond kembali padanya tapi syaratnya harus Ravi yang meng-handlenya.Serena hanya ingin mendesain tanpa mau pusing memikirkan managemen, marketing dan sebagainya.Ravi jelas ingin menolak tapi Nandito mencegahnya. Memang lebih baik ED diurus olehnya dulu. Pelan-pelan mereka bisa membujuk Serena untuk kembali ke kantor.Bagaimanapun ED adalah milik Nereida, perempuan itu membangunnya dari nol dengan tangannya sendiri sejak belasan tahun lalu. Kalaupun Ravi yang mengurusnya, dia pun hanya sebagai perpanjangan tangan Serena."Haish bosannya!" Gerutu Serena, dia melempar buku berisi draft desain ke atas kasur. Masalahnya, semakin dia diam tanpa kesibukan. Bayangan kepergian sang ibu, kian nyata di benakn
Beberapa waktu sebelumnya. Nandito dibuat tercengang, nyaris syok ketika Paul dan Felix mengatakan kalau tuan mereka bersedia jadi investor bagi Alexander Grup yang nyaris kolaps.Gustav bahkan sampai menganga mendengar jumlah dana yang akan digelontorkan pada mereka."Dua triliun," gumam Gustav tidak percaya.Dengan jumlah sebesar itu mereka bisa merampungkan semua proyek yang sempat tertunda karena masalah modal. Bahkan rencana merambah dunia game virtual bisa mereka wujudkan.Lebih mengherankan lagi ketika Nandito bertanya dengan investasi sebesar itu apa ada syarat khusus yang harus mereka penuhi. Jaminan saham, atau bagi hasil sekian persen atau sejenisnya.Saat Paul dan Felix mengatakan mereka hanya meminta kontrak kerja sama biasa, Nandito seketika jadi curiga."Apa ada alasan khusus kenapa kalian membantu kami?""Anda memang jeli, Tuan Alexander," puji Felix terus terang.Di awal sejak Paul dan Felix memperkenalkan diri, Nandito sudah curiga kalau dua pria di depannya tidak se
"Lepas!""Tidak! Sebelum kau beritahu aku, kenapa kau sebut aku pembohong!"Al kembali menahan tangan Serena, dia tidak suka dituduh melakukan hal yang tak pernah dia lakukan."Masih tanya? Kau tidak sadar sudah ingkar janji. Kau bilang mau bantu pamanku. Mana? Tante Elle sampai menamparku, dia bilang aku anak haram, pembawa sial. Gara-gara aku perusahaan Paman dalam bahaya."Serena tidak tahu kenapa dia jadi begitu blak-blakan. Entah kenapa waktu melihat Al dia auto curhat.Bahkan Serena sampai menangis kala menumpahkan uneg-uneg di kepalanya. "Diam saja? Berarti benar kau cuma bohong padaku. Harusnya aku tidak percaya padamu."Al terbengong melihat Serena menepis cekalan tangannya, kemudian berjalan menjauhinya. Namun pria itu segera mengejar. Kembali dia tarik tangan Serena.Gadis tersebut berontak, tapi Al tak melepaskannya kali ini. Al justru mendekap erat tubuh Serena. Meski terus meronta, tapi Al tidak peduli."Kamu kalau ngambek lucu juga. Aduhh." Al meringis ketika Serena me
Kantor Alexander Grup.Nandito memijat pelipisnya yang mendadak pening. Begitu dia menolak perjodohan dengan Marvel Delayota, keluarga itu langsung meminta dana yang sejatinya sudah ada di rekening perusahaan, untuk dikirimkan kembali pada mereka.Syarat cairnya dana tersebut cuma jawaban "iya" dari Serena. Mereka sudah sepakat, jadi ketika Nandito sadar sudah melanggarnya dia tidak bisa berbuat apa-apa."Tuan, investor lain telah menarik diri," lapor sang asisten takut-takut.Nandito hanya mengangguk, dia paham situasinya sangat sulit. Tapi dia juga tidak akan memaksa Serena. Memaksa sang keponakan menerima perjodohan ini sama saja dengan menjual Serena.Serena baru saja kehilangan ibunya, masih berduka. Dan ini kali pertama Serena pulang ke mansion Alexander. Tidak! Nandito tidak mau membuat perasaan Serena tidak nyaman.Semua pebisnis pernah mengalami masa sulit. Tak terkecuali Alexander Grup dan dirinya. Dia akan menemukan cara untuk membangkitkan perusahaanya.Meski caranya sanga
"Kenapa mukamu? Kayak mau makan orang." Pertanyaan Felix membuat Al mendengus kesal. Dia tidak menjawab. Hanya satu perintah yang mengalun setelahnya. "Berikan aku data tentang Alexander Grup." Tanpa banyak protes, Felix langsung melakukannya. Tangannya bergerak cepat di depan laptop. Sementara Al sibuk dengan urusannya sendiri. "Marvel Delayota, keluarga Delayota." Netra sekelam malam Al memicing, jarinya lincah memainkan tombol di keyboard. Sampai dia berhenti ketika Felix memberikan hasil penyelidikannya. "Keuangannya kurang bagus. Ada dana, tapi tak bisa dicairkan. Sepertinya itu dana bersyarat, maksudnya ada syarat tertentu supaya dana itu bisa diberikan." "Asal dana dari keluarga Delayota?" "Tepat sekali." Felix mengkonfirmasi setelah mencaritahu sebentar. "Kamu tahu syaratnya apa?" Al seperti sedang ingin bermain teka teki. "Bagian saham, akuisisi, lebih mengerikan pengambilalihan perusahaan," tebak Felix. "Salah, syaratnya Serena Valencia harus menikah dengan Marvel
Awalnya Serena ingin acuh soal perjodohannya dengan Marvel Delayota. Namun saat dia berniat kembali ke kamar, dia melewati ruang baca, di mana Nandito dan Elle terlibat perdebatan sengit.Dari hasil menguping Serena jadi tahu kalau dampak dari dirinya menolak perjodohan itu, Alexander Grup bisa mengalami kerugian.Elle jelas tidak terima, tapi sang paman meyakinkan Elle kalau mereka bisa mengatasinya. Tante Serena sibuk menyalahkan dirinya."Satu triliun," gumam Serena. Perempuan itu duduk sambil memeluk lutut di kasur. Dia pandangi cincin cantik yang melingkar di jari manisnya.Dia sudah tidak punya urusan dengan Al. Ibunya telah meninggal, soal utang Anthony, biarlah pria itu urus sendiri. Al pasti bisa menemukan cara untuk menagihnya."Bercerai. Itu jalan paling baik. Janda? Tidak ada yang tahu aku menikah, selain penghuni The Palace. Jadi janda pun tidak masalah."Maka begitulah, Serena menghubungi Al. Mengutarakan keinginannya untuk berpisah. Al diam saja waktu Serena menyinggun
Serena mengangkat jemarinya di mana sebentuk cincin melingkar di sana. Dari tampilannya saja sudah terlihat kalau cincin itu bernilai tinggi."Siapa suamimu? Beraninya dia meminangmu tanpa menemui kami. Apa ibumu tahu kamu menikah?"Serena menunduk. Dia tidak bisa membeberkan identitas Alterio Inzaghi. Lelaki itu melarangnya."Aku tidak bisa memberitahu siapa dia. Saat itu aku dijadikan penebus hutang oleh keluarga Hernandez," balas Serena sendu.Nandito langsung mengepalkan tangan. "Beraninya mereka lakukan itu! Rav, kenapa kamu tidak cegah waktu itu. Kamu kakaknya, kamu wajib melindungi Serena."Ravi juga yang jadi korban. Lelaki itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Jangan salahkan kak Ravi, Paman. Serena yang larang dia buat nolongin Rena waktu itu. Soalnya mereka ngancam bakal nyakitin ibu. Sekarang semua sudah terlambat. Serena salah, ibu meninggal karena Serena."Duka kembali menggelayut di paras Serena. Semakin ditelaah, semakin Serena merasa kalau kepergian Nereida karen