"Akmal, kamu lebih milih dia ketimbang Ibu? Kamu pikir surga anak laki-laki ada ada anakmu?!" bentak Oma Siska semakin geram. Kedua bola mata terdapat semburat, napas memburu menandakan amarah telah mencapai puncak.
"Aku tahu surgaku tetap sama Ibu, tapi apa Ibu nggak sadar sudah nyakitin hati aku, Zanna sama Al? Kalau Ibu nggak mau nganggep cucu sendiri, mungkin memang benar kalau Ibu nggak usah datang ke sini lagi." Akmal memalingkan pandangan. Dia lelah berdebat dengan sang ibu selama puluhan tahun.Entah kenapa ibunya menjadi sangat keras kepala. Setelah hampir tiga dekade, apakah tidak ada rasa kasihan di dalam hatinya atau keinginan berdamai dengan takdir dari Tuhan? Akmal tidak pernah mempermasalahkan sang istri yang melahirkan anak satu telinga karena percaya bahwa semua kehendak Tuhan meskipun ada sedikit kesalahan juga dengan mengabaikan kesehatan selama trimester pertama.Jika terus meladeni, maka sampai kiamat pun mungkin tidak akan ada habisnyPagi-pagi sekali setelah melakukan pemanasan, Alvino memasang sarung tinju boxing di kedua tangannya. Di bangunan samping rumah khusus olahraga itulah dia sering menghabiskan waktu kala kembali terluka oleh hinaan dari satu atau lebih orang.Menatap tajam samsak tinju di depan, Alvino menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan. Dia memang sudah lama menekuni olahraga itu walau memang kurang diminati oleh orang lain. Dia memulai dari gerakan bayangan sampai benar-benar memukul benda memanjang berwarna merah tersebut.Pelampiasan amarah. Itulah alasan Alvino latihan tinju kecuali saat pikiran sedang tenang dia akan memilih olahraga treadmill. Satu pukulan, dua pukulan hingga sepuluh pukulan, dia masih belum puas. Bayangan wajah Oma Siska membuat amarahnya semakin membakar jiwa.Apakah dia salah dan dianggap sebagai cucu durhaka karena membayangkan Oma sendiri sebagai samsak tinju? Mungkin tidak, begitu menurut Alvino. Dia terus menggerakkan tangan kanan
Selesai membersihkan diri, Alvino mengambil kunci motor hendak ke toko buku karena diminta oleh ayahnya memberi beberapa ensiklopedia sebagai pengisi di waktu luang nanti. Dengan membaca, kita bisa mengetahui dunia di luar sana, wawasan pun bertambah, perbendaharaan kata semakin banyak. Begitu nasihatnya.Akan tetapi, ketika hampir melewati pintu utama, sang bunda memanggil dengan suara pelan. Dia mendekat dan meminta putranya duduk terlebih dahulu. Jam masih menunjuk angka tiga sore, masih ada waktu karena toko tutup pukul sepuluh malam."Bunda mau tanya sesuatu sama kamu, Al!""Tanya apa, Bun?""Rosaline itu siapa? Kenapa dia ngemis-ngemis supaya ngasih izin nemuin kamu di tempat olahraga?"Alvino melipat bibir, berpikir alasan apa yang akan diberi pada sang bunda. Bukannya tidak mau jujur, tetapi khawatir ada kesalahpahaman.Sungguh, sampai sekarang masih belum yakin ada cinta untuk gadis berambut panjang itu. Jantung yang berdetak cepat bisa saja menjadi hal wajar apabila dekat den
"Menikah sama Al?"Rosaline mengangguk mantap, dia tidak lupa tersenyum lebar pada wanita yang dianggap sebagai calon mertua. Jika nanti mereka benar menikah, maka kebahagiaan akan menyelimuti jiwanya."Al bilang mau menikah sama kamu atau gimana? Maaf, soalnya Al suka tertutup masalah seperti itu.""Kami ... tadi kami resmi jadian, Tan. Aku nggak masalah kalau dinikahin dalam waktu cepat. Aku tulus sama, Al.""Ros!" Suara Alvino membuat keduanya menoleh. Lelaki itu berdiri dengan raut wajah dingin. "Aku minta kamu ngebuktiin bukan bilang ke Bunda mau nikah!""Loh, Al, apa salahnya? Ini bagian dari usaha aku untuk meyakinkan kamu kalau aku ini emang tulus. Seharusnya aku yang butuh kepastian dan bukan kamu, tapi aku selalu percaya bahwa cinta memang butuh perjuangan. Gimana pun nanti keputusan kamu, nggak ada paksaan."Alvino mendengkus kesal lalu duduk di samping sang bunda. Dia meletakkan secangkir teh di meja untuk dihidangkan
"Dia cacat, pasti pahamlah kualitas dirinya gimana. Rena anak baik, pasti mau menikah sama Alvino. Suka atau tidak, anakmu harus setuju!""Kenapa? Kenapa Al harus setuju sama keinginan Ibu? Bukannya selama ini Ibu nggak pernah nganggap dia sebagai cucu, kenapa malah ngatur pernikahannya? Ibu nggak punya hak!"Suasana berubah semakin tegang karena Zanna tidak akan pernah mengalah pada sang mertua. Dia tahu bahwa anak temannya itu memang baik, penurut dan perhatian. Akan tetapi, memaksakan kehendak diri adalah sebuah kesalahan.Dalam cinta, tidak boleh ada paksaan. Kalau Alvino suka pada gadis cantik itu, maka mereka akan segera melamar. Lantas bagaimana jika ternyata perasaannya lebih condong pada Rosaline?"Dia anak Akmal dan Ibu masih–""Dia anak Mas Akmal, tapi bukan cucu Ibu. Itu yang selalu Ibu bilang, 'kan? Lagian aku yakin Ibu pasti punya rencana busuk kenapa sampai nekat menikahkan dia sama Rena." Zanna memberi tatapan dingin tak t
"Mas!" Zanna tergopoh-gopoh menghampiri suaminya yang sedang menikmati makan siang. Lelah mengurus pekerjaan di usia yang tidak lagi muda membuatnya harus istirahat dulu sebelum ke meja makan."Ada apa? Kamu kalau gitu bisa jantungan aku, Sayang. Ada apa?" Akmal segera meneguk air yang tersisa setengah gelas tadi hingga tandas, kemudian mengubah posisi menghadap sang istri karena nasi di piring pun hampir habis disantapnya.Zanna menarik napas dalam lalu mengembuskan perlahan. Dia harus bisa tenang agar tidak membuat sang suami kaget. Setelah satu menit berlalu, dia meminta suaminya menghabiskan makan terlebih dahulu agar bisa berpikir jernih.Lelaki itu menurut saja. Dia segera menghabiskan nasi di piring dan membawanya ke wastafel untuk dicuci. Sementara sang istri membersihkan meja makan. Suasana akhirnya berubah seperti biasa. Tanpa aba-aba, mereka berdua melangkah santai menuju ruang tengah."Mas, kita harus ke rumah Haura sekarang!"
Zanna yang sudah pulang dari rumah Haura setelah didahului mertuanya mengirim pesan pada sang putra. Dia ingin berbicara dari hati ke hati, tetapi bukan di rumah karena tidak mau jika ada orang lain yang mendengar sekalipun itu suami sendiri.Pesan yang dikirim baru dibaca setelah lima belas menit berlalu. Dia jadi berpikir keras tentang keberadaan Alvino yang sebentarnya. Entah kenapa dia merasa bahwa ujian terlalu sering menghampirinya.Bermula dari kehidupan malang setelah diusir keluarga demi Dimas lalu dijadikan pembantu oleh suami sekeluarga sampai memiliki anak cacat. Bertahun-tahun Zanna menguatkan diri menghadapi berbagai hinaan yang dilontarkan mertua sendiri sampai sekarang masih juga belum bisa hidup tanpa masalah.[Iya, Bun. Share-Lock aja, ntar aku samperin.] Begitu balasan dari Alvino.Zanna langsung mengirim lokasinya. Perasaan semakin tidak tenang sampai menemukan jawaban. Sebelum pulang, dia sempat mengobrol dengan teman lamanya
"Bukan, ini cuma tebakan Ayah. Emang benar kamu punya kekasih? Kalau iya, kenapa gak dikenalin?"Alvino menghela napas panjang. Dia saja sudah bingung bagaimana menolak keinginan bundanya untuk melamar gadis lain, apalagi harus mengenalkan pada orang tua. Selama hidup sendiri, lelaki jangkung itu memang kesepian, tetapi tetap saja merasa damai.Cinta memang membawa masalah apabila tidak dikemudikan dengan baik. Ah, Alvino tertawa kecil. Anggapan apa itu? Sebaiknya dia segera masuk rumah untuk menghindari banyak pertanyaan. Tadi sang bunda terlihat khawatir sehingga memintanya tidak membahas apa pun ketika ditanyai.Dengan alasan belum salat asar, lelaki itu bisa terhindar dari ragam pertanyaan sang ayah. Dia melangkah panjang, begitu cepat seolah tidak sabar untuk segera bersembunyi di dalam kamar. Mengecek ponsel, ternyata ada beberapa pesan dari Rosaline yang menanyakan keberadaannya dan mengapa sulit dihubungi.[Tadi ada urusan di luar. Kenapa?
Zanna memberi tatapan tajam pada suaminya. Mengapa di usia tua baru memikirkan pernikahan ke dua? Kalau memang benar demikian, sebaiknya mereka menempuh jalan masing-masing saja daripada harus menyakiti satu sama lain.Tidak ada wanita yang benar-benar ikhlas berbagi. Hati pasti terluka lalu mencoba membalut sedemikian rapi karena ingin menerima takdir apa pun dari Tuhan. Seperti yang dikatakan bahwa surga hanyalah tempat bagi mereka yang mampu ikhlas dan sabar.Namun, Zanna adalah Zanna. Sejak dulu, bahkan saat dirinya masih miskin bersama mendiang suami pertama, dia sudah lebih dulu menolak untuk hidup berbagi dengan wanita lain. Apalagi sekarang yang mana bisa menikmati hidup tanpa repot menjajakan kue, anaknya pun telah menginjak usia dewasa.Dia bisa mengurus diri sendiri. Alvino pun pasti akan memilih ikut pada bundanya karena keluarga dari pihak sang ayah kurang dekat."Kenapa diam, Sayang? Kamu setuju, kan? Kita sudah sama-sama tua loh ini