"Menikah sama Al?"Rosaline mengangguk mantap, dia tidak lupa tersenyum lebar pada wanita yang dianggap sebagai calon mertua. Jika nanti mereka benar menikah, maka kebahagiaan akan menyelimuti jiwanya."Al bilang mau menikah sama kamu atau gimana? Maaf, soalnya Al suka tertutup masalah seperti itu.""Kami ... tadi kami resmi jadian, Tan. Aku nggak masalah kalau dinikahin dalam waktu cepat. Aku tulus sama, Al.""Ros!" Suara Alvino membuat keduanya menoleh. Lelaki itu berdiri dengan raut wajah dingin. "Aku minta kamu ngebuktiin bukan bilang ke Bunda mau nikah!""Loh, Al, apa salahnya? Ini bagian dari usaha aku untuk meyakinkan kamu kalau aku ini emang tulus. Seharusnya aku yang butuh kepastian dan bukan kamu, tapi aku selalu percaya bahwa cinta memang butuh perjuangan. Gimana pun nanti keputusan kamu, nggak ada paksaan."Alvino mendengkus kesal lalu duduk di samping sang bunda. Dia meletakkan secangkir teh di meja untuk dihidangkan
"Dia cacat, pasti pahamlah kualitas dirinya gimana. Rena anak baik, pasti mau menikah sama Alvino. Suka atau tidak, anakmu harus setuju!""Kenapa? Kenapa Al harus setuju sama keinginan Ibu? Bukannya selama ini Ibu nggak pernah nganggap dia sebagai cucu, kenapa malah ngatur pernikahannya? Ibu nggak punya hak!"Suasana berubah semakin tegang karena Zanna tidak akan pernah mengalah pada sang mertua. Dia tahu bahwa anak temannya itu memang baik, penurut dan perhatian. Akan tetapi, memaksakan kehendak diri adalah sebuah kesalahan.Dalam cinta, tidak boleh ada paksaan. Kalau Alvino suka pada gadis cantik itu, maka mereka akan segera melamar. Lantas bagaimana jika ternyata perasaannya lebih condong pada Rosaline?"Dia anak Akmal dan Ibu masih–""Dia anak Mas Akmal, tapi bukan cucu Ibu. Itu yang selalu Ibu bilang, 'kan? Lagian aku yakin Ibu pasti punya rencana busuk kenapa sampai nekat menikahkan dia sama Rena." Zanna memberi tatapan dingin tak t
"Mas!" Zanna tergopoh-gopoh menghampiri suaminya yang sedang menikmati makan siang. Lelah mengurus pekerjaan di usia yang tidak lagi muda membuatnya harus istirahat dulu sebelum ke meja makan."Ada apa? Kamu kalau gitu bisa jantungan aku, Sayang. Ada apa?" Akmal segera meneguk air yang tersisa setengah gelas tadi hingga tandas, kemudian mengubah posisi menghadap sang istri karena nasi di piring pun hampir habis disantapnya.Zanna menarik napas dalam lalu mengembuskan perlahan. Dia harus bisa tenang agar tidak membuat sang suami kaget. Setelah satu menit berlalu, dia meminta suaminya menghabiskan makan terlebih dahulu agar bisa berpikir jernih.Lelaki itu menurut saja. Dia segera menghabiskan nasi di piring dan membawanya ke wastafel untuk dicuci. Sementara sang istri membersihkan meja makan. Suasana akhirnya berubah seperti biasa. Tanpa aba-aba, mereka berdua melangkah santai menuju ruang tengah."Mas, kita harus ke rumah Haura sekarang!"
Zanna yang sudah pulang dari rumah Haura setelah didahului mertuanya mengirim pesan pada sang putra. Dia ingin berbicara dari hati ke hati, tetapi bukan di rumah karena tidak mau jika ada orang lain yang mendengar sekalipun itu suami sendiri.Pesan yang dikirim baru dibaca setelah lima belas menit berlalu. Dia jadi berpikir keras tentang keberadaan Alvino yang sebentarnya. Entah kenapa dia merasa bahwa ujian terlalu sering menghampirinya.Bermula dari kehidupan malang setelah diusir keluarga demi Dimas lalu dijadikan pembantu oleh suami sekeluarga sampai memiliki anak cacat. Bertahun-tahun Zanna menguatkan diri menghadapi berbagai hinaan yang dilontarkan mertua sendiri sampai sekarang masih juga belum bisa hidup tanpa masalah.[Iya, Bun. Share-Lock aja, ntar aku samperin.] Begitu balasan dari Alvino.Zanna langsung mengirim lokasinya. Perasaan semakin tidak tenang sampai menemukan jawaban. Sebelum pulang, dia sempat mengobrol dengan teman lamanya
"Bukan, ini cuma tebakan Ayah. Emang benar kamu punya kekasih? Kalau iya, kenapa gak dikenalin?"Alvino menghela napas panjang. Dia saja sudah bingung bagaimana menolak keinginan bundanya untuk melamar gadis lain, apalagi harus mengenalkan pada orang tua. Selama hidup sendiri, lelaki jangkung itu memang kesepian, tetapi tetap saja merasa damai.Cinta memang membawa masalah apabila tidak dikemudikan dengan baik. Ah, Alvino tertawa kecil. Anggapan apa itu? Sebaiknya dia segera masuk rumah untuk menghindari banyak pertanyaan. Tadi sang bunda terlihat khawatir sehingga memintanya tidak membahas apa pun ketika ditanyai.Dengan alasan belum salat asar, lelaki itu bisa terhindar dari ragam pertanyaan sang ayah. Dia melangkah panjang, begitu cepat seolah tidak sabar untuk segera bersembunyi di dalam kamar. Mengecek ponsel, ternyata ada beberapa pesan dari Rosaline yang menanyakan keberadaannya dan mengapa sulit dihubungi.[Tadi ada urusan di luar. Kenapa?
Zanna memberi tatapan tajam pada suaminya. Mengapa di usia tua baru memikirkan pernikahan ke dua? Kalau memang benar demikian, sebaiknya mereka menempuh jalan masing-masing saja daripada harus menyakiti satu sama lain.Tidak ada wanita yang benar-benar ikhlas berbagi. Hati pasti terluka lalu mencoba membalut sedemikian rapi karena ingin menerima takdir apa pun dari Tuhan. Seperti yang dikatakan bahwa surga hanyalah tempat bagi mereka yang mampu ikhlas dan sabar.Namun, Zanna adalah Zanna. Sejak dulu, bahkan saat dirinya masih miskin bersama mendiang suami pertama, dia sudah lebih dulu menolak untuk hidup berbagi dengan wanita lain. Apalagi sekarang yang mana bisa menikmati hidup tanpa repot menjajakan kue, anaknya pun telah menginjak usia dewasa.Dia bisa mengurus diri sendiri. Alvino pun pasti akan memilih ikut pada bundanya karena keluarga dari pihak sang ayah kurang dekat."Kenapa diam, Sayang? Kamu setuju, kan? Kita sudah sama-sama tua loh ini
"Serius Al ngelamar Rosa?!" Lucky terperanjat kaget mendengar ucapan Rena yang baru saja menghampirinya.Dosen tidak bisa datang karena ada urusan mendadak yang harus diselesaikan. Rena pun mengambil kesempatan untuk menyampaikan informasi. Dia tidak bisa memendam sendiri, lagi pula Lucky masih sepupu Alvino, bukan kesalahan jika menanyai pendapat, kan?"Ya, yang aku tahu gitu. Tadi ketemu sama Om Akmal. Dia ngasih tahu kalau Al ngelamar Rosa dan semua itu bukan keinginannya.""Maksud kamu ... rencana Tante Za?"Rena mengangguk. Sungguh, gadis itu teramat penasaran mengapa bunda Alvino melakukannya. Dia yakin ada sesuatu yang disembunyikan.Bukan hanya itu, Rena juga melihat gerak-gerik aneh dari ibunya. Apa mungkin dia mengetahui sesuatu, tetapi enggan memberitahu siapa pun? Jangan-jangan Rosaline adalah target yang dimaksud.Lama berpikir, Rena menatap lekat pada Lucky. "Kamu nggak ada informasi sama sekali?""Enggak.
Rena merasa tidak asing dengan mobil tadi. Akan tetapi, siapa pemiliknya dan mengapa harus mengintip di rumah Alvino serta mengatainya tidak akan bahagia?Lama termenung di luar, dia kembali ke ruang tamu dengan pertanyaan masih menyergap di dada. Kedua temannya terlalu lama melakukan salat asar, membuat Rena sedikit jenuh."Maaf, ya, Tante kelamaan karena salat tadi, Ren." Zanna datang dengan senyum terbit di wajahnya. Dia membawa teh manis hangat dan sepiring pisang goreng. "Diminum tehnya!"Rena mengangguk. Tiba-tiba dia teringat dengan sosok tadi. Haruskah menyampaikan pada wanita di hadapannya atau justru memendam karena ingin diskusi dengan Lucky terlebih dahulu?"Jangan dipikirin, Ren. Dia nggak akan membawa masalah apa pun bagi Alvino. Kalau bisa, kamu pura-pura nggak tahu aja. Jangan sampai Al sama Lucky bertindak ceroboh."Kedua bola mata Rena membulat sempurna. Dia seperti berhadapan dengan cenayang yang bisa tahu banyak hal. "