"Hubungan kalian sepertinya tambah baik." Al hanya menarik sudut bibirnya mendengar komentar Max. Al akui Serena mampu mengimbangi dirinya. Yang jelas otak gadis itu tidak sekosong gadis lain. Wanita yang pernah Al hadapi kebanyakan hanya mengutamakan fisik saja. Namun Serena mampu menyediakan keduanya. Baik fisik maupun otak. Ehem! Al berdehem, dia teringat bagaimana rasa bibir Serena. Sial! Mendadak Al jadi ingin melihat Serena. Max sudah keluar dari ruangan setelah meletakkan laporan di meja. Jika Al tidak merespon ucapannya satu kali, artinya pria itu tidak akan mendengar lagi. Namun rahang Al mengetat melihat apa yang dia lihat melalui kamera pengawas. "Bengal juga dia ini rupanya." Sedangkan yang diawasi Al saat ini sedang asyik menggerakkan tangan di atas tablet. Tidak peduli pada Lisa yang terus menempel padanya. Serena jelas sedang bahagia level akut. Sebab saat dia makan tadi pagi satu paper bag diberikan Ara padanya. Kantong berisi Ipad dan laptop yang bisa dia gunak
"Aku gak bermaksud begitu, Al. Apa aku harus diam saja saat melihat dia mau ngambil dompet orang itu."Serena mengkeret melihat tatapan tajam Al padanya. Gadis itu dicecar oleh Al begitu sampai di rumah. Setelah dia dijemput Max di halte yang entah ada di mana.Serena asal saja turun, sebab dia tidak mungkin menunjukkan rumahnya pada Lisa. Pun di tidak tahu alamat The Pallace.Al sendiri memang tidak bisa menjemput Serena kemarin, dia utus Max tapi pria itu bilang kalau sang istri pulang dengan Lisa naik bus. Al yang sudah illfeel dengan nama Lisa makin geram di buatnya.Lebih jengkel lagi kala Serena tak menuruti sarannya untuk menjaga jarak dengan Lisa. Bukannya manut Serena malah iya iya saja naik bus bareng Lisa."Aku beri tahu. Itu bukan urusanmu. Jangan berlagak kau bisa membantu semua orang yang mengalami kesulitan.""Enggak semua Al, cuma kebetulan aku melihatnya. Apa salahnya aku nolong.""Lalu kamu yang ganti jadi sasaran mereka. Mikir, Ren! Kamu mengganggu lahan bisnis mere
"Sepertinya kita salah. Dia bukan anak emas RD." Vasti muncul dengan gengnya. Seperti biasa, gadis itu datang untuk mengganggu Serena. Sejauh ini, Serena bisa menahan diri untuk tidak melayan tingkah Vasti, seperti saran Felix. "Nah sekarang kalian tahu kan, siapa anak emasnya," balas Serena seraya mengulas senyum. Meski kepalanya keliyengan, tapi dia suka melihat Vasti kembali tertohok ucapannya. "Kau!" Vasti mendengus geram. Terlebih beberapa orang kini terang-terangan memandang rendah padanya. Namun bukan Vasti namanya jika kalah oleh intimidasi mereka yang dia nilai tidak lebih baik darinya. "Apa mungkin memang dia. Tapi tidak heran sih, lihat saja pakaiannya. Dia anak Edgar Martinez, tapi bukannya selama ini image-nya dibangun sebagai wanita baik-baik." Pevi berbisik pada Nicky yang hanya diam sambil menganggukkan kepala. "Alah, kita tahu kalangan mereka seperti apa," komen Nicky setelahnya. Giliran Pevi yang manggut-manggut setuju. Sementara Lisa, gadis itu hanya
Serena hampir tertidur selama menunggu, perutnya mulai nyaman, tapi dia sekarang sangat lapar. Ditambah jam kerja sudah akan dimulai. Serena mulai cemas.Beberapa kali dia melihat ke arah pintu. Tidak ada pergerakan apapun, sialnya lagi Serena tidak membawa ponsel. Benda itu tergeletak di atas meja."Lapar," keluh Serena. Dia bersandar di tepi ranjang, duduk lesehan di lantai berkarpet.Al benar, dia tidak bisa melakukan apa-apa tanpa sarapan. Ego dan omongannya saja yang besar tapi kemampuannya tidak sehebat ucapannya.Dari tempatnya berada, Serena tidak bisa mendengar apa yang dibicarakan Al dan tamunya. Kamar itu kedap suara rupanya.Hampir lima belas menit, setelah Serena memeriksa jamnya. Baru pintu terbuka. Serena menatap sengit pada Al yang seperti biasa, tanpa ekspresi."Makan," perintah itu kembali Al ucapkan."Sudah tidak sempat, waktu makan siangnya habis."Serena meringis ketika hendak berdiri. Kakinya kesemutan."Justru akan lebih baik." Al melotot ketika Serena menarik u
Vasti mengulas senyum penuh kepuasan, melihat Serena digelandang Felix keluar. Dia mengangkat jempolnya ke arah Thalia, yang meski kesakitan tapi masih bisa menipiskan bibir. Dia jelas senang memandang Felix melotot marah pada Serena."Mampus! Dia akan mendapat hukuman setimpal," maki Vasti.Felix terkenal straight, tegas. Vasti menduga kalau Serena bakal diberi hukuman tidak main-main. Pun dengan Thalia, dua kali bertemu Felix. Perempuan itu mengambil kesimpulan kalau pria berambut pirang itu tidak punya rasa iba.Padahal justru Serena yang ngamuk pada Felix. Dugaan Vasti dan Thalia meleset jauh. Gadis itu misuh-misuh dengan satu nama jadi sasaran.Felix sendiri cuma diam, dia serius memandang laptop, tanpa peduli pada umpatan Serena. Felix hanya mengirim pesan singkat pada Al, melaporkan kalau istrinya ngamuk.Al membaca pesan Felix tapi tidak membalas. Dia sedang mengawasi pembuatan berlian dari mayat manusia. Saat prosesnya selesai dia akan memeriksa menggunakan lensa pembesar jug
Bisa dibayangkan bagaimana tegangnya Serena. Dia jarang sekali berada sedekat ini dengan Al. Intinya Serena selalu jaga jarak. Enggan berdekatan dengan Al, terlebih sejak kejadian pria itu main cium waktu berdekatan.Namun kali ini, Serena tak berkutik. Dua lengan panjang dan kekar Al memenjarakan tubuhnya dari arah belakang. Bertumpu pada kursi penumpang yang diduduki seorang perempuan tua.Serena gugup luar biasa, dengan Al tampak biasa. Meski tersembunyi di balik masker, Serena bisa menebak seperti apa ekspresi wajah Al di baliknya. Jantung Serena berdegup makin kencang. Kala aroma cedarwood seolah melingkupi Serena. Belum ditambah kepala Al yang berada tepat di belakang kepalanya. Tiap kali bergerak, hidung Al akan bergesekan dengan rambutnya."Minggir!" Bisik Serena, tapi Al tidak merespon. Serena tak berani menoleh. Hingga Serena pilih melepaskan diri kala dia sudah tidak tahan dengan hawa panas yang mulai menjalar di tubuhnya."Diam, Ren," desis Al penuh peringatan.Namun per
"Al tunggu! Aduhh!"Al berbalik sambil mendengus geram. Dia seret tangan Serena supaya gadis itu berdiri kembali. Serena nyungsep terserimpet kakinya sendiri, waktu mengejar Al yang jalannya sudah seperti sprint."Sakit!" Serena tanpa sadar mengeluh ketika Al memeriksa lengannya."Sekarang kau tahu kan, kenapa kau dilarang berkeliaran di luar. Bukan aku tidak boleh, tapi semua untuk kebaikanmu sendiri."Al mulai marah. Dia bilang tidak punya perasaan apa-apa pada Serena, tapi dia macam orang hilang akal saat melihat Serena terluka.Serena hanya diam, dia sadar salah kali ini. Gadis itu mendongak, melihat tempat di mana dia berada. Al membawanya ke kamar pria itu. Mereka pulang setelah jemputan datang.Bibir Serena berdesis saat antiseptik dioleskan ke sikunya. Pria itu tekun merawat luka Serena. Wajah tampan Al didominasi ekspresi cemas."Sudah, aku bisa sendiri." Al berdiri, menyerahkan salep pada Serena. Sementara dia berlalu masuk ke sisi kamar yang lebih dalam.Beberapa saat kemu
Max dikejutkan dengan keberadaan Serena di kamar Al. Terlebih melihat tampilan sang gadis yang sangat seksi. Bahu terbuka dengan sebagian dada terlihat. Rambut kusut masai.Pun dengan kegugupan Serena yang terlihat nyata. Meski Serena menyangkal, Max tak percaya begitu saja. Ditambah setelahnya Al muncul dengan rambut basah, juga kemeja yang dikancingkan asal.Semua cukup untuk dijadikan bukti kalau mereka memang baru saja melakukan sesuatu bersama. Apalagi jika bukan bercinta."Kenapa kau?""Kau yang kenapa? Habis dapat jatah masih saja beku. Sumringah lah sedikit, macam Paul dan Felix."Tatapan tajam Al berikan dengan Max biasa saja meresponnya. "Aku tidak melakukannya," tegas Al."Tidak usah diperjelas begitu. Semakin kau mengelak, semakin aku curiga. Jadi kalau benar, tahun ini kami bisa dapat keponakanlah," ledek Max.Al terdiam, tapi sorot matanya tak lepas dari Max. "Kalau kami habis bercinta, menurutmu apa dia masih bisa berjalan keluar dari sini."Pernyataan Al membuat Max k
Uhuk! Serena langsung terbatuk begitu kakinya melangkah masuk ke sebuah tempat, yang aromanya seketika membuat perutnya mual.Felix terbahak dengan Al menggulung senyum."Ini baru pintu masuknya," bisik Al di telinga Serena."Di dalam lebih parah?" Serena memastikan."Bagi kami biasa, entah buatmu." Felix menjawab dari sebelah kiri.Al dan Felix seperti pengawal dengan Sergie dan Lalita mengikuti dari arah belakang. Meski mood Serena masih didominasi sedih, tapi gadis itu bisa tertawa kala melihat Lalita ikut dengannya."Jadi bagaimana? Mau putar haluan?" Tawar Al. Mata elangnya yang tadi sibuk memindai kini kembali memandang Serena.Al tahu benar wajah dibalik masker itu menyembunyikan berbagai ekspresi yang mungkin lucu andai digabung jadi satu.Al bisa melihat raut kepo, cemas, antusias, sekaligus takut berganti-ganti di paras sang istri."Gak ah, sekali-kali pengen tahu yang namanya diskotik, klub malam. Biar gak disebut cupu, udik."Balasan Serena membuat Al dan Felix saling pand
"Kamu ngawasin aku! Aku bukan tahanan!"Serena memandang lurus Al yang menunjukkan anting safir di tangannya."Ini cuma ada buat alat komunikasi, tidak ada kameranya. Pakai!""Tidak mau!"Al memejamkan mata, dia coba meredam emosi yang sempat mencuat naik. Rasa yang muncul setelah Al lega luar biasa melihat Serena baik-baik saja."Boleh tidak tolong aku sekali ini saja. Pakai ini, dengan ini kita bisa terhubung meski tanpa ponsel. Jika ada bahaya macam tadi, kamu bisa kasih tahu aku."Serena mengerutkan dahi, tampak berpikir. "Ayolah, Ren. Edgar itu orangnya nekat. Makanya aku belum publish pernikahan kita. Sebelum urusanku sama Edgar selesai.""Ye, aku gak ngarep divalidasi ya."Al menepuk jidatnya. Seharusnya dia tahu kalau Serena tidak peduli, pernikahannya diketahui orang banyak atau tidak. Tidak adanya landasan cinta di antara keduanya, terlebih Serena.Membuat gadis itu begitu santai menjalani hari, meski statusnya istri. Awalnya Al begitu, tapi belakangan ini hatinya ... beru
Seharian berada di rumah ternyata membuat Serena bosan. Dia pikir akan menyenangkan saat Al memberinya cuti.Gadis itu hanya berkabar dengan Ravi, yang akan mengurus pengambilalihan Eternal Diamond dari tangan Anthony secepat mungkin.Pengacara sedang memprosesnya. Serena setuju Eternal Diamond kembali padanya tapi syaratnya harus Ravi yang meng-handlenya.Serena hanya ingin mendesain tanpa mau pusing memikirkan managemen, marketing dan sebagainya.Ravi jelas ingin menolak tapi Nandito mencegahnya. Memang lebih baik ED diurus olehnya dulu. Pelan-pelan mereka bisa membujuk Serena untuk kembali ke kantor.Bagaimanapun ED adalah milik Nereida, perempuan itu membangunnya dari nol dengan tangannya sendiri sejak belasan tahun lalu. Kalaupun Ravi yang mengurusnya, dia pun hanya sebagai perpanjangan tangan Serena."Haish bosannya!" Gerutu Serena, dia melempar buku berisi draft desain ke atas kasur. Masalahnya, semakin dia diam tanpa kesibukan. Bayangan kepergian sang ibu, kian nyata di benakn
Beberapa waktu sebelumnya. Nandito dibuat tercengang, nyaris syok ketika Paul dan Felix mengatakan kalau tuan mereka bersedia jadi investor bagi Alexander Grup yang nyaris kolaps.Gustav bahkan sampai menganga mendengar jumlah dana yang akan digelontorkan pada mereka."Dua triliun," gumam Gustav tidak percaya.Dengan jumlah sebesar itu mereka bisa merampungkan semua proyek yang sempat tertunda karena masalah modal. Bahkan rencana merambah dunia game virtual bisa mereka wujudkan.Lebih mengherankan lagi ketika Nandito bertanya dengan investasi sebesar itu apa ada syarat khusus yang harus mereka penuhi. Jaminan saham, atau bagi hasil sekian persen atau sejenisnya.Saat Paul dan Felix mengatakan mereka hanya meminta kontrak kerja sama biasa, Nandito seketika jadi curiga."Apa ada alasan khusus kenapa kalian membantu kami?""Anda memang jeli, Tuan Alexander," puji Felix terus terang.Di awal sejak Paul dan Felix memperkenalkan diri, Nandito sudah curiga kalau dua pria di depannya tidak se
"Lepas!""Tidak! Sebelum kau beritahu aku, kenapa kau sebut aku pembohong!"Al kembali menahan tangan Serena, dia tidak suka dituduh melakukan hal yang tak pernah dia lakukan."Masih tanya? Kau tidak sadar sudah ingkar janji. Kau bilang mau bantu pamanku. Mana? Tante Elle sampai menamparku, dia bilang aku anak haram, pembawa sial. Gara-gara aku perusahaan Paman dalam bahaya."Serena tidak tahu kenapa dia jadi begitu blak-blakan. Entah kenapa waktu melihat Al dia auto curhat.Bahkan Serena sampai menangis kala menumpahkan uneg-uneg di kepalanya. "Diam saja? Berarti benar kau cuma bohong padaku. Harusnya aku tidak percaya padamu."Al terbengong melihat Serena menepis cekalan tangannya, kemudian berjalan menjauhinya. Namun pria itu segera mengejar. Kembali dia tarik tangan Serena.Gadis tersebut berontak, tapi Al tak melepaskannya kali ini. Al justru mendekap erat tubuh Serena. Meski terus meronta, tapi Al tidak peduli."Kamu kalau ngambek lucu juga. Aduhh." Al meringis ketika Serena me
Kantor Alexander Grup.Nandito memijat pelipisnya yang mendadak pening. Begitu dia menolak perjodohan dengan Marvel Delayota, keluarga itu langsung meminta dana yang sejatinya sudah ada di rekening perusahaan, untuk dikirimkan kembali pada mereka.Syarat cairnya dana tersebut cuma jawaban "iya" dari Serena. Mereka sudah sepakat, jadi ketika Nandito sadar sudah melanggarnya dia tidak bisa berbuat apa-apa."Tuan, investor lain telah menarik diri," lapor sang asisten takut-takut.Nandito hanya mengangguk, dia paham situasinya sangat sulit. Tapi dia juga tidak akan memaksa Serena. Memaksa sang keponakan menerima perjodohan ini sama saja dengan menjual Serena.Serena baru saja kehilangan ibunya, masih berduka. Dan ini kali pertama Serena pulang ke mansion Alexander. Tidak! Nandito tidak mau membuat perasaan Serena tidak nyaman.Semua pebisnis pernah mengalami masa sulit. Tak terkecuali Alexander Grup dan dirinya. Dia akan menemukan cara untuk membangkitkan perusahaanya.Meski caranya sanga
"Kenapa mukamu? Kayak mau makan orang." Pertanyaan Felix membuat Al mendengus kesal. Dia tidak menjawab. Hanya satu perintah yang mengalun setelahnya. "Berikan aku data tentang Alexander Grup." Tanpa banyak protes, Felix langsung melakukannya. Tangannya bergerak cepat di depan laptop. Sementara Al sibuk dengan urusannya sendiri. "Marvel Delayota, keluarga Delayota." Netra sekelam malam Al memicing, jarinya lincah memainkan tombol di keyboard. Sampai dia berhenti ketika Felix memberikan hasil penyelidikannya. "Keuangannya kurang bagus. Ada dana, tapi tak bisa dicairkan. Sepertinya itu dana bersyarat, maksudnya ada syarat tertentu supaya dana itu bisa diberikan." "Asal dana dari keluarga Delayota?" "Tepat sekali." Felix mengkonfirmasi setelah mencaritahu sebentar. "Kamu tahu syaratnya apa?" Al seperti sedang ingin bermain teka teki. "Bagian saham, akuisisi, lebih mengerikan pengambilalihan perusahaan," tebak Felix. "Salah, syaratnya Serena Valencia harus menikah dengan Marvel
Awalnya Serena ingin acuh soal perjodohannya dengan Marvel Delayota. Namun saat dia berniat kembali ke kamar, dia melewati ruang baca, di mana Nandito dan Elle terlibat perdebatan sengit.Dari hasil menguping Serena jadi tahu kalau dampak dari dirinya menolak perjodohan itu, Alexander Grup bisa mengalami kerugian.Elle jelas tidak terima, tapi sang paman meyakinkan Elle kalau mereka bisa mengatasinya. Tante Serena sibuk menyalahkan dirinya."Satu triliun," gumam Serena. Perempuan itu duduk sambil memeluk lutut di kasur. Dia pandangi cincin cantik yang melingkar di jari manisnya.Dia sudah tidak punya urusan dengan Al. Ibunya telah meninggal, soal utang Anthony, biarlah pria itu urus sendiri. Al pasti bisa menemukan cara untuk menagihnya."Bercerai. Itu jalan paling baik. Janda? Tidak ada yang tahu aku menikah, selain penghuni The Palace. Jadi janda pun tidak masalah."Maka begitulah, Serena menghubungi Al. Mengutarakan keinginannya untuk berpisah. Al diam saja waktu Serena menyinggun
Serena mengangkat jemarinya di mana sebentuk cincin melingkar di sana. Dari tampilannya saja sudah terlihat kalau cincin itu bernilai tinggi."Siapa suamimu? Beraninya dia meminangmu tanpa menemui kami. Apa ibumu tahu kamu menikah?"Serena menunduk. Dia tidak bisa membeberkan identitas Alterio Inzaghi. Lelaki itu melarangnya."Aku tidak bisa memberitahu siapa dia. Saat itu aku dijadikan penebus hutang oleh keluarga Hernandez," balas Serena sendu.Nandito langsung mengepalkan tangan. "Beraninya mereka lakukan itu! Rav, kenapa kamu tidak cegah waktu itu. Kamu kakaknya, kamu wajib melindungi Serena."Ravi juga yang jadi korban. Lelaki itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Jangan salahkan kak Ravi, Paman. Serena yang larang dia buat nolongin Rena waktu itu. Soalnya mereka ngancam bakal nyakitin ibu. Sekarang semua sudah terlambat. Serena salah, ibu meninggal karena Serena."Duka kembali menggelayut di paras Serena. Semakin ditelaah, semakin Serena merasa kalau kepergian Nereida karen