"Sayang bangun." Kurasakan sebuah kecupan hangat menempel di keningku. Perlahan aku pun membuka mata. Rupanya sudah pukul setengah tujuh pagi. Selepas shalat subuh tadi, kami memang memutuskan untuk tidur kembali. Sebab efek begadang masih begitu terasa.
Pagi ini, jantungku berdegup begitu kencang tidak seperti biasanya. Sebab teringat kalau pagi ini akan menjadi hari pernikahanku dengan Reyhan.
"Mama, maaf Indah kesiangan," ucapku. Novi dan Luna pun langsung beranjak bangun. "Tante," sapa mereka. Mama hanya tersenyum. "Kalian cepat mandi, terus langsung berangkat ke gedung. Nanti kami akan menyusul. Temani Indah karena dia harus di make up," ucap Mama.
"Bareng sama Reyhan, Tante?" tanya Luna. Mama mengangguk. "Nanti orang tua kamu dijemput sama sopir Tante."
"
"Saya nikahkan engkau ananda Reyhan Pratama Aditya Wijaya bin Pratama Wijaya dengan Indah Rahmawati binti Ratmo Rahimahullah dengan mas kawin perhiasan seberat 20 gram dibayar tunai." Pak penghulu menjabat tangan Reyhan. Aku sedikit melirik ke wajah Reyhan. pria itu mengeluarkan keringat padahal ruangan ini terasa dingin menurutku. Banyak orang tengah memegang ponsel dan mengarahkannya kepada kami. Mungkin mereka tengah mengabadikan momen ini."Saya terima. Saya … terima… saya t-tteee…," ucap Reyhan memejamkan mata. Kemudian laki-laki itu diam sambil memijat keningnya. Aku shock sungguh. Reyhan! Mungkinkah tidak bisa mengucapkan ijab kabul?"Kita ulang lagi ya, Mas Reyhan," ucap Pak penghulu. Reyhan mengangguk."Sebentar ya, Pak. Kepala saya sedikit pusing." Setelah beberapa menit
Pukul 23.40 menit, kami sampai juga di rumah orang tua Reyhan. Sungguh! Aku merasa sangat canggung. Bahkan untuk memasuki rumah ini. Perasaan sebelum pernikahan terjadi aku bahkan bisa menggoda Reyhan. Kenapa justru setelah menikah rasanya begitu canggung. Masa iya efek ijab kabul dan sikap diam Reyhan kemarin sih. Jadi mampu mempengaruhi sikapku juga."Masuk, Ndah. Jangan bengong," ucap Reyhan. Aku tersenyum dan mengangguk mengikuti langkahnya.Sampai di dalam, terlihat Mama dan Papa sedang duduk santai."Kalian sampai juga," ucap Mama."Kok Mama sama Papa belum tidur?" tanya Reyhan sambil menghampiri keduanya."Kami sengaja menunggu kalian," jawab Papa. Reyhan dan aku pun langsung ikut duduk."Akhirnya anak Mama menikah juga. Sumpah Mama kira kamu gak d
"Satu… dua … tiiii--ga…! Udah tiga, Ndah. Kamu lama sekali!" teriak Mas Reyhan lagi. Aku terdiam. Mas? Iya, Mas. Aku harus membiasakan diri karena dia sudah menjadi suamiku sekarang. Ya meskipun kadang masih suka memanggil nama juga. Aku belum terbiasa jadi masih lupa-lupa ingat."Sabar, Mas. Mas! Kayaknya aku gak bisa pakai pakaian ini. Mas pinjam baju kamu saja. Gak apa kebesaran juga. Atau kalau nggak, kamu tolong pinjam pakaian Kak Mala," ujarku. Ceroboh juga aku sampai lupa membawa baju ganti."Tidak ada pinjam meminjam. Sekarang pakailah, Pakaian itu. Pake! Atau kalau kamu mau tidur di kamar mandi terserah! Intinya aku gak bakal pinjami kamu pakaianku. Jadi terserah kamu mau sampai kapan di dalam kamar mandi!" ucap Mas Reyhan lagi. Kesal aku pun memakai lingerie dari Mama mertua. Saat bercermin sungguh terlihat begitu seksi.Akhirnya dengan handuk s
Tok… tok… tok ….!Suara ketukan pintu kembali terdengar. Namun, berbeda dengan tadi, sekarang ini aku lebih mudah membuka mata. Malah bukan hanya aku, tapi Reyhan juga. Tak sengaja, mata kami saling bertemu. Aku tersenyum ke arahnya meskipun dia hanya diam.Tidak ada rasa malu ataupun canggung. Bukankah aku mencintainya? Jadi tidak masalah kalau aku sedikit lebih agresif padanya. Meskipun tidak tahu balasan apa yang akan aku dapatkan. Dengan masih berpakaian kurang bahan ini, aku turun dari ranjang menghampiri laki-laki yang bergelar suami itu. Berjalan dengan percaya diri tanpa memikirkan lagi rasa malu. Melihatku berjalan menghampirinya, Reyhan mengalihkan pandangan ke arah lain."Mas," sapaku memeluknya dari belakang. Kucium tengkuk lehernya dengan kecupan lembut. Reyhan diam saja dan memilih untuk menepisnya. Tak be
RENA BERTEMU TIARA"Indah, nomor sepuluh rumah siapa?" tanya Rena."Eum, rumah temanku, Ren.""Ooohh…."Tin… tin….!Rena menekan klakson mobil. Tiba-tiba saja seorang satpam langsung membuka pintu gerbang."Sudah ada satpamnya?" ujarku bertanya."Iya, ada. Tante yang cariin orangnya." Setelah Rena memarkirkan mobil, wanita itu langsung keluar dan bergegas. Meninggalkan aku yang tengah membuka sabuk pengaman."Ren, gak masuk dulu?" tanyaku setelah keluar dari mobil. Aku bingung juga melihatnya sangat gugup terburu-buru.
Hari berlalu seiring bergulirnya waktu. Tak terasa pernikahanku dengan Mas Reyhan pun sudah berjalan hampir 3 bulan lamanya. Namun, tak sekalipun ia menyentuhku layaknya seorang istri. Tidur kami terpisah. Mas Reyhan di sofa, sementara aku di ranjang. Berbicara secukupnya. Pulang dan pergi ke kantor sendirian. Beruntung aku sudah bisa membawa mobil sendiri berkat belajar dengan Rena. Aku seperti mulai berada pada titik lelah. Selama ini aku sudah berusaha mendekat, mencintai, memberi perhatian dan sebagainya. Tapi aku merasa perjuanganku seperti sia-sia saja.Mengeluh wajar, nyatanya aku hanyalah manusia biasa. Terkadang ada pikiran ingin pergi. Namun, jika mengingat lagi komitmen pernikahan dulu, aku kembali semangat. Ini bukan keinginan Mas Reyhan bersikap demikian. Itulah yang menjadi motivasiku.Malam ini adalah malam hari ulang tahun Mas Reyhan. Ak
POV REYHAN"Mas lepasin aku," ucap Indah masih menatapku dengan tatapan sendu."Lepasin?" Aku bertanya. Bukan ini yang kamu mau dariku? Nafkah batin kan? Kamu menginginkannya bukan?""Tapi bukan begini caranya." Ucapan Indah mulai terdengar pelan. "Bukan dengan emosi. Aku hanya akan melakukannya jika kamu benar-benar menginginkannya. Dari hati kamu. Bukan karena emosi kamu. Sudahlah, Mas. Lepaskan tanganku," ucapnya sembari menarik tangannya. Kemudian, wanita itu pun langsung berdiri. Mengambil pakaian dan masuk ke kamar mandi.Bukan aku tak menginginkannya. Aku pun ingin melakukannya. Tapi bagaimana lagi? Aku belum bisa. Ah ada rasa yang begitu membakar dada saat otakku membayangkan Indah berbagi peluh dengan Danang.
"Adit," lirihku. Lelaki itu kemudian merangkulku menuju mobilnya. Aku masih terdiam. Kenapa dia itu selalu peduli denganku."Mobil kamu biar nanti diambil oleh orang bengkel," ujarnya saat kami sudah berada di dalam mobil. Adit juga sudah siap dengan kemudinya."Kok kamu bisa ada di sini, Dit?" Aku bertanya. Adit sendiri sudah melajukan mobilnya, hingga perlahan mobil berjalan meninggalkan mobilku yang mogok."Kalau aku tidak di sini, kamu mau sampai kapan ada di tempat ini? Aku kebetulan lewat karena baru kembali dari tempat Hendra.""Hum, betul juga sih, Dit. Makasih banyak ya. Kamu baik banget sama aku," ujarku tertunduk."Kita adalah teman," tegasnya."