"Mas!" Zanna tergopoh-gopoh menghampiri suaminya yang sedang menikmati makan siang. Lelah mengurus pekerjaan di usia yang tidak lagi muda membuatnya harus istirahat dulu sebelum ke meja makan.
"Ada apa? Kamu kalau gitu bisa jantungan aku, Sayang. Ada apa?" Akmal segera meneguk air yang tersisa setengah gelas tadi hingga tandas, kemudian mengubah posisi menghadap sang istri karena nasi di piring pun hampir habis disantapnya.Zanna menarik napas dalam lalu mengembuskan perlahan. Dia harus bisa tenang agar tidak membuat sang suami kaget. Setelah satu menit berlalu, dia meminta suaminya menghabiskan makan terlebih dahulu agar bisa berpikir jernih.Lelaki itu menurut saja. Dia segera menghabiskan nasi di piring dan membawanya ke wastafel untuk dicuci. Sementara sang istri membersihkan meja makan. Suasana akhirnya berubah seperti biasa. Tanpa aba-aba, mereka berdua melangkah santai menuju ruang tengah."Mas, kita harus ke rumah Haura sekarang!"Zanna yang sudah pulang dari rumah Haura setelah didahului mertuanya mengirim pesan pada sang putra. Dia ingin berbicara dari hati ke hati, tetapi bukan di rumah karena tidak mau jika ada orang lain yang mendengar sekalipun itu suami sendiri.Pesan yang dikirim baru dibaca setelah lima belas menit berlalu. Dia jadi berpikir keras tentang keberadaan Alvino yang sebentarnya. Entah kenapa dia merasa bahwa ujian terlalu sering menghampirinya.Bermula dari kehidupan malang setelah diusir keluarga demi Dimas lalu dijadikan pembantu oleh suami sekeluarga sampai memiliki anak cacat. Bertahun-tahun Zanna menguatkan diri menghadapi berbagai hinaan yang dilontarkan mertua sendiri sampai sekarang masih juga belum bisa hidup tanpa masalah.[Iya, Bun. Share-Lock aja, ntar aku samperin.] Begitu balasan dari Alvino.Zanna langsung mengirim lokasinya. Perasaan semakin tidak tenang sampai menemukan jawaban. Sebelum pulang, dia sempat mengobrol dengan teman lamanya
"Bukan, ini cuma tebakan Ayah. Emang benar kamu punya kekasih? Kalau iya, kenapa gak dikenalin?"Alvino menghela napas panjang. Dia saja sudah bingung bagaimana menolak keinginan bundanya untuk melamar gadis lain, apalagi harus mengenalkan pada orang tua. Selama hidup sendiri, lelaki jangkung itu memang kesepian, tetapi tetap saja merasa damai.Cinta memang membawa masalah apabila tidak dikemudikan dengan baik. Ah, Alvino tertawa kecil. Anggapan apa itu? Sebaiknya dia segera masuk rumah untuk menghindari banyak pertanyaan. Tadi sang bunda terlihat khawatir sehingga memintanya tidak membahas apa pun ketika ditanyai.Dengan alasan belum salat asar, lelaki itu bisa terhindar dari ragam pertanyaan sang ayah. Dia melangkah panjang, begitu cepat seolah tidak sabar untuk segera bersembunyi di dalam kamar. Mengecek ponsel, ternyata ada beberapa pesan dari Rosaline yang menanyakan keberadaannya dan mengapa sulit dihubungi.[Tadi ada urusan di luar. Kenapa?
Zanna memberi tatapan tajam pada suaminya. Mengapa di usia tua baru memikirkan pernikahan ke dua? Kalau memang benar demikian, sebaiknya mereka menempuh jalan masing-masing saja daripada harus menyakiti satu sama lain.Tidak ada wanita yang benar-benar ikhlas berbagi. Hati pasti terluka lalu mencoba membalut sedemikian rapi karena ingin menerima takdir apa pun dari Tuhan. Seperti yang dikatakan bahwa surga hanyalah tempat bagi mereka yang mampu ikhlas dan sabar.Namun, Zanna adalah Zanna. Sejak dulu, bahkan saat dirinya masih miskin bersama mendiang suami pertama, dia sudah lebih dulu menolak untuk hidup berbagi dengan wanita lain. Apalagi sekarang yang mana bisa menikmati hidup tanpa repot menjajakan kue, anaknya pun telah menginjak usia dewasa.Dia bisa mengurus diri sendiri. Alvino pun pasti akan memilih ikut pada bundanya karena keluarga dari pihak sang ayah kurang dekat."Kenapa diam, Sayang? Kamu setuju, kan? Kita sudah sama-sama tua loh ini
"Serius Al ngelamar Rosa?!" Lucky terperanjat kaget mendengar ucapan Rena yang baru saja menghampirinya.Dosen tidak bisa datang karena ada urusan mendadak yang harus diselesaikan. Rena pun mengambil kesempatan untuk menyampaikan informasi. Dia tidak bisa memendam sendiri, lagi pula Lucky masih sepupu Alvino, bukan kesalahan jika menanyai pendapat, kan?"Ya, yang aku tahu gitu. Tadi ketemu sama Om Akmal. Dia ngasih tahu kalau Al ngelamar Rosa dan semua itu bukan keinginannya.""Maksud kamu ... rencana Tante Za?"Rena mengangguk. Sungguh, gadis itu teramat penasaran mengapa bunda Alvino melakukannya. Dia yakin ada sesuatu yang disembunyikan.Bukan hanya itu, Rena juga melihat gerak-gerik aneh dari ibunya. Apa mungkin dia mengetahui sesuatu, tetapi enggan memberitahu siapa pun? Jangan-jangan Rosaline adalah target yang dimaksud.Lama berpikir, Rena menatap lekat pada Lucky. "Kamu nggak ada informasi sama sekali?""Enggak.
Rena merasa tidak asing dengan mobil tadi. Akan tetapi, siapa pemiliknya dan mengapa harus mengintip di rumah Alvino serta mengatainya tidak akan bahagia?Lama termenung di luar, dia kembali ke ruang tamu dengan pertanyaan masih menyergap di dada. Kedua temannya terlalu lama melakukan salat asar, membuat Rena sedikit jenuh."Maaf, ya, Tante kelamaan karena salat tadi, Ren." Zanna datang dengan senyum terbit di wajahnya. Dia membawa teh manis hangat dan sepiring pisang goreng. "Diminum tehnya!"Rena mengangguk. Tiba-tiba dia teringat dengan sosok tadi. Haruskah menyampaikan pada wanita di hadapannya atau justru memendam karena ingin diskusi dengan Lucky terlebih dahulu?"Jangan dipikirin, Ren. Dia nggak akan membawa masalah apa pun bagi Alvino. Kalau bisa, kamu pura-pura nggak tahu aja. Jangan sampai Al sama Lucky bertindak ceroboh."Kedua bola mata Rena membulat sempurna. Dia seperti berhadapan dengan cenayang yang bisa tahu banyak hal. "
"Zanna!" Suara melengking dari Oma Siska mengagetkan wanita itu. Dia baru saja selesai menjemur pakaian di belakang rumah, tetapi sudah berhadapan dengan nenek lampir lagi.Setelah masuk rumah lewat pintu belakang, matanya langsung melihat pada mertua yang menekuk wajah lantas berisyarat dengan tangan agar Zanna mengikutinya.Mereka duduk saling berhadapan di ruang tengah. Untung saja ada AC, jika tidak, mungkin tanduk Zanna segera keluar. Cuaca di luar pun sangat panas, harusnya dia segera mandi sebelum memasak untuk makan siang."Ibu denger kamu ngelamar gadis buat Al?""Iya.""Kamu gak bisa menghargai usaha mertuamu sendiri, Za. Sejak dulu kamu selalu menentang Ibu sampai melahirkan anak satu telinga. Ibu berusaha cari gadis baik-baik buat Al, malah kamu carikan yang lain lagi. Siapa namanya?""Rosa." Zanna berusaha menjawab dengan santai."Nah iya, Rosa. Kalau mau nikahin seseorang itu barus tahu seluk-beluk keluarga
"Tan, Alvino ada nggak?" Rosaline melempar pertanyaan ketika Zanna membuka pintu.Mengedarkan pandangan, Zanna berpikir gadis itu sedang ngelantur. Apa tidak salah bertamu setelah isya? Pakaiannya memang masih terbilang sopan, tetapi seperti ingin mengadakan party."Tan?""Ada di dalam. Masuk, Tante panggilin Al dulu!"Gadis berambut panjang itu tersenyum manis, mengekori wanita setengah baya itu ke dalam, berakhir duduk di sofa ruang tamu. Berselang lima menit, Alvino keluar dengan memakai piyama tidur."Ngapain malam-malam ke sini?""Ponselmu gak aktif, aku telepon dari sore, gak ada respon. Jadi, aku berinisiatif datang ke sini." Rosaline menjeda kalima dengan helaan napas panjang. "Kamu mau temani aku ke pesta ulang tahun Clara nggak?""Clara siapa?""Clara temen aku, temen lama. Aku dipaksa datang, cuman takut pulangnya gimana nanti. Terus ... kita juga diminta bawa pasangan. Aku malu datang sendiri."
Xavier menarik paksa lelaki jangkung itu lantas memintanya bergabung bersama yang lain. Malam semakin larut, semua orang pun kian memanas. Sebagian dari mereka mulai melempar ke meja ke sembarang arah sambil terus menggerakkan tubuh ke kanan dan kiri.Semua berbahagia dalam keadaan setengah sadar. Waktu pun terus berputar, Alvino dilanda rasa kantuk. Dia berusaha melangkahkan kaki menjauh dari kerumunan. Pandangan mengabur, kepala berdenyut sakit.Lelaki jangkung itu melepas jaketnya karena keringat mulai membasahi tubuh. Dia hanya ingin tertidur atau berendam semalaman dalam ruangan full AC. Terus melangkah sambil menempelkan tangan ke dinding rumah, sampailah dia pada pintu bernuansa abu."Alvino!" Suara itu tidak dia indahkan karena rasa mual semakin menggelora. Beruntung Alvino menemukan kamar kecil dan langsung memuntahkan isi perut sampai dua menit berlalu. Kepalanya pening, langkah pun semakin sempoyongan.Akhirnya, Alvino berhasil merebahk